Sabtu, 05 September 2015

TENTANG RASA DAN PERASAAN

Tuhan, apa ini?

Sebuah rasa yang tak biasa. Ya, rasa ini tak biasa. Rasa ini merayap nyaris menyentuh titik itu, titik dimana kagum saja tak lagi cukup. Tak usai aku berupaya, namun perhentian itu tak kunjung kujumpa. Tak bisa, aku tak punya kuasa atas kagum yang telah meluap menjadi rasa yang lebih indah namun menyesakkan dada.

Aku harus bagaimana?

Telah kucoba, telah kuminta dan telah kupaksa, namun nihil hasilnya. Kala detik bergulir, kala masa meranggas dalam harap yang tak pasti, kagum itu justru berenkarnasi. Kagum telah menjelma jadi sebentuk hati. Kagum ini menyebar rindu. Kagum ini harus diapakan lagi?

Akan jadi seperti apa kemudian?

Aku ingin terus mengupayakannya, namun aku masih ingat betul kata-katanya, “Jangan bawa perasaan”. Itu kata-katanya. Itu inginnya. Itu kata yang telah berbalas setuju dariku. Aku tak akan pernah ‘Membawa’ rasa ini pada setiap gerik kami. Aku telah berkata demikian. Lalu akan jadi seperti apa esok?

Terlalu banyak perbedaan, ya, memang begitu. Inginku tak membeda, namun bagaimana dengan inginnya? Tak sama, inginku dan inginnya tak sama. Perasaan kami tak bermuara di tempat yang sama.

Cukup dan sudah, andai keduanya bisa menjadi nyata. Ya, andai kagum ini tetap berada di zonanya. Namun, nyatanya tak begitu. Baiklah, aku bisa menikmati semua ini. Aku bisa menikmati rindu ini. Aku bisa menikmati ingin ini. Namun sampai kapan?

Mengapa harus dia? Mengapa harus adam yang tak begitu mengenalku? Baginya aku hanyalah sepintas lalu. Baginya aku tak kerap hadir di ‘Penglihatannya’. Baginya aku itu siapa?

Tuhan, mengapa harus dia?

Kosong, tak ada siapa pun yang mengisi rongga itu. Hanya udara hampa, hanya partikel tanpa makna yang melintas dan berkejaran. Aku tak menghamba pada siapapun. Aku biarkan kosong. Aku biarkan tak berpenghuni. Aku suka begitu. Namun, mengapa kagum ini kini merayap dan mencoba berada di kekosongan itu? Mengapa? Rindu pada sosok itu sungguh membuat sesak, sebab setitik nafas pun tak akan pernah aku dapat.

Mengagumi saja, cukup disitu saja. Namun mengapa sosoknya terus melintas? Mengapa aku ingin mengenalnya lebih dari ini?

Dia tak pernah mencoba meliuk memamerkan pesonanya. Tak pernah kulihat itu. Ia menutupi kilaunya. Aku tak pernah rasakan inginnya untuk menjadi penghuni benak setiap hawa, juga adam di bumi. Tak sekalipun. Namun aku menciumnya, aku melihatnya, aku merasakannya dan aku tahu bahwa dia istimewa, setidaknya bagiku yang sungguh detik ini terjebak dalam segalajejaknya .

Hay, kau...
Dengarlah...

Jejak, jejak yang kupikir akan mudah musnah oleh derai hujan. Jejak, jejak yang kupikir akan sangat mudah luntur oleh bisikan angin. Jejak, jejak yang kupikir akan dengan mudah kuhapus dengan kagumku pada sosok lain. Ya, semua jejakmu, jejak yang hanya terpatri sekian saja, namun kini? Perkiraanku tak realis. Perkiraanku imajinatif. Perkiraanku jauh di luar sana. Jejakmu tetap ada. Jejakmu yang hanya sekian terus membayang. Jejakmu memanggilku. Jejakmu memintaku diam dan bertahan. Jejakmu inginkanku terus mencoba. Namun itu mustahil. Katakan padaku, semua itu benar mustahil kan?

