Sabtu, 05 November 2011

Curcol: Tunas itu Mengalihkan Pandanganku dan Mengaduk-aduk Perasaanku


            Aku kembali menarik pandanganku, mengembalikannya pada sebuah Laptop di hadapanku. Jemariku kesentuhkan kembali pada tombol-tombol yang berderet rapih di perut si Laptop. Ya, sedari tadi aku memang sedang mengobrol dengan si Laptop. Seperti yang sudah-sudah, aku kembali membicarakan kebun Facebook-ku bersama benda yang kini sudah renta itu. Kalau bukan membicarakan kebun Facebook ya tak jauh-jauh dari sangkar si Twitter. Ah, ada satu lagi, Resto Kartunet. Ya, ketiganya kerap kubincangkan bersama si Laptop. Ada pembicaraan seru antara aku dan si Laptop soal ketiganya, lebih-lebih soal kebun Facebook-ku. Hmm, kalau kuperhatikan, di kebun itu telah tumbuh sebuah tunas baru. Tunas apa itu? Entahlah…yang jelas tunas itu mampu mengalihkan pandanganku. Tunas itu juga mampu mengaduk-aduk berbagai perasaan dalam hatiku. Kangen, kacau, gila…itulah beberapa perasaan dari sejuta perasaan yang diaduk-aduk oleh tunas yang belum kuketahui akan tumbuh menjadi apa. Kadang aku tersenyum dibuatnya, kadang pula aku bersedih dibuatnya. Tapi aku tak keberatan dengan sedih itu, sebab sedih itu bukan tercipta dari sebuah pengkhianatan atau pun perkataan kasar, melainkan tercipta dari rinduku yang tertahan. Rindu pada siapa? Aku malu mengatakannya. Yang jelas, rindu itu kuhadiahkan untuk pemilik tunas yang baru saja tumbuh di kebun Facebook-ku. Aku telah membungkus rindu itu dengan sebuah pita merah jambu. Nampak manis, semanis kebaikan sosok itu. Tapi kado ini urung kuberikan langsung padanya. Sepertinya aku akan menyimpannya saja di dalam sebuah ruangan kosong di hatiku. Keberanian untuk memberikan kado itu padanya, sepertinya tak kupunyai. Sudahlah, biarkan tunas itu tumbuh dulu. Setelah dia tumbuh, aku bisa tahu jenis tunas itu. Aku sebenarnya berharap agar tunas itu tumbuh menjadi setangkai bunga yang cantik, yang beraroma wangi dan mampu mendatangkan kupu-kupu. Tapi kalau ternyata tunas itu tumbuh menjadi sebuah pohon, bagaimana? Hmm, taka pa. Kalau pun tunas itu kelak akan menjadi pohon, aku tetap senang. Pohon itu kuharapkan akan mampu menaungiku dari panas dan hujan, meski kusadari tak hanya aku yang bernaung di bawah kerindangannya. Yang lain, gadis lain, akan sangat mungkin dan bisa bernaung padanya. Sudahlah, taka pa. Sekali lagi, biarkan dia tumbuh dulu sesuai apa yang dia inginkan.
            Dari kalimat-kalimat yang kuntai di atas, tentu Nampak jelas perasaan apa yang sedang kupelihara di hatiku. Jatuh cinta, betul kan? Ah, aku malu kalau harus benar-benar mengakui aku sedang jatuh cinta. Tapi kalau dilihat-lihat dari gejala yang ditimbulkan, sepertinya aku sedang jatuh cinta. Lihatlah wajahku, begitu merah bak tomat busuk. Ya, aku malu. Entah bagaimana rasanya mengusir malu ini. Ah, untuk apa malu, bukankah tak ada yang tahu siapa sosok di balik kekonyolanku ini?! Biarkanlah semua ini jadi rahasia sampai tunas itu tumbuh menjadi sesuatu. Hanya tunas itulah yang bisa menjawab teka-teki yang ada…

Kamis, 03 November 2011

Part 1:Mengembara ke Semarang setelah 2 Tahun Menyepi :D


                I’m coming….!!! Begitulah kalimat yang kuteriakan ketika kedua kakiku menginjak pelataran rumahku pada Rabu malam kemarin. Akhirnya aku kembali ke habitatku yang membosankan setelah berkelana  selama dua hari di kota Semarang. Senang kah aku karena bisa kembali menginjakkan kaki di kampong halaman tercinta? Ya, tentu senang. Tapi kalau boleh memilih, aku lebih  memilih berdiam di kota Semarang dari pada harus berdiam di rumahku yang  sudah penuh sesak dijejali limpahan rasa jenuh dan kesunyian. Atmosfer yang kurasakan di Semarang benar-benar berbeda dengan yang kurasakan di rumah. Disana aku merasa tak sendirian. Disana aku merasa kesunyian yang selama ini memelukku telah binasa tergerus roda kereta Kaligung Emas  yang  mengantarkanku ke depan pintu gerbang yang akan kumasuki untuk menemui masa depan yang lebih cerah. Betapa tidak, disana ada sosok-sosok mengagumkan yang seakan membagi cahaya untukku melangkah  mengarungi kehidupan. Selain sosok-sosok mengagumkan itu, ada pula seberkas ilmu yang  dihadiahkan kepadaku lewat Pelatihan Komputer Bicara yang diadakan DPD Pertuni Jawa Tengah itu. Kedua hal itu rasanya merayuku untuk kembali kesana. Pelatihan Komputer Bicara itu benar-benar  pas kusebut pintu gerbang memasuki dunia yang lebih bercahaya. Betapa tidak, disana aku bisa berinteraksi dengan sosok-sosok baru setelah menyepi kurang lebih dua tahun di dalam kamar miniku. Dari Pelatihan Komputer Bicara itu aroma dunia ini mulai  kurasakan di sekujur  jiwa  dan ragaku. Meskipun aromanya belum begitu menusuk, tapi aku sudah bisa mencium aroma itu. Benar-benar aroma yang menggugah selera. Aroma itu membuatku ingin mencicipi dunia luar yang telah lama kutinggalkan. Rasanya kedua kakiku sudah tak sabar untuk melangkah terus dari pintu gerbang yang sudah kumasuki meski baru  di step  awal. Rasanya aku ingin segera meraih mimpiku yang berterbangan di luar sana. Ya, aku memang harus terus melangkah. Kedua mataku memang tak mampu melihat pintu-pintu yang terbuka yang bisa membawaku ke tempat sang mimpi, tapi aku masih memiliki tangan, aku bisa meraba setiap dinding kehidupan ini untuk menemukan pintu yang terbuka itu. Selain itu aku masih memiliki  pendengaran, dengan kedua daun telingaku aku bisa mendengar  riuh rendah sang angin yang berbisik di balik pintu-pintu itu. Dan tentunya masih banyak gift yang Tuhan hadiahkan padaku dan bisa kujadikan alat untuk meraih pintu-pintu yang terbuka itu meski tanpa penglihatan yang kumiliki. Dan yang paling penting adalah aku memiliki teman-teman yang kuyakin dengan senang hati akan menuntunku menuju pintu-pintu yang terbuka itu.
