Minggu, 08 Januari 2012

Part 2: Workshop-ku Sayang Petualanganku Menantang



            Yang pertama adalah Guitar. Lho kok kenapa aku bawa Guitar ke forum ini?? Mau ngamen ya?? Hushhhh!! Bukan mau ngamen. Terus mau apa?? Maukonser?? Konser juga gak sih, soalnya aku tahu kalau aku konser di forum curhat ini pasti Kartuneters semua udah siap-siap ngelempar sandal ke mukaku, iya kan?? Nah, Guitar yang kubawa sebenernya sih Cuma symbol aja. Gini nih, kebetulan di part 2 ini ada beberapa moment yang memaksaku nyanyi. Bukan dipaksa deng, tapi suka rela hehehe. Ya, di beberapa kesempatan kalian pasti bakalan denger suara merdu bak suara Mpok Nori yang keluar dari mulutku heheheh. Penasaran?? Oh, gak penasaran ya…ya udah deh gak apa-apa. Tapi meskipun gak penasaran, silahkan dicek ya, kali aja yang tadinya gak penasaran bisa berubah jadi penasaran. Syukur-syukur bisa nge’fans sama aku heheheh.

            Yang selanjutnya adalah secarik kertas lusuh. Tentu kertas lusuh ini bukan bungkus gorengan ya. Ayo tebak, apa isi kertas ini?? Yup btul!! Tentu isinya bukan udang, oncom, apa lagi irisan ayam. Isinya ya tentu kisah petualanganku ke Semarang yang kemaren sempet keputus di part 1. Meskipun kertasnya agak lusuh, tapi kayaknya masih bisa dibaca deh. Sok aja atuh dibaca, tapi jangan rebutan ya, takut kertasnya robek hehehe. Sok lah dimulai aja…Hope you enjoy this story! *sok ngerti aja nih ngomong pakai bahasanya Dek Shinchan!*. “Bukannya Shinchan gak ngomong bahasa Inggris ya? Bukannya Shinchan ngomongnya bahas a Arab ya?” protes salah satu bantal yang tergeletak gak jauh dariku. Hahahaha…bener juga ya, yang ngomong English kan bukan Shinchan tapi Upin Ipin!! *Ngaco!*

Jum’at, 25 November 2011…

            Mentari telah benar-benar melek sekarang. Seluruh isi bumi telah Nampak dalam pandangan sang surya, tak terkecuali dengan tubuh panjang si Kaligung Emas yang sedang kutumpangi. Dengan bermandikan tatapan sang surya, kereta Kaligung Emas berlari begitu cepat sambil membawa gumpalan-gumpalan kemungkinan tentang Workshop Kewirausahaan yang akan kuikuti. Ya, meskipun tubuhku belum tiba di kota Semarang, tapi pikiranku telah lebih dulu melayang kesana. Aku menerka-nerka dan meraba setiap kemungkinan yang mungkin akan tercipta disana. “Betah gak ya aku disana?” tanyaku dalam hati. Tentu beralasan kalau aku bertanya seperti itu pada diriku sendiri. Maklum saja, aku ini memang terkenal sebagai seseorang yang tak betahaan kalau tinggal di luar rumah, tak peduli apakah tempat itu sangat mewah dan nyaman. Semasa kuliah dulu saja aku hanya bertahan dua bulan di rumah kost, setelah itu aku lebih memilih menghabiskan waktuku di perjalanan. Nah, apa lagi sekarang, aku terpisah jarak yang lumayan jauh, Semarang-Brebes, pastilah aku akan dijangkiti virus “Home sick”. Ditambah lagi aku dituntut untuk mandiri saat workshop nanti. Makan harus mandiri, beres-beres barang bawaan sendiri, menunaikan setiap kegiatan hanya ditemani orang-orang baru yang belum kukenal, itulah beberapa hal yang harus siap kuhadapi. Tapi kurasa aku mampu melaksanakannya. “Bener nih gak bakal nangis pas workshop nanti?” goda sehelai tissue basah yang sedang menghuni tanganku. “Hmm, buat apa nangis? Gak mungkin nangis lah, kan disana banyak temennya, apa lagi ada si dia yang tiap malam menghuni ruang mimpiku” kataku pada si tissue. Benar juga ya, sebentar lagi aku akan bertemu pangeranku. Wow, dream comes true tuh namanya. Yes yes yes…!! “Sadar neng sadar sadar!! Kamu ke Semarang kan buat ikut workshop, bukan buat ngecengin cowok!” sebuah suara magis tiba-tiba merangsek masuk ke dalam daun telingaku. Belum sempat aku menimpali suara magi situ, tiba-tiba ada suara lain  yang merangsek masuk ke dalam lubang hidungku bersamaan dengan aroma yang ditimbulkan oleh asap rokok salah seorang penumpang dalam gerbong yang kutumpangi. “Gak apa-apa kok, Ka. Cuek aja, kan ikut workshop sekalian ngecengin cowok sah-sah aja. Lanjutkan!” begitu kata suara magis yang menjelma pada asap rokok yang menyesakkan dada. Buru-buru aku menggeleng, mencoba membuang suara-suara yang berseliweran tadi. “Tapi bener juga tuh kata si suara magis yang tadi masuk ke hidungku. Kan gak ada salahnya ikut workshop sambil ngecengin cowok, itung-itung menyelam sambil minum air hehehehe” batinku sambil cengengesan. “OK lah eka, lanjutkan!!” lanjutku dalam hati.

            Aku terbangun dari lamunanku ketika kudapati sepasang anak manusia tengah asyik mengobrol dengan bahasa “ngapak-ngapak” yang begitu fasih dilafadzkan oleh keduanya. Hmm, kuyakin mereka berdua adalah “ngapakers sejati”. Aku sangat iri kepada dua ngapakers itu. Tapi alas an di balik rasa iri itu bukan dikarenakan oleh kemampuan berbahasa “ngapak” mereka yang jauh lebih mumpuni di atasku. So, apa dong alasannya? Alasannya sangat sederhana, yaitu aku tak bisa mengobrol ria layaknya mereka. Lihat saja bangku kosong di sebelahku. Tak ada sesosok manusia atau dedemit pun mengisi bangku kosong di sebelah kananku. Bagaimana bisa aku mengobrol ria kalau teman sebangkuku saja tak menampakan batang hidungnya? Kalau boleh “Lebay”, nasib malangku kian menjadi. Ya, tak hanya ketinggalan kereta, ketinggalan teman, dan harus berangkat ke Semarang seorang diri, saat di dalam kereta pun aku harus rela duduk seorang diri tanpa memiliki teman mengobrol. Bisa dibayangkan berapa ember rasa bosan yang akan diguyurkan padaku selama perjalanan ke Semarang. Wah, sesampainya di Semarang bisa-bisa aku basah kuyup oleh rasa bosan!! Tapi mudah-mudahan saja beberapa stasiun di depan sana akan merasa iba padaku dan akan dengan sukarela menghadiahiku sesosok anak manusia yang bisa kujadikan teman mengobrol. Eits, tapi jangan menghadiahiku anak kucing ya!! Dengan penuh keikhlasan pasti kutolak hadiah anak kucing itu. Lebih baik aku mati karena rasa bosan dari pada harus mati karena rasa geliku pada baby binatang yang menurut sebagian orang dianggap sebagai binatang lucu dan menggemaskan. Huuueeeekkk…lucu dari mananya? Dari Hongkong kali!! Dan akhirnya, sambil menunggu keretaku sampai di stasiun berikutnya, kusibukkan diriku untuk mengaduk-aduk tas miniku demi mencari apa saja yang bisa kujadikan alat pembunuh sang waktu. Tissue basah, tissue kering, permen karet, permen Frozz, permen Mentoz rasa mint, tiket kereta api, dompet, Handphone, beberapa uang receh, beberapa bungkus Tolak Angin Cair…satu per satu kuabsen barang bawaanku yang saling berhimpitan did alam tas mini di atas pangkuanku. Kemudian, kulihat seraut muka memelas yang ditunjukkan oleh salah satu barang bawaan yang tadi kuabsen. Sebungkus permen karet, itulah pelaku di balik muka memelas tadi. Aku sungguh tak tega melihat tubuhnya dihimpit oleh barang bawaan lainnya. Akhirnya dengan memasang muka bak seorang malaikat penolong, kuangkat tubuh si permen karet dari hiruk pikuk dalam tas miniku. “Duh, kasihan ya kamu, Ret. Demi menghindarkan kamu dari barang-barang bawaanku yang lainnya, gimana kalau kamu pindah ke mulutku aja? Di mulutku kamu bisa lebih tenang dan damai, mau kan?” kataku sambil melucuti pakaian si permen karet. Aku tak lagi memasang muka malaikat, yang kupasang kali ini adalah muka Si kucing nakal nan penuh kesialan bernama “Tom” yang siap menerkam si tikus imut nan pintar bernama “Jerry”. “Jangan…jangan lakukan itu…tolong…tolong…” teriak si permen karet. Tapi sama sekali tak kuindahkan jeritan si permen karet. Dengan begitu teganya kumasukan tubuh tipis si permen karet ke dalam mulutku. Dan dengan begitu kejamnya kucabik-cabik tubuh elastis si permen karet menggunakan gigi tajamku. Aku mengunyah si permen karet yang sudah tak bernyawa lagi. Aku merasa puas, tapi rasa bosanku sepertinya tak gentar dengan prilaku kejamku tadi. Rasa bosan itu justru semakin mendekat, seakan menantang diriku yang tak berkawan ini. “Aku harus bertahan melawan rasa bosan ini! Sabar Eka sabar sabar!” kataku menguatkan diri sendiri. Ya, sekuat tenaga aku bertahan dalam rasa bosan yang mulai menjangkitiku sampai akhirnya kudapati sebuah stasiun yang sedari tadi kunanti. Sebuah stasiun yang beberapa waktu lalu sempat menghebohkan jagat perkereta apian di Indonesia karena kasus kecelakaan maut antara dua buah kereta, kini sedang diinjak oleh si Kaligung yang kutumpangi. Stasiun Petarukan di kota Pemalang, itulah nama stasiun berdarah itu. Mengetahui bahwa keretaku tengah berhenti di sebuah stasiun, seketika ketegangan akibat rasa bosanku musnah dan digantikan oleh senyum manisku. Buru-buru aku melongok ke arah jendela, seolah-olah bisa melihat gerak-gerik para penumpang yang hendak menaiki si Kaligung. Aku tersenyum, seolah mendapati sesosok anak manusia yang dihadiahkan stasiun ini kepadaku, padahal yang kudapati hanyalah kabut putih. Beberapa suara berbahasa jawa terdengar memasuki gerbong. Seiring dengan suara-suara itu, terdengar pula derap langkah yang mulai mendekati tempat dudukku. Aku berdoa dalam hati, meminta pada Tuhan yang Maha Esa agar salah seorang dari pemilik derap itu mampir di sebuah bangku kosong di sebelah kananku. Sambil berdoa, kupasang muka semanis mungkin, semata-mata demi menaarik derap langkah itu. Tik-tok…20 detik telah terlewati, tapi bangku di sebelahku masih saja kosong. OK, jangan putus asa dulu, coba lagi!! Tik-tok…40 detik telah berlalu, tapi aku masih menjomblo. Jangan putus asa dulu, coba lagi!! Tik-tok-tik-tok…detik tak lagi terdengar, kini menit lah yang menguasai sang waktu. Melihat kehadiran sang menit, tubuhku melunglai dan mukaku berubah pucat pasi bak rembulan kesiangan. Betapa tidak, sampai sang menit nongol, bangku di sebelahku masih saja kosong. Dimana penghuni bangku ini? Apa dia kesasar ke gerbong lain ya? “Saatnya berangkat!!” teriak si Kaligung sambil memutar rodanya. Ah!! Ternyata aku belum beruntung. “Lagi, dan akhirnya kusendiri lagi…” demi melengkapi ketidak-beruntunganku kali ini, kudendangkan saja sebuah lagu milik Band yang tak kuketahui nama Band-nya itu heheheh. “Lagi kecewa kok masih sempet-sempetnya nyanyi n ketawa sih…aneh…” sebuah kipas angin yang tengah bertugas di dalam gerbong ini tiba-tiba berkomentar dengan begitu ketusnya. “Cut cut cut!! Aduh, payah kali kau ini, Non! Tak perlu lah kau pasang muka cengengesan macam tadi, apa lagi nyanyianmu itu, bah tak perlu lah kau lakukan itu! Yang kau lakukan tadi tak ada di skenario! Bagaimana pula kau ini!” teriak Pak Sutradara padaku. OK OK, serius deh dari pada harus dipotong gaji. Kalau begitu, mari kembali ke peranku sebagai gadis yang sedang kecewa plus dijangkiti rasa bosan!