Aku pernah berjanji. Masihkah kau ingat janjiku? Aku tahu, janjiku memang janji yang hanya terukir di antara semilir angin. Janjiku bisa saja terbang dan terhapus. Namun itu janjiku. Janji itu pernah kuucapkan. “Aku tak akan membawa perasaan”, begitu kataku. Namun sulit, sulit untuk tidak menatap ke arahmu. Ya, sulit untuk menutup mata dan menghilangkan segala gerikmu. Aku terhenti di titik ini, titik yang bukan kagum saja, namun titik yang mengukir namamu di hatiku!

Beritahu aku, bagaimana caranya untuk menanggalkan segala gerikmu yang terpatri kuat di benakku. Beritahu aku cara untuk kembali ke zona kagum saja. Beritahu aku bahwa aku tak punya jalan untuk masuk ke dalam hidupmu meski arusku deras. Beritahu aku bila kau tak suka dengan caraku. Namun, beritahu pula bila keajaiban mulai datang dan rasamu mulai tumbuh yang kemudian menjelma menjadi sebuah perasaan. Beritahu aku apapun itu...

Jangan pernah membenciku meski kau tak pernah punya rasa yang sama. Maafkan aku bila kagum ini menjelma menjadi lebih dari kagum itu sendiri. Aku terlalu tak mengerti harus bagaimana. Kau berbeda, kau tak seperti adam-adam yang pernah ada, begitu kurasa. Istimewa, benar-benar istimewa. Kemarin aku masih memiliki kesadaran penuh tentang siapa aku dan siapa kamu, namun kini? Aku kehilangan semua itu. Berbagai pembeda seolah coba tak kupedulikan..

                04 Sept 2015 di kamar kos Nakula Raya 2 – Semarang

Selasa, 18 Agustus 2015

KALA AKU DAN ARI BERPISAH, KUATKAH 'JANIN-KU'?

Senin, 17 Agustus 2015 di Bangka

Ari, Ical dan Guspur, sangat kuharapkan untuk membaca catatan ini...

Angin berdesir meniupkan udara kering pada rumpun pepohonan yang daunnya tak lagi hijau. Kering, gersang, apa-apa di sekitarnya berpolah sama; sama-sama tak menunjukkan kesegaran dan gairah. Jangankan ada merah, kuning atau putih bunga-bunga, sehelai daun saja cepat-cepat terkulai di atas tanah. Daun-daun kian meranggas. Kering, gersang dan nyaris tak ada gairah untuk melanjutkan masa, masa dimana hijau kembali bergoyang dan burung serta kupu-kupu kembali bercumbu di antara rumpun daun, batang dan bunga-bunga.

Kering, gersang dan tak ada gairah, nampaknya memang begitu yang kurasakan di semester 7 ini. Separuh jiwaku hilang. Semangatku ikut terbang bersama kenangan sekian semester yang tak mungkin lagi datang.

Semester 7 ini ibarat perempuan matang yang di perutnya mengandung ‘Janin’ berjuluk “Mimpi”. Mimpi itu kini nyaris lahir nyata. Saatnya, ya saatnya. Namun ‘Janin’ itu belum tentu lahir sempurna bila sang punya rahim tak mau menjaganya. Ya, aku, hawa yang sekian lama mengandung ‘Janin’ berjuluk ‘Mimpi’ ini nampak kelelahan. Ketakutan dan kecemasaan bercumbu dan bergumul penuh nafsu dan pada detik yang sama itulah aku seolah ingin berkata, “Sanggupkah aku terus melangkah?”

“Sanggupkah aku terus melangkah?”

Pertanyaan itu memang membebani pikiranku. Boom, boom, boom dan boom! Gejolak itu terus muncul. Aku seolah tak punya pegangan. Aku sendirian dengan ‘Janin’ yang kian besar dan siap ‘Menatap’ wajah kehidupan dengan kekuatan yang kuberi selama eksistensiku sebagai mahasiswa.