                Oiya kawan, aku boleh kan membagi pengalamanku saat mengembara ke kota Semarang pada Selasa dan Rabu kemarin? Okay okay, sebelum aku cerita, silahkan ambil posisi masing-masing dulu. Duduk yang rapih ya dan jangan lupa bawa popcorn sekalian hehe. Well, kalau sudah duduk manis, mari kita mulai cerita ini dengan bacaan Basmallah *udah kaya mau syukuran aja hehe*.
Senin, 17 Oktober 2011…
                Matahari sudah mulai melewati angka 12 di jam dinding berwarna putih di kamarku. Itu tandanya hari Senin sudah berlalu separuh, dan Selasa akan segera kutemui. Selasa, ada sesuatu di hari itu kan? Iya, di hari itu aku akan bertolak ke Semarang. Lalu ada kendala yang kuhadapai untuk merealisasikan semua itu kan? Iya, dana belum kupegan hehe. Nah, sampai matahari bergulir melewati angka 12 itu, dana yang akan kugunakan untuk memutar roda kerata api belum menghuni tanganku. Rasa cemas menggelayut di hatiku dan di hati Ibu. Betapa tidak, sore ini aku harus bertolak ke Tegal sebelum akhirnya ke Semarang, tapi si “money” itu belum juga nongol. Sempat terpikir di benakku bahwa Semarang tak akan jadi kudatangi. Packing-packing pun belum kulakukan. Aku tak ingin terburu-buru mengepak barang-barangku karena takut rencanaku pergi ke Semarang gagal. Tapi kulihat Ibuku sibuk bereksperimen di dapur. Mengolah berbagai bahan sehingga tercipta sebuah kue kering yang gurih. Hmm, pasti kue itu akan dijadikan oleh-oleh untuk dibawa ke Semarang. Maklum saja, keluargaku tak memiliki uang untuk membeli oleh-oleh lain, jadi oleh-olehnya dibuat sendiri saja hehe. Ibuku sudah membuat oleh-oleh, itu tandanya Semarang akan kudatangi. Tapi soal si “money” bagaimana? Ah, tak perlu kuurusi. Mungkin Ibu sudah punya strategi untuk membuat si “money” hinggap di dompet Ibuku.
                Ternyata benar, Semarang akan kudatangi. Terbukti dari Ibu  yang menyuruhku meminta izin secara resmi pada Bapak. Akhirnya aku, Bapak dan Ibu duduk bersama di ruang tamu. Momen ini jarang terjadi lho. Aku memang tak akrab dengan Bapak. Jangankan untuk duduk bersama, untuk sekedar melontarkan kalimat pun sangat jarang kulakukan. Nah, kini mulailah aku berkicau, melontarkan  serangkaian rencana yang telah kususun untuk meraih mimpiku. Bapak mendengarkan kicauanku dengan seksama. Setelah aku selesai dengan “Tweets-ku”, kini gentian Bapak me-ReTweet  kicauanku. RT yang Bapak posting benar-benar panjang. Bapak tak hanya mengomentari rencanaku pergi ke Semarang, tapi ia juga menyampaikan serangkaian ilmu yang ia dapat dari sahabat-sahabatnya yang selama ini menghuni rak buku di kamarnya, apa lagi kalau bukan si “Buku”. Ada satu  ceramahnya yang terngiang di telingaku, yaitu tentang janji Allah untuk hambanya yang diuji dengan sebuah penglihatan. Kata Bapak, Allah telah menjanjikan syurga untuk hambanya yang diuji dengan sebuah kebutaan. “Sebetulnya Eka beruntung, Allah sudah menghadiahkan syurga untuk Eka. Allah mengambil kembali penglihatan yang dipinjamkan kepada Eka, tapi Allah menggantinya dengan syurga. Tapi tak serta merta Allah memberikannya untuk Eka. Kalau Eka putus asa dan tidak menjalankan perintah Allah tentu syurga itu tidak akan Eka dapatkan. Jadi Eka tidak boleh putus asa. Allah sudah menjanjikan syurga untuk Eka dan hamba Allah lainnya yang juga diambil penglihatannya setelah terlebih dulu hamba itu menikmati keindahan ciptaan Allah dengan kedua matanya. Ini bukan kata Bapak, tapi ini benar-benar janji dari Allah. Inget Eka, syurga sudah menanti Eka, asalkan Eka taat kepada Allah dan tidak putus asa” begitu kurang lebih kalimat Bapak yang masih terngiang di telingaku. Wah, mendengar kalimat itu aku semakin bersemangat dan rasanya enggan untuk meratapi perubahan hidupku.
                Cukup lama aku ber-tweet ria dengan Bapak. Tapi sampai waktu Ashar tiba, si “money” belum juga hinggap di dompet Ibu. Akhirnya Ibu menjelajah ke tetangga dan paman-bibiku. Hufft, akhirnya Ibu berhasil menangkap si “money”. Ibu mendapatkannya dari adiknya dan dari kerabatku yang rumahnya tak jauh dari rumahku. Memang tak seberapa uang yang didapat, tapi kurasa sudah cukup untuk transportasi ke Semarang. Hmm, ceritaku ini mirip cerita sinetron ya. Kekurangan uang dan mondar-mandir mencari uang, tapi memang begitulah adanya. Keadaan ekonomi keluargaku memang sedang kurang baik.
