Selasa, 08 November 2011

Part 4: Mengembara ke Semarang Setelah 2 Tahun Menyepi :D


Rabu, 19 Oktober 2011…
            Pagi masih sangat buta ketika kubuka kedua bola matabulatku. Tubuhku menggeliat mengiringi kedua bola mataku yang terbuka. Aku mengucek mataku, berharap ada sesuatu yang nongol di mataku. Tapi harapku itu takterbukti. Yang kutangkap di kedua bola mataku hanyalah kabut putih. Aku terdiam di antara kabut-kabut putih yang berseliweran dalam pandanganku. Kubiarkan nyawaku terkumpul sebelum akhirnya menepuk punggung Ibu yang masih meringkuk di sampingku. Sayup-sayup kudengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Lantunan ayat suci itu terasa sejuk dalam keheningan pagi ini. Hmm, kalau sudah terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an macam itu, tandanya subuh akan segera dating. Entah mengapa senyumku terkembang ketika kata “subuh” terlintas di benakku. Mungkin aku sudah tak sabar untuk bertemu sang fajar guna melanjutkan kembali Pelatihan Komputer Bicara. Atau mungkin aku sudah tak sabar untuk segera pulang ke kampong halaman? Menurut jadwal, Pelatihan Komputer Bicara yang sedang kujalani ini akan berakhir pada hari ini, tanggal 19 Oktober 2011. Ah, tapi rasanya aku tak ingin pelatihan ini berakhir. Aku ingin tetap disini dan tetap belajar computer bicara. Senyumku yang semula terkembang kini sedikit pudar kala kuingat bahwa hari ini pelatihan akan segera berakhir. Ah, sudhahlah…masih ada beberapa jam yang bisa kumanfaatkan untuk belajar computer bicara, kuyakin saat pulang nanti aku bisa menggondol banyak ilmu dari padepokan ini meski waktu yang kulewati hanya 2 hari. OK, sekarang lebih baik tepuk punggung Ibu lalu ajak dia pergi ke kamar mandi.
            Akhirnya kusentuhkan tanganku pada punggung Ibu. Perlahan kutepuk punggungnya. Tubuh Ibuku akhirnya menggeliat hanya dengan tiga kali tepukan tanganku di punggungnya. Tingkah Ibu sekarang ini tak juh dengan apa yang telah kutunjukkan beberapa saat lalu. Ya, Ibu menggeliat, lalu mengucek kedua matanya dan diakhiri dengan diam. Begitulah kiranya yang kutangkap dari sudut mataku yang kebetulan masih bisa kuandalkan untuk menangkap gerak seseorang meski hanya Nampak seperti bayangan. Kubiarkan Ibuku mengumpulkan nyawanya. Sementara Ibu tengah sibuk mengumpulkan nyawanya, aku justru sibuk mematahkan jari-jemariku. Apa yang terjadi padaku? Hmm, sebuah rematik yang kumiliki nampaknya sedang beraksi saat ini. Itu terbukti dari pegal dan sakit yang kurasakan pada jari-jemariku. Nah, ketika si Rematik beraksi, biasanya kulancarkan sebuah aksi balasan dengan jalan mematahkan jari-jemariku. Aksi yang kulakukan itu biasanya cukup ampuh mengusir nyeri yang ditimbulkan oleh si Rematik. Tapi kalau pun tak berhasil, aku masih punya cara lain yang bisa kugunakan untuk melawan si Rematik. Air hangat yang diberi garam, itulah alternatif lain yang biasa kugunakan untuk mengusir nyeri yang ditimbulkan oleh penyakit yang lebih sering menyerang kaum lansia ketimbang remaja macam aku ini. Hmm, tapi kurasa air hangat plus garam itu tak perlu kudatangkan disini, sebab aksi si Rematik kali ini tidaklah terlalu mengkhawatirkan.
            Suara Ibu tiba-tiba menggema di antara suara patahan jari-jemariku. Rupanya nyawa Ibu sudah terkumpul. Akhirnya kuhentikan kegiatanku bersama beberapa ruas jari-jemariku dan bergegas mengalihkan perhatianku pada Ibu. Ibu terdengar beberapa kali melemparkan kalimat padaku. Inti kalimat yang ilontarkannya adalah perihal kenyamananku tidur mala mtadi. Tentu aku langsung menimpali kalimat-kalimat Ibu itu dengan sebuah ekspresi yang menunjukkan bahwa tidurku malam tadi sangatlah nyenyak. Tak ingin kalah dengan Ibu, aku pun ikut melemparkan beberapa kalimat Tanya pada Ibu. Tentu pertanyaan yang kulemparkan padanya tak jauh-jauh dari pengalaman tidurnya malam tadi. Dan jawaban yang dihadiahkan padaku cukup membuatku geleng-geleng kepala. Betapa tidak, kepadaku Ibu menceritakan bahwa semalaman dia digerogoti oleh hawa panas. Dia bercerita bahwa badannya basah kuyup oleh keringat. Nah, yang membuatku geleng-geleng kepala adalah keberadaan sang AC yang tak dihiraukan oleh Ibu. Ya, AC yang menyala di ruangan ini rupanya tak mempan untuk mengusir gerah yang Ibu rasakan, padahal menurutku AC yang bertiup semalam rasanya mampu membekukan sebungkus Ice Cream. Aku saja kedinginan sampai-sampai Rematikku kambuh, Tapi Ibu justru kegerahan. Ckckck…Ibu memang aneh.
            Usai berdiskusi bersama, akhirnya aku dan Ibu memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Kemudian aku pun berjalan sambil berpegangan pada Ibu. Perlahan-lahan kulangkahkan kedua kakiku, mengikuti derap langkah seorang wanita didepanku. Belum lama aku melangkah, tiba-tiba Ibu mengatakan sesuatu. Tapi kalimat yang Ibu lontarkan itu tak begitu jelas terekam di telingaku. Belum sempat aku menanyakan kalimat apa yang Ibu lontarkan, tiba-tiba kakiku menabrak sesuatu. “Aduh, tubuh siapa yang kutabrak?” batinku sambil celingukan, mencari tahu pemilik tubuh yang kutabrak tadi. Usut punya usut, salah seorang dari ketiga jagoan di padepokan inilah yang kutabrak. Ya, salah seorang dari tiga sekawan, Mas Ari, Mas Fadzzirin, dan Pak Mahendra, tak sengaja ditabrak oleh kakiku. Hehehe, maklum lah kurang awas, ditambah lagi kondisiku yang baru saja bangkit dari mimpiku. “Maaf, maaf, maaf”  begitu kataku penuh rasa bersalah. Gara-gara kecerobohanku dalam melangkah, tidur kaum adam itu jadi terganggu. Dan memang benar, tanda-tanda kehidupan yang kutunjukkan bersama Ibu pagi ini membuat para kaum adam itu terbangun. Tapi taka pa, lagi pula suara Adzan sudah berkumandang di luar sana.
            Beberapa menit telah berlalu, dan kini aku telah duduk manis di samping sebuah pintu. Aku sedang menunggu Ibuku yang tengah menunaikan sholat subuh. Sementara itu, tak jauh dari tempat yang sedang kudiami sekarang ini, tiga kaum adam yaitu Mas Ari, Mas Fadzirin dan Pak Mahendra, tengah asyik berbincang membicarakan sesuatu yang tak kumengerti. Aku terus mematung di samping pintu tanpa melakukan suatu gerakan yang berarti. Hanya sesekali terlihat bibirku bergerak. Gerakan bibirku itu bukan karena kedinginan apa lagi ketakutan, melainkan karena beberapa butir permen sedang menghuni mulutku. Butiran permen itu menciptakan gerakan tersendiri pada kedua bibirku. Maklum saja, permen yang sedang kulumat ini adalah permen kesukaanku yang sengaja kupesan pada saudaraku yang semalam sempat menemuiku di padepokan ini. Ya, saudaraku itulah yang membelikan permen ini untukku hehehe. Tapi tiba-tiba Ibu membangunkanku dari lamunan. Rupanya Ibu telah selesai menunaikan kewajibannya kepada sang pencipta. Dan seiring dengan tuntasnya kewajiban Ibu kepada sang pencipta pada pagi ini, ketiga kaum adam itu pun mulai melaksanakan tugas rutin mereka setiap paginya, yaitu mandi pagi. Satu persatu mereka bergantian menggunakan kamar mandi.
            Entah sudah berapa banyak denting yang diciptakan oleh sang waktu seusai aktivitas Subuh tadi. Yang jelas, mentari telah nongkrong di luar sana. Sebenarnya aku tak tahu apakah sang mentari telah benar-benar menampakkan dirinya atau kah masih malu-malu dan lebih memilih untuk berdiam terlebih dulu di persembunyiaannya. Tapi beberapa geliat masyarakat di luar sana cukup membuatku yakin bahwa mentari memang sudah nongol dan siap menjaga hari ini dari kegelapan. Sementara orang-orang tengah sibuk dengan aktivitasnya, aku dan Ibu justru tengah asyik duduk di sebuah ruangan yang semalam sempat kujadikan tempat melukis mimpi lewat alam bawah sadar. Sementara itu, geliat ketiga kaum adam tak Nampakdi pelupuk mataku. Aku tak tahu apa yang sedang dikerjakan mereka sekarang ini. Berlama-lama duduk tanpa melakukan sesuatu sepertinya membuat Ibuku berinisiatif untuk melakukan sesuatu. Menyapu, itulah inisiatif yang dikemukakan padaku. Kontan aku langsung mendukung inisiatifnya itu. Buru-buru kusuruh dia membersihkan padepokan ini. Rasanya kurang pantas kalau aku dan Ibu hanya duduk santai, padahal kami telah diberi tumpangan disini. Kemudian Ibu pun memulai aktivitas menyapunya, sementara itu aku ditaruhnya di sebuah sudut. Aku lebih banyak diam. Aku tak tahu harus berbincang apa serta dengan siapa. Sebenarnya aku ingin berbincang dengan yang lain tapi aku takut dikira sok kenal dan sok dekat hehehe. Ya sudah, gaya mematunglah yang akhirnya kupilih sebagai tema ekspresiku kali ini.
            Tak lama berselang setelah aktivitas sapu menyapu yang dilakukan Ibu, kini aku dan yang lainnya duduk bersama di sebuah ruangan yang selama ini dijadikan sebagai tempatku berlatih computer. Perbincangan pun dimulai. Satu persatu tema diangkat pada diskusi kami pagi ini. Tak lupa secangkir kopi hangat menemani diskusi pagi ini. Tapi lagi-lagi di tanganku tak bertengger secangkir kopi hangat itu. Alasannya tentu tak jauh-jauh dari si Glaukoma, suamiku. Ah, tunggu, kenapa ada secangkir kopi hangat di tangan guruku ya? Ya, Mas Ari, guruku, dia terlihat mesra bercengkrama dengan secangkir kopi hangat padahal setahuku dia memiliki “hubungan” dengan siGlaukoma. Aduh, aduh, aduh, Mas Ari kok bandel begitu sih, jelas-jelas istrinya(Glaukoma) tak menyukai kopi, kenapa dia malah bermesraan dengan minuman itu?!? Langsung saja kuingatkan guruku itu, tentu mengingatkannya dengan baik-baik, tak seperti ketika Ibuku mengingatkanku untuk membereskan kamar hehehe. Kalau aku mengingatkan Mas Ari sambil melempar canda, lain lagi ceritanya dengan Ibuku. Ketika Ibu hendak memerintahkan atau mengingatkan sesuatu padaku, ia mengingatkanku dengan cara berteriak di lubang telingaku hehehe. Mas Ari memberikan sebuah jawaban yang membuatku “iri” perihal kopi dan Glaukoma. Hah, iri? Ya, aku memang “iri”, sebab dia mengatakan bahwa dia bebas meminum kopi tanpa takut si Glaukoma mengobrak-abrik matanya. Kok bisa? Ya, Mas Ari mengaku bahwa dirinya telah “bercerai” dengan si Glaukoma di sebuah ruang operasi beberapa tahun lalu. Iya, iya, aku baru ingat kalau Mas Ari sudah pernah menghuni ruang operasi ketika akan “bercerai” dengan si Glaukoma. Hmm, aku ingin seperti itu, aku ingin bebas meminum kopi layaknya Mas Ari.
            Kalimat demi kalimat meluncur dari mulut kami. Diskusi semakin panas dengan berbagai kisah dan pengalaman yang kami bagi. Dan aku, aku merasa tak perlu lagi memasang gaya “mematung” di ruangan ini. Aku ikut membagi kisah dan pengalamanku pada mereka. Sungguh hangat kurasakan kebersamaan ini. Rasanya enggan aku beranjak dari atmosfer macam ini. Rasanya aku ingin hari ini berjalan perlahan agar jadwal kepulanganku tak segera kutemui. Wajah kamar suramku yang dipenuhi kebisuan dan kesunyian rasanya tak ingin kulihat lagi. Aku tak ingin kembali menjadi penunggu kamar bersama beberapa benda tak bernyawa lainnya. Ah, tapi kurasa inginku itu sulit untuk terwujud mengingat keberadaanku di Semarang hanyalah seorang tamu. Ya sudah lah, hadapi dulu saja apa yang ada sambil tetap memupuk harapan agar suatu saat nanti aku bisa lepas dari kebisuan kamarku dan bisa tertawa sambil mengejar mimpi bersama yang lain.
            Waktu telah berjalan meninggalkan keseruan diskusi yang kami gelar. Di luar sana, mentari pun sudah semakin meninggi, memamerkan terangnya. Kini aku bisa merasakan hangat sang mentari, sebab kini aku sedang berada di luar. Ya, aku memang sedang di luar bersama Ibu. Kami tidak sedang berjogging ria, apa lagi sedang menunggu Bubur ayam lewat. Perut kami kebetulan sudah diisi oleh semangkuk Soto. Lalu, apa yang sedang kami lakukan di luar sini? Menemani Ibu yang tengah asyik menelpon, itulah aktivitas yang kulakukan sekarang ini. Pelatihan memang belum dimulai. Kudengar Pak Mahendra masih asyik dengan aktivitas mengotak-atik telpon genggamnya, sedangkan Mas Ari dan Mas Fadzirin nampaknya sedang asyik mengotak-atik komputernya. Kulihat Ibuku serius berbicara di telpon. Aku tahu siapa orang yang ada di ujung telpon sana, orang itu adalah Bibiku, adik ipar Bapakku lebih tepatnya. Kudengar suara Ibu semakin lama semakin parau. Meski aku tak melihat ekspresi wajahnya tapi aku bisa menebak dari suaranya kalau sekarang ini dia sedang bersedih. Bahkan bisa kupastikan kalau di matanya sudah ada mendung yang siap menurunkan hujan. Benar saja, butiran bening mengalir dari sudut matanya. Aku tahu itu dari suara paraunya. Hmm, kenapa lagi Ibuku ini? Kalau kutangkap dari pembicaraanya, sepertinya Ibuku menangis gara-gara masalah yang sedang dimilikinya. Ya, keluargaku memang sedang diterpa badai yang sangat luar biasa, oleh sebab itulah tangis Ibu pecah tiap kali membahas hal itu dengan yang lain. Hatiku perih melihat tangis Ibuku itu. Kasihan dia, meskipun sedang berada jauh dari rumah tapi masalah yang ada di rumah terus saja mengikutinya. Aku ingin segera mengakhiri mendung yang sedang menaungi langit Ibuku. Akhirnya kusuruh saja Ibu untuk mematikan telponnya dan segera menyuruhnya masuk ke dalam ruangan. Mendengar pintaku itu, Ibu pun langsung menurutiku.
            Tangis Ibu tak lagi Nampak, yang kini Nampak hanyalah sebuah Perangkat Komputer di hadapanku. Ya, pelatihan memang akan segera dimulai. Aku dan Pak Mahendra telah siap dilatih kembali oleh para guru di padepokan ini. Dan materi kali ini adalah memindahkan file dari computer ke Flashdisk ataupun sebaliknya. Oh God, aku lupa tak membawa Fd. Benda kecil itu kutinggalkan di kamarku padahal sebelum berangkat ke Semarang aku telah berencana untuk mengikutsertakan benda kecil itu dalam pengembaraanku. Tapi entah bisikan apa yang telah meracuniku sampai-sampai aku lupa membawanya. Buru-buru kubilang kepada Mas Ari tentang FD yang tak kubawa itu. Untungnya para pengajarku begitu baik hati, aku dipinjami sebuah FD. Tapi saying sungguh saying, FD yang dipinjamkan kepadaku tak terbaca oleh si computer. Alhasil Mas Ari pun merelakan FD miliknya untuk kupinjam. Sebenarnya FD itu bukan milik Mas Ari melainkan milik kakaknya. Oiya, ada sebuah kebetulan yang mengiringi aksiku meminjam FD milik kakak Mas Ari itu. Sungguh tak kusangka, FD yang kupinjam memiliki nama serupa denganku. Eka, itulah nama FD yang kupinjam hehehe. Benar-benar tak terduga! Ternyata Kakak Mas Ari bernama sama denganku. Nah, itu dia tadi sebuah kebetulan yang kudapat di tengah-tengah pelatihan Komputer Bicara. Lanjut ke materi!
            Tahap demi tahap, trik demi trik, sedikit demi sedikit mulai kuperoleh dari sang guru. Dan setelah dirasa cukup untuk materi pemindahan file itu, kini materi beralih pada materi yang sangat kusukai. Belajar Internet, itulah materi selanjutnya dari Mas Ari. Wow, aku benar-benar bersemangat!! Dengan adanya materi tentang Internet ini, aku jadi bisa tahu lebih banyak dan bisa mendapat jawaban atas beberapa masalah yang sering kutemui saat berselancar di dunia maya. Senang…senang…benar-benar senang…akhirnya aku bisa bertanya pada orang-orang yang memang mengerti tentang penggunaan Internet dengan JAWS. Satu persatu kulemparkan pertanyaanku pada mas Ari di tengah-tengah materi yang sedang diajarkan padaku. Bisa dibilang aku lumayan bisa mengimbangi materi serta perintah-perintah yang dilontarkan Mas Ari. Hmm, taapi nampaknya seorang pengembara dari Kendal, Pak Mahendra, sedikit kesulitan dalam mengikuti materi tentang Internet ini. Tapi untungnya ada para pengajar yang baik hati yang siap menjelaskan dan membimbing beliau sampai beliau mengerti.
            Kedua daun telingaku kupasang baik-baik, yang satu kupasang untuk Om JAWS, sedangkan yang satunya lagi kupasang untuk mendengarkan arahan dari Mas Ari. Tanganku bergoyang di atas papan keyboard seiring arahan yang Mas Ari lontarkan. Kini aku tak hanya diarahkan untuk membuka “Google”, tapi beberapa jejaring social pun sang instruktur anjurkan untuk kubuka. Alhasil Facebook, Twitter dan Kartunet pun tak luput kubuka. Mumpung sedang berdekatan dengan sang instruktur, kuputuskan saja untuk meminta ID FB dan Twitternya. Duh, deg-degan sih, tapi untungnya dia memberikan ID FB dan Twitternya. Click…click…kuhadiahkan satu click untuk tombol “Follow” dan satu click lagi untuk tombol “Tambahkan Permintaan Pertemanan”. Setelah beres, tak lupa kuminta Mas Ari untuk Follow Back Twitter-ku dan Konfirmasi Facebook-ku. Sementara aku sibuk dengan jejaring social-ku, Pak Mahendra yang duduk di sebelah kanan Mas Ari justru masih asyik dengan Google-nya. Taka pa, mungkin ada bagian yang masih belum beliau mengerti.
            Suara JAWS masih terdengar di ruangan ini, dan itu berarti pelatihan belumlah selesai. Yup, aku masih asyik berselancar di dunia maya, terlebih lagi ada sebuah aktivitas Downloading yang sedang kukerjakan. Kebetulan Mas Ari sedang mengajariku me-Download sebuah lagu. Tapi tiba-tiba saja Handphone-ku menjerit. Ternyata SMS dari Pak Ndaru lah yang menyebabkan Handphone-ku menjerit. Ketika kubuka ternyata isinya adalah pemberitahuan tentang publikasi Kegiatan Pelatihan Komputer Bicara yang sedang kujalani ini. Ternyata Mas Syukron, wartawan yang kemrin me-wawancarai aku dan yang lainnya telah selesai me-posting tulisannya di sebuah surat kabar “Suara Merdeka”. Wah, ternyata sudah terbit ya. Buru-buru para Instruktur di padepokan ini mengaduk-aduk Google demi mendapatkan tulisan yang dibuat Mas Syukron itu. Yup, sepertinya Instruktur-ku berhasil mendapatkan tulisan Mas Syukron tentang kegiatan ini. “Pencet Keyboard, Andalkan Kekuatan Pendengaran”, itulah bunyi judul tulisan yang dibuat wartawan itu. Aku penasaran, lalu kuminta saja Mas Ari yang sedang “membaca” tulisan itu untuk membacakannya padaku. Tapi kemudian Mas Ari dan yang lainnya tertawa mendengar kalimatku. Mereka ternyata menertawakan kalimatku yang berbunyi, “bacain dong, Mas”. Hahaha…pantas saja mereka tertawa, orang tingkahku aneh begitu. Kok bisa-bisanya aku meminta Mas Ari untuk membacakan tulisan itu padahal jelas-jelas Mas Ari pun dibacakan oleh Om JAWS. Dari pada Mas Ari yang bacain, lebih baik denger langsung saja dari Om JAWS, kurang lebih begitu katanya. Hahaha…dasar Eka Oneng! Akhirnya aku mendengarkan langsung dari Om JAWS. Tapi sepertinya ada tawa aneh di telingaku. Tawa siapa ya itu? Ternyata tawa itu milik Ibuku. Wanita beranak dua itu ternyata menertawakanku. Kok bisa? Ya, dia menertawakanku gara-gara tulisan yang ia dengar dari Om JAWS. Ada beberapa kata yang membuat Ibuku terkekeh dan nakal menggodaku. “Perempuan cantik” dan “jemari lentik”, itulah dua kata yang membuat Ibuku tega menertawakanku. Aku juga kurang mengerti mengapa Ibu terkekeh begitu, padahal tak ada yang lucu dengan tulisan itu. Hmm, mungkin Ibu merasa geli dengan tulisan Mas Syukron yang mengatakan bahwa aku adalah “Perempuan cantik”. Mungkin di mata Ibu, anaknya ini tidaklah cantik. Huh, Ibu ini! Tak sekedar kata itu, kata “jemari lentik” pun dirasanya tak cocok digunakan untuk menggambarkan kondisi jari-jemariku. Mungkin Ibu beranggapan bahwa jari-jemariku bukan lentik, tapi bengkak bak singkong di kebun dekat rumahku. Ckckck…Ibu sepertinya senang melihat anaknya ditertawakan macam itu. Aku kesal mendengar tawanya. Aku juga malu mendengar godaannya. Biarkanlah Ibu tertawa sesuka hatinya sampai dia puas, huh.
            Keseruan telah terjadi di ruangan ini. Tapi sepertinya keseruan yang ada harus segera diakhiri mengingat waktu makan siang telah tiba. Hmm, bukannya senang, tapi aku justru bersedih. Lesung pipi yang semula kupamerkan dalam keseruan tadi, kini tak lagi menghias pipi sebelah kananku. Kenapa bisa seperti itu? Ya, aku takut mengakhiri pelatihan ini. Waktu makan siang telah tiba, itu tandanya detik-detik perpisahan pun akan segera dating. Hanya tersisa sedikit waktu untukku berdiam disini. Ah, sudahlah, tak perlu kupikirkan! Lebih baik sekarang focus pada tawaran yang disuguhkan oleh Mas Fadzirin. Tentu tawaran makanan lah yang disuguhkannya. Ia menawarkan beberapa jenis makanan untukku. Aku tak langsung menjawab. Aku justru melemparkan tawaran itu pada Ibu. Aku memutuskan untuk mengikuti apa yang menjadi pilihan Ibu. Selain itu, aku pun meminta sepiring berdua dengan IBu. Tapi sepertinya yang lain tak mengijinkan. Ya sudah akhirnya kupilih Bakso sebagai menu makan siangku. Makanan yang satu itu memang paforitku. Semasa sekolah sampai kuliah dulu, aku tak pernah absen dengan makanan berbentuk bulat itu. Sehari tak menyantap bakso rasanya begitu merana hehehe. Pantas saja mukaku bulat bak sebuah bakso hahaha. Oiya, aku boleh sedikit cerita kan? Dulu aku sempat dikenal dengan julukan “BS”. Kata itu disematkan kepadaku oleh teman-teman sekolahku. Mereka bilang, “BS” itu berarti “Bakso”. Untung tak berarti “Barang Second” hehehe. Selain julukan itu, aku dan dua temanku yang lainnya (Novi dan Yuli) dijuluki sebagai Genk “Royal”. Nah lho, kenapa bisa dijuluki seperti itu? Alasannya ya tak jauh-jauh dari hobi-ku menyantap Bakso. “Royal” adalah nama sebuah kedai Bakso langgananku. Sepulang sekolah, sehabis ulangan, sehabis ujian, sehabis bolos, kami pasti selalu menyempatkan diri untuk mampir ke kedai itu. Nah, karena itulah aku, Novi, dan Yuli, dijuluki sebagai Genk Royal. Hahaha…dasar anak muda!
            OK, kembali ke tawaran makan siang. Kepada Mas Fadzirin aku memesan semangkuk Bakso tanpa embel-embel sayuran, bihun, dan kawan-kawannya. Tapi lidahku ternyata salah bicara. Kepada Mas Fadzirin aku mengatakan bahwa aku memesan Bakso tanpa diberi apa-apa. Maksudku sih tanpa diberi sayuran, Bihun dan kawan-kawannya. Tapi rupanya Mas Fadzirin menggodaku. Dia bilang, “pesennya apa? Kuahnya aja tanpa Bakso ya?”, begitu katanya. Aku tertawa mendengar kelakarnya itu. Dan setelah semuanya beres, Mas Fadzirin pun meluncur meninggalkan kami. Dia pergi untuk memburu makanan di luar sana. OK Mas Fadzirin, hati-hati di jalan ya!
            Finish untuk Part 4. Tapi tenang, masih ada satu part lagi kok. Ditunggu aja ya. Oiya, seperti biasa, makasih atas perhatian Kartuneters semua dan maaf kalau tulisannya mengganggu kenyamanan Kartuneters semua hehehe. OK, see you later! Salam Akselerasi!
Tulisan ini dipostkan juga di www.kartunet.com

Minggu, 06 November 2011

Part 3: Mengembara ke Semarang Setelah 2 Tahun Menyepi :D


Selasa, 18 Oktober 2011…
            Matahari Nampak cerah ceria, mirip seseorang yang habis menang lotre. Senyumnya terus terkembang dan sinar di tubuhnya terus ditebar ke seluruh pelosok Semarang. Tapi keriangan sang mentari itu tak berlaku untuk dua pengembara dari Brebes, yaitu aku dan Ibuku. Yup, pasalnya kini aku dan Ibu sudah berada di dalam padepokan DPD Pertuni Jawa Tengah. Serius nih beneran sudah sampai di padepokan yang dicari? Iya, sepertinya aku dan Ibu memang sudah menginjak tempat yang mempunyai alamat di Jl. Badak 3 no 62 Semarang. Buktinya aku dan Ibu langsung dibimbing masuk ke dalam padepokan setelah Taxi yang membawa kami dari stasiun ke tempat ini berlalu dari pandangan kami. Dan ada satu hal lagi yang membuatku yakin bahwa tempat yang sedang kuinjak sekarang ini adalah padepokan DPD Pertuni Jawa Tengah. Ada seorang kaum adam yang memperkenalkan diri pada aku dan Ibu. Ndaru, begitulah katanya. Yaa, seorang kaum adam itu mengaku bernama Ndaru. Bingo!! Kaum adam itu adalah Pak Ndaru, ketua DPd Pertuni Jawa Tengah yang mengundangku belajar di padepokan ini. Nah, kalau sudah ada Pak Ndaru berarti aku sudah bisa tenang karena itu tandanya kami tak tersesat.
            Aku dan Ibu langsung memperkenalkan diri pada beberapa sosok yang ada di padepokan. Selain Pak Ndaru, ada juga tiga orang lainnya yaitu Mas Ari dan Mas Fadzirin sebagai pengurus padepokan, serta satu lagi Pak Mahendra seorang pengembara dari Kendal yang juga akan berguru di padepokan ini. Pelatihan tak langsung dimulai. Lebih baik chit-chat dulu saja. Yup, canda dan tawa pun meluncur dari mulut kami mengiringi obrolan dan perkenalan kami. Yang kutangkap dari pertemuan pertama ini adalah keramahan, keseruan dan kelucuan hehee. Betapa tidak, Pak Ndaru dan yang lainnya tak henti-hentinya melempar canda di ruangan yang tak kuketahui apa warna kulitnya. Baru pertama bertemu tapi aku sudah merasa betah bersama mereka. Entah mengapa aku langsung berpikiran bahwa mereka mampu mengusir mendung yang menggelayut di langitku. Berkumpul bersama mereka sepertinya akan mengusir setiap gundah dan lara. Sudah lama aku tak merasakan suasana penuh tawa macam ini. Maklum saja, aku hanya berteman dinding-dinding kamar yang beku ketika menyepi selama dua tahun lalu.
            Yang membuatku senang tak hanya canda yang dilemparkan saja, tapi kisah serta pengalaman yang terlontar dari mulut mereka pun mampu membuat mataku berbinar dan mampu membuatku berkata, “Aku harus bangkit karena aku tak sendirian!”. Dalam perbincangan yang tercipta di antara kami, aku jadi tahu kalau Mas Ari dan Pak Ndaru adalah dua sosok yang juga pernah menjalin hubungan special dengan Glaukoma, sama sepertiku. Tapi sekarang mereka sudah bercerai dengan si Glaukoma meski jejak si Glaukoma masih membekas pada kedua kaum adam itu. Ya, meski mereka telah bercerai dari Glaukoma tapi pekat tak mampu mereka hindari. Ya, sebuah ketunanetraan telah ditinggalkan oleh si Glaukoma pada kedua sosok itu. Meski demikian, mereka tetap berkreasi dan bermanfaat bagi orang lain. Oiya, ada sebuah kelakar yang dilemparkan oleh Pak Ndaru, beliau mengatakan bahwa aku, Mas Ari dan beliau adalah Glaukoma mania. Bahkan beliau mengatakan bahwa kami bisa membentuk fans club untuk Glaukoma. Hahaa…ada-ada saja. Tapi mendengar candanya itu, lelah yang kurasakan setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, kini musnah tergantikan tawa yang selalu menggema.
            Cekit…tiba-tiba terdengar suara sepeda motor yang terhenti di depan padepokan. Aku melongok kea rah luar. Tak kudapati apa-apa disana, yang kudapati hanya kabut putih*ya iyalah orang mataku gak awash aha*. Tak lama setelah suara sepeda motor itu lenyap, munculah sosok baru di ruangan yang sedang kuhuni ini. Rupanya sosok itu adalah sosok di balik sepeda motortadi. Mas Sigit, itulah sang pembalap yang suara sepeda motornya sempat mengalihkan pandanganku. Mas Sigit adalah seorang Mitra Bakti, sama seperti Mas Fadzirin. Oiya, kalau Mas Ari adalah seorang sekretaris di DPD Pertuni Jawa Tengah. Okay, nampaknya canda tawa kami harus diakhiri karena pelatihan akan segera dimulai. Aku pun akhirnya dibimbing untuk masuk ke ruangan yang akan aku gunakan untuk menaklukan Om JAWS.
            Yup, akhirnya aku telah duduk manis di hadapan sebuah perangkat computer. Pak Mahendra yang merupakan seorang guru di sebuah SLb di Kendal pun telah duduk manis di hadapan computer. Perkenalan dengan si PC pun dimulai. Raba-meraba pun dimulai. Dan bisikan sang JAWS pun mulai menari di telingaku. Suara magis Om JAWS sebetulnya sudah taka sing lagi di telingaku atau pun di telinga Pak Mahendra, sebab kami memang sudah mengenal JAWS sebelumnya. Perlahan-lahan Mas Ari sang instruktur senam, eh salah, maksudku sang instruktur pelatihan computer bicara mulai menulurkan ilmu yang dimilikinya. Materi-materi fundamental satu persatu kurekam dalam otak Pentium tiga-ku. Mudah-mudahan saja otakku yang ala kadarnya ini mampu menampung semua ilmu yang ditulurkan oleh sang guru yang berusia tak jauh dariku. Seru dan menyenangkan, tapi rasa nervous sepertinya menyergapku. Wah, kok bisa? Hayo…hayo…gerogi dengan sang guru ya? Hmm, entahlah…alasannya campur aduk. Mungkin gerogi pada sang guru juga betul, tapi gerogi karena factor lain pun sepertinya iya. Mungkin aku gerogi karena layar computernya dimatikan. Hah, kenapa gerogi karena itu? Ya, maklum saja lah, tiap kali aku bertatap muka dengan layar computer di rumah, wajahnya selalu berseri dengan sinar terang yang memancar dari wajahnya. Tapi kini, wajah si layar computer Nampak murung tanpa cahaya. Oh, usut punya usut para pelatih di padepokan ini sengaja mematikan layar komputernya. Mereka beralasan bahwa sinar yang dipancarkan oleh si computer akan semakin merusak mataku yang memang sudah rusak. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa aku akan curang dengan memnfaatkan sisa lahan yang masih berfungsi di mataku untuk melihat segala macam kalimat atau pun icon yang terpampang di wajah si computer. Okay, taka pa…meski layar dimatikan dan aku tak bisa melihat apa saja yang sedang diolah oleh si computer, yang penting aku sudah punya trik-trik untuk mengetahui apa saja yang sedang diolah oleh si computer. Okay Mas Ari, no problem deh…lanjutkan!!
            Huah, capek juga ya dari tadi meraba-raba si computer. Rasa capek sepertinya tak menjadi milikku saja. Sang guru dan yang lainnya pun merasakan capek yang kurasakan. Akhirnya pelatihan dihentikan untuk beberapa saat demi menunaikan sholat Dzuhur. Tak terasa ya sudah sampai di pertengahan hari. Akhirnya semua orang yang ada di padepokan pun beranjak pergi mencari air wudhu, sedangkan aku masih terdiam disini. Kebetulan aku sedang tidak menunaikan ibadah sholat. Tik-tok-tik…waktu terus berjalan, perut pun sudah kenyang. Ya, usai berdialog dengan Tuhan, kami pun beralih untuk berdialog dengan makanan. Perut jangan sampai kosong dan jangan biarkan cacing-cacing di perut menggelar pagelaran music keroncong heheee. Okay, kalau masalah perut sudah beres, sekarang lanjutkan kembali belajarnya. Dan akhirnya pelatihan pun dilanjutkan.
            Serius…serius dalam hal apa nih? Serius dalam hal belajar lah. Tapi keseriusan belajar sedikit terganggu oleh panas yang menyeruak. Gerah meraung-raung di ruangan ini, menciptakan bulir-bulir keringat di wajahku. Semarang benar-benar panas. Tapi taka pa lah, semua ini demi ilmu. Okay, kembali focus pada kalimat yang dilontarkan Mas Ari! Setelah aku tak lagi menghiraukan raungan sang panas, tiba-tiba ada hal lain yang mengalihkan konsentrasiku. Jepret…jepret…jepret…terdengar suara jepretan di sisi kiriku. Suara itu biasanya muncul tiap kali ada artis yang tengah mengadakan konverensi pers. Ya, suara itu adalah suara jepretan kamera. Wah, aku serasa mirip Selena Gomez deh dijepret-jepret oleh kamera para pemburu berita. Stop mengkhayal, Eka! Sekarang lebih baik cari tahu sebab musabab suara jepretan itu tercipta. Aku pun menoleh ke kanan dank e kiri, mirip seekor bebek yang hendak menyebrang di jalan raya. Tapi lagi-lagi yang kudapati hanyalah kabut putih. Ah, sudahlah…lupakan saja soal jepret-menjepret itu. Fokus saja pada tombol-tombol yang ada di hadapanmu, Eka!
            “Permisi, saya Syukron” tiba-tiba ada suara yang muncul di sisi kiriku. Kaget…kupikir apa. Tangan si pemilik kalimat tadi tiba-tiba menyalamiku. Aku pun tersenyum padanya. Kuyakin dia pun tersenyum balik padaku. Hmm, siapa ya Mas Syukron ini? “Saya dari Suara Merdeka”, lanjutnya. What, Suara Merdeka? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu, nama itu sudah taka sing lagi di telingaku. Ya iya lah, itu kan nama surat kabar terkemuka di seantero Jawa Tengah. Oh, ternyata Mas Syukron ini adalah seorang wartawan dari Suara Merdeka. Beberapa pertanyaan pun terlontar dari mulut Mas syukron, mulai dari nama lengkapku, alamatku, pendidikan terakhirku, ilmu apa saja yang telah kukuasai dari pelatihan computer bicara ini sampai harapan-harapan pun ia tanyakan padaku. Aku berusaha menyuguhkan jawaban padanya meski dengan nada malu-malu hehee. Wawancara tak begitu lama berlangsung. Dan setelah Mas Syukron puas bertanya padaku, kini giliran yang lainnya ikut diwawancarai. Wah, seumur-umur baru kali ini aku diwawancarai oleh seorang wartawan *norak deh si Eka hahaa*.
            Pelatihan pun akhirnya berakhir seiring dengan langit kota Semarang yang mulai redup. Aku dan yang lain pun langsung berbenah diri, menghilangkan keringat yang menempel di tubuh dengan guyuran air di kamar mandi. Usai mandi, kami berchit-chat ria sambil menonton TV. Setahuku sih di ruang TV ini ada aku, Ibu, Mas Sigit, Mas Ari, dan Pak Mahendra*kayaknya sih Cuma ada segitu, kalau salah mohon maaf deh heeheee*. Cukup seru perbincangan santai sambil menonton TV ini. Kami saling berbagi cerita, mulai dari hal yang sepele sampai yang berat-berat tak luput kami bicarakan hehee. Meskipun aku Nampak ceria tapi sebenarnya tubuhku terasa tak enak. Sedikit pegal dan ngilu, mungkin ini adalah reaksi tubuhku terhadap perjalanku tadi siang. Tapi taka pa, aku masih bisa menguasai semuanya. Oiya, ada sesuatu yang dilontarkan Mas Ari yang lumayan membuat wajahku memerah bak tomat busuk. Apa itu? Hayo…hayo…hayo…ada apa nih sama Mas Ari? Tak ada apa-apa sih, aku hanya malu saja mendengar Mas Ari membahas tentang postinganku di Kartunet. Masih ingat postinganku yang berjudul “Butuh Selangkah Lagi Untuk Benar-benar Mengatakan Dream Comes True”? Nah, postingan itulah yang dibahas Mas Ari dan membuat wajahku memerah. Ternyata guruku itu membaca postinganku. Tak ada masalah sih sebenarnya, hanya saja aku malu karena yang kubahas di tulisan itu perihal rencanaku mengembara ke padepokan yang menjadi tempat Mas Ari berkantor heheee. Jadi ketahuan kan kalau aku tak punya uang untuk mengembara ke Semarang heheee. Tapi taka pa, aku malah senang tulisanku dibaca oleh guruku yang masih muda itu hahaa. Mas Ari bilang ia tak sengaja membaca tulisanku itu, ah rupanya yang ia baca itu adalah tulisan seseorang yang akan dilatihnya di padepokan ini.
            Butiran air mengalir dari atas langit, menimpa tanah dan menciptakan aroma tersendiri di mala mini. Meski hujan telah turun, tapi Semarang masih tetap panas, begitulah yang kurasakan. Meski di luar hujan dan gerah sedang kurasakan, tapi pelatihan harus segera dilanjutkan. Ya, sekarang telah lewat waktu Isya, dan sesuai jadwal tepat sekarang ini kami harus melanjutkan pelatihan computer bicara. Aku benar-benar antusias untuk melanjutkan belajarku.Berbeda dengan tadi siang, sekarang kami belajar dengan menggunakan Laptop masing-masing. Tapi tiba-tiba ada suara sepeda motor yang terhenti di luar. Aku bisa menebak siapa yang dating mala mini. Pasti yang dating itu adalah saudaraku yang kebetulan sedang berkuliah di Semarang. Sejak di rumah aku memang sudah tahu bahwa dia akan menemuiku di padepokan. Ternyata memang benar, meski hujan dia tetap dating. Jujur, kedatangan dia menemuiku sebenarnya untuk mengajakku berkeliling Semarang hehe. Rencananya dia akan mengajakku berkunjung ke tempat beberapa temanku yang juga sedang berkuliah di Semarang. Tapi rencana itu gagal karena jadwal yang tidak memungkinkan. Akhirnya cowok yang sekarang duduk di jurusan Geografi di Universitas Negeri Semarang itu hanya duduk manis di sampingku, melihatku belajar computer dan sesekali dia berbincang dengan Ibuku.
            Kembali ke pelatihan! Yang sedang dikerjakan olehku dan Pak Mahendra sekarang ini adalah mengetik. Mas Ari membacakan beberapa materi dan aku serta Pak Mahendra bertugas mencatatnya di Laptop. Hmm, sebenarnya ada yang membuat hatiku sedikit bersedih. Aku merasa kasihan pada Mas Ari. Dia terlihat sedang tak enak badan. Dia terkena flu sepertinya. Itu terbukti dari bersin yang dia tunjukkan. Meski dia sedang tak enak badan tapi dia tetap mengajariku dan Pak Hendra. Aku jadi salut padanya. Tapi tetap saja rasa tak tega kuat berkecamuk dalam diriku. Bayangkan saja, apakah tega melihat seseorang yang ada di hadapan kita  tengah bersin-bersin dan bersuara parau? Dari suaranya aku bisa menebak bahwa dia sedang kepayahan. “Aduh, Mas Ari kasihan banget deh” begitu kataku dalam hati. Sesekali kucoba menyarankannya minum obat, tapi dia rupanya sudah menelan obat yang diharapkan mampu mengusir flu yang menyerangnya. Syukurlah kalau begitu. Mudah-mudahan keadaannya cepat membaik J
            Setelah beberapa lama berjalan akhirnya pelatihan pun ditutup dan saudaraku yang semula duduk di sampingku pun kini telah tiada, ia telah kembali ke kost nya. Kini saatnya menutup mata dan mengumpulkan tenaga untuk hari esok. Aku dan Ibu tidur berdua, sedangkan Pak Mahendra, Mas Ari dan Mas Fadzirin tidur bersama. Okay, mudah-mudahan tidurku mala mini nyenyak dan esok bisa kembali melanjutkan pelatihan yang telah lama kutunggu-tunggu ini J . Good night, Semarang J
            Garing…garing…garing…garing banget deh tulisan si eka! Iya ya, tulisanku kali ini kayaknya lebih garing dari biasanya deh. Udah bisa ditebak nih, kayaknya tulisanku merusak mata dan telinga Kartuneters semua, iya kan? Aduh, maaf ya Kartuneters. Maklum lah masih amatir heheee. Jadi malu nih. Kalau gitu aku kabur aja ah! Makasih ya Kartuneters atas waktunya. Makasih juga atas jus dan cemilannya. Oiya, sebelum aku cabut, aku mau ngasih tau kalau part selanjutnya masih ada lho. Mohon ditunggu aja*PD banget, udah kayak ada yang mau nunggu aja hahaa*. Okay, aku cabut dulu ya soalnya mau jemput anak di sekolah hahaaaa….bye!
Salam Akselerasi!
Dipostkan juga di forum website www.kartunet.com

Part 2: Mengembara ke Semarang Setelah 2 Tahun Menyepi :D


Dingin merayap masuk ke dalam kamar yang kuhuni  dengan membawa sisa-sisa hujan semalam. Dingin yang terusir dari senyawa malam itu bangunkanku dari mimpi pendekku malam tadi. Kubuka kedua mataku lalu kuarahkan pada sosok yang tengah meringkuk di sebelahku bak udang manis pedas di Resto Sea Food. Rupanya Ibuku masih terlelap. Akhirnya kusentuhkan tanganku pada kulit Ibu, mengikuti jejak sang dingin yang bangunkanku dari mimpi. Berhasil, Ibu akhirnya terbangun. Kulihat Ibu buru-buru menatap wajah polos sang jam dinding kesepian yang menempel pada tubuh dinding berkulit putih. Jam setengah empat, begitu kata Ibu sambil menyuruhku menyiapkan pakaian yang hendak kupakai dalam pengembaraan nanti. Usai aku siap dengan pakaianku, tanganku langsung dibimbing ke kamar mandi guna membinasakan kuman-kuman  dan aroma tak sedap akibat keringat yang menggerayangiku saat aku terlelap dalam tidurku.
            Kini aku telah berubah wujud dari tampang mirip gembel menjadi mirip Mahasiswi yang di-Drop Out dari kampus, hehe. Sebuah celana yang menurut anak Alay alias Anak Layangan biasa disebut celana pensil kini membalutku. Tak hanya itu, sebuah kaus dan jilbab berwarna pink pun membalut tubuh dan kepalaku. Sekedar info, pakaian yang kupakai itu sama seperti pakaian yang kupakai dalam foto profil yang kupajang di Kartunet lho hehe *info gak penting*. Yup, kini aku telah berubah menjadi Ranger Pink dan telah siap berkelana dan membasmi kejahatan. Eits,tapi pengembaraan tak langsung dimulai, santai dulu saja. Jangan biarkan gelas-gelas kaca berisi kopi di atas meja itu tak bertuan. Lebih baik ngopi dulu saja. Yup, akhirnya aku, Ibu, dan Mbah-ku duduk bersama di ruang tamu sambil memegang gelas di tangan masing-masing. Sebenarnya aku tak seragam dengan dua orang kaum hawa yang ada di hadapanku. Ya, aku tak ikut menyeruput secangkir kopi, aku hanya menyeruput secangkir the hangat. Berhubung si Glaukoma suamiku tak menyukai kopi, akhirnya aku pun tak berani menyeruput minuman yang dulu rutin kuseruput sebelum akhirnya si Glaukoma mempersuntingku menjadi istrinya. Dari pada suamiku itu mengamuk dan mengobrak-abrik mata serta kepalaku, lebih baik kuhindari saja minuman itu.
            Telah lebih dari lima kali bibirku beradu dengan bibir gelas kaca berisi the hangat, telah terlontar pula beberapa tema dari bibir Ibu dan Mbah-ku sebagai tema diskusi mