Rabu, 11 Januari 2017

MY LOVE STORY: CUPID PATAH HATI




Semarang, 8 Oktober 2015, di kamar kos Nakula Raya...

Dear Cupid,

Cupid, aku kesakitan...

Cupid, panahmu terasa sakit menghujam jantungku...

Cupid, boleh kau lepaskan panahmu?

Cupid, sungguh aku tak ingin mematahkannya dengan paksa...

Maka...

Cupid, kumohon tarik kembali panahmu...

Bila hujan mungkin turun dari balik jendela kamarmu, maka kiranya begitu pula kesedihan itu tumpah ruah di hatiku. Berjuta rasa berkecamuk dan meronta. Aku kesakitan. Aku merasa ada panah yang cupid lepaskan tak seindah yang kusaksikan. Panah itu panah yang tak seharusnya dilepaskan pada masa ini. Panah itu seharusnya panah yang dilepaskan di masa yang lain.

Hatiku patah dan rasanya sakit. Aku heran dengan diriku. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi. Aku pun tak pernah mengharap bulan datang di siang hari. Aku biarkan air mengalir. Aku biarkan angin meniup mesra atau terkadang gila pada daun juga rerumputan. Aku tak mencoba menghalau. Aku pasrahkan segala pada apa saja yang tengah berotasi. Namun mengapa terasa menyakitkan?

Patah hati tak ada yang enak, begitu banyak orang coba katakan. Sakit gigi mungkin lebih terasa nikmat jika disejajarkan dengan patah hati. Dan faktanya memang demikian. Aku kiranya tengah patah hati, patah hati pada pemuda yang dalam malamku selalu coba kuterka bagaimana dirinya.

Dengan apa yang kulakukan, aku tak mengharap apapun. Dengan apa yang ia rasakan, aku nampaknya tak begitu pedulikan. Karena aku sudah mampu menerka sebelum dia berkata, begitulah jawabanku. Namun mengapa patah hati ini cukup mengusikku?

Aku memang patah hati, namun aku tak ingin detik ini melupakan indahnya pemuda yang kerap kusapa “My lilboy” dalam diamku. Aku masih ingin mengenalnya. Aku masih ingin meneguk banyak-banyak pengetahuan serta pemahaman akan setiap sudut kehidupan ini dari kacamata yang mungkin dapat ia pinjamkan. Sebatas itu, sebab ingin lebih pun tentu tak mampu.

Deadlock, aku tengah jumpai itu. Tak mampu lagi aku otak-atik. Sulit kiranya aku berupaya untuk menjadi satu. Jalan buntu, benar-benar buntu. Kami sama, namun ada hal paling penting yang kami berbeda. Tak mampu aku mengubahnya. Ah, tidak, kurasa bukan tak mampu, namun tak sepenuhnya benar-benar mampu. Mungkin aku bisa mengubahnya dengan mudah. Mungkin aku mampu mengganti diriku agar sama sepertinya, namun apa guna semua itu jika aku tak sungguh-sungguh dengan perubahan yang coba kulakukan? Berubah hanya untuk seseorang, tentu Tuhan akan mengecam, mungkin saja. Maka jikalau pun aku harus berubah, bukan karena seseorang, namun harus karena tujuan yang paling utama yang punya kuasa sepenuhnya atas diriku. Maka benar jika kukatakan bahwa aku menemui deadlock.

Sungguhkah deadlock itu nyata?

Ya, memang nyata, bahkan sangat nyata, namun fahamilah bahwa bilapun aku telah sama, apakah betul ia akan mau menjalani semuanya?

Dari jawaban yang kutangkap, sepertinya tetap sulit. He doesn’t feel the same, and that’s the point!

Jadi bukan karena deadlock itu? Entahlah..


Hey, dengarlah..

Dengarlah...

Termasuk kau, cupid yang kerap nakal sembarangan melepaskan panahmu..

Patah hati ini hanya sedetik terasa. Percayalah. Malam tadi aku patah hati dan sekarang kurasa aku kembali jatuh cinta. Omong kosong dengan patah hati. Patah hati hanya akan terjadi pada mereka yang mencoba memiliki, bukan padaku yang menghargai dan menyayanginya karena memang dia punya semua yang patut dihargai dan disayangi.

Dengarlah, aku jatuh cinta, bukan sedang mencoba memilikinya...

So, persetan dengan deadlock, dunia di balik deadlock itu toh bukan tujuanku!

Omong kosong dengan patah hati. Nikmatilah setiap rasa yang mengalir dalam pembuluh darah. Tak usah pikirkan jalinan resmi atau apa namanya, toh itu bukan tujuan. Nikmatilah jatuh cintamu pada sosok yang sulit disentuh itu. Nikmatilah. Buang jauh-jauh robek di hatimu karena panah sang cupid yang mendarat kurang sempurna. Lihatlah panah cupid itu sebagai panah cupid dengan segala apa adanya. Jangan rasakan rembesan kekecewaan atau apa namanya yang hadir karena panah cupid itu. Nikmatilah selama dirinya belum terkena panah cupid gadis lainnya. Tak apa orang menganggap sia-sia, toh mana orang tahu tentang perasaanmu. Yang tahu isi hatimu ya nampaknya hanya kamu, Nona.