                Si “money” sudah berhasil dikerangkeng di dalam dompet Ibuku, pakaian pun sudah menghuni tas punggungku, oleh-oleh pun sudah dimasukkan ke dalam  kantong. Yup, aku dan Ibu siap mengembara ke kota Semarang yang terkenal panas. Akhirnya setelah Ibu menunaikan sholat ashar, kami pun meninggalkan rumah. Dengan menumpang mini bus, kami pergi ke kota Tegal demi menginap semalam di rumah Mbah-ku.
                Akhirnya tiba juga di kota Tegal setelah diombang-ambing di atas mini bus yang begitu sesak oleh penumpang. Mala mini aku menginap di kota yang memiliki begitu banyak kenangan untukku. Kota ini mengingatkanku pada masa-masa dulu saat aku masih tertawa riang dan ber-cas-cis-cus ria di kampus bersama teman-temanku. Kampusku memang dekat dengan rumah Mbah-ku. Selain memori akan teman-teman kampus, memori akan sosok anak laki-laki itu pun menyeruak di tengah-tengah jutaan asa yang sedang bergejolak di hatiku. Ya, aku kembali mengingat mantanku. Selain karena dia berdomisili di kota ini, kenangan-kenangan yang telah terukir di kota ini sejak aku masih duduk di bangku kelas 2 SMA pun seakan begitu tajam menusuk ingatanku. Ah, terasa sakit kala mengingat sosok itu. Luka yang telah ditorehkannya kembali menganga kala kuingat sosoknya. Lupakanlah soal sosoknya yang telah lebih dulu melupakanku !! Sekarang lebih baik focus untuk perjalanan esok pagi. Pagi-pagi benar aku harus sudah ada di stasiun yang hanya membutuhkan waktu tak lebih dari 10 menit  dari rumah Mbah-ku. Okay, saatnya tidur….
                Ceritanya masih berlanjut lho, tapi harus kupotong dulu. Aku akan melanjutkannya di  part selanjutnya. Namanya juga pengembaraan, jadi harus panjang dong kisahnya hehe. Makasih ya buat yang udah mau baca cerita aneh di atas. Maaf lho tulisannya jelek dan ngalor-ngidul gitu, maklum saja aku kan bukan  penulis hehe. Okay, sampai ketemu di part selanjutnya ya. Silahkan ambil bingkisannya satu-satu sebelum meninggalkan tempat ini *udah kaya abis kondangan  aja haha*.
Salam akselerasi ! J
(Tulisan ini juga diposting di forum website www.kartunet.com)

Rabu, 02 November 2011

Unforgetable Moment!!


            Aku berdiri di hadapan sebuah kalender yang menempel di dinding kamarku. Di tanganku telah siap sebuah spidol berwarna hitam. Spidol ini telah kusiapkan untuk mencorat-coret wajah si kalender. Ya, akan ku acak-acak setiap angka yang ada di kalender itu sampai kutemukan angka 2 di deretaan angka di bulan November. Setelah angka 2 itu berhasil kutemukan, akan kuhadiahkan sebuah tanda silang dengan spidol hitam-ku padanya. Ya, spidol-ku telah siap menghabisi angka itu. Tanda silang yang kuhadiahkan padanya akan menjadi jejak atas sebuah kebodohan yang telah kubuat di pagi milik si tanggal 2 November 2011 ini. Moment yang terjadi pagi ini akan kurekam dalam ingatanku. Sebenarnya apa yang terjadi? Mau tahu kana pa yang terjadi? Untuk tahu apa yang terjadi, lebih baik kita simak saja cerita idiotku di bawah ini! Dijamin kalian akan menghadiahiku sebuah kalimat berbunyi “Dasar Idiot!” hahaa. Well, let’s go!
Rabu, 2 November 2011…
            Jarum jam di kamarku telah menunjukkan pukul 9 pagi. Dan mentari di luar sana pun telah meninggi, meninggalkan pagi yang sempat buta. Para lakon wayang orang di kampungku telah banyak yang mulai berlakon sesuai perannya masing-masing. Ada yang berperan sebagai petani, pedagang, anak sekolah, bahkan pengangguran pun ada. Macam aku ini, kerjaanku setiap harinya hanya menganggur di rumah. Yang kukerjakan setiap harinya hanya mengobrol dengan sebuah Laptop penyakitan. Nah, seperti pagi ini, aku kembali mengobrol dengan si Laptop. Hmm, tapi kulihat ada sebuah keanehan yang tercipta dari sosok tak bernyawa di hadapanku. Benda tak bernyawa itu terlihat sibuk menutup hidungnya. Dia seperti sedang mencium aroma tak sedap. Memang benar, sedari tadi memang tercium aroma tak sedap di kamar ini. Aroma tak sedap milik siapa ya? “Coba kau cium kedua ketekmu, Ka” kata si Laptop sambil tetap menutup hidung peseknya. Aku mengikuti apa kata si Laptop. Dan, alamak…aroma sedap menyeruak dari kedua ketiakku. Aromanya benar-benar mantap, sampai-sampai membuat perutku mual. Hahaaa…aku baru sadar kalau aku belum mandi. Pantas saja si Laptop sedari tadi menutup hidungnya, ternyata dia merasa terganggu dengan aroma sisa-sisa keringat semalam yang kutebar pagi ini. “Sorry deh, Jack, aku gak sadar kalau aku belum mandi” kataku sambil nyengir. “Okay okay, tapi kamu mandi dulu gih biar bau kecutmu hilang. Aku mulai error nih gara-gara kecutmu itu” kata si Laptop menyarankanku untuk mandi. Okay, demi menjaga kelangsungan hidup Laptopku plus menjaga kesegaraan udara pagi ini, aku akan segera mandi. Aku akan segera kembali dengan aroma yang berbeda dari aroma yang sekarang sedang merebak.
            Akhirnya aku melangkah keluar kamar, meninggalkan muka pucat Laptop hitamku. Kedua kakiku terus melangkah menopang tubuhku yang dibalut oleh sebuah daster bermotif batik. Eh eh eh…kenapa kakiku terus melangkah ke depan? Bukannya kamar mandi ada di sebelah kiri. Seharusnya aku berbelok ke kiri untuk mencapai kamar mandi. Mau kemana kau, Non? Ke dapur…ya, kakiku lebih tertarik melangkah ke dapur dari pada ke kamar mandi. Sebelum tubuhku diguyur air, tak ada salahnya kan nisi bensin dulu hahaa. Dan setelah aku sampai di dapur, kudaapati sesosok anak kecil tengah berkicau. “nta…nta…nta…” teriak si bocah sambil menghambur ke arahku. Rupanya rambut acak-acakanku tak membuat bocah itu ketakutan, justru dia menghampiriku begitu melihat tubuh jangkungku berdiri di pintu dapur. Ah, lebih baik main-main dulu bersama bocah yang biasa memanggilku dengan sebutan “Nta” itu. Yup, senda gurau  pun dimulai. Mulutku terus berkicau, mulut bocah bernama Olive itu pun tak kalah nyaring berkicau. Tawa menggema di ruangan yang tak begitu kotor ini. Tapi kemudian kuhentikan kicauanku. Aku teringat sesuatu. Tapi apa ya *mikir*? Aha, aku baru ingat kalau perutku butuh diisi bahan bakar hehee. Lantas aku pun beralih pada Ibu, menadahkan tangan padanya. Ibuku sepertinya sudah faham isyarat itu. Akhirnya dua potong pisang goring pun ia gelontorkan padaku. Sip, lumayan nih! Nyam…nyam…aku memakan pisang goring itu dengan lahap sambil duduk di samping pintu dapur. Hmm, kalau dipikir-pikir aku mirip gembel kelaparan yah haha. Alhamdulillah, kenyang nih perut. Kini saatnya mandi. Eits, sebelum mandi jangan lupa minta shampoo pada Ibu. Berhubung botol shampoo di kamar mandi telah kosong, mau tidak mau untuk sementara waktu aku harus memakai shampoo sachet-an. Okay, satu sachet shampoo kini telah berada di genggamanku, kalau begitu langsung saja yuk ke kamar mandi.
            Aku kembali melangkah sambil meraba-raba dinding. Tapi lagi-lagi langkahku lurus tanpa mau berbelok. Ya, aku mangkir dari jalur menuju kamar mandi. Seharusnya aku belok kanan, tapi aku malah lurus. Mau kemana lagi, Non? Kamar mandi ka nada di sebelah kanan. Hmm, aku mau ke kamar dulu. Pakaianku kan masih di kamar, jadi aku harus mengambilnya terlebih dulu *alas an yang masuk akal haha*. Sesampainya di kamar aku tak lantas menuju kediaman si lemari, aku justru duduk kembali di hadapan si Laptop. Tanganku rasanya gatal ingin menggelitik perut si Laptop yang dipenuhi banyak tombol. Dan akhirnya mulailah aku menggelitik si Laptop, sedangkan shampoo yang kudapat dari Ibu kubiarkan tergeletak di meja. Kulihat si Laptop masih menampakan wajah pucatnya, dan tangannya masih bertengger di hidungnya. Ah, peduli amat dengan si Laptop! Lebih baik segera cek kebun Facebook milikku, siapa tahu ada sebuah pesan beramplop merah jambu mampir di Inbox FB-ku.
Hoooaaammm, ngantuk nih. Lebih baik tutup saja kebun Facebook-ku, toh tak ada pesan yang kuinginkan di dalam Inbox. Lebih baik mandi saja yuk! Aku kemudian bangkit dan tak lupa menjambret satu sachet shampoo yang tadi kuletakan di atas meja. Eits, jangan lupa ambil pakaian dulu. Nah, setelah semuanya siap, barulah aku melangkah ke kamar mandi yang terletak tak jauh dari kamarku itu. Kali ini aku benar-benar melangkah ke kamar mandi lho hehe. Kali ini aku tak mampir dulu ke dapur, apalagi mampir ke Rumah Makan. Maklum lah, kali ini aku naik kereta jadi tak punya kesempatan untuk mampir-mampir haha.
Rasa dingin menyergap kakiku ketika kaki ini menginjak lantai kamar mandi. Aroma khas kamar mandi langsung menusuk hidungku seiring dengan pintu kamar mandi yang kututup. Aromanya sedikit aneh hehe. Shampo yang ada di gengamanku kemudian kuletakkan di bibir kolam. Handuk dan pakaian kugantungkan di dinding kamar mandi. Oiya, jangan lupa menggelar konser rutin hehe. Yup, konser kali ini sengaja kudedikasikan untuk si tampan Justin Bieber. Sebuah lagu berjudul “Baby” kulantunkan di dalam kamar mandi. Terus dan terus lagu itu kulantunkan mengiringi aktivitasku di kamar mandi. Bahkan saat geyuran demi guyuran air menimpa tubuhku, bibirku masih saja melantunkan lagu yang sempat booming itu. Nah, kini rambutku telah basah kuyup, itu tandanya shampoo siap kutumpahkan di atas kepalaku. Aku meraih shampoo yang tadi kuletakkan di bibir kolam. Tentu aku meraihnya dengan meraba, maklum lah kurang awas hehe. Hap, akhirnya kutangkap juga kau, shampoo. Hmm, tapi tubuh si shampoo sepertinya sedikit ramping. Mungkin si shampoo ikut program diet sehingga tubuhnya menjadi ramping hehe. Okay, mulai disobek saja. Krakkk…shampoo itu akhirnya berhasil kubuka. Kemudian kutumpahkan shampoo itu di atas tanganku. Lho, kok isinya Cuma sedikit ya? Oiya, si shampoo kan ikut program diet, jadi wajar saja kalau isinya sedikit hehe. Setelah tumpah di atas tanganku, kemudian langsung saja kuoleskan pada rambutku. Hmm, kok ada bau rempah-rempah ya? Hmm, kok busanya tidak muncul ya? Aneh, sebenarnya shampoo merk apa yang sedang kugunakan ini? Aku mulai curiga dengan shampoo yang kugunakan ini, terlebih lagi aroma yang diciptakan oleh si shampoo bukanlah aroma buah atau bunga, melainkan aroma rempah-rempah. Pikiranku mulai negative. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi di atas kepalaku. Oh no…benar saja, ternyata ada sebuah kebodohan yang terjadi di atas kepalaku. Rupanya sesuatu yang kuoleskan di atas kepalaku bukanlah shampoo, melainkan sebuah saus. Hah, saus? Iya, saus…coba cium saja aromanya! Aku benar-benar yakin bahwa yang kugunakan ini adalah saus, terbukti dari bungkusnya yang mengeluarkan bau khas sebuah saus. Ya ambruk…apa-apaan aku ini? Bagaimana bisa aku salah pakai seperti ini? “Mamah…mamah…buruan kesini” teriakku dari dalam kamar mandi. Lagu si Justin Bieber kini tak lagi mengalun, yang kini mengalun adalah kepanikanku. Ibu akhirnya menghampiriku dan bertanya apa yang telah terjadi. Kubilang saja yang sesungguhnya pada Ibu. Dan respon wnita berumur 44 tahun itu benar-benar membuatku kesal. Dia terkekeh sambil berteriak kepada penghuni rumah yang lain perihal kejadian yang menimpaku. Kesal, aku benar-benar kesal pada Ibu. Bukannya ditolong, eh malah ditertawakan macam itu.
Kini aku telah keluar dari kamar mandi. Tubuhku kini tak beraroma kecut lagi, tapi wajahku? Hmm, wajahku masih saja kecut. Betapa tidak, beberapa penghuni rumah yang lainnya tak henti-hentinya memamerkan gigi-gigi mereka. Ya, mereka masih saja menertawakanku. Tentu alas an mereka menertawakanku tak lain dan tak bukan karena kejadian di kamar mandi beberapa saat lalu. Kejadian itu memang menggelikan sekaligus menyebalkan untukku. Ah, bagaimana bisa aku salah ambil shampoo? Lalu bagaimana bisa sebuah saus berada di kamarku? Usut punya usut, si Olive sepupuku lah yang meletakan saus itu di kamarku. Ya, balita itu memang terkenal hiper aktif, apa saja pasti disentuhnya. Termasuk saus itu. Saus itu rupanya dipindahkan oleh sepupuku itu dari dapur ke kamarku. Malangnya, aku yang taka was ini tak mampu membedakan mana shampoo dan mana saus. Payah…payah…dasar payah aku ini! Tapi tak apalah, kejadian tadi  bisa jadi catatan plus pengalaman bagiku. Mungkin saja kan saus tadi akan mampu menyuburkan rambutku yang sering sekali rontok hehee. Anggap saja saus tadi adalah vitamin untuk rambutku. Okay, kalau begitu jangan pasang wajah masam lagi dong, Eka…ayo senyum! *nyengir*…jangan nyengir, gigimu yang mrongos itu tak sedap dipandang haha. Hush, jangan buka kartu dong! Masa gigi mrongosku diceritain disini sih hahaa. Nih sekarang aku mau senyum, hitung sampai tiga ya…1…2…3…*senyum sok imut*. Nah, itu baru cantik hehee…
            Finish! Itu dia kisa dibalik niatku mengobrak-abrik kalender. Pagi tadi memang ada kejadian menyebalkan itu. Gimana, idiot kan aku? Begitulah cerobohnya aku. Saking cerobohnya sampai-sampai tak bisa membedakan mana shampoo dan mana saus hehe. Okay deh, cukup sekian ceritaku kali ini. Seperti biasa mohon maaf kalau tulisannya merusak mata dan telinga Kartuneters semuanya hehe. Makasih banyak udah mau nyempetin baca. Well, aku cabut dulu ya, bye! Salam Akselerasi!

Berbagi Cerita: Kisah di Kaki Bukit November :)


1 November 2011…
            Aku menutup Laptop rentaku dengan seraut wajah masam mengiringi aksiku menutup Laptop hitam itu. Laptop itu pun akhirnya tak bernyawa lagi, tertusuk satu klik-an tanganku di tombol “Turn Off”. Meski si Laptop renta itu telah binasa, tapi kemasamanku masih saja Nampak. Entah apa yang terjadi padaku. Wajahku tiba-tiba saja masam setelah berenang di kolam internet. Hmm, apakah ada sesuatu yang terjadi di kebun Facebook-ku, sampai-sampai aku berwajah masam macam itu? Salah! Wajah masamku bukan karena ada hama yang menyerang kebun Facebook-ku, tapi ada hal lain yang merusak otakku pagi ini. Virus jenuh, itulah virus yang sedang menyerangku pagi ini. Yup, aku benar-benar jenuh pagi ini. Meskipun kebun Facebook, Resto Kartunet, dan sangkar Twitter dan rumah Om Google sudah kudatangi tapi tetap saja virus itu merusak otak Pentium tiga-ku yang sudah tak layak pakai ini. Oleh karena virus jenuhku itulah akhirnya kuputuskan saja untuk menyuntik mati si Laptop hitam yang telah setia bersamaku sejak aku SMA, dengan harapan aka nada aktivitas lain yang mampu merefresh otakku dari virus jenuh itu.
            Aku menggelitik Handphone cerewet-ku agar dia mau melantunkan lagu berjudul Tear Drops on My Guitar milik Taylor Swift untukku. Si Cross putih itu pun akhirnya menurut. Mulailah suara merdu Taylor Swift mengalun di telingaku. Tapi ada yang aneh denganku pagi ini. Kalau biasanya bibirku ikut bergerak ketika mendengar lagu Tear Drops on My Guitar itu, tapi kali ini bibirku tertutup rapat. Tak ada sedikit pun celah yang Nampak dari bibir sexy ala Donal Bebek ini. Aneh, apa yang terjadi? Padahal lagu itu adalah lagu sakti yang bisa mencairkan segala macam yang beku-beku, termasuk bongkahan es yang ada di kutub utara sana. Ah, rupanya si virus jenuh itu terlalu hebat sampai-sampai lagu manis bak Lolipop itu tak mampu membinasakannya. Okay, suntik mati lagi saja si Cross cerewet itu! Dan hanya dalam waktu tiga detik saja Handphone putih itu sudah mengunci mulutnya rapat-rapat. Hmm, selesai dengan lagu yang penuh kenangan itu! Lalu sekarang apa lagi yang bisa kulakukan untuk mengusir virus yang menjangkit otak Pentium tiga tapi bukan otak second ini? Aha, kenapa tak coba menelpon seseorang atau mengirim SMS saja? Okay, nampaknya itu bisa kulakukan. Biasanya jenuhku bisa hilang kalau aku berchit-chat ria dengan yang lain. Stop! Sepertinya ada yang kulupa, tapi apa ya? Ow’ow…aku baru ingat kalau pulsaku sedang sekarat. Pulsa yang kudapat dari Kartunet sudah tak berbekas lagi di Handphone-ku. Payah…payah…payah…how poor I’m!! Usahaku untuk mengusir si virus itu ternyata gagal maning gagal maning. Lha terus piye, son?!? Masa iya Handphone ini kulempar keluar jendela. Ah, dari pada Handphone ini yang melayang menembus lubang di jendela kamarku, lebih baik aku yang melemparkan diri ke luar jendela. Yup, ide bagus tuh! Lebih baik lompat jendela dan kabur dari kamar berbau apek ini, gimana? “Jangan lakukan itu, Eka. Bagaimana orang tuamu kalau sampai tahu anak gadisnya melompat jendela? Jangan lakukan itu!” kata sesosok makhluk berjenis kelamin laki-laki dengan sebuah kain putih mirip gaun membungkus tubuhnya. Ada sebuah lingkaran putih bertengger di atas kepala makhluk yang tiba-tiba muncul entah dari mana asalnya. Tunggu dulu! Dia berjenis kelamin laki-laki kan? Kenapa dibilang memakai gaun? Hahaa…betul juga ya, kenapa pakai gaun? Hush…itu bukan gaun kali! Anggap saja itu malaikat-malaikat baik hati yang sering muncul di film-film kartun hehee *mulai ngawur nih tulisan si Eka*. “Maaf, aku terpaksa melakukan ini. Tak ada jalan lain selain melompat dari jendela. Masa depanku sudah hancur” kataku dengan berurai air mata, mirip lakon di sinetron-sinetron. Gubrak! Apa coba itu?!? Fokus, Eka! Kembali ke peranmu sebagai Eka yang sedang terjangkit virus jenuh! Okay, maaf…maaf…kembali ke jalur utama! “Udah deh lebih baik buruan lompat saja! Di luar sana banyak hal menarik lho, dijamin jenuhmu akan hilang” kini sesosok makhluk lain ikut chatting bersama aku dan si makhluk bergaun putih tadi. “Huah, dari mana lagi datangnya makhluk bergaun merah ini? Mukanya membuatku tak sanggup menahan tawa. Apa lagi tanduk merah di kepalanya, membuat dia mirip kambing” batinku pada si makhluk yang tiba-tiba ikut nimbrung itu. “Mas…Mas…maaf, Mas siapa ya? Kok tiba-tiba ikut chatting sih? Perasaan aku belum me-add ID Mas-nya deh” kataku  pada si makhluk bertanduk itu. “Alamak…bagaimana pula kau ini? Aku kan si iblis, musuhnya si peri itu. Payah kali kau ini, Non. Apa kau tak pernah melihat mukaku di layarkaca?” jawab si kambing, eh salah, maksudku si makhluk yang mengaku bernama iblis. “Oh, jadi nama Mas-nya adalah iblis ya. Keren deh Mas namanya” kataku sambil nyengir. “Tapi kalo muka Mas-nya aku gak pernah lihat di TV deh. Maaf, Mas-nya pemain sinetron apa ya? Pemain sinetron Puteri yang ditukar, bukan?” lanjutku. “Bah, macam apa pula kau ini? Aku bukan pemain sinetron Puteri yangDitukar, tapi aku pemain sinetron Rahasia Ilahi” jawabnya dengan logat bataknya. Eka, focus…dari tadi bercanda terus ya, kau. Okay, focus ah sekarang mah.
            Bimbang merajai hatiku. Apakah aku harus menurut pada si iblis untuk melompat keluar jendela. Atau kah aku harus mendengar perkataan Mas Peri bergaun putih tadi untuk tidak melompat jendela? Sebenarnya aku percaya pada perkataan si iblis yang mengatakan bahwa di luar sana banyak hal menarik yang bisa membuat virus jenuhku binasa. Tapi bagaimana kata tetangga kalau tahu aku melompat jendela? Stop bersinetron ria, Eka! Coba kau tengok jendela kamarmu, apakah lubang di jendela itu mampu meloloskan tubuh besarmu?*nengok kea rah jendela*. Hahaa…aku baru sadar kalau jendela kamarku hanya memiliki lubang kecil dan hanya mampu meloloskan semilir angin, bahkan untuk meloloskan tubuh seekor kucing pun tak bisa. Lagi pula aku tak mungkin melompat jendela, lha wong pintu saja terbuka lebar. Okay, tamat deh untuk sinetronnya, sekarang lanjut ke cerita tentang virus jenuh saja. Yuk mari…
            Setelah usahaku melepaskan diri dari virus jenuh itu tak membuahkan hasil, akhirnya kuputuskan untuk mencari cara lain. Kebetulan aku mendapat ilham dari Mas Ilham-nya langsung, dia menyarankanku untuk nge-date bersama pacar. Dia berani menjamin bahwa “Dating” adalah jurus ampuh untuk mengusir si virus bandel itu. Hmm, idenya bagus juga. Sepertinya seru juga kalau aku nge-date bersama pacarku dan berkeliling taman sambil bergandengan tangan, merasakan semilir angin yang menyatu dengan aroma wangi bunga-bunga yang tumbuh di taman. Stop mengkhayal! Mana ada taman di desaku? Hahaaa…baru ingat kalau di desaku tak ada taman bunga, yang ada hanya sawah. Okay, aku coba menghubungi pacarku dulu ya. Tet…tot…tet…*bunyi tombol yang kupencet*. “Kau yang tlah memilih aku, kau juga yang sakiti aku…kau putar cerita sehingga aku yang salah” suara Syahrini mengalun di ujung telepon sana. Aku baru tahu kalau pacarku suka dengan lagu ini hahaa. “Iya, Baby” pacarku berkata sesuatu dari ujung telepon sana. “Beb, nge-date yuk. Aku bĂȘte nih di rumah” kataku tanpa basa-basi. “Okay deh Baby, aku langsung meluncur. Kita ketemuan di depan pintu dapur ya” kata pacarku sambil menutup pembicaraan di antara kami. Wah, pacarku memang pacar siaga, siap antar jaga. Well, aku juga siap meluncur, tapi lebih enak kalau pakai parfume dulu kali ya, kan mau ketemu pacar.
            Hmm, tubuhku sekarang sudah mewangi bak bunga melati di taman Bu Megawati. Kalau sudah megang begini, sekarang saatnya meluncur ke tempat janjian. Akhirnya kaki melangkah ke tempat janjian. Tak perlu naik ojek, apalagi naik Bus, cukup jalan kaki. Ya iyalah, kan tempat janjiannya di dapur rumahku. Tinggal melangkah lima langkah dari kamar*jadi pengen nyanyi pacar lima langkah deh hhaa*. Kalau begitu, mari kita mulai saja melangkahkan kaki ke dapur. Selangkah…dua langkah…tiga langkah…empat langkah…lima langkah…nengnong…aku sudah sampai. Tapi dimana pacarku ya? Kok belum nongol. Tanya Ibu ah. Dan setelah bertanya pada Ibu, akhirnya aku pun bisa menemukan batang tanpa hidung si pacar setiaku itu. Kalau sudah ketemu, langsung nge-date saja yuk! Oiya, aku punya rahasia nih, boleh curhat kan? Tapi, ssttt…jangan bilang sama yang lain ya. Janji? Sebenarnya pacar yang akan nge-date bersamaku sekarang ini adalah selingkuhanku. What, yang bener? Begitu deh… hatiku tak mampu menahan getar-getar asmara yang disentuhkan oleh si pacar baruku. Pacarku yang sekarang ini lebih megang dari pacarku yang sebelumnya. Yang sekarang ini lebih fresh, lebih maco, lebih brondong dari yang sebelumnya. Bukan karena fisiknya saja sih, tapi karena suaranya pun mampu menggetarkan hatiku. Saat dia menyatakan cinta padaku, dia membawakan lagu “Panah Asmara” milik Afghan dan ih wow keren. Jangan bilang-bilang ya, aku mengenalnya saat mengikuti pelatihan computer bicara di Semarang beberapa waktu lalu. Sejak saat itu kami memutuskan untuk pacaran hingga detik ini. Itulah rahasiaku. Cukup kita saja ya yang tahu.
            Semilir angin berhembus menemani diriku yang sedang bergandengan mesra dengan pacarku. Dunia ini serasa milik kami berdua. Terik matahari yang nakal menggoda kami seakan tak kami hiraukan. Kami terus berjalan menyusuri jalanan kampong yang tak rata. Meski jalan yang kami injak ini tak rata tapi bagi kami jalan yang tak rata itu bagaikan red carpet yang biasa digunakan oleh para artis Hollywood ketika akan menghadiri malam penganugerahan baik dalam industry music maupun industry film. Ya, aku merasa seperti Selena Gomez dan pacarku adalah Justin Bieber*haha khayalan ini setinggi-tingginya*. Kebersamaan kami benar-benar aku nikmati. Tak peduli orang di kanan kiri yang menghela nafas panjang saat melihatku. Kalimat “Duh,kasihan banget sih, masih muda udah kayak gitu” sama sekali tak kuhiraukan. Perhatianku hanya tertuju pada pacarku yang jari jemarinya saling menyatu dengan jemariku. The Eka nuju kamana? Nah lho, aku ini mau kemana sebenarnya? Iya juga ya, aku mau nge-date kemana ya *mikir*. Aha, aku tahu!*ada lampu di atas kepalaku*. Lebih baik berkunjung ke rumah saudara plus sahabatku, Aya. Ngeng…langsung saja meluncur.
            Tik-tok-tik-tok…aku sudah cukup lama berjalan di bawah terik matahari pagi, tapi rumah yang kutuju tak kunjung kudapati. Apa aku salah jalan ya? Ah, tak mungkin. Seingatku rute yang harus kutempuh untuk sampai ke rumah Aya adalah lurus saja sampai perempatan, lalu setelah bertemu perempatan jangan belok ke kanan atau pun ke kiri apa lagi terbang ke atas, cukup melangkah terus. Setelah berjalan lurus, belok ke kanan ketika ada belokan. Nah, belokan pertama itu akan membawaku ke kediaman sahabat karibku yang kebetulan sedang pulkam setelah bekerja di Jakarta. Yup yup yup…sebentar lagi sepertinya aku akan segera menjumpai belokan itu. Dari mana aku tahu? Tenang…tenang…tenang…ka nada pacarku yang memberitahu. Dia kujadikan pacar kan untuk menuntun langkahku. Ih, jahat deh, masa pacar sendiri dimanfaatkan macam itu? Lha terus diapain? Disuruh nyetir motor gitu? Haduh, mana bisa pacarku nyetir motor. Pacarku kan memang dilahirkan untuk membantu orang-orang  kurang awas macam aku. Menuntun seorang Tunanetra macam aku ini memang sudah menjadi tugasnya.
            Tuk-tak-tuk…terdengar suara yang berasal dari tubuh alumunium pacarku yang beradu dengan pagar tembok rumah yang berjejer di sepanjang jalan menuju rumah Aya. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah pintu gerbang. Kuyakin aku sudah sampai di rumah sahabatku. Insting-ku itu ternyata di dukung oleh pacarku. Akhirnya aku melangkah memasuki pelataran rumah sahabatku. Hingga akhirnya tubuh pacarku membentur sebuah benda keras. Lantas aku pun menggerakan tanganku demi meraba si benda keras ittu. Oh, ternyata yang membentur tubuhku adalah sebuah pintu. Binggo! Ini dia yang kucari. Akhirnya kuketuk pintu rumah sahabatku ini, tentu dengan  sebuah kata bernada sama. “Assalamualikum…” begitu kataku. Aku terus mengulang kata itu, tapi tak ada yang menjawab. Yang justru menjawab adalah batinku. “Si Aya mungkin sedang pergi. Lihat aja rumahnya sepi” batinku. Hmm, nampaknya si Aya memang sedang tak ada di rumah. Baiklah, lebih baik aku kembali saja ke rumah. Dan akhirnya aku pun kembali ke rumah dengan sedikit kecewa. Meski demikian, aku tetap senang dan bangga karena aku bisa sampai ke rumah sahabatku hanya dengan ditemani Tongkat alumunium, pacar yang kutemui di Semarang. Jarak antara rumahku ke rumah Aya bisa dibilang jauh. Tapi buktinya aku bisa melaluinya. Keberhasilanku ini sepertinya bisa kujadikan alat pembuktian kepada keluargaku bahwa aku bisa melangkah sendiri. Mudah-mudahan saja setelah prestasi baruku ini, keluargaku tak lagi mengurungku di rumah.
            Aku terduduk di kursi dengan nafas ngos-ngosan. Aku kelelahan setelah menempuh perjalanan pulang pergi(rumahku-rumah Aya). Keluargaku melongo melihat butiran keringat yang menggelayut di wajahku. Mereka penasaran dan langsung menanyakan sebab musabab keringat-keringat itu bisa menghias wajah pucatku. Akhirnya kujelaskan saja bahwa aku baru saja pergi ke rumah Aya. OMG…begitu teriak keluargaku. Mereka kaget aku bisa pergi kesana sendirian. Awalnya mereka tak percaya, tapi setelah kuyakinkan akhirnya mereka percaya. Horeeee…senang rasanya melihat mereka mengakui prestasiku pagi ini. Hmm, tapi sepertinya prestasiku itu akan keluargaku uji. Yup, aku diuji untuk kembali menempuh perjalanan yang melelahkan tadi. Tapi kali ini bukan untuk menemui Aya, melainkan untuk membeli sesuatu. Okay, siapa takut!! Yuk, mulai…
            Aku akhirnya kembali berdua-duan dengan pacarku di bawah terik matahari yang begitu menyengat. Dengan sabar kususuri jalan kampong yang berdampingan dengan sebuah kali. Kupasang baik-baik daun telingaku, jangan sampai tak memperhatikan setiap suara yang berseliweran di sekitarku.Hap, daun telingaku menangkap suara motor. Itu tandanya aku harus mematung untuk beberapa saat. Dan setelah raungan mesin sepeda motor itu tak lagi kudengar, kugerakan lagi kedua kakiku. Selain suara motor, daun telingaku pun menangkap beberapa suara ibu-ibu yang menyuruhku berhati-hati melangkah. Aku hanya memamerkan lesung di pipiku untuk menjawab kalimat-kalimat para Ibu itu. Oiya, kebetulan tempat yang akan kutuju sekarang ini memiliki rute yang sama seperti rute saat hendak menuju rumah Aya. Bahkan tempat yang akan kutuju sekarang lebih mudah kuakses mengingat letaknya yang berada di pinggir jalan tanpa perlu masuk gang.
            Hufft, akhirnya sampai juga. Ada suara yang menyambutku. Kukenal suara itu. Suara itu adalah suara pamanku yang kebetulan pemilik took yang sedang kudatangi ini. Perlakuan baik pun aku terima dari pria yang sehari-hari dikenal sebagai guru mengaji itu. Tak hanya dia, sang istri pun memperlakukanku dengan baik. Maklum lah, aku kan jarang keluar rumah. Jangankan setelah jadi seorang Tunanetra, ketika masih awas pun aku jarang keluar rumah, apalagi berkunjung ke rumah saudaraku yang satu ini. Setelah barang yang kuinginkan telah kudapatkan, aku pun ijin pulang pada pasangan suami istri itu. Mereka terlihat tak tega membiarkanku pulang sendirian. Bibiku kemudian menawarkan bantuan padaku. Ya, dia akan mengantarkanku pulang menggunakan sepeda motor. Tapi buru-buru kutolak niat baik bibiku itu. Kubilang saja kalau aku ingin belajar jalan sendiri agar terbiasa. Akhirnya dia pun melepasku dengan tatapan tak tega. Tapi belum genap aku melangkah, Bibiku kembali menahanku. Kupikir ada apa, ternyata dia memberikan beberapa lembar uang untukku. Wah, mimpi apa ya aku semalam? Alhamdulillah ya hehee. Tak hanya itu, Bibiku juga memberitahuku bahwa salah seorang sepupuku yang bernama Dhea sedang berjalan ke arahku. Si Dhea yang sekarang masih duduk di bangku kelas 1 SD itu rupanya telah pulang dari sekolahnya. Akhirnya Bibiku menitipkanku pada anak kecil yang di rumah biasa dipanggil Denok alias Dede Nok. Tapi rupanya bocah mungil itu tak mau pulang bareng bersamaku. Ah, si Denok memang begitu. Bisa dibilang aku dan dia sering terlibat percekcokan, baik akibat berebut boneka atau pun akibat kejahilanku padanya. Hmm, mungkin si Denok dendam padaku hehee. Okay, taka pa…biarkan kami pulang masing-masing saja. Akhirnya aku tetap berjalan berdua saja dengan pacarku dan si Denok pun pulang sendirian.
            Singkat cerita, kini aku telah berada di rumahku. Aku telah sampai dengan selamat tanpa kurang suatu apapun, justru aku membawa sebuah oleh-oleh di kantong celanaku. Ya, beberapa money berhasil mengisi kantong celanaku. Lumayan bisa untuk menyambung nyawa Handphone-ku hehee. Nah, serentetan petualangan telah kulewati bersama pacarku, lalu bagaimana dengan nasib si virus jenuh itu? Hmm, sepertinya virus itu telah hangus terbakar terik matahari hehee. Yup, sekarang ini aku sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Rasa jenuhku hilang dan rasa semangatku kembali tumbuh. Hmm, sepertinya aku harus duduk kembali di depan Laptopku untuk bercerita pada si Laptop tentang petualanganku bersama si Tongkat.
            Kartuneters, ngantuk gak dengerin ceritaku itu? Huahhh…aku malah ngantuk lho. Udahan dulu kali ya, lagi pula ceritanya juga udah selesai kok. Punten ya kalau lagi-lagi ceritanya gak mutu hehee. Gak tahu deh kapan si Eka bisa bikin tulisan yang baik dan bermutu. Okay okay…langsung ditutup aja ya. Mari kita tutup dengan bacaan Hamdallah…hehee…
Sampai jumpa di lain waktu ya, Kartuneters! Salam Akselerasi!