            Roda kereta api Kaligung Emas terus berputar, jeritannya pun terus terdengar memecah geliat sang pagi. Dari aromanya, si Kaligung Nampak sedang cerah ceria berlari menyusuri rel demi menyambut pesona kota Semarang. Sementara itu di dalam gerbong si Kaligung, seorang gadis manis yang mukanya sering mondar-mandir di album foto sebuah akun Facebook bernama “Ekka Prathiwie taufanty” tengah tergolek tak berdaya bersimbah rasa bosan. Mukanya begitu lecek dan masam, bibirnya mengerucut, tangannya ia gunakan untuk menopang dagunya, dan kedua matanya hampa menatap ke luar jendela. “Lebih baik aku loncat dari kereta ini dari pada sekujur tubuhku penuh dengan jamur gara-gara rasa bosanku!! Pak Bu, maafkan adinda…” batinku dengan tatapan mirip seorang gadis yang hendak nyemplung ke dalam kolam ikan akibat pacarnya digondol cewek lain. “Udah gak usah berdrama ria, langsung loncat aja! Tuh pintu kereta terbuka lebar, langsung terjun paying aja. Aku jamin besok kamu udah jadi orang terkenal, tampangmu bakalan mondar-mandir di layar kaca dan Koran” lagi-lagi si kipas angin jutek itu menggodaku. “Enak aja ya!! Masa gadis sebohai aku disuruh terjun dari atas kereta!! Apa kata dunia??!! Lagian tadi kan aku Cuma bercanda, dasar rumpi!!” kataku kesal. OK, tak perlu mengurusi kipas angin itu, lebih baik lanjut ke cerita saja yuk!! Kalian tentu tahu kan sebuah kebosanan lah yang menyebabkan diriku masam. Nah, fakta lain yang juga sangat mengecewakan adalah fakta bahwa beberapa stasiun yang telah didatangi oleh si Kaligung ternyata tak satu pun menghadiahi sesosok anak manusia untukku. Jangankan anak manusia, bayi kucing saja tak dihadiahkan padaku. Ya, tak hanya stasiun Petarukan saja yang nihil, ternyata stasiun-stasiun yang lainnya pun sama. Kini aku benar-benar telah putus asa. Aku telah memutuskan untuk tak lagi mengharapkan sesosok anak manusia menghuni bangku kosong di sebelahku. Harapanku telah musnah!! Biarkan kunikmati kesendirianku hanya dengan ditemani alunan kalimat berbahasa jawa yang dilontarkan oleh para penumpang lainnya. Biarkan alunan music yang menyembul dari Handphone salah seorang penumpang menjadi soundtrack keputus-asaan plus kebosananku. Ah, tapi aku tak menyukai jenis music yang mengalun itu. “Dangdut”, itu dia jenis music yang sedang distel oleh salah seorang penumpang itu. Bukan bermaksud antipati terhadap music Dangdut, hanya saja lagu yang sedang diputar tak begitu familiar di telingaku. Andai aku boleh request padanya, pasti sekarang ini aku sudah me-request lagu kesukaanku. Sebenarnya aku ingin menyetel di Handphone-ku sendiri, tapi aku takut baterai Handphone-ku habis. Bisa gawat kan kalau hal itu sampai terjadi. Eh, tunggu dulu!! Kalau Baterai dalam tubuhku tentu tak mungkin habis kan?? Nah, kenapa tak coba menyetel lagu dari mulutku saja?? Bagaimana para fans-ku, mau digoyang bareng Ekka?? “Setuju! Ayo…digoyang…” teriak barang-barang bawaanku secara bersamaan. “OK, tarik Mang!!” teriakku tak kalah kencang sambil memegang gagang mic. Sementara itu, suara gemuruh kereta telah siap mengiringiku bernyanyi. Gemuruh itu bak sebuah drum yang dipukul. Tak hanya itu, jeritan si Kaligung pun seolah menjadi suling yang siap menambah “maknyos” nyanyianku. Wah, dengarlah suara para penumpang yang saling bersahutan, seolah menjadi piano plus guitar yang siap mengalun dalam aksi menyanyiku. Nah, kalau sudah siap semua, langsung saja digoyang!! Akhirnya sebuah lagu berjudul “Just Like a Star” milik Mbak “Corine Baley Rae” mengalun dari mulutku. Lagu ini memang selalu memuaskan batinku. Aku merasa sexy saat melantunkan lagu itu hehehehe. Aku terus saja bernyanyi, tak peduli dengan botol-botol plastic yang menghujamku heheheh. Perlahan, sebutir rasa bosan jatuh menimpa tanah dan meninggalkan diriku. Yes, berhasil!! Mendapati sebutir rasa bosan telah jatuh, aku semakin bersemangat melantunkan lagu yang dulu sempat kurekam dan aku upload di akun Facebook-ku heheheh. Please, jangan katakan kalau aku adalah gadis narsis, karena tanpa kalian mengatakannya pun aku sudah mengakui kalau aku narsis hahahaha.

            “Forever and Always”, “Price Tag”, “Mad”, “Tear Drops on My Guitar”, “Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki” dan beberapa judul lagu lainnya mengalun dari mulutku usai lagu milik Mbak Corrine lebih dulu mengalun. Aku begitu PD menyanyikannya meskipun dengan suara ala kadarnya heheheh. Meskipun aksiku itu kelihatan aneh, tapi cukup ampuh mengusir rasa bosanku. Perlahan rasa bahagia muncul dalam hatiku dan kemasamanku pun melangkah menjauhiku. Rasa bahagiaku ternyata tak hanya bersumber dari lagu-lagu itu saja, tapi juga dari sebuah pesan singkat yang mampir ke Handphone-ku. Si Mr “x” kembali mengirimiku SMS. Dan SMS kali ini begitu membuatku tenang plus tak gentar untuk menaklukan petualangan ini. Yup, aku harus terus melangkah, tak usah takut, tak usah murung dan tak usah ragu karena aku tak sendirian. Semangat!!

            Tanpa kusadari cahaya terang menyembul dari balik jendela. Nampaknya sang mentari telah meninggi. Ia telah siap membantu mengeringkan jemuran para Ibu-ibu. Masih terekam jelas dalam ingatanku ketika sang mentari masih bayi. Tubuhnya bersembunyi dalam pelukan sang pagi. Tapi kini, dia telah tumbuh dan mampu merangkak menuju tempat sang siang. Tak terasa aku sudah lumayan lama bercokol dalam kereta ini. Nah, apa mungkin sebentar lagi stasiun Poncol akan segera kutemui? Sebuah lagu berjudul “Just can’t Enough” milik “Black Eyed Peace” tiba-tiba mengalun di antara tanyaku akan akhir dari perjalanan ini. Buru-buru kuangkat Handphone-ku. Sejurus dengan itu, sebuah suara Bapak-bapak menyembul dari ujung telpon sana. “Mbak Ekka udah nyampe mana?” Tanya Bapak-bapak yang menelponku itu. Aku sedikit geli mendengar pertanyaan itu. Entah mengapa aku ingin menampakkan gigi-gigi gondrongku ketika mendengar pertanyaan itu. “Mana aku tahu Pak, lha wong aku gak bisa lihat, masa ditanya kayak gitu” kataku dalam hati. “Aduh, Ekka gak tahu nih Pak” kataku pada si penelpon yang mengaku bernama Tito alias teman seperjuanganku yang berada dalam kereta yang berbeda denganku itu. “Kalau saya udah sampai stasiun Poncol nih, Mbak. Coba Mbak Ekka Tanya sama orang!” ujarnya padaku. Akhirnya kugeserkan tubuhku pada bangku kosong di sebelahku tanpa mematikan telpon. Aku sedikit ragu, kepada siapa kuharus bertanya? “Ehem…” sebagai basa-basi, kukeluarkan sebuah batuk buatan sebelum akhirnya melemparkan pertanyaan kepada penumpang lain. “Permisi…” kataku pada penumpang yang duduk bersebrangan denganku. “Iya…” jawabnya. Oh, dia ternyata seorang Bapak-bapak. “Permisi Pak, ini udah sampai mana ya?” tanyaku pada Bapak-bapak bersuara berat itu. “Ini udah sampai Semarang kok, Mbak. Bentar lagi sampai Poncol” tuturnya. Mendengar kalimatnya itu, buru-buru kuucapkan terima kasih dan buru-buru pula kuberitahu Pak Tito yang suaranya masih tertahan di Handphone-ku. “Ekka udah sampai di Semarang, Pak” kataku sambil mengedarkan tanganku demi mendapati tubuh pacarr alumuniumku. “OK, kalau gitu saya tunggu di sini ya, Mbak. Hati-hati!” pembicaraan pun berakhir seiring dengan hilangnya suara Pak Tito dari telingaku.

            Tanganku kuat mencengkram tas hitam yang sepertinya lebih berat dari bayi Beruang ini. Tubuh pacar alumuniumku pun tak lagi terlipat, kini dia telah tegak lurus dan siap menuntunku. Dadaku berdegup kencang. Degup di dadaku sekarang ini sepertinya lebih kencang dari degupku ketika hendak mengerjakan soal-soal Ujian Nasional pada tahun 2009 silam. Dan tahukah kamu ekspresi mukaku sekarang ini? Tegang!! Ya, mukaku begitu tegang dan mirip dengan ekspresi saat jongkok di pojokan toilet hehehehe. Nah lho, kok bisa begitu? Tentu saja! Betapa tidak, sebentar lagi kereta akan berhenti dan otomatis aku harus turun dari kereta ini. Nah, ketika turun nanti, adakah orang yang membantuku? Jawabannya masih menjadi teka-teki. Bisa “ada”, bisa “tidak”. Nah, kalau ternyata tak ada yang membantu, bagaimana hayo? “Tenang saying, ada aku di sisimu!” sebuah kalimat menyejukan tiba-tiba terlontar dari pacar alumuniumku yang pada tubuhnya terdapat “andeng-andeng” berwarna merah. Aku tersenyum pada Tongkatku, tapi keteganganku masih mendominasi muka pas-pasanku. Kereta pun telah benar-benar berhenti. Beberapa penumpang bersiap turun dari kereta, begitu pun denganku.

            Aku sempoyongan membawa tas hitam di tangan kiriku. Sementara itu, tangan kananku sibuk bergandengan dengan Tongkatku. Dengan gaya mirip emak-emak beranak 2 yang diusir oleh mertuanya, aku melangkah menyusuri gerbong demi mencari keberadaan pintu keluar. Aku celingukan mirip anak Monyet yang ditimpuk pakai sandal jepit. Aku bingung, tak tahu arah, tak tahu harus terus melangkah atau membelokan setir ke kiri dan kanan. Tapi lubuk hatiku yang paling dalam membisikan sesuatu padaku, “terus jalan aja! Pintunya masih jauh!”. Dengan tampang bloon mirip tokoh “Oneng” dalam sitcom “Bajaj Bajuri” aku terus melangkah mengikuti suara hatiku. Kalau boleh jujur sih, aku tak begitu mempercayai suara itu. Tapi berhubung tak ada suara lain, akhirnya ikut saja lah, yang penting suara itu tak menjerumuskanku ke dalam jurang heheheh. Dalam langkahku mencari pintu keluar, entah mengapa aku ingin sekali menyanyikan lagu “Alamat Palsu”. Nampaknya lagu itu cocok untuk kujadikan soundtrack dalam adegan “mencari pintu” ini. OK, yuk nyanyi…”Kemana…kemana…kemana…kuharus mencari kemana…si pintu kereta tak tahu rimbanya…” belum selesai batinku melantunkan lagu fenomenal itu, tiba-tiba saja Tongkatku nyangkut di salah satu bangku berpenumpang. “Ya ampun, pakai acara nyangkut segala sih! Udah tahu lagi ribet begini!” gerutuku dalam hati sambil menarik Tongkatku. Setelah semuanya kembali normal, kebingunganku kembali dating. Dimana pintu keluar itu ya?? Akhirnya dengan sangat terpaksa tanpa peduli dengan rasa malu, kuberanikan diri melemparkan pertanyaan pada penumpang lain tentang keberadaan si pintu keluar. “Ini pintu keluarnya dimana ya?” kataku dengan suara lantang sambil berdoa dalam hati mudah-mudahan saja ada yang mau menjawab pertanyaanku itu. “Lurus aja, Mbak!” sebuah jawaban akhirnya kuterima dari beberapa penumpang di belakangku yang juga hendak meninggalkan gerbong. OK, lurus saja! Akhirnya aku terus melangkah sesuai arahan dari beberapa orang tadi.

            Arahan dari penumpang lain telah kuikuti, tapi pintu keluar tak kunjung nongol. Karena takut kebablasan, akhirnya kulemparkan pertanyaan untuk yang kedua kalinya. “Ini pintu keluarnya dimana ya?” itulah pertanyaan kurang kreatif yang kulemparkan. Pertanyaan itu masih sama seperti pertanyaanku sebelumnya. “Lurus aja, Mbak!” sebuah jawaban yang sama seperti sebelumnya pun akhirnya kuterima. Rupanya tak hanya aku saja yang kurang kreatif, penumpang lainnya pun rupanya kurang kreatif, dengar saja jawaban yang diberikan padaku hehehe. OK, lurus katanya! Dan lagi-lagi sesuai arahan dari mereka, langkah maju lurus ke depan pun kutunaikan. Sampai akhirnya penglihatanku yang ala kadarnya ini melihat sebuah cahaya terang di sisi kanan. “Apa mungkin itu pintu keluarnya ya?” tanyaku dalam hati. Dan demi mendapatkan jawaban atas pertanyaanku itu, akhirnya kuputuskan saja untuk bertanya kepada penumpang lain. “Ini pintu keluarnya ya? Belok kanan ya?” tanyaku agak lebih kreatif dari pertanyaanku sebelumnya hehehhe. “Iya, belok kanan!” jawab penumpang lainnya serempak. Akhirnya kubelokkan kakiku kea rah kanan. Tapi, tubuhku tiba-tiba mematung. “Gimana caranya turun dengan tas buncit plus Tongkat di kedua tanganku?” tanyaku dalam hati. Ya, aku memang tak langsung melangkah keluar gerbong. Aku tahu lantai gerbong kereta yang kunaiki lebih tinggi dari lantai stasiun. Nah, tentu tak semudah itu aku menuruni kereta ini, apa lagi dengan barang bawaanku. Tapi kurasa aku tak bisa selamanya mematung disini, salah-salah bisa diprotes oleh penumpang lainnya. Akhirnya dengan bersusah payah aku meloncat dari kereta dengan tas hitam kujinjing di tangan kiriku plus Tongkat panjang kujinjing di tangan kananku. Hap! Aku berhasil menginjak lantai stasiun meskipun tubuhku nyaris ambruk. Alhamdulillah tak sampai tersungkur di lantai!

            Kini aku  tak lagi berdekatan dengan si Kaligung Emas yang tadi membawaku. Kini aku telah lolos dari gerbong itu meskipun dengan tubuh yang tadi nyaris ambruk. Dadaku masih berdegup kencang. Aksi melompatku tadi sepertinya masih meninggalkan jejak. Tak hanya dada yang dag-dig-dug, hati ini pun terasa perih. Ya, aku merasa sedikit kecewa dan sedih melihat pemandangan yang baru saja kualami. Kok bisa-bisanya ya tak ada satu pun penumpang atau petugas yang membantuku? Padahal jelas terlihat kalau aku benar-benar kesusahan. Hmm, tapi taka pa lah, yang penting aku selamat. Lebih baik aku berkonsentrasi saja pada langkahku selanjutnya.

            Aku terus berjalan, lagi-lagi tanpa sebuah arah. Kuikuti saja suara-suara yang berseliweran, siapa tahu menemukan batang hidung kedua temanku yaitu Pak Tito dan Pak Walim. Tak-tuk-tak-tuk…kuarahkan Tongkatku ke kiri dan kanan. Lama sudah aku berjalan, tapi pintu keluar tak kunjung kutemui. Ah, lagi-lagi aku harus berusaha menemukan pintu keluar. Kuakui adegan ini benar-benar membuatku puyeng. Mungkin kalau ada yang membantu sih tak jadi masalah, tapi kondisinya tak begitu. Tak ada satu pun penghuni stasiun ini yang membantuku, padahal sedari tadi aku celingukan mirip anak ilang di Mall. Apa tak ada yang tergugah melihatku ya? Kejam!! Kejam!!

            Dengan perasaan kecewa dan bingung yang luar biasa, kucoba mencari bantuan kepada yang lain. Kupasang telingaku baik-baik demi menangkap derap langkah penumpang lain yang mungkin akan menuju pintu keluar. Hap, kudapati derap langkah tak jauh dariku. Buru-buru kuandalkan sisa penglihatanku. Dan berhasil, ada sebuah bayangan bergerak tak jauh dariku. Aku pun berlari kecil menghampiri bayangan itu. Benar-benar merepotkan ya berlari sambil menjinjing tas buncit plus Tongkat. Yup, sambil sempoyongan kukejar bayangan tadi. Aku berusaha mensejajarkan langkahku. Dan hamper berhasil!!
“Permisi…permisi…” kataku dengan nafas ngos-ngosan. Tapi sosok yang kuhadiahi kata “permisi” malah asyik melangkah tanpa mengindahkan keberadaanku yang nyaris pingsan karena mengejarnya.
“Duh, ini orang kok tega banget sih. Jangankan menghentikan langkahnya, menimpali kalimatku saja gak!” gerutuku dalam hati sambil tergopoh-gopoh.
“Permisi, Mas. Pintu keluarnya dimana ya? Aku boleh ikut?” ungkapku dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
“Saya mau ke Ngaliyan” katanya sambil terus melangkah. Jujur satu detik setelah mendengar kalimat makhluk yang tak keliru kuhadiahi sapaan “mas” itu, rasanya aku ingin mengayunkan Tongkatku kea rah kepalanya, bila perlu kulemparkan sekalian sepatu coklatku ke arahnya.
“Eh eh eh…gak boleh gitu kali. Orang gak salah apa-apa kok mau ditimpuk pakai sepatu sih! Dasar cewek beringasan!” di tengah-tengah nafasku yang Senin-Kamis, tas hitam buncitku   sempat-sempatnya mengataiku “cewek beringasan”. Mendengar kalimat sit as yang terdengar kurang merdu di telingaku, aku pun menjadi murka. Akhirnya kuhentikan langkahku, kubiarkan cowok “Ngaliyan” tadi terus melangkah menjauhiku, dan yang terakhir; kuhentakkan tubuh sit as buncit yang sedari tadi kujinjing kea rah lantai. “Aduh…” kudengar tas tak tahu diri itu mengaduh kesakitan. “Rasain loe!” kataku penuh kemenangan.

            Kali ini aku benar-benar murka. Tak hanya murka kepada tas buncit yang mengataiku “cewek beringasan”, tapi sekaligus murka kepada cowok “Ngaliyan” tadi. Tahu kan siapa cowok yang kusapa “cowok Ngaliyan” itu? Itu lho cowok yang tadi kukejar bak seorang fans yang mengejar Justin Bieber di Bandara. Cowok tadi benar-benar tak memiliki rasa belas kasihan plus tak memiliki “otak encer”. Kok bisa gitu? OK, kucoba jelaskan maksud kalimatku. Firstly, jelas-jelas cowok itu melihat cewek dengan sebuah Tongkat plus tas buncit di tangan tengah tergopoh-gopoh mengejarnya. Tapi dia malah asyik dengan langkahnya tanpa mau sedetik pun menghentikannya. Bisa dibayangkan kan betapa teganya cowok itu. Yang lebih membuatku kesal dan kecewa, dia seolah ketakutan dan semakin mempercepat langkahnya. Dia piker aku ini penculik anak di stasiun kali ya?!!? Payah!! Perih hati ini melihat sikap si cowok itu. Cewek secantik aku kok bisa-bisanya dicuekan macam tadi, padahal kuyakin cowok-cowok di luar stasiun sana sedang mengantri demi mendapatkanku *narsis*. “Ya iya lah cowok-cowok di luar sana pada ngantri, secara mereka kan tukang beca, kalau gak ya tukang ojek…” celetuk Mickey Mouse di jilbabku.

            Nah, itu dia alas an di balik kata “tak punya rasa belas kasihan” yang kuhadiahkan pada cowok “Ngaliyan” tadi. OK, sekarang giliran alas an di balik kata “tak punya otak encer”. Secondly, cowok tadi aga kurang nyambung. Coba deh kita flashback ke beberapa menit lalu. Coba diputar ulang adegan saat aku bertanya kepada cowok itu. Bukankah saat itu aku bertanya begini, “Permisi, Mas. Pintu keluarnya dimana ya? Aku boleh ikut?”. Benar begitu kan? OK, sekarang kita coba cek jawaban cowok tadi. “Saya mau ke Ngaliyan”, begitu kalimat yang kutangkap. Nah, nyambung kah jawaban cowok itu dengan pertanyaanku??? Menurut pendapatku selaku cewek yang pernah dua tahun berturut-turut menjabat sebagai “Seksi Kewirausahaan” dalam kepengurusan OSIS ketika SMA dulu, jawaban cowok tadi benar-benar melenceng dan kurang relevan. “Apa hubungannya ya jabatan seksi kewirausahaan sama kasus ini?” Tanya Mickey Mouse dalam hati. Bukankah dalam pertanyaan yang uajukan pada si cowok, sama sekali tak memuat pertanyaan yang membutuhkan jawaban “daerah tujuan” si cowok?? Lantas mengapa dia menyuguhkan daerah “Ngaliyan” dalam jawabannya. Benar-benar tak nyambung! Sayang sekali aku harus memberi nilai “nol” untuk si cowok. Terpaksa dia harus tinggal kelas. Payah tuh cowok!Siapa juga yang ingin ikut ke Ngaliyan bersamanya, aku kan hanya ingin ikut sampai pintu keluar saja. Padahal aku hanya membutuhkan jawaban “Pintu ke luarnya di sebelah sana, Mbak. Mari bareng denganku!” Hanya itu jawaban yang kuinginkan. Hmm, ternyata cowok itu bukanlah Malaikat yang bisa membebaskanku dari cengkraman kabut putih yang berseliweran di stasiun ini.

            Kini aku kembali terjerembab dalam lubang yang begitu dalam yang dipenuhi dengan rasa bingung. Hmm, aku harus mencari pintu keluar seorang diri tanpa ada yang mau membantuku. Kemana para penghuni stasiun ini? Masa iya tak ada satu pun orang yang merasa iba melihat seorang Tunanetra tengah celingukan di stasiun? Apakah tak ada satu pun orang yang merasa penasaran dengan tujuan dari langkah-langkah sempoyonganku?? Oh, I know…mungkin para penghuni stasiun ini sama-sama Tunanetra sepertiku, jadi mereka tak bisa melihat kesulitanku. Ya ya ya…sepertinya kedua mata para penghuni stasiun ini sudah buta. Lebih baik berusaha sendiri saja, kuyakin sisa penglihatanku bisa menangkap aroma segar yang menyembul dari pintu keluar yang belum kuketahui dimana rimbanya. Kemudian kugerakkan kembali Tongkat alumuniumku. Gaya anak Monyet yang kena timpuk pun akhirnya kupasang sebagai theme pada part ini. Dengan air mata yang bercucuran di dalam hatiku, aku terus berusaha menaklukan tantangan dalam petualangan kali ini. Tapi tiba-tiba Handphone-ku memberitahukan sesuatu padaku. Begini katanya, “Mbak Ekka, Pak Tito nelpon tuh. Ayo diangkat dulu!”

            Mendengar kalimat si Handphone, akhirnya kuhentikan langkahku dan meluangkan waktuku sejenak untuk mengangkat telpon dari teman seperjuanganku. “Mbak Ekka dimana?” Tanya Pak Tito. “Ini Ekka lagi nyari pintu keluar, Pak…” jawabku dengan suara lemas. “Oh, bagus kalau gitu. Kita langsung ketemu di pintu keluar aja. Saya dan Pak Walim pakai baju warna merah, Mbak…” kata Pak Tito sambil menyudahi pembicaraan di antara kami.

            Usai menerima telpon dari Pak Tito, aku kembali melanjutkan langkahku. Dan setelah beberapa langkah kubuang, kuputuskan untuk bertanya kepada orang-orang yang suaranya sempat nemplok di telingaku. Aku bergerak mendekati suara yang terdengar menghuni sebuah sudut di stasiun ini. “Permisi…pintu keluarnya dimana ya?” tanyaku pada suara-suara yang didominasi oleh suara kaum hawa itu. “Oh, ini pintu keluarnya, Mbak!” jawab salah seorang dari suara-suara itu. “Oh, makasih ya, Bu…” kataku lalu melangkah pergi.

            Aku menengadahkan kepalaku, aku memicingkan mataku, demi mendapati sebuah pintu keluar yang tadi dikatakan bahwa disinilah pintu keluar yang kucari. Berhasil! Ternyata lantai yang kuinjak ini adalah lantai menuju pintu keluar. Hal itu terbukti dari cahaya terang yang menyembul menerpa ekor mata sebelah kananku. Senyumku terkembang, hatiku merasa menang, dan langkahku bergoyang menuju cahaya terang di ujung sana. “Gak lama lagi Pak Tito dan Pak Walim bakalan nongol di kedua mataku” gumamku dalam hati. Dan sejurus dengan itu, sebuah tangan menggeser tubuhku kea rah kanan. Aku kaget mendapati tubuhku yang digeser  tanpa seijinku. Aku pun celingukan, mencari keberadaan pelaku yang menggeser tubuhku tanpa ijin. Tapi tak kudapati siapa-siapa, bahkan helaan nafasnya pun tak kudengar. “Hmm, mungkin tadi aku nyaris menabrak sesuatu, makanya aku digeser ke kanan…” gumamku sambil celingukan. Kemudian aku kembali melanjutkan langkahku dengan tak lupa mengucapkan kata “terima kasih” pada sosok yang tak kuketahui siapa dan dari mana asalnya itu.

            Kini aku telah benar-benar menghirup udara segar. Cahaya telah benar-benar penuh dalam pandanganku. Kondisi sekelilingku telah benderang. Apakah aku telah lolos dari mulut stasiun yang tampangnya begitu mengerikan itu??
“Becaknya, Mbak??” seorang kaum Adam dengan suara ramah menawarkan Becaknya padaku. Mendengar tawaran itu aku jadi yakin kalau sekarang ini aku telah benar-benar lolos dari mulut stasiun yang tadi sempat menyuguhkan pengalaman mengerikan untukku. Tapi dimana ya keberadaan teman seperjuanganku??
“Mau kemana, Mbak?” Tanya tukang becak tadi untuk yang kedua kalinya.
“Aku lagi nunggu temen, Om. Oiya, lihat dua orang Tunanetra gak, Om?” ungkapku pada si Abang tukang becak.
“Oh, tadi udah pergi, Mbak…”
“Apa?? Gak salah denger nih aku?? Yang bener Pak Tito dan Pak Walim ninggalin aku?” teriakku dalam hati.
“Yang badannya gemuk kan, Mbak?” Tanya si Abang tukang Becak.
“Hmm, mana aku tahu gemuk atau gak. Aku kan gak pernah ngeraba-raba badan kedua temanku” batinku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang memang gatal oleh ketombe hehehhe.
“Hmm, yang…” belum sempat aku menimpali kalimat si Abang, tiba-tiba suara si Abang langsung nyerobot mirip oplet Si Doel anak Betawi asli.
“Temannya laki-laki dan perempuan to’, Mbak?” Tanya si Abang dengan logat jawa-nya.
“Oh, bukan bukan…temenku laki-laki semua, Om. Lihat gak, Om? Mereka pakai baju warna merah, Om…” buru-buru kupatahkan kalimat si Abang. Setahuku Pak Tito dan Pak Walim berjenis kelamin laki-laki, jadi sudah barang tentu orang yang dimaksud si Abang itu bukanlah kedua temanku. Masa iya Pak Walim berubah jadi perempuan hehehehe.
“Oh, kalau yang itu gak ada, Mbak…” kata si Abang. Aku pun mengangguk dan bertahan pada posisiku. Aku berniat untuk menunggu kedua temanku yang kurasa masih terjebak di dalam stasiun.
“Itu Mbak temannya. Pakai baju merah kan?” tak lama setelah perbincanganku dengan si Abang Becak, kedua temanku pun nongol dari arah stasiun.
“Mbak Ekka…” kedua temanku memanggil namaku. Aku pun menyahuti keduanya.
“Ini temannya, Mbak…” kata si Abang tukang becak dengan penuh keramahaan. Aku dan kedua temanku pun bersorak gembira karena akhirnya bisa bertemu setelah terpisah bebrapa jam.

            Setelah tiga kekuatan bersatu, ditambah dengan tiga “Tongkat Sakti” sebagai senjata kami, akhirnya kami pun bersiap bertarung dengan debu-debu nakal yang berseliweran di jalan. Kami pun siap menaklukan “Workshop Kewirausahaan” yang sudah menanti dengan sejuta amunisinya. Kami pasti bisa menaklukkan tantangan itu meskipun kami hanya berasal dari sebuah Kabupaten kecil di tepian provinsi Jawa Tengah!! Ayo semangat!!