Patah hati, buang jauh-jauh. Jatuh cinta, lagi, ya tak apa. Jatuh cinta, lagi, dengan pemuda yang sama yang sedetik lalu kau anggap telah membuat patah hati, tentu tak apa. Itulah dia. Itulah namanya jatuh cinta. Jatuh cinta bukan menyoal tentang aku “In relationship” dengan pemuda itu. Jatuh cinta itu menyoal tentang senyum yang mampu terkembang dengan sendirinya tanpa ada sebab. Ya, senyum yang tiba-tiba hadir meski hanya mendengar dirinya tengah menyampaikan presentasi. Itu tak masuk akal, namun disitulah uniknya. Aku mampu tersenyum meski tak ada sebab. Gila kah? Mungkin saja.

Sudah, sudah, sudah hentikan upaya untuk menutup rembesan kesakitan di hatiku. Lupakan sakit itu. Berterimakasihlah pada cupid nakal itu. Lupakan segala robekan itu.

Maka, hey dunia, kukatakan aku tak patah hati!

I’m hooked on him, but I think it’s healthy hahahahaha...

Terima kasih cupid...

Terima kasih my lilboy (Kuharap kau tak tersinggung dengan julukan itu ehehehe)


Senin, 09 Januari 2017

PART III: CERITA GELI DI BALIK 6 PIALA



Tik-tok-tik-tok…
Game akan segera dimulai! Dada gue jadi dag dig dug. Maklum aja, gue kan gak pernah punya pengalaman lomba baca puisi. Sumpah nervous gila. Tangan gue ampe dingin banget.

“Mbak, tukeran nomer mau gak, Mbak?” kata-kata Diyan bikin gue geli.

“Gak mau…no…no…” ucap gue sambil cekikikan.

“Aku yang pertama lho, Mbak. Gimana dong…” ucap Diyan.

“Gak papa. Santai aja…” ucap gue sok nenangin padahal gue deg-degan akut.

Dari kejauhan gue denger ada yang batuk-batuk di microphone. Oh rupanya itu si mbak panitia yang mau bacain peraturan lomba and system penilaian lomba.

Gue dengerin dengan seksama. Bukan bermaksud sok good girl sih, tapi lebih ke karena gue mau nenangin dada gue yang berdegup bener-bener kenceng.

Gue maenan jari sambil masang kuping. Suara si mbak panitia mirip suara temen gue pas SD yang namanya Jubaedah. Beneran deh mirip si Jubaedah.

“Dan tema untuk lomba puisi ini adalah cinta…”

Jedarrrrrr!!! Gue kesamber petir lagi!!

Gak salah denger tuh? Temanya ‘cinta’? Serius? ‘Cinta’ apaan sih? Wah, ada yang gak beres nih!

Jedaaarrrrr!! Petir ternyata gak Cuma nyamber gue, tapi juga nyamber ketiga temen gue. Mereka juga kaget bukan maen pas denger tema puisi yang harus dibawain.

“Kok temanya cinta sih?” ucap kami bertiga.

“Eh sumpah ya seriusan di info lomba yang dishare di FB itu gak dikasih tahu tema, kecuali tema buat lomba Public Speaking!” gue berargumen.

“Lha terus gimana dong?” Tanya Agus.

“Puisiku gak bahas cinta…” ucap Diyan.

“Sama dong, aku juga. Kalo tahu temanya cinta kan bisa bikin yang cinta…” timpal gue.

“Aku juga gak bahas cinta di puisiku…” Agus ikutan berkomentar.

“Dan penilaian berikutnya adalah kostum…”

Jedarrrrrrr!! Petir nyamber lagi!!

What the heck?? Kostum segala dinilai? Seriusan?? Kostum apaan sih. Gue Cuma pake batik ijo kali.

“Wah kita saltum, Ka…” ucap Agus.

“Udah salah tema, salah kostum juga…” ucap Diyan.

Gue jadi geli-geli gimana gitu sama lomba hari ini. Info yang gue dapet dikit banget, udah gitu ada salah tema and kostum segala. Ampun deh…

“Kayaknya kita harus bilang deh kalo kita gak tau ada tema begitu…” ucap gue.

“Tapi bisa aja kan mereka jawab kalo kita yang gak aktif Tanya tema?” Henokh nimpalin.

Bener juga kata Henokh. Bisa jadi gue and temen-temen yang salah karena gak aktif Tanya tema lomba puisi. Akhirnya gue nyerah deh. Pasrah sama keadaan.

Satu persatu peserta lomba kategori anak-anak mulai beraksi. Bukannya jadi santai eh gue malah makin nervous. Gue ngerasa nyali gue ciut jadi segede upil nyamuk. Gue ngerasa adik-adik yang lagi tampil di depan sana itu punya bakat yang lebih super dari gue. Gue ngerasa nothing…

“Deg-degan, Nokh!” ucap gue sambil ngegoncang-goncang badan si Henokh.

“Mbak Eka kenapa sih?” ucap Henokh ngeri-ngeri sedap lihat kelakuan gue.

Sumpah ya gue nervous banget. Gue gak punya pengalaman baca puisi sama sekali. Pengalaman gue Cuma pas jaman sekolah plus kemarin di Jakarta sempet tampil bacain puisi satu bait tentang kasus Yuyun. Selebihnya? Not at all!

Jantung gue kayak mau loncat keluar. Tangan gue dingin kayak abis nyemplung di kolam es. Muka gue? Muka gue pasti pucet banget kayak mayat hidup. Tangan gue gemeteran. Bibir gue juga gak tau kenapa gerak-gerak kesana kemari. Sumpah ya kalo nervous tuh jadi berasa weird.

“Alahuma lakasumtu…wabika amantu…waalarizkika aftartu…birahmatika…ya arrahman rahimin…” gue komat-kamit.

“Lagi ngapain sih?” ucap tongkat gue.

Gue gemes sama tongkat gue. Ngapain amat dia pake Tanya gue lagi ngapain. Udah jelas-jelas gue lagi baca doa. Gak pernah diajarin doa ya?

Ngomong-ngomong soal doa, gue keinget omongan nenek gue yang bilang gini, “Kalo kamu mau dilancarkan urusannya, jangan lupa baca doa ya…”

Nah, keinget omongan nenek gue itu, gue jadi ikutin dong. Gue harap dengan doa yang gue lantunin gue bisa lancar baca puisi.

“Tapi itu kan doa buka puasa, Non…” tongkat gue nyeletuk lagi.

Alamak, iya gitu? Sorry typo *typo kok satu bait doa*

Guys, yang penting kan substansi-nya. Iya gak? Yang penting kan doa, ya meskipun itu doa buka puasa *ngeles aja kayak bajai*

Suasana pun mencekam, padahal kita duduk disini gak lagi nonton film Kuntilanak. Ah tau deh gelap! Rasanya emang deg-degan. Untung tempatnya ber-AC, coba kalo gak, keringetan deh pasti.

Gue maenan no peserta yang gue pasang di dada. Sekali dua kali gue benerin rambut gue yang sebenernya gak berantakan. Sekali dua kali jug ague benerin letak duduk gue padahal bokong gue gak lagi kena bisul. Gue deg-degan.

“Tenang…tenang…tenang…” ucap gue dalam hati.

Gue beneran berusaha menenangkan diri. Gue berusaha beranggapan bahwa baca puisi kali ini Cuma sekedar tampil baca puisi. Jangan sesekali berpikiran bahwa ini lagi lomba soalnya gue bakalan nervous parah. Tapi gak bisa. Nihil nihil nihil. Hasilnya nihil! Gue tetep deg-degan, malah jadi kebelet pup gini kan. Kebelet pipis segala lagi nih. Sumpah ya padahal segala urusan bisa kacau kalo udah berhadepan sama yang namanya kebelet.

“Mantanku…” tiba-tiba kebelet gue teralihkan oleh seorang adek kecil yang lagi bacain puisi tentang mantannya. Gue sempet mikir sih, “Itu kan kategori anak-anak, tapi kenapa puisinya tentang mantan?”

Tapi buru-buru deh gue tepis segala pertanyaan yang berseliweran. Ngapain amat ngurusin puisi orang. Masih mending puisi adek kecil itu dong sesuai tema “Cinta”, lha gue? Puisi gue belangsak bener deh! Salah tema plus salah kostum keles!

Ngomong-ngomong soal “Mantan”, pikiran gue jadi terbang melayang ke masa lalu dan nemplok di memori tentang salah satu mantan gue. Gue jadi inget kata-kata dia pas nenangin gue suatu hari.

“Kalo kamu deg-degan ngehadepin sesuatu, coba deh pikirin hal lain yang lebih sulit tapi bisa kamu taklukin. Berpikirlah bahwa yang lagi kamu hadepin sekarang ini gak ada apa-apanya dibandingin yang udah-udah…”

Suara mantan gue muncul dengan efek eco. Ngedenger suara itu jadi berasa lagi nonton sinetron yang salah satu pemeran protagonist-nya bilang gini, “Seandainya kamu tahu, Nak, bahwa aku adalah ibumu…”

Gubrakkkk!!! Korban sinetron bener deh kalo gini ceritanya…

Kalo balik ke omongan mantan gue itu, ada benernya juga. Gue emang harus meyakinkan diri gue kalo ada hal lain yang lebih nyeremin dari baca puisi ini.

Finally di atas kepala gue muncul gelembung-gelembung sabun yang di dalamnya keputer kejadian-kejadian masa lalu yang pernah gue alami…
Gelembung pertama isinya gambaran pas gue masih ingusan plus kurus kayak istrinya Popeye. Di gelembung itu gue lagi berdiri di mimbar. Ada microphone di depan gue da nada sederet judges yang salah satunya adalah bule. Ah, rupanya ini gelembung muterin kejadian pas gue ikut English speech contest yang diadain buat perguruan tinggi se-Jateng dan DIY.

Di gelembung itu gue masih ingusan. Di muka gue seolah-olah ada sederet kalimat berbahasa inggris yang grammar-nya acak-acakan. Gue masih bau kencur!

Anyway, gue ketika itu masih semester dua. Masih bau kencur deh. Tapi gue ngerasa rada bangga dikit gitu deh karena bisa jadi salah satu wakil dari kampus buat ikut lomba ya meskipun gak juara sih *malu*. Tapi yang mau gue ceritain adalah ketika itu gue deg-degan parah. Tangan gue dingin banget *kalo gak percaya Tanya Yohanna Ekky deh*. Yep, Yohanna itu adalah salah satu juara di speech contest yang ketika itu selalu di samping gue dan nuntun gue. Gue deg-degan parah secara gue masih awam banget sama dunia lomba + harus speech berbahasa inggris + judges-nya bule pule. Ditambah lagi, guys, gue adalah peserta pertama di gelombang itu. Parahnya lagi, microphone-nya sempet mati di awal-awal.

Gimana tuh, belangsak bener kan nasib gue?

Ketika itu memang sulit deh. Gue harus handle segala rasa yang campur aduk. Tapi gue bisa gak? Ya, gue bisa handle! Dan gue berhasil gak? Gue berhasil kok memboyong piala *lihat aja di koleksi foto di FB gue, ada foto gue pegang piala*. Tapi guys, itu piala punya Livia sang juara. Gue Cuma pinjem hehehe.

Terus apa dong hikmah yang bisa gue ambil dari cerita speech contest itu?