Selama ini, aku berdiri karena dia dan mereka. Selama ini aku sanggup membesarkan ‘Janin’ ini karena senyum, tawa serta tingkah polah mereka; lakon-lakon kehidupan dengan panggung ‘Perkuliahan’.

‘Mereka’, para lakon-lakon berjuluk ‘Mahasiswa’ bagai suplemen yang menguatkan aku dan ‘Janinku’. Tak terhitung siapa saja mereka. Tak terhitung berapa banyak kekuatan yang mereka beri padaku. Mereka yang kerap duduk di deretan belakang, mereka yang kerap duduk tepat di hadapan dosen, mereka yang duduk di deretan ke-tiga atau mungkin mereka, sosok-sosok yang kerap temani aku di setiap langkahku selama di kampus, kesemuanya berarti dan tanpa mereka, aku tak mungkin sanggup membesarkan ‘Janinku’.

Namun, dari sekian banyak ‘Mereka’, ada ‘Dia’. ‘Dia’ itu sama denganku. ‘Dia’ bagai ‘Ayah’ yang seolah tegang menanti buah hati lahir ke bumi. ‘Dia’, adam yang juga butuh kekuatan dari ‘Mereka’, sesungguhnya juga butuh ‘Kekuatan’ dariku. Ya, sebab itulah, sejak ‘Janinku’ masih terhitung muda, kami saling menguatkan, saling bersinergi dan saling meyakinkan bahwa “Aku bisa membawa ‘Janin’ ini menjadi nyata dan ia bisa menjadi ‘Ayah’ atas ‘Mimpi’ yang tak hanya milik kami, namun milik semua mahasiswa”.

Ari, dia adam itu. Ari, dia sahabatku. Ari, dia ‘Ayah’ dari sebuah ‘Mimpi’ untuk esok hari. Ari, adam yang sama sepertiku. Ari, adam yang selalu bersamaku terhitung sejak ‘Janinku’ masih muda. Ari, adam yang bagai urat nadiku dalam kehidupan kampus. Ari bagai dawai yang mengindahkan laguku sebagai mahasiswi. Ari, adam yang selaras dengan inginku untuk mengecap mata kuliah yang sama dan untuk meneguk setiap kegiatan kampus bersama. Ya, adalah Ari, adam yang bersamanya aku merasa aman berjalan di antara deretan kelas.

Ari dan aku, adam dan hawa yang kerap berduet di bangku kuliah, tak pernah sekali pun dalam sejarah terpisah, kecuali pada semester satu dulu, semester dimana ketentuan kampus yang punya kuasa. Ya, di masa itu, aku dan Ari terpisah dunia, aku pagi dan ia malam. Kami tak pernah sama, kecuali dalam cinta berwujud ‘Pendidikan Agama Islam’. Ya, hanya mata kuliah itulah yang membuat kami bertaut. Namun, sejarah lain mengukir.

Semester dua hingga semester 6, kami menyatu dalam setiap gelak tawa kelas. Kami tak terpisah. Setiap mata kuliah, selalu seirama. Setiap sukar dan gelisah, kami lewati bersama. Setiap semangat yang mulai mengendor, kami coba nyalakan lagi, bersama, ya, bersama. Terkadang, bahkan bisa dikatakan kerap juga, ‘Mereka’, mahasiswa lainnya juga ikut menyalakan semangat kami. Sama, selalu sama. Ya, kami selalu sama, tak pernah ada beda, kecuali pada beberapa nilai mata kuliah.

Ketika ‘Mereka’ mencoba peruntungan dengan mengambil 24 SKS, 22 SKS justru kami pilih. Ya, aku dan Ari tak pernah berhasrat untuk mengambil mata kuliah di atas rata-rata meskipun sejatinya Indeks Prestasi kami cukup mampu membayar jika kami ingin lebih. 22 SKS saja, itu sudah cukup bagi kami dan konsekuensi untuk itu tentu ada.

Lantas apa konsekuensi yang kami dapat?