            Yes, tokoh narsis bernama Ekka yang ada pada cerita di atas ternyata bisa menaklukan kesendiriannya dan berhasil menjumpai kedua teman seperjuangannya. Ternyata si tokoh narsis itu gak loncat dari kereta hehehehe. Nah, gimana ya kisah selanjutnya?? Apa ketiga jagoan itu berhasil mencapai tempat workshop dengan selamat?? Atau mungkin mereka kesasar ke Gunung Ungaran?? Nah, lebih baik kita simak aja kelanjutan kisahnya. Hmm, tapi kalau pun gak ada yang mau nyimak juga gak apa-apa kok, yang penting tulisanku jangan dibakar ya hehehehe. Kalau ngerasa tulisanku mengganggu, silahkan curahkan unek-unek kalian pada kolom komentar di bawah sana!! Makasih ya buat yang udah nyempetin baca!! Salam Akselerasi!
Dipostkan juga di www.kartunet.com

Part 1: Workhsop-ku Sayang Petualanganku Menantang



            Oiya, sebenernya ceritaku ini udah berlangsung agak lama, tepatnya pada bulan November lalu. Tapi maaf baru sempet aku certain sekarang heheheh. Basi gak ya kira-kira? Ya mudah-mudahan aja gak basi ya. Oiya, sebenernya ada sedikit musibah yang kualami ketika menulis cerita petualangan ini. Beberapa waktu lalu aku udah bikin ceritanya, lumayan panjang deh. Tapi tiba-tiba aja ada sebuah musibah, tulisanku itu kehapus. Aduh, menyebalkan banget. Jujur, karena musibah itu aku jadi males nulis hehehhe. Kecewa berat lah pokoknya. Nah karena itulah akhirnya tulisan itu baru kuselesaikan sekarang, itu pun baru sampai part 1 hehehhe. Gak apa-apa kan ya, gak basi kan? Hehehhe. OK, kalau gitu kita simak aja yuk petualanganku yang terangkum dalam 3 hari tak terlupakan dalam Workshop Kewirausahaan di kota Semarang. Yuk mari…

 Jum’at, 25 November 2011…
            “Sayang, ini aku berikan setangkai mawar ini untukmu. Mawar indah ini hanya cocok jika kuberikan pada sosok yang juga indah sepertimu” kata seorang cowok tinggi yang begitu kukenal meski mukanya mirip layar kaca penuh semut alias tak jelas hehehe. “Iya, saying. Makasih ya” kataku sambil menerima setangkai bunga yang diberikan oleh si cowok yang selama ini kurindukan itu. Situasi yang mengiringi drama antara aku dan cowok itu benar-benar romantis. Di kanan-kiriku terhampar berbagai jenis bunga dengan beraneka ragam warna dan aroma. Selain itu, semilir angin menyapu kulit kami, membelai mesra rambut sebahuku dan berbisik penuh gelora di telingaku. Sementara itu, di salah satu ranting pohon Jengkol tak jauh dari tempatku, ada dua ekor burung nuri yang tengah membawa kamera di tanganya. Mereka sibuk mengabadikan moment-moment indah yang kutunjukkan brsama si cowok yang mukanya tetap blur meskipun dia hanya berjarak beberapa senti dari mukaku. Lengkap sudah drama romantic kali ini. Ah, tunggu dulu, masih ada satu lagi yang terlupa. Sebuah lagu berjudul “I Heart You” milik Boyband “Smash” tak lupa distel sebagai soundtrack drama dua anak manusia yang sedang dimabuk asmara. Sesuai lagunya, hatiku pun cenat-cenut ketika berada di dekat si cowok. Tapi sebuah sentuhan lembut di atas jari-jemariku membuat “cenat-cenut” itu hilang entah kemana. Sentuhan itu seakan meyakinkanku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Aku pun menyambutnya dengan sebuah senyuman. Aku terbang tinggi, melayang bersama cowok pujaanku itu. Tapi lama kelamaan ada sebuah ketidaknyamanan yang kurasakan. Semilir angin yang semula membelaiku penuh rasa, kini berubah menjadi Tornado yang setiap detiknya terasa makin kencang bergemuruh. Kemudian, nasib si Bunga-bunga yang semula semampai di kanan dan kiriku, kini terlihat sempoyongan seperti habis terkena pegal linu dan asam urat. Dan lagu “Cenat-cenut” itu, perlahan menghilang. Yang terdengar sekarang hanyalah sebuah alunan music “Rock” yang merangsek masuk ke dalam lubang telingaku. Dan tahukah kamu siapa Rocker di balik semua itu??? Tak lain dan tak bukan dia adalah Ibuku, si wanita beranak dua yang gagah perkasa hehehe *emangnya Samsons*. “Bangun!! Udah mau jam tiga, buruan bangun!!” begitu kurang lebih nyanyian Rock Ibuku. Ah, drama romantis itu hilang entah kemana gara-gara nyanyian Ibu yang memekakan telinga. Kenapa tiba-tiba si Ibu nongol di tengah-tengah drama yang sedang kupentaskan? Bukannya dramaku itu hanya menyertakan dua tokoh yaitu aku dan si cowok pujaanku, lantas kenapa Ibu nongol??

            Aku mengucek kedua mataku sambil diselingi sebuah aktivitas menguap. Perlahan kuedarkan pandanganku ke  seluruh penjuru. Dimana setting drama itu? Tak ada taman bunga, yang ada hanya tumpukan bantal dan gulungan selimut berbau apek. Where is My Prince?? Alamak, kenapa yang nongol justru tubuh besar Ibuku?? “Ayo Bangun!! Jangan molor terus!!” teriakan Ibu tiba-tiba disemprotkan padaku yang sejatinya masih belum “hidup” seutuhnya. Sejenak aku mengaduk-aduk pringan hitam dalam otakku, mencari file yang terekam beberapa saat lalu sebelum si Ibu nongol di hadapanku. “My Prince…My Prince…My Prince…” kataku dalam hati, berharap rekaman peristiwa beberapa saat lalu kembali terputar hanya dengan menyebut kata “My Prince” berulang kali. Ah, berhasil!! Jurus mengulang kata “My Prince” yang kulakukan tadi ternyata membuahkan hasil. Aku mengingat drama romantis itu. Semuanya kembali tersaji dalam ingatanku. Tapi saying sungguh saying, drama romantis itu ternyata hanya sebuah mimpi di pagi buta. Ya, semua itu hanya mimpi, lagi-lagi mimpi. Oh My Prince, you’re still in My dream. Kupikir aku telah benar-benar bertatap muka dengan My Prince.

            Aku menghela nafas panjang. Belum sempat nafasku sampai ke ubun-ubun, tiba-tiba sebuah teriakan kembali menghentak, memutuskan nafasku dan memotongnya pas di tenggorokkan. Aku tersentak, dadaku sesak. Buru-buru kutegakkan tubuhku dan membiarkan serpihan-serpihan ingatan tentang mimpi indah bersama My Prince tertinggal di atas bantal, melekat dengan cairan berbau yang sempat kukeluarkan dari mulutku saat tertidur selama kurang lebih lima jam itu hehehehe. Melihat anak gadisnya yang Nampak cantik dengan piyama ungu plus rambut mobat-mabit bak sampah di kali Ciliwung telah tegak di hadapannya, ia pun akhirnya menghentikan nyanyian Rock-nya. Bagus…bagus…bagus…begitu baru bagus!! Kasihan kan ayam tetangga pada mati gara-gara teriakan Ibuku hehehehe. “Kamu mau berangkat jam berapa? Ini udah mau jam tiga” kata Ibu dengan suara yang tak meledak-ledak lagi. “Hmm, apa tadi Ibu bilang?? Berangkat?? Berangkat kemana??” tanyaku dalam hati sambil kedap-kedip. “Ngapain kedap-kedip, Ka? Lagi godain Pak Hansip di pos ronda ya?” Tanya sebuah guling yang kuhimpit dengan kedua kakiku. “Bukan lagi godain Pak Hansip, tapi lagi ngeluarin kotoran di mataku hehehe. Mau?? Gratis deh buat kamu…” jawabku sambil nyengir. “Ogah!! Dasar cewek jorok!!” teriak si Guling. “Biarpun jorok yang penting manis hahahah” kataku penuh kenarsisan. Ya, hari gini gak narsis ya gak hidup, betul kan? *Teori dari mana tuh? Hahaha*. Back to the question!!! Ada yang tahu jawaban di balik kata “berangkat” itu? “Keretamu berangkat jam berapa, hah? Pak Tito nyuruh kamu berangkat jam berapa? Kamu mau naik Kaligung yang jam berapa?” suara Ibu tiba-tiba menyembul di antara Tanya yang kulontarkan pada seisi penghuni kamar. Selain memangku jabatan sebagai seorang Ibu dari dua orang putra-putri, Ibuku sepertinya merangkap juga sebagai seorang cenayang. Buktinya dia bisa melontarkan jawaban dari pertanyaan yang kulontarkan dalam hati. Si Ibu rupanya memiliki bakat terpendam sebagai seorang cenayang, dia bisa tahu apa-apa yang sebenarnya tak bisa diketahui oleh nalar manusia hehehe *Lebay…ngomong apa kau ini, Ka?*. OK, kembali ke track!! Aku tersentak mendengar serentetan kalimat yang dilontarkan Ibu. Kesadaranku akhirnya pulih setelah mendengar kata “Kereta” dan “Kalligung” plus sebuah nama yang taka sing lagi di jagat perpijatan Kabupaten Brebes yaitu nama “Tito”. Aku familiar betul dengan ketiga clue itu. Kalau dijadikan satu, ketiga clue itu membentuk sebuah kesimpulan, yaitu “Workshop”. Ya, Workshop Kewirausahaan, itulah alas an dibalik teriakan Ibu plus kesimpulan di balik ketiga clue itu. Hari ini aku memang berencana bertolak ke Semarang untuk mengikuti Workshop Kewirausahaan. Dan menurut perintah dari Pak Tito selaku ketua Pertuni Brebes, aku dimandatkan untuk meluncur ke stasiun Kabupaten Brebes pada pukul 3 pagi. Wah, pagi sekali ya. Tapi memang harus begitu, sebab si Kaligung akan meluncur ke Semarang pagi-pagi benar.

            Akhirnya aku langsung meloncat dari tempat tidur. Hap hap hap…terus meloncat melewati lemari dua pintu, melewati sebuah meja berisi tetek bengek kewanitaan, plus melewati sebuah pintu kamar yang sudah terbuka. Aku ngebut ke kamar mandi. Tentu semua itu demi efisiensi waktuku pagi ini agar tak telat dating ke Stasiun. Dan sesampainya di kamar mandi, tubuhku gemetaran. Tanganku rasanya tak sanggup menyentuh air yang menghuni kolam di kamar mandi miniku ini. Tubuhku masih gemetaran, bibirku pun tak kalah keras bergetar. Udara pagi ini memang sangat dingin. Ah, tapi mau sampai kapan ya aku brdiri di samping kolam?? “Ayo Eka ayo Eka, kamu pasti bisa!! Ayo sentuhkan tanganmu pada air itu!! Ayo ayo ayo!” teriak botol shampoo, pasta gigi dan sikat gigi. Mereka bertepuk tangan sambil berteriak, mirip supporter Indonesia saat menonton para Atlet Indonesia berlaga di ajang Sea Games beberapa waktu lalu. Mendengar support dari para fans-ku itu, semangatku jdi memuncak. Akhirnya aku langsung menceburkan tanganku ke dalam kolam, menciduk air dengan gayung berwarna merah, kemudian mengguyurkannya pada tubuh jangkungku. Kecipak…kecipuk…kecipak…kecipuk…gemericik air yang beradu dengan lantai kamar mandi terdengar istimewa di pagi yang masih sangat buta ini.  Rasa dingin sebenarnya menusuk tulangku tapi semua itu harus bisa kutahan demi binasanya bau yang menempel di tubuhku. Maklum saja, aku akan berkencan dengan si Tongkat, jadi harus wangi dong heheheh.

            Sebuah medali emas telah kuraih setelah berhasil mengalahkan rasa dingin di kamar mandi beberapa saat lalu. Kini aku tengah mematut di hadapan cermin dengan sebuah medali tergantung di leherku. Sebuah baju berwarna abu-abu yang cicilan kreditnya baru saja lunas sebulan yang lalu plus sebuah jeans berwarna abu-abu pula, telah menempel di tubuhku. Aku sebenarnya kurang PD dengan baju ini. Jujur, aku baru dua kali ini memakai baju ini meskipun baju ini telah lama kumiliki. Selama ini baju berlengan panjang ini hanya menghuni lemari pakaianku. Nah, kenapa sekarang aku mau memakai baju ini?? Alasannya Cuma satu, yaitu “paksaan dari Ibu”. Ya, itu dia alasanku memakai baju ini. Kalau bukan karena paksaan dari Ibu, mungkin sekarang ini si baju abu-abu ini  masih menjomblo di lemari pakaianku. Menurut beberapa pendapat orang, aku keliatan OK menggunakan baju ini. Hehehehe…GR nih. Tapi tetap saja aku kurang PD. Aku merasa seperti emak-emak beranak tiga hehehe. “Norak!!! Gak tau mode!! Anak muda di luar sana banyak yang pada pake baju itu, nah kamu sendiri malah gak mau. Dasar anak norak!!” begitulah teriakan si Ibu ketika diriku menunjukkan penolakan terhadap baju abu-abu itu. Hmm, kalau dipikir-pikir yang norak itu aku atau Ibuku ya?? “Kamu yang norak, Eka. Kamu cocok kok pakai baju itu. Terlihat anggun dan matang. Apa lagi kalau jilbabmu sudah kau pasang, bweh pasti mantap semantap buah Durian” sebuah cermin yang berdiri di hadapanku tiba-tiba angkat bicara mengomentari penampilanku pagi ini. Biasanya sebuah cermin tak pernah bohong, betul tidak? Nah, kalau si cermin melontarkan pujian padaku, itu tandanya aku memang layak dipuji hehehe *narsis banget*. OK lah, PD aja!! Sip, biarkan baju ini menemaniku berpetualang bersama si Tongkat hari ini. Dan setelah siap dengan busana, kini tiba saatnya untuk menyantap sarapan. Sedari kemarin aku memang hanya menyantap sepiring nasi goring, setelah itu tak ada lagi yang kusantap. Wajar saja kalau sekarang aku minta dibuatkan sarapan oleh Ibu. Selain itu, perjalanan yang akan kutempuh terhitung panjang, jadi aku memerlukan energy lebih dan sarapan tentulah bagus untuk menambah energiku. Tara…sepiring nasi plus Sarden hangat kini siap kusantap. Yuk, mari makan!!! Sementara aku asyik dengan makananku, di sudut lain rumahku, teriakan Ibu kembali menggema. Kali ini Bapak lah yang menjadi sasaran. Ibu terdengar sibuk membangunkan Bapak yang sebetulnya baru dua jam tertidur. Sebenarnya aku merasa kasihan pada Bapak, dia pasti kelelahan, tapi apa boleh buat, kalau bukan Bapak yang mengantarku lalu siapa lagi?!?

            Kreteeeekkkk…pintu gerbang dibuka oleh Ibu. Sementara itu, aku dan Bapak telah siap di atas sepeda motor pinjaman. Ya, aku memang tak memiliki sepeda motor, jadi sepeda motor milik sepupuku lah yang kupinjam. Perlahan roda sepeda motor yang kutumpangi pun berputar melewati pintu gerbang tua yang telah menganga. Aku melambai pada Ibu setelah ssebelumnya mencium tangannya. Angin pagi yang masih perkasa dengan kekuatan sang malam nakal menggerogoti tubuhku yang sebenarnya telah dilindungi oleh sebuah sweater berwarna hitam. Muka, telapak tangan, dan kaki terasa membeku. Aku kedinginan plus ketakutan. Kok bisa? “Kamu ngelihat kuntilanak ya, Ka?” Tanya Bintang-bintang kecil berwarna-warni yang melingkar manis di pergelangan tanganku. “Kuntilanak dari Hongkong!! Gimana bisa ngelihat Kuntilanak, ngeliat muka sendiri aja kesusahan” jawabku sambil menahan dingin. Rasa takutku muncul karena udara dingin ini. Aku takut Rematikku kambuh, aku takut alergiku kambuh, dan aku takut perutku kembung. “Manja banget!!” kata Helm putih yang menempel di kepala Bapak. Bukan manja, tapi memang begitu. Kalau terkena udara dingin pasti Rematikku kambuh. Selain itu, alergi yang kuderita pasti akan menghadiahiku tat arias “bentol-bentol” plus gatal-gatal di sekujur tubuh tatkala dingin membelaiku. Dan ada satu lagi, perut buncitku. Ya, perut ini kerap rewel tiap kali desir angin bercampur dingin menyapa tubuhku. Benar-benar merepotkan!! Nah, atas dasar itulah sekarang ini aku ketakutan. Tentu aku tak ingin mukaku yang sudah kinclong macam kaca mobil Pak SBY ini berubah bengkak oleh alergi yang kumiliki. Oiya, tahukah kamu sesuatu yang special di dalam tas miniku? Tentulah yang special itu bukan sebuah mesin cuci apa lagi seperangkat computer heheheh. Yang special di dalam tasku adalah beberapa bungkus “Tolak Angin Cir”. “Hush hush hush…jangan nyebutin merk disini dong! Promosi tuh namanya” teriak Mickey Mouse berwarna coklat yang sedang nongkrong di jilbab putihku. “Ups, maaf keceplosan! OK, kalo gitu disensor aja ya” kataku sambil nyengir. Ya, beberapa bungkus “Teeetttt” *disensor* sengaja kubawa untuk mengantisipasi kerewalan perutku. Dari pada di Semarang nanti aku tergeletak tak berdaya akibat perut kembung, lebih baik sedia paying sebelum hujan alias sedia obat sebelum kembung itu dating.

            Deru angin yang bercampur dengan deru knalpot kendaraan yang berlari di jalan pantura, keras menghantam tubuhku dan tubuh Bapak. Dingin masih merajai sekujur tubuhku. Dan kini tak hanya rasa dingin dan takut saja yang bergejolak di dadaku, tapi ada sebuah perasaan baru yang tergambar dari muka bulatku. “Cemas”…itulah perasaan baru yang hadir menemani dua rasa sebelumnya. Perasaan cemasku hadir seiring pagi yang mulai melek. Ya, binasanya kebutaan sang pagi tentulah akan berdampak pada kereta Kaligung yang akan membawaku berpetualang ke Semarang. Aku cemas si Kaligung akan kabur tunggang langgang ketika sang pagi tak lagi buta. Dan kalau si Kaligung sudah tancap gas, lalu bagaimana nasibku? Aku sadar bahwa Bapakku mengemudikan sepeda motor tak seperti biasanya. Kalau biasanya dia mengemudikan Speda Motor dengan gaya Pedrosa, tapi yang Nampak sekarang malah gaya kura-kura naik motor. Pelan, meski tak sepelan Ibuku ketika berkendara. Oh ternyata lubang-lubang yang menganga di sepanjang jalan lah yang membuat Bapak meninggalkan gaya Bang Pedrosa. OK lah, it’s good but It’s not a good choice!! Kalau melaju dengan kecepatan seperti ini, sudah bisa dipastikan diriku tak akan menjumpai tubuh panjang si Kaligung. Hmm, lebih baik berdoa saja, mudah-mudahan si Kaligung tak buru-buru kabur meskipun sang pagi mulai menanggalkan kebutaannya.

            Cekiittt…Bapak menghentikan laju Speda Motornya tepat di sebuah tempat yang sudah bisa kutebak tempat apa ini. Stasiun, kurasa itulah nama tempat yang terasa sepi ini. Meskipun kedua mata bulatku yang bersembunyi di balik kacamata berlensa bening ini tak mampu menangkap setiap lekuk tempat yang sedang kuinjak ini, tapi suara khas petugas Stasiun yang mengalun pada pengeras suara yang terpasang di setiap sudut Stasiun cukup membuatku yakin bahwa tempat ini adalah Stasiun. Akhirnya sampai juga!! “Mau ke Semarang ya, Pak?” tiba-tiba ada seberkas suara yang menyembul di sisi kananku. Buru-buru aku menoleh kea rah sumber suara. Tak kudapati apa-apa disana, yang kudapati justru kalimat lanjutan dari kalimat sebelumnya. “Keretanya baru aja berangkat, Pak!” lanjut orang asing itu tanpa memberi kesempatan pada Bapak untuk menimpali kalimatnya. “Ini orang kok bisa tahu ya kalau aku mau ke Semarang?! Apa di punggungku ada sebuah tulisan yang berbunyi ‘aku mau ke Semarang’ ? hehehe” kataku dalam hati. “Gak usah ketawa, Eka. Lebih baik urusi aja nasibmu! Kamu ketinggalan kereta lho” ledek Helm putih yang menempel di kepala Bapak. OK, mari pasang muka cemas plus ketakutan, kata Pak Sutradara ekspresinya harus bgitu!! “Oh, keretanya udah berangkat ya. Udah lama, Pak?” kata Bapak kepada orang asing tadi. “Belum lama kok, Pak. Baru aja jalan. Coba dikejar aja ke Tegal!” kata si orang asing memberi saran. “Kalau gitu ke Tegal aja, Pak!” kataku pada Bapak dengan muka cemas, mirip seorang nenek yang sedang menanti kelahiran cucunya. “Coba ditelpon dulu temennya, Nok!” kata Bapak menyuruhku menelpon Pak Tito yang tak kujumpai batang hidungnya di tempat ini. “Bapak ada dimana? Eka ada di stasiun, Pak. Tapi keretanya udah berangkat…” kataku pada lelaki yang ada di ujung telpon sana. “Saya udah di kereta sama Pak Walim, Mbak. Coba Mbak Eka ke Tegal aja, siapa tahu keretanya kekejar” kata Pak Tito yang suaranya tak begitu jelas tertutup gemuruh kereta yang ditumpanginya. “Ya udah Eka kesitu ya, Pak. Biar Eka berangkat ke Semarang sendirian aja. Nanti kita ketemu di Poncol aja ya, Pak” tegasku pada Pak Tito. Dan pembicaraan pun berakhir seiring pulsaku yang ludes sebesar Rp 1000,-. “Ayo Pak, kita ke Tegal aja!” kataku pada Bapak. Kemudian kami pun beranjak pergi meninggalkan stasiun Kabupaten Brebes yang  Nampak lengang setelah sebelumnya berpamitan pada orang asing yang kutemui tadi. Kecemasanku ternyata terbukti. Si Kaligung membawa kabur kedua teman seperjuanganku yaitu Pak Tito dan Pak Walim dan meninggalkan gadis semanis diriku seorang diri *narsis*. Kalau sudah begini, terpaksa aku terbang ke Semarang sorang diri. Aku bisa bilang begitu sebab aku bisa memprediksi bahwa kereta yang ditumpangi dua teman seperjuanganku tak akan mampu kukejar. Kami akan terpisah. Bagaimana nasibku kelak ya? Atau aku pulang lagi saja? Ah, jangan Eka! Kalau aku pulang, sosok yang ada dalam mimpiku malam tadi tak akan kujumpai. Ayo semangat Eka!

            Kini aku dan Bapak telah sampai di kota yang penuh kenangan setelah menmpuh perjalanan kurang lebih 20 menit. Tegal Keminclong Muncer Kotane, itulah jargon yang didengungkan oleh kota yang Stasiun Kereta Apinya sedang kuinjak ini. Sepeda Motor pun telah diparkir dan tas hitam buncitku pun sudah diturunkan. Kini saatnya melangkah masuk ked alam Stasiun. “Pak…” kataku pada Bapak ketika pluit tanda dimulainya langkah ditiupkan oleh sang waktu. Lelaki pensiunan yang tadi memboncengku sepertinya lupa kalau anak pertamanya adalah seorang Tunanetra. Dia melengggang begitu saja tanpa menggandeng anak gadisnya ini. Akhirnya setelah kata “Pak” aku hadiahkan padanya, ia pun mengaitkan tanganku pada lengannya. Aku melangkah mengikuti derapnya. Jujur, ada rasa canggung yang merambat di sekujur tubuhku. Rasa canggung ini sepertinya lebih besar dari rasa canggungku ketika harus berpegangan tangan dengan seorang cowok saat mementaskan drama “Cinderella” sewaktu SMA dulu heheheh. Memang aneh, terhadap Bapak sendiri kok canggung. Tapi itulah aku. Bisa dibilang sikapku pada Bapak lebih mirip seorang murid terhadap gurunya dari pada seorang anak pada Bapaknya. Aku pun tak tahu mengapa sikapku jadi kaku padanya, padahal sewaktu kecil sampai SD aku tak pernah absen mendapatkan pelukan dan ciuman dari lelaki yang di lututnya terdapat bekas operasi akibat tersenggol timah panas itu. Tiap kali Bapak pulang kerja, dia selalu menggendongku dan menghadiahiku berjuta mimpi indah. Tapi entah mengapa sekarang tak Nampak lagi aksi-aksi semacam itu. Untuk sekedar bertegur sapa pun sangat jarang kami lakukan, padahal kami tinggal di satu atap. Mungkin semua itu karena sekarang usiaku telah bertambah, sudah 20 tahun, jadi sepertinya tak pantas lagi kalau Bapak menggendongku hehehe. Bisa jadi tubuhnya ambruk saat menggendongku.
            “Mau yang Eksekutif atau yang Bisnis, Pak? Tanya seorang petugas penjual Tiket yang sosoknya tak Nampak di pelupuk mataku. “Mau yang Eksekutif atau yang Bisnis, Nok?” Tanya Bapak padaku. “emangnya yang Bisnis masih ada ya, Pak?” aku malah berbalik Tanya pada Bapak. “Masih ada, Mbak. Kereta Bisnis nyambung sama Eksekutif…” bukannya Bapak yang menjawab, tapi malah si petugas yang berada di balik loket lah yang menjawab. Akhirnya kupesan kereta Bisnis. Maklum lah, uangnya pas-pasan hehehe. Intermezzo sebentar ya, kemarin tapatnya pada tanggal 24 November, aku bergerilya dari satu rumah ke rumah lainnya. Bukan untuk meminta sumbangan, tapi untuk meminjam uang hehehe. Ya, untuk memperoleh perbekalan guna melanglang buana ke Semarang, aku harus meminta pinjaman pada saudara-saudaraku, dan kali ini kulakukan seorang diri tanpa campur tangan Bapak atau Ibu. Kok bisa sih? Memangnya tak ada dana dari Pertuni ya? Kebetulan kas Pertuni Brebes sedang cekak jadi aku dan dua orang lainnya yaitu Pak Tito dan Pak Walim terpaksa harus merogoh kocek pribadi untuk mengikuti Workhsop Kiwarusahaan itu. Ya sudah, akhirnya aku montang-manting kesana-kemari demi mendapat suntikan dana hehehe.

            Sebuah tiket perjalanan pun telah berada di genggamanku. Dan pacar alumuniumku pun tak lagi menghuni tas buncitku. Dia telah kukeluarkan dari persembunyiaannya. Kini aku terduduk manis di atas sebuah kursi sambil memangku tongkat alumuniumku. Aku menyandarkan tubuhku pada kursi yang sedang kududuki. Aku menghela nafas panjang. Perlahan kuusap keningku meski disana tak ada sebutir pun keringat. Kemudian, kubuka tas miniku, kuaduk-aduk isi tas itu demi mendapati sebutir permen yang telah kubawa dari rumah. Setelah melucuti pakaian si permen, tanpa ragu kumasukkan permen itu ke dalam mulutku. Aku menggoyang lidahku, merasakan setiap sensasi yang diciptakan oleh permen dengan rasa mint itu. Seiring dengan sensasi si permen yang mulai menjangkit sekujur tubuhku, moment-moment kurang mengenakan yang  sempat kualami saat di stasiun tadi pun mencuat dalam benakku. “Aku ketinggalan kereta, ketinggalan temen, dan harus pergi ke Semarang sendirian” batinku sambil mengamati serentetan adegan yang terjadi menimpaku sebelum akhirnya aku terduduk disini. Aku mengucek-ucek bungkus permen yang masih menghuni tanganku. Dari sorot mataku Nampak sebuah rasa kesal yang teramat sangat. Ya, aku memang sedang kesal pada nasib malang yang menimpaku. Seandainya tadi pagi Ibu tak terlambat membangunkanku, seandainya jalan pantura yang kulalui tak dipenuhi oleh lubang-lubang menganga, seandainya aku tak tertahan oleh para pelaku kehidupan di Pasar tak jauh dari Stasiun Kabupaten Brebes, pastilah aku tak akan ditinggal pergi oleh Kaligung yang ditumpangi oleh teman seperjuanganku yaitu Pak Tito dan Pak Walim. “Sudahlah Ekka, tak usah diratapi. Yang penting kamu bisa tetep berangkat ke Semarang. Kamu pasti bisa!” kata pacar alumuniumku. “Ya, aku pasti bisa! Aku kan bukan penakut. Lagi pula aku kan ditemani pacar alumuniumku, jadi buat apa takut!” kataku menyemangati diri sendiri.

            Jujur, ada sedikit ketakutan yang kurasakan saat ini. Bayangkan saja, beberapa saat lagi aku akan melangkah ke kota Semarang seorang diri. Bagaimana nasibku di kereta kelak, lalu bagaimana nasibku saat turun dari kereta kelak? Tapi semua perasaan takut itu langsung kusingkirkan ketika baying-bayang “Workshop” dan “Pangeran Impianku” berseliweran dalam benakku. Semua ini pasti bisa kutaklukan semudah aku menaklukan petualangan-petualangan lainnya. Ya, kurasa petualangan kali ini akan lebih mudah dari petualangan si kelinci imut “Tinny Toon” ketika berada pada level gua es dalam permainan “SEGA”. “Hayoo, pada inget jenis permainan itu gak? Itu lho game jaman dulu hehehhe” tanyaku. “Aku tahunya permainan congklak, Ka…” jawab tas miniku.