Hikmah yang bisa gue ambil sih kayaknya “Gue harus cek microphone sebelum lomba!”

Oh gosh! Seriusan Cuma itu?

Tentu gak dong. Gue jadi mikir setelah lihat gelembung yang isinya moment pas gue ikut speech contest. Lomb abaca puisi kali ini gak sebanding sama lomba speech waktu itu. Lomba kali ini gak ada yang lihatin, sekalinya yang lihat juga palingan gak bakalan merhatiin penampilan gue. Siapa gue, iya gak?

Ada lagi nih yang bisa gue jadiin alat peredam deg-degan. Pas ikut lomba speech, gue kan wakilin Udinus, lebih berat keles tanggungjawabnya. Sedangkan di lomba ini? Gue Cuma wakilin diri sendiri. Mau menang kek, mau kalah kek, gak jadi soal.

Jeeeedddddaaaaarrrrrrrr!! Tiba-tiba gelembungnya pecah. Gue jadi kaget. Gue jadi balik deg-degan lagi. Alamak, kenapa ini deg-degan gangguin mulu, udah kayak mantan yang minta balikan aja deh.

Gelembung tadi pecah guys. Tapi ini ada gelembung lain yang muncul. Gelembung kali ini adalah gelembung muncul pas gue pake batik merah dan berdiri di depan laptop gue. Dimana gerangan gue berada?

Ah, rupanya itu moment pas gue wakilin kampus buat ikut English Essai competition yang diadain buat perguruan tinggi se-Jateng and DIY. Gue ketika itu deg-degan jjuga, tapi finally gue bisa memboyong piala buat kampus + dapet duit buat bayar kos-kosan.

Gue jadi juara? Iya, meskipun Cuma juara 3 sih, guys. Tapi lumaayan lah bisa jadi salah satu pemenang dari sekian mahasiswa swasta dan negeri yang bertanding. Nah, itu dia point-nya! Ikut lomba yang lebih ngeri aja gue bisa jadi juara, apa lagi ini? Come on, Cuma baca puisi, girl!

Gue merenung lihatin gelembung yang lagi terbang-terbang manja di atas kepala gue. Gue lihatin gambaran gue di gelembung itu. Disitu gue lagi komat-kamit jawab pertanyaan judges. Sesekali gue senyum and lesung di pipi gue kelihatan. Gue juga lihatin gambaran diri gue pas maju nerima piala.

Gue terus merenung. Kenapa gue takut baca puisi doang??? Gue harus berani. Gue harus hilangin nervous gue. Gue harus percaya diri!!

“Diyanisa Amaliyah…” tiba-tiba lamunan gue buyar pas nama Diyan dipanggil. Si mbak panitia-nya gak nyadar kalo nama Diyan kan bukan Amaliyah, tapi Awaliyah.

Gue pun masang kuping gue baik-baik. Gue harus hilangin nervous gue and harus nginget-nginget kalo lomba baca puisi gak sesulit lomba speech and essai. Gue pasti bisa!

Diyan pun mulai baca puisi. Gila, puisinya dalem banget! Gue jadi geleng-geleng kepala. Kok bisa ya puisinya sedalem itu?

Pas asyik masang kuping, gue jadi keinget si Henokh. Gue langsung belingsut ngadep ke kanan and langsung ngeribetin si Henokh.

“Nokh cepetan direkam, Nokh!” perintah gue sama Henokh yang sejak awal udah mendeklarasikan diri sebagai seksi rekam-rekam manja pas squad Udinus tampil.

“Udah kamu rekam kan, Nokh?” gue cerewetin Henokh.

“Iya, Mbak, ini udah. Tapi tadi agak telat…” ucap Henokh.

“Udah gak apa-apa, yang penting direkam!” timpal gue.

Gue terus bengong. Gue masih nikmatin puisinya Diyan yang menurut gue sih lebih bagus dari punya gue. Gak tahu kenapa gue langsung nyimpulin kalo Diyan pasti yang bakalan jadi juara. Gimana gak, dengerin aja deh itu puisinya.

Pas lagi asyik-asyiknya dengerin Diyan, eh tiba-tiba backsound di otak gue berubah. Gue denger instrumental mellow sendu gitu. Terus tiba-tiba ada suara yang menggeliat-geliat manja and bilang gini, “Hey, Nona, lihatlah gadis yang sedang membaca puisi di depan sana. Dialah sastrawati yang sesungguhnya…”

Hati gue hancur. Gue jadi berasa abis diperkosa. Gue ngerasa ciut. Gue bukan sastrawati? Serius? Ah, sialan, gue jadi keinget kata-kata seseorang yang bilang puisi gue gak sincere. Gue jadi mikir lagi kan kalo gue emang harus rela menanggalkan tahta gue sebagai seorang sastrawati. Gue merana sejadi-jadinya nih…

“Okay, kita beri tepuk tangan…”

Oh, rupanya Diyan udah selesai baca puisi. Gue pun ikut tepuk tangan dengan semangat 45 meskipun gue ngerasa sedih ngelihat kenyataan kalo gue itu Cuma sastrawati gadungan.

“Ciee…Diyan…congratz ya! Bagus lho puisinya!” ucap gue ke Diyan.

“Ah, gak kok, Mbak. Aku deg-degan gitu. Tadi pake acara batuk juga…” timpal Diyan.

“Bagus kok…” timpal gue lagi.

Look at there! Sekarang giliran Agus yang tampil. Ciamik banget deh ini anak. Agus ngemulai baca puisinya dengan kata-kata plus ekspresi yang luar biasa. Alamak, tambah nelangsa lagi nih gue. Temen-temen gue diem-diem ternyata sastrawati sejati. Tapi terus gue keinget Henokh lagi.