Ical dan Guspur, dua sahabat kami, dua sosok yang kerap memberikan pundaknya untuk aku dan Ari pegang kala kami kehilangan arah, itulah konsekuensinya. Ya, aku dan Ari beberapa kali sempat kehilangan sosok mereka di beberapa kelas. Penyebabnya ya tentu saja karena Ical dan Guspur mencoba peruntungan di angka 24. Kesepian dan kehilangan pegangan, itu pasti. Namun, aku dan Ari masih tegak berdiri karena kami bersama, kami bersatu dan kami bisa menghalau tantangan yang datang. Maka, tak ada Ical dan Guspur di beberapa kelas tak menyurutkan semangat aku dan Ari.

Namun, kini, di semester 7 ini, aku merasakan udara kering yang ditiupkan angin. Tak nyaman, sungguh tak nyaman. Rasa-rasanya aku ingin menghadirkan hujan agargersang tak lagi nampak dan hijau bisa datang. Namun siapakah aku hingga mampu mendatangkan hujan? Bukan, bukan siapa-siapa, aku bukan siapa-siapa hingga mampu mendatangkan hujan. Aku tak pernah punya kuasa atas apapun, termasuk atas diriku sendiri, lebih-lebih kuasa untuk ‘Dia dan ‘Mereka’.

Aku dan Ari melangkah di jalur yang berbeda!

Lihatlah, adam itu berbelok ke arah lain, sedang aku berbelok ke arah yang bertolak belakang dengannya. Ya, semester 7 ini aku dan Ari terpisah, memutuskan untuk berpisah lebih tepatnya. Adalah perbedaan ‘Passion’, itulah kiranya yang menjadi dasar perpisahan kami.

‘Passion’?

Ya, minat kami berbeda dan rupanya tak ada satu dari kami berdua yang mau merelakan passion-nya terganti oleh passion milik yang lain. Aku tertambat pada “English Teaching”, sedang adam itu justru tertaut pada “Export-Import”. Sangat bertolak belakang kan?

Aku, hawa yang tak sedikit pun menyimpan gairah pada “Bisnis” atau “Perdagangan internasional” atau apa saja yang berhubungan dengan dunia “Perbisnisan” lebih memilih jalur lain yang lebih membuatku nyaman yaitu “English Teaching”. Bagiku, English Teaching lebih mampu membuat jiwaku keluar. Aku suka mengajar dan cita-citaku sejak kecil adalah “Menjadi pengajar”. Maka, sudah tentu seluruh diriku tertarik magnet yang dimiliki oleh mata kuliah English Teaching. Aku tak peduli dengan siapa sosok di balik mata kuliah itu. Aku tak peduli apakah kelak aku akan mendapatkan nilai yang mentok di B atau mungkin C, aku tak peduli sebab persinggahanku bukan itu. Yang utama bagiku adalah ilmu dan kesenangan serta kenyamanan yang mungkin kudapat ketika aku bergumul dengan mata kuliah itu. Sungguh, mengajar itu adalah passion-ku. Aku tak ingin melewatkan masa-masa ‘Kehamilan tua-ku’ untuk ber-haha-hihi dengan mata kuliah yang tak aku senangi. Aku tak ingin kejadian semester 5 lalu terulang. Ya, aku tak ingin masa itu hadir kembali. Masa dimana aku menyesal dengan pilihanku. Masa dimana aku merasa tak nyaman dengan jurusan yang aku pilih karena sebab ‘Membiarkan passion-ku terganti oleh passion milik yang lain’. Aku tak ingin hal itu kembali terulang. Nyaman itu tak kudapat kala aku ada di masa itu. Nyaman itu adalah apa yang aku rasa, bukan apa yang aku coba perankan...

Sedih tentu datang kala aku memutuskan untuk ‘Berpisah’ dengan ‘Separuh jiwaku’ di kehidupan kampus. Siapa yang kelak menjadi api penyulut sumbu semangatku? Siapa kiranya tempat aku berkeluh tentang sukar dan gelisah yang bersumber dari perkuliahan? Beri tahu aku, siapa kiranya yang mampu menjadi sosoknya bila aku dan Ari tak lagi sama?