            Setelah rasa takut bisa kusingkirkan, kini aku menyibukkan diri untuk mengamati setiap jeeritan alat transportasi massa bernama “Kereta”  yang Nampak heboh berlarian di atas track-nya. Sembari mendengar jeritan kereta-kereta itu, daun telingaku pun kupasang untuk menangkap informasi yang mengalun dari pengeras suara yang terpasang di setiap sudut stasiun. Tentu semua itu kulakukan demi mengetahui apakah kereta yang kunanti telah tiba atau justru terlambat dating. “Bagi penumpang Kaligung Emas jurusan Semarang, mohon bersabar sebentar karena Kaligung Emas sedang mengalami trouble. Mohon maaf atas ketidak-nyamanan ini. Terimakasih…” sebuah pengumuman tiba-tiba meluncur dari pengeras suara yang sedari tadi kuperhatikan. Seiring dengan meluncurnya pengumuman itu, beberapa orang pun terdengar bersorak penuh kesal. Kuyakin orang-orang itu adalah para penggemar si Kaligung yang merasa kecewa karena tak bisa segera bertemu si Kaligung. Tak jauh beda dengan mereka, aku yang juga tengah menanti kedatangan si Kaligung, turut melemparkan rasa kecewaku. Tapi ekspresi kecewaku tak kutunjukan dengan sorak-sorai apa lagi dengan mengobrak-abrik stasiun, melainkan cukup dengan menendang tas buncit berwarna hitam yang berdiri tak jauh dari kakiku. Aku sadar perbuatanku itu adalah perbuatan biadab karena telah menyakiti benda tak berdosa, tapi apa boleh buat. Sebenarnya aku ingin menendang bola tapi di stasiun ini tak ada bola jadi kutendang saja tas buncitku heheheh. Semua aksiku itu semata-mata karena ingin mengobati rasa kecewaku dan sebagai penebus rasa jenuhku karena sudah menanti si Kaligung sejak tadi. Kemudian, di tengah-tengah rasa kecewaku, kudapati Handphone-ku menjerit. Buru-buru kurogoh tas miniku demi mengetahui apa yang telah menimpa Hanphone jomblowati itu. Ternyata jeritan si Handphone bukan karena tubuhnya terjepit rongsokan di dalam tas miniku, melainkan karena ada sebuah SMS yang mampir padanya. Senyumku tiba-tiba saja terkembang, melunturkan rasa kecewa yang semula mendominasi muka bulatku. Senyumku tambah lebar dan memaksa lubang di pipi sebelah kananku menyembul di antara padatnya lemak di pipiku ketika kudengar isi dari SMs itu. Seketika saja stasiun yang sedang kuinjak ini berubah menjadi taman bunga yang dipenuhi warna-warni kembang. Jeritan kereta-kereta yang berlalu-lalang seketika berubah menjadi gemericik anak sungai yang menyejukkan jiwa. Sementara itu, teriakan para pedagang asongan, terdengar merdu bak kicau burung gereja di ranting pohon. “Siapa yang mengirim SMS itu?” Tanya pacar alumuniumku. Bukannya menjawab, aku malah geleng-geleng sambil melempar senyum padanya. Kurasa dia kesal padaku dan penasaran juga tentunya. Bagaimana dengan kalian? Penasaran kah? Hmm, kurasa biar aku saja yang tahu siapa pengirim SMS tadi. Dan, akhirnya sebuah SMs balasan pun kukirim pada si sosok rahasia itu hehehe.

            Ngung jegjeg ngung jegjeg…sebuah kereta berlari perlahan menuju kea rah stasiun sambil berkata, “I’m coming…Let’s go to Semarang!!”. Mendengar kalimat si kereta, aku jadi gelisah. Apa mungkin kereta itu adalah si Kaligung? Kalau memang benar, itu artinya aku akan segera dibawa pergi oleh kereta itu. Ah, tapi dimana Bapakku?? Benarkah dia si Kaligung? Demi menjawab semua pertanyaanku, akhirnya kuputuskan untuk bertanya pada siapa saja yang bisa menjawab, tak terkecuali Pak Albert Einstein *ngawur!*. Aku mengarahkan tubuhku ke sisi kanan. Dari aura yang kurasakan, sepertinya di sisi kananku ada seseorang yang tengah duduk. Baiklah, mari kita coba Tanya padanya tentang si kereta yang baru dating tadi. “Permisi, mau kemana ya?” tanyaku tanpa menyematkan kata sapaan seperti “Pak”, “Bu”, “Mbak”, “Mas” apa lagi “Brother”. Maklum saja, aku memang tak mengetahui jenis kelamin seseorang yang sedang kutanyai. “Iya, aku mau ke Semarang. Kalau Mbak mau kemana?” kata orang yang tadi kutanyai dengan penuh keramahan. Ah, aku baru tahu, ternyata dia seorang perempuan muda. “Oh, Mbak mau ke Semarang juga ya, sama dong. Oiya, itu keretanya ya Mbak?” tanyaku sambil melempar senyum. “Iya, itu keretanya…” jawabnya lagi-lagi dengan penuh keramahan. “Kalau gitu naik sekarang ya, Mbak? Mbak naik yang Eksekutive atau yang Bisnis ya? Nanti aku boleh bareng kan, Mbak?” ungkapku sambil melempar Tanya padanya. “Naiknya nanti aja, masih lama kok. Aku naik yang Eksekutive. Iya, nanti kita naik bareng” jawabnya. “Oh, kita beda gerbong. Kalau aku yang Bisnis,” kataku dengan sedikit kecewa. “Gak apa-apa kok. Nanti aku bantu…” perempuan muda itu menawarkan bantuannya padaku. Mendengar kalimatnya itu hatiku sedikit lega. “Mau naik kapan, Mbak?” tanyaku pada perempuan muda di sebelahku setelah kami terdiam kurang lebih 15 menit. “Hmm, nunggu Bapaknya dulu aja. Emang tadi Bapaknya kemana, Mbak?” kata perempuan muda itu sambil berbalik Tanya padaku. “Bapak lagi di Musholla, Mbak. Gak usah nunggu Bapak kalau emang kita harus naik sekarang, Mbak” jawabku sambil menaarik tas hitamku. “Emangnya Bapak gak ikut ke Semarang, Mbak?” tanyanya lagi. Aku menggeleng padanya. “Ya udah kalau gitu kita naik sekarang…” ajaknya sambil memegang lenganku. Aku pun akhirnya bangkit lalu melangkah mengikuti si perempuan muda yang tubuhnya beraroma bunga itu. Sambil menjinjing tas hitamku, aku berusaha melangkah dengan sebaik-baiknya agar tak mengecawakan perempuan muda yang telah begitu perhatian membimbingku berjalan. Dan, tiba-tiba saja langkah kami terhenti. “Tunggu sebentar ya!” kata perempuan itu sambil menyentuh jemariku. Aku pun mengangguk sambil tersenyum. Tepat setelah sebuah senyuman kulemparkan padanya, suara merdu perempuan yang baru kukenal itu tak lagi terdengar di telingaku.

            Tak sampai lima menit aku ditinggalkan oleh perempuan muda tadi, kini suaranya telah kembali mengalun di telingaku, tapi kali ini ada suara baru yang menyembul. Suara lelaki siapa itu? “Mbak, aku minta maaf ya gak bisa nganter sampai ke gerbong Mbak. Ini ada petugas yang bisa nganter Mbak sampai ke tempat duduk Mbak. Gak apa-apa kan, Mbak? Maafin aku ya, Mbak…” kata perempuan muda tadi sambil meminta maaf padaku. Tangannya tak lupa ia sentuhkan pada jemariku ketika melontarkan kalimatnya. “Oh, iya gak apa-apa kok, Mbak. Aku yang seharusnya minta maaf soalnya udah ngerepotin Mbak” kataku pada si perempuan muda. “Gak ngerepotin kok, Mbak. Ya udah kalau gitu Mbak sama petugas ini ya” katanya. “Tolong dianter ya, Mas!” lanjut perempuan muda itu, tapi kali ini ia hadiahkan kalimatnya itu kepada petugas stasiun yang hendak mengantarku. Akhirnya aku dan perempuan itu benar-benar berpisah. Kini aku tak lagi dibimbing oleh perempuan ramah yang baru kutemui pagi ini. Yang kali ini membimbingku adalah Mas petugas stasiun yang tadi dimintai tolong oleh si Mbak. Kugerakan tongkatku. Aku terlihat ringan berjalan. Tentu saja, sebab tangan kiriku tak lagi menjinjing tas hitam buncit yang kubawa dari rumah. Sang petugas rupanya menawarkan bantuan padaku dengan membawakan tas buncitku. Wah, lumayan mengirit tenaga heheheh. Langkah demi langkah kubuang demi mencapai gerbong yang kutuju. Tapi tiba-tiba saja ada yang menarik lenganku dari arah belakang, persis di film-film India. Aku pun menoleh kea rah si penarik lengan dengan gaya slow motion, pokoknya persis di film-film India. Bedanya, yang kukibaskan bukanlah rambut hitam menjuntai, melainkan sebuah jilbab berwarna putih dengan motif bunga berwarna biru hehehhe. “Maaf, Mas. Ini anak saya…” mendengar kalimat itu aku langsung sadar bahwa yang menarik lenganku bukanlah Sharur Khan apa lagi Amitha Bachan, melainkan Bapakku sendiri hehehe. Ternyata Bapakku telah kembali dari Musholla. Akhirnya aku dibimbing oleh dua orang kaum Adam yaitu petugas stasiun dan Bapakku.

            Akhirnya sampai juga aku di atas stasiun. Aku disuruh duduk di sebuah kursi yang di-desain untuk dua orang penumpang. Tanpa ragu aku pun langsung menghuni sebuah tempat duduk tepat di samping jendela. “Makasih ya, Mas…” ungkapku pada sang petugas stasiun. “Iya Mbak, sama-sama. Ati-ati ya…” kata sang petugas stasiun itu. “Setelah mengucapkan terimakasih pada sang petugas, kini giliran Bapakku yang kuhadiahi ucapan terima kasih sambil mencium tangannya. “Nanti kamu turunnya gimana, Nok?” Tanya Bapak sebelum melangkah pergi meninggalkanku. “Tenang Pak, banyak yang bantu Eka kok…” kataku sambil melempar senyum agar Bapakku itu merasa  tenang melepasku pergi seorang diri. “Ya udah, ati-ati ya, Nok!” kata Bapak dengan tak lupa menyertakan kata “Nok”  sebagai julukan saying untukku. “Iya, Pak…” kataku sekaligus menutup dialog di antara aku dan Bapak. Kini tinggalah aku seorang diri di atas kereta tanpa orang-orang yang kukenal. Aku melemparkan pandanganku ke luar jendela. Disana yang kudapati hanyalah kabut putih. “Aku pasti bisa menaklukan petualangan ini!” kataku dalam hati. Tak lama kemudian kereta pun melangkah perlahan meninggalkan stasiun kota Tegal.

            Finish untuk Part 1. Nanti dilanjut di part selanjutnya ya. Kita lihat apakah aku bisa menaklukan petualangan ini atau aku akan kalah dan menyerah?!!? Mohon ditunggu aja ya, tapi nunggunya gak usah sambil penasaran ya heheheh. OK, udahan dulu ya! Makasih lho buat yang udah mau nyempetin baca tulisan gak penting itu heheheh. See ya, sobat!! Salam Akselerasi!
Dipostkan juga di www.kartunet.com