“Nokh, udah direkam kan?” gue cerewetin Henokh. Kalo dipikir-pikir gue mirip emak-emak kos-kosan yang bawel kalo ada anak kos yang lupa matiin air.

“Iya, Mbak, udah…” kata Henokh polos.

Gue bengong dengerin Agus yang suaranya merdu plus menjiwai banget deh puisi yang dia bacain. Gue bisa gak ya begitu. Gue bisa gak sih. Gue galau nih. Dan abis Agus, gue yang bakalan maju. Bisa gak ya?

“Eka Pratiwi Taufanti…”

Gila, nama gue dipanggil! Akhirnya gue bangkit dengan senyum ala ala Miss Universe *ngarep* padahal hati gue campur aduk. Gue masih deg-degan, juju raja, tapi gue gak takut kok. “Lomba wakilin kampus kan lebih susah ketimbang lomba puisi!”, itu dia yang gue tanamin dalam hati.

“Teruntuk terang yang kian padam…”

Gue memulai puisi gue..

“Dengar bisikku…” gue baca dengan suara agak bisik-bisik gitu.

“Yang mulai meranggas dalam kelam…” lanjut gue dengan ekspresi nelongso. Buat orang yang ngelihat, ekspresi nelongso gue pasti dikira menjiwai, padahal itu ekspresi beneran dimana gue nelongso gara-gara ngerasa gak layak lagi jadi sastrawati.

“Nafasku nyaris tenggelam…” gue mulai masuk ke puisi baris ketiga.

Tik-tok-tik-tok…
Baris demi baris gue lantunkan. Gue gak begitu menjiwai, juju raja. Coba cowok gue ada disini, pasti gue udah dijewer plus dijitak karena baca puisi gak menjiwai.

“Ah, sudahlah…”
“Tak perlu takut pada gulita…”
“Taka pa, memang begitu adanya…”
“Menggugat pun pada siapa?”
“Terisak pun taka da guna…”
Taka pa, memang begitu adanya…”

Gubrak! Gue salah lirik. Gue ngulang lirik di baris sebelumnya. Gue salah focus. Pasti si judges ngelihat letak kesalahan gue secara mereka kan pegang naskah puisi gue. Ampun DJ, parah bener deh gue! But anyway, show must go on!

“Marah pun tak mengubah segalanya…” gue lanjutin baca puisinya.

Tik-tok-tik-tok…
Gue dituntun duduk ke kursi. Done! Udah selesai nunain tugas!

*Bersambung…
*Temuin part berikutnya ya! Lebih hot!


PART II: CERITA GELI DI BALIK 6 PIALA



Masih di hari Jum’at, jam 11 lebih-lebih…
Empat sekawan Diyan, Agus, Henokh and gue masih anteng duduk di kursi yang kanan-kirinya kayaknya udah tak bertuan. Mati gaya deh sumpah. Gak tau mau gerak kemana. Gak ngerti juga harus minta tolong ke siapa. Pengen teriak sih, tapi percuma deh kayaknya suara gue tenggelam dikalahin sama suara theme song yang dari tadi bunyi terus. Anyway ngomongin soal suara-suara, sekarang ini ada berbagai macam suara lho. Dipilih ayo dipilih tinggal dipilih…

Suara huru-hara orang masih kedengeran. Suara musik theme song juga masih kedengeran. Suara batuk Diyan juga gak kalah kedengeran. Yang gak kedengeran Cuma suara hati gue yang teriak-teriak manja minta ditolongin buat registrasi lomba.

Jujur ya, bête abis deh ada di tempat ini. Gak ada yang nyamperin. Mau keliling lihat stan atau belanja-belanja centil juga gak bisa. Mau nyanyi-nyanyi juga gak bisa. Akhirnya gue putusin aja buat godain Henokh.

“Gus! Henokh mana? Jangan-jangan ilang…” ucap gue becandain Henokh.

“Ada tuh sampingnya Diyan…” kata Agus.

“Coba si Henokh dicolek, Gus, siapa tahu ketiduran…” ucap gue becandain Henokh lagi.

Agus sih kedengerannya ketawa, tapi gue gak yakin dia ketawa lucu. Kayaknya sih dia juga bête sekarang ini, jadi gak mungkin lah gairah buat ketawa gara-gara becandaan gue yang garing. Wah, ngerasa gagal total nih kalo suasana masih kelabu gini.

Gue akhirnya muter otak. Puter puter puter puter terus sampe kepala gue pusing, tapi apa hasilnya? Nihil! Gue gak nemu cara buat ngusir bosen. Niatnya sih pengen joget-joget sambil kayang di atas kursi, mau ngajak si Henokh sekalian, tapi kok rasa-rasanya badan lemes ya *ngeles*. Mau ngajak temen-temen gue buat maen bekel juga gak ada bekelnya. Sumpah mati gaya banget. Dan yang bikin gaya juga adalah theme song-nya yang beneran gue gak tahu harus ikut senandung apa gimana.

“Duh, gak bisa ya muter the chainsmoker aja? Closer gitu, Gus…” ucap gue lemes ke si Agus yang dari tadi diem. Semari nyeletuk gitu, tangan gue buka tutup kedua kuping gue. Maklum lah cewek frustasi ya ada-ada aja kerjaannya.

“Wah, mintanya kok malah Closer…” timpal Agus dengan nada kalemnya.

“Ya gimana, Gus, aku gak ngerti sama lagunya. Asyik kali ya kalo diselingi sama lagu-lagu lain, gak Cuma nyetel theme song-nya mereka dong. Mana keras banget lagi. Diulang-ulang pula…” nyeletuk gue asal kena. Sekali lagi maklum aja ya namanya juga cewek frustasi gak ada kerjaan.

Gue lemes. Gue berasa kayak menantu yang abis diusir sama mertuanya. Nelangsa, kucel, compang-camping bawa buntelan isi daster…wah begitu deh gambaran gue sekarang ini. Gue gak ngerti lagi harus ngebunuh bosen ini dengan cara gimana lagi. Gue bête juga sih sama panitianya, juju raja sih. Gimana gak bête, di jadwal kan jam 11 mulai lomba baca puisi, tapi kenapa jam segini baru selesai pembukaan? Terus kenapa juga masih disuruh keliling? Tahu gini kan gue berangkat nelat aja.

“Manusia hanya bisa berencana, Nak, tapi Tuhan lah yang menentukan segalanya” tiba-tiba semprotan rambut yang gue sembunyiin di tas ikut komentar. Wah, tau aja tuh semprotan kalo gue lagi bête sama orang.

Kalo gue coba resapi omongannya si semprotan rambut itu, ada benernya juga sih. Meskipun panitia udah ngerencanain sedemikian rupa, tapi bisa aja kan meleset dikit-dikit. “Dikit-dikit”, ya, kata “Dikit-dikit” kayaknya harus gue pegang erat-erat biar gak gondok terus-terusan. Okay, sekarang positif thinking aja deh. Siapa tahu melesetnya Cuma dikit.

Tik-tok-tik-tok…
Gak tahu deh udah berapa menit berlalu sejak tadi gue berpikiran positif, yang jelas gue masih duduk anteng pake dress batik gue disini, di kursi yang dari awal dating gue dudukin. Sementara ketiga temen gue, kayaknya lagi asyik kasak-kusuk ngomongin apa segala. Gue jujur gak begitu nafsu buat nimbrung. Gue pegel. Mana tenggorokan gue kering juga. Minum mana minum…

Tik-tok-tik-tok…
Sekali lagi gue gak ngerti udah berapa menit yang berlalu. Sekarang udah banyak kaum adam yang sholat Jum’at. Dan gue? Gue masih duduk disini, guys. Kebayang kan gimana capeknya? Kebayang juga kan gimana muka gue udah kucel? Kebayang juga kan gimana rambut gue udah lepek? Gak usah ngarep bedak gue masih nempel ya, gak bakalan!

“Guys, pergi yuk. Kemana kek gitu. Tanya kesiapa kek gitu…” ajak gue putus asa sama ketiga temen gue.

“Mau pergi kemana, Ka? Bingung juga kan. Apa mau sama Henokh?” Agus balik Tanya ke gue.

“Kita berdiri aja, Gus, terus pegangan Henokh. Kali aja ada yang bantuin. Pokoknya kita cari deh tempat registrasinya…” timpal gue masih dengan wajah putus asa.

Akhirnya gue, Diyan, Agus and Henokh maen kereta-keretan…

What the heck did you say? Kereta-keretaan? Apan tuh? Terminologi apaan tuh? Terminologi anak gaul Tomorrow Land? Gak dong ya pastinya. Mana ada anak Tomorrow Land pake term “Kereta-keretaan”!

Okay, intermezzo dulu ya. “Kereta-keretaan” itu istilah yang biasanya dipake sama tunet-tunet alias tunanetra kalo pas jalan saling gandeng kayak kereta gitu. So, di baris paling depan biasanya ada lokomotif. Nah, di kasus gue ini, yang jadi lokomotifnya adalah Henokh. Bukan perkara doi itu cowok ya makanya kita suruh dia berdiri paling depan, tapi ya tentu aja karena doi masih punya sisa penglihatan yang oke punya.

Jag-jig-jug…
Kereta pun jalan, dan gue jadi ekornya. Gue berdiri di belakang Agus. Gue nahan geli sih sebenernya. Maksud gue, gue ngerasa bego aja gitu disini gak bisa ngapa-ngapain. Tapi gak disangka gak dinyana, ada suara cewek yang manggil kami. Mbak Yanti, itu dia cewek yang punya suara. Ngedenger suara Mbak Yanti, spontan gue teriak gini dalam hati, “Sumber air sudekat!”

What the heck? Gue ngapain amat bilang “Sumber air sudekat!”. Tenang, tenang, gue ngomong gitu karena gue ngerasa Mbak Yanti adalah penolong di detik ini bak sumber air di negeri Papua sana. Kalo ada Mbak Yanti, doi kan bisa bantu kami nyari tempat registrasi.

Tik-tok-tik-tok…
Gue, Diyan, Agus, Henokh plus Mbak Yanti sekarang ini udah berdiri di depan meja registrasi. Tuh kan bener, Mbak Yanti bisa jadi sumber mata air buat keempat tunet yang belangsak di tempat ini. Mbak Yanti jadi dewi penolong. Okay, dan sayup-sayup gue denger mbak panitia ngejelasin sesuatu.

Seiring sama suara pelan mbak panitia, perasaan gue jadi redup-redup gak enak. Dari aroma yang gue tangkep, rasa-rasanya ada hal super weird yang bakalan gue terima deh.

“Ojo ngeduluin kerso…” semprotan rambut yang ada di tas gue nyeletuk untuk kedua kalinya.

“Bener juga kata si semprotan, jangan ngedahuluin yang kuasa ya. Meskipun aroma yang gue tangkep itu negatif, tapi tetep berpikiran positif aja deh. Alhasil gue pasang kuping gue baik-baik. Gue berusaha nangkep apa yang diomongin mbak panitia. Gue kelihatan budge ya? Eits, bukan budge, guys, tapi gue berdiri paling belakang, so gue gak denger deh apa yang diomongin di depan.

Cicit…cicit…cicit…mereka berdiskusi…
Gak lama kemudian, gue denger temen-temen gue bilang, “Yaaahhhhh…kok gitu…”

Dari nada suara “Yaaahhh gitu…” gue bisa nangkep kalo hal buruk lagi terjadi. Apa gerangan yang terjadi? Gue penasaran parah. Gue pengen tahu…

“Ada apaan sih, Gus?” Tanya gue sama Agus yang ada di depan gue.

“Lombanya buat dewasa nanti sore, Ka, jam setengah tujuh malem…”

“Yang jam 1 itu buat anak-anak…”

Jedaaarrrrrrrrr!!! Gue berasa disamber petir. Mulut gue mangap dan mat ague melotot nyaris keluar *korban sinetron*. Gue kaget. Sumpah kaget banget. Ngedenger semua itu penyakit gue kambuh. Alamak bahaya gak sih kalo kambuh gitu? Bisa ampe makan orang? Bisa ampe ngobrak-ngabrik meja? Bisa ampe pingsan? Gimana sih gimana kalo kambuh…

Tenang, tenang, gue gak seakut gitu ampe makan orang. Lagian kalo ampe makan orang juga palingan si Henokh yang gue makan *Love you so much Henokh*…

Penyakit gue emang gak parah segitunya, tapi ya cukup bikin laper sih. Gue tuh gampang banget kepancing emosi, entah emosi buat mewek kek, buat ngambek kek, buat nampol orang kek atau emosi buat bilang, “Shit!” sama orang atau apapun halnya. Dan detik ini, guys, gue kepancing!

Gak professional! Itu dia yang terlintas di otak gue ketika tahu kalo lomba baca puisinya diundur ampe jam setengah tujuh. Ya, blak-blakan deh gue bilang panitianya gak pro kalo ampe beneran diundur itu lomba. Buat gue, ini pembohongan public. Sumpah deh, ini gak pro plus pembohongan public tingkat dewa! Gue marah and kesel, juju raja. Temen-temen gue juga kecewa berat kayaknya. Gimana gak kecewa coba, di jadwal tuh tertulis jelas kalo lombanya jam 11 ampe 12. Tapia pa faktanya? Malah makin larut. Cantik bener deh. Hey wahai semprotan sisir, ini mah bukan lagi nelat “Dikit-dikit”, tapi udah nelat parah. Gak usah deh percaya lagi sama kata “Dikit-dikit” yang di awal tulisan sempet gue bahas.

“Inget, Non, panitia kan Cuma manusia. Mereka udah berencana ngatur jadwal, tapi Tuhan yang berkehendak” lagi-lagi si semprotan rambut ikut komentar.

Gue ngerasa bebel. Diceramahin sama semprotan rambut juga gak mempan. Gue keburu emosi. Gue kesel. Gue ngerasa di-PHP-in. Tapi gue rada mikir pas sisir di dalam tas gue ikut komentar gini, “Non, inget, gak boleh sembarangan marah. Kali aja panitianya emang udah ngatur jadwal tapi jadi ngaret gitu. Sabar ya…”

Gue jadi sedikit kalem. Gak begitu beringas lagi. Emang iya kali ya si panitia udah ngerencanain sedemikian rupa tapi mau gak mau faktanya harus begini. Gue pun akhirnya jinak. Udah gak begitu gondok meskipun mulut gue masih manyun.

Di depan gue kedengeran temen-temen lagi pada spelling nama buat dapet nomor urut. Diyan yang emang berdiri paling depan ternyata dapet nomer paling awal. Agus yang berdiri di belakang Diyan dapet nomer urut abis Diyan. Sedangkan Henokh, dia jadi tim dokumentasi yang kelak dapet bagian rekam-rekam manja pas the girls squad Nakula Raya mau tampil. Dan gue? Gue dapet nomer buncit, paling akhir dari kami bertiga.

“Naskahnya mana, Mbak?”

Gue denger mbak panitia nanyain naskah puisi kami. Diyan and Agus pun kasak-kusuk ngasihin naskah.

“Ka, kalo lombanya tetep jam setengah tujuh, kamu mau tetep ikut? Aku gak ikut deh kayaknya…” ucap Agus putus asa. Ngedenger ucapan Agus, darah gue jadi mendidih lagi. Gak tahu deh kenapa gue pengen ngambek lagi. Kumat lagi nih.

“Payah deh, Gus, kalo lombanya beneran jam setengah tujuh. Itu masih lama banget…” timpal gue.

“Iya, Ka. Gimana dong? Aku gak ikut aja, Ka…”

“Hmmm…kok gini sih jadwalnya…” kata gue.

“Kayaknya aku gak ikut deh, Mbak, kalo malem. Kan aku kuliah…” Diyan ikut-ikutan komentar dengan suara seraknya.

“Aku sih gak masalah ya soalnya kan aku gak ada urusan juga nanti malem, tapi masalahnya kan kita udah disini dari jam segini…” gue mulai berapi-api.

“Lagian ada perubahan jadwal kok gak dikasih tahu sih. Jadwal yang dishare kok beda sama yang disini. Super annoying!” lanjut gue.

“As always deh, Ka…” timpal Agus.

Terus Agus and Diyan coba nego sama mbak panitia. Mereka bilang jadwalnya disamain aja sama peserta anak-anak. Temen-temen gue beralasan kalo mereka ada kuliah. Gue ikut-ikutan support pake doa mudah-mudahan aja lombanya gak harus nunggu malem.

“Ya udah ditunggu dulu aja ya, Mbak. Coba saya tanyakan dulu ke panitia yang lain. Semoga aja bisa diusahain jam 1…” ucap mbak panitia yang gak tau deh siapa namanya.

Tik-tok-tik-tok…
Kami berempat sekarang udah duduk lesu di kursi yang tadi dipake buat pembukaan. Duduk lagi, piker gue. Nunggu lagi, capek deh. Sampe kapan? Kepastiannya mana? Gondok akut nih, juju raja.

Kalo gondok gini perut jadi laper. Untung di tangan gue ada snack and minuman yang dikasih panitia. Gue ambil satu dan langsung gue lahap. Sambil ngunyah gue mikir, “Ini kan waktunya makan siang. Bakalan dapet nasi kotak gak ya?”

“Duh, tahu gini mending tadi ngerjain tugas di kos ya, Ka…” suara lembut Agus tiba-tiba bikin lamunan gue soal makanan buyar.

“Yash, Gus. Mending gelesotan di kasur ya…” timpal gue dengan mulut penuh makanan.

“Terus nanti ini beneran lombanya malem ya, Mbak?” Tanya Diyan yang duduk di ujung kanan.

“Ogah deh kalo malem!” sahut gue kenceng.

“Aku sih gak masalah ya soal malem. Tapi kok bisa lho kita gak dikasih tahu soal perbedaan jadwal itu. Kita kan peserta. Mereka juga punya no hp kita yang kita tulis di formulir pendaftaran, tapi kenapa diem-diem aja?” gue masih nyerocos.

“Sumpah ya bête banget!” lanjut gue.

“Iya kok lombanya gak pasti ya. Padahal jam dua aku harus balik ke kampus,” Henokh yang duduk anteng di sebelah kiri gue ikut-ikutan nimbrung.

Kasiha nih keempat tunet kece ini. Udah dandan oke punya. Udah semangat 45 berangkat kesini, eh tahunya malah gak pasti gini. Salah bunda mengandung apa gimana nih kalo gini ceritanya?

Dasar gue cewek emosian. Dasar gue cewek yang gak terimaan kalo ada yang bikin gara-gara. Dasar gue cewek betean. Dapet fakta begini ya jadi kumat kan. Can’t help it deh…

Gue manyun sambil nimang-nimang botol air minum. Gue merenung. Gue menimbang-nimbang semua ini kekeliruan siapa. Gue coba berargumen dalam hati.

“Apa susahnya sih panitia ngabarin calon peserta soal jadwalnya?” Gue ber-self-talk ria.

“Bukannya mereka udah punya nomer peserta di formulir pendaftaran?” gue self-talk lagi.

“Terus kenapa hey kenapa kami dibiarin terlunta-lunta begini?” gue masih self-talk ria.

“Gue dapet jadwal dari mereka yang dishare di sosmed. Gue ikutin dong jadwal itu, toh jadwalnya officially dari mereka. Tapi kenapa eh kenapa sekarang seenak udel diganti jadwalnya?” gue self-talk sambil mata melotot dan bibir komat-kamit kesel.

Tapi gue terus mikir. Jangan-jangan gue yang pasif? Jangan-jangan gue yang gak aktif cari info? Jangan-jangan mereka udah share jadwal terbaru? Jangan-jangan gue yang salah? Jangan-jangan peserta lainnya udah pada ngerti soal perubahan jadwal itu?

Ah, berjuta “Jangan-jangan” berseliweran mirip jemuran daster tetangga. Gue jadi ragu. Gue jadi makin bête. Gue jadi ngerasa antara pengen ngambek and pengen makan *laper*. Gue galau. Gue gak tau harus Tanya ke siapa. Gue capek ngeluh melulu. Gue capek godok melulu.

“Sabar, Non, sabar…” kata botol air minum yang ada di pangkuan gue.

Apa dia bilang? Sabar? Gak pasti gini disuruh sabar?

“Udah jam segini nih, Mbak. Mau dimulai jam berapa. Jam dua kan aku ada kuliah agama…” Henokh ngeluarin unek-uneknya datar.

“Tau deh, Nokh. Gaje gini nih. Mana kita nunggu dari tadi tapi belum ada yang kasih tau kepastiannya…” timpal gue.

Tik-tok-tik-tok…
Udah hamper jam satu. Benar lagi lomba baca puisi kategori anak-anak bakalan dimulai, tapi kepastian soal lomba kategori dewasa? Belum ada kepastian!

Sayup-sayup gue denger ibu-ibu tunanetra yang gue kenal sih, lagi asyik ngerumpi and nyiapin hafalan buat lomba baca Al-QQur’an. Gue sempet mikir bentar. Besok kalo gue udah gede, udah tua, mungkin bakalan kayak mereka ya. Geli. Gue cekikikan dalam hati. Oh gosh…masa tua emang gak bisa dihindari.

“Coba cari info yuk, Nokh!” gue ngajak Henokh. Akhirnya gue and Henokh cabut cari info and kepasttian. Di tengah jalan ketemu Mbak Yanti. Finally kami dianter ke meja registrasi.

Tik-tok-tik-tok…
Gue sumringah sekarang. Gue balik dari meja registrasi dan duduk di samping Agus. Hey girl hey, gue bawa kabar menarik nih!

“Guys, lomba baca puisi kategori dewasa diadain bareng sama kategori anak-anak loh. Jam satu ini!” ucap gue girang.

“Horeeee…” semangat kami pun naik lagi.

*Bersambung…
Ayo temukan part berikutnya…