Tak ada, kurasa tak ada. Lantas siapa yang sekiranya mampu menggantikan adam itu? Tak ada, lagi-lagi bisa kukatakan tak ada. Namun, pengorbanan untuk menjatuhkan diriku pada mata kuliah “Export-Import”, sama sekal tak ingin kulakukan. Cukup pengalaman di semester 5 lalu menjadi pelajaran. Tetap mantap pada pilihan English Teaching, itulah yang kucoba. Tak adakah jalan lain agar dapat tetap sama dengan adam itu?

Tak ada, sungguh tak ada. Ari tak mungkin mau merelakan waktunya untuk ber-haha-hihi dengan mata kuliah yang bukan passion-nya. Pada dasarnya sama, “Ia tak ingin passion-nya terganti oleh passion yang lain”. Bisa juga aku berasumsi bahwa pengalaman semester 6 lalu tak ingin Ari ulang untuk kedua kalinya. Ya, “Creative Writing” sepertinya telah ia jadikan pelajaran. Kala itu, ia dan Ical memilih mata kuliah itu karena ada bujuk rayu dariku, hawa yang punya passion sangat besar dengan dunia menulis. Ari dan Ical, rupa-rupanya tak begitu nyaman dengan hal-hal yang berbau menulis. Maka di semester ini, mereka pun tak ingin terjerumus di dalam kubangan English Teaching, mata kuliah yang mereka sama sekali tak memiliki passion untuk itu. Lagi-lagi kukatakan, “Mereka tak ingin passion-nya terganti oleh passion yang lain”.

Baiklah, biarkan Ari terpisah dariku. Aku putuskan untuk menetap dengan pilihanku. Biarkan Ari seirama dengan Ical di kelas Export-Import. Biarkan aku seorang diri. Tak bergairah karena tak ada sahabat-sahabat di sisiku tentulah membuatku sedih dan kesepian. Namun rasa sakit yang kudapat kala aku harus menggadaikan passion-ku dengan passion milik yang lain rasa-rasanya terlalu mengerikan jika dibandingkan dengan kesendirianku di kelas English Teaching. Lagi pula, aku punya Mas Tito, salah satu kawanku yang juga merelakan dirinya jatuh dalam pelukan English Teaching. Bersama Mas Tito, mungkin kelak aku akan berbagi udara di kelas English Teaching.

Gerimis mulai turun membasahi bumi. Aroma khas tanah bersimbah gerimis benar-benar kuhirup. Apa yang kuinginkan mulai datang. Tak perlu aku berusaha menjadi kuasa atas segala sebab semesta nampaknya mendukung inginku. Ari, adam itu, akhirnya berada di mata kuliah yang sama. “Communication”, mata kuliah itu ibarat gerimis yang membasuh tanah kering dan pepohonan gersang. Communication nyatanya menjadi rakit agar aku dan Ari tetap bersama. Nyatanya, ‘Namun’ itu selalu ada untuk mereka yang tak pernah putus pengharapan. Ya, kala aku mencoba mantap dengan pilihanku dan kala aku tetap berpengharapan baik atas segala, jalan terang itu muncul.

Semesta mengiyakan inginku. Satu dari dua mata kuliah yang harus kuambil ternyata mendudukan aku dan Ari di tempat yang sama. Tak apa Ari bergumul dengan Export-Import sedang aku dengan English Teaching sebab yang terpenting adalah Communication tetap akan menjadikan kami tetap berbagi.

Maka, jadilah semester ini aku berpisah dengan Ari di satu kelas, hanya satu kelas saja. Sedangkan dengan Ical sahabatku yang sangat kusayangi, aku berbeda dalam dua mata kuliah. Sedihkah aku harus berpisah dengan Ical di dua mata kuliah? Ya, tentu sedih, namun dengannya aku sudah terbiasa terpisah, seperti yang telah kujelaskan di sudut lain tulisanku ini. Sementara dengan Ari, tak pernah aku terpisah. Wajar adanya bila aku merasa kehilangan, sedih dan layu kala kudapati adam itu tak lagi berbagi udara denganku. Bagaimana dengan Guspur? Adam itu sudah memilih dan memegang passionnya sejak semester-semester lalu. Ya, Guspur sudah sejak lama tak lagi satu kelas dengan Ari, Ical dan Aku. Namun, ingatlah, persahabatan kami dengan adam itu masih tetap ada dan tumbuh seiring ‘Janin’ di rahimku.

Bismillah, aku mantap melangkah dengan kaki yang kugerakkan karena apa yang benar-benar menjadi inginku, bukan ingin orang lain. Semoga aku tetap kuat menjaga ‘Janin’ dalam ‘Rahimku’. Semoga kelak ‘Janin’ ini dapat lahir dengan sempurna dan menghadiahkan ‘Mimpi’ berparas indah yang bisa mengantarku ke pintu kebahagiaan. Semoga ‘Janin’ ini lahir di waktu yang tepat dan menjadikanku indah dengan toga dan gelar Sarjana Sastra. Ya, setelah ‘Janin’ ini lahir, aku akan berjuluk “Sarjana Sastra”, begitu pun dengan Ari, Ical, Guspur dan ‘Mereka’.

Ari, sahabatku. Ari, adamku, tetaplah saling memberi semangat di ujung perjuangan kita sebagai mahasiswa tunanetra. Tetaplah nyalakan obor semangat yang sudah kita nyalakan sejak dulu. Tetaplah menjadi ‘Ayah’ yang baik atas ‘Janin’ berjuluk ‘Mimpi’ yang siap lahir ke bumi tak lama lagi. Percayalah, toga itu akan segera kau kenakan dan gelar itu akan segera kau timang. Gelar yang indah dan mimpi yang jadi nyata, semua itu akan kau rengkuh. Tetaplah sabar dan berjuang menanti ‘Janin’ itu nyata; tetaplah mantapkan hati hingga ‘Mimpi’ itu jadi nyata. Dan satu lagi, tetaplah beri kekuatan padaku, pada hawa yang tengah mengandung ‘Mimpi’ dalam benak dan jiwa.

Ical, sahabatku. Ical, adamku. Ical, separuh jiwaku yang sungguh kusayangi. Tetaplah menjadi Ical yang juga menanti hadirnya ‘Mimpi. Tak lama lagi, Insya Allah tak lama lagi gelar “Sarjana Sastra” akan kau timang. Tak lama lagi, kau berjuluk sarjana. Tak lama lagi. Maka tetaplah kuatkan aku dan ‘Mimpi’ yang kukandung agar kita dapat mengenakan toga itu di hari dan detik yang sama. Tetaplah menjadi adamku, tetaplah menjadi sahabatku yang kusayangi. Tetaplah berjuang bersama aku dan Ari yang sungguh sangat membutuhkan pundakmu agar kami tak kehilangan arah kala melangkah. Tetaplah menjadi obor kami, Cal, hingga masa itu tiba, masa dimana kita tersenyum pada secarik foto dengan toga yang kita kenakan. Terima kasih dan teruslah bantu aku dan Ari, Cal, karena uluran tanganmu dan pundakmu sungguh berarti untuk mahasiswa tunanetra sepertiku.

Guspur, sahabatku. Guspur, adamku. Kau telah lama tak berbagi udara di kelas yang sama. Kau telah lebih dulu yakin dan mantap memperjuangkan passion-mu. Sementara aku, belum mampu, hingga semester ini tiba. Ya, aku berani memperjuangkan passion-ku di semester 7 ini, sedang dahulu? Ah, aku terlalu takut kehilangan Ical dan Ari ketimbang kehilangan passion-ku. Aku ingat betul masa kala penjurusan harus kita ambil. Semester 5 yang penuh kebimbangan, begitu aku menyebutnya. Ya, kala itu kau berusaha meyakinkanku untuk melangkah sesuai isi hatiku. Sastra, kau coba meyakinkan diriku tentang jurusan itu. Kau seolah mampu membaca apa inginku dan dimana passion-ku. Kau terus mencoba menghapuskan keraguanku akan jurusan yang harus kuambil. Namun nampaknya kau mengerti bahwa aku bimbang, bahwa terlalu sukar untuk memilih antara passion dan sahabat-sahabat. Lantas kau pun berkata, “Begini saja. Pilihlah jurusan yang paling banyak dipilih oleh sahabatmu. Jika Ical dan Ari berada di satu jurusan, silahkan kau ikut dengan mereka. Namun jika kau ingin memilih Sastra, mari bersamaku. Insya Allah aku siap membantu kesulitan yang kau hadapi di jurusan Sastra”. Indah sekali perjuanganmu untuk seutas passion-mu. Terima kasih, Gus, atas pelajaran itu. Dan memang, kau benar, kala kau mau mengikuti isi hati, kala kau mau mengikuti passion-mu, maka kau akan bahagia. Aku bisa melihat itu darimu, sahabatku. Aku bisa melihat bahwa kau bahagia dengan pilihanmu. Guspur, sahabatku yang kusayang, tetaplah berjuang untuk ‘Mimpi’ yang tak lama lagi jadi nyata. Percayalah, esok kau akan tiba di masa itu, masa dimana mimpimu jadi nyata. Percayalah, esok kita bisa menimang gelar di masa yang sama.

Ketakutanku akan kehilangan Ari memang begitu besar. Namun, sungguh dapat kuyakinkan bahwa sayangku pada kalian, Ical dan Guspur, juga sama seperti sayangku pada Ari. Kalian adalah sahabatku yang sungguh berjasa dalam kehidupan perkuliahanku. Tanpa kalian, mungkin telah lama ‘Janinku’ mati, gugur tanpa arti. Doaku di usia ‘Kehamilanku’ yang cukup tua, semoga aku, Ari, Ical, Guspur dan ‘Mereka’ bisa lulus di waktu yang tepat. Semoga kita bisa wisuda bersama-sama. Namun, sekarang, mari kita fokus dengan mata kuliah dan skripsi yang tengah kita ambil. Perpisahan tak selalu buruk. Ari, meskipun kau tak bersamaku, namun kuharap semangat dan perjuangan tetap kita nyalakan untuk kesuksesan kita berdua. Doakan aku agar aku mampu menghadapi kesendirianku, menghadapi hari-hariku tanpa ada helaan nafasmu, adamku. Dan, berdoalah untuk ‘Janin’ ini, adamku.

I love you, guys!

Note :
Mungkin tulisanku bisa dikatakan ‘Lebay’ karena aku menulis sesuatu yang ‘Biasa saja’ sebetulnya, namun aku justru melebih-lebihkan tulisan ini. Sungguh, bagiku Ari adalah urat nadi dan nyawa di kampus karena kami berjuang bersama sebagai mahasiswa tunanetra. Sementara, Ical dan Guspur adalah dua sosok sahabat yang begitu baik dan tulus karena mau menjadi obor yang menerangi langkah aku dan Ari sebagai mahasiswa tunanetra. Maka, ketika aku harus berpisah dengan sahabatku, aku benar-benar merasa kehilangan. Tanpa orang lain, tanpa sahabat, tanpa kawan, I am nothing.

-          Eka Pratiwi Taufanty -

Selasa, 11 Agustus 2015

PRAKA (A&E) : SOUND OF MY HEART

Teruntuk kau, pemuda dengan inisial “AT”

Aku tulis note ini ketika aku dan dia berada di satu fakta, fakta yang benar-benar mengguncang hubungan kami. Fakta itu benar-benar fakta yang sensitif.

Aku telah melukainya, sangat melukainya. Aku sadar disana dia tergolek bersimbah rasa kecewa. Tubuhnya merah oleh rasa kecewa, bahkan mungkin oleh amarah pula. Aku telah sebegitu jahatnya kepada dia. Aku memutus rangkaian perasaan yang telah kami untai. Tapi, aku tak bermaksud begitu, sungguh tak bermaksud begitu. Justru kulakukan itu karena aku takut kehilanganmu, takut ditinggalkan olehmu. Tapi nyatanya, semua yang kulakukan sia-sia. Aku salah langkah. Jalanku buntu.

Kasih, sungguh aku sangat mencintaimu. Kau adalah nafasku, kau adalah nyawaku, kau adalah pelitaku. Jika nafasku hilang, aku bisa mati. Jika nyawaku hilang, aku hanya menjadi jasad tanpa arti. Jika pelitaku padam, aku kembali gulita. Akan kulakukan apa saja demi menebus kekeliruanku. Bahkan jika kau ingin membenciku, aku pun bersedia. Hmm, benarkah apa yang kukatakan itu???

Entahlah!!!

Seharusnya kau tahu, aku tak mungkin bisa untuk kau benci. Tapi jika itu inginmu, aku bisa apa??? Bukan kah perasaan tak bisa dipaksakan??? Begitu pun dengan perasaanku. Aku tak bisa memaksakan hatiku untuk berpaling darimu. Kau begitu sempurna. Kau begitu berharga. Kau istimewa. Aku mencintaimu, juga menyayangimu. Harus bagaimana lagi untuk meyakinkanmu???? Kumohon maafkan aku, kumohon percaya padaku, dan kumohon lihat hatiku. Aku bisa mati karenamu....

Bukan kah kau tahu air mataku tak pernah kering ketika kutahu kau ingin pergi dariku??? Itu nyata, itu ada tanpa kupaksa..

Aku tahu aku pembohong. Tapi soal hati, aku tak pernah bohong. Namamu ada di hatiku. Tapi namaku, apakah ada di hatimu???

Tuhan, aku menyayanginya....aku ingin terus bersamanya...

Aku memang tak sempurna. Aku bukan Bidadari nan cantik jelita. Aku hanya angsa buruk rupa. Buluku tak indah. Gerakku juga tak indah. Aku memang tak seperti angsa-angsa lain. Tak ada yang bisa dilihat dariku, kecuali segala keburukanku, baik rupa, tutur maupun lakuku. Bisakah aku dipilih atas dasar semua itu???

Tentu aku tak pantas dipilih. Kau indah, bulumu indah, hatimu pun indah, dan di luar sana pasti ada banyak angsa indah yang pantas untukmu ketimbang aku. Tapi tidak adakah kesempatan untuk angsa buruk rupa sepertiku mendapatkan hatimu yang sempurna itu??? Hmm, aku tak tahu diri. Seharusnya aku bercermin dan tanyakan pada cermin itu tentang bagaimana aku. Tapi.....aku sungguh ingin denganmu.... Tak bisa aku berpaling darimu....

"Sound of My Heart"

18 Januari 2012 pukul 5:09

PRAKA (A&E) : PERCUMA


“Masih teruntuk pemuda inisial ‘AT’”

Percuma....percuma....kayaknya mulut ini cuma bisa bilang kata itu. Gak ada kemajuan dan gak ada niatan untuk mencari kata lain, karena memang percuma.

Tanpa dikatakan pun semuanya udah jelas. Jadi buat apa ditanyakan kalau jawabannya udah jelas???

Cuma buang-buang waktu dan percuma, lagi lagi percuma!!!

Biarlah kau berlari sesuka hatimu. Biarlah kau hidup dengan ceritamu. Lalu aku??? Ya, aku hidup karena cerita yang hidup pada batang duniamu. Jangan beri aku haru yang layu, karena itu akan percuma buatku. Ah, perih....benar-benar perih!!! Tapi gak usah risau, karena perihku karena Angin gersang itu, dan bukan karenamu wahai embun di ujung hatiku....


Malam ini adalah malamku....kubebaskan dirimu menari bersama setiap detak akal dalam otakmu. Maka kuingin, biarkan aku berdansa bersama kekalahanku, bersama kekerdilanku, bersama kesialanku, bersama nasib malangku dan bersama ketidak-jelasan gerakku....

Silahkan berkata sesukamu.....aku gila malam ini...aku perih malam ini......dan aku tak peduli gembelnya diriku dan kumuhnya kalimat dalam catatanku....

4 Januari 2012 pukul 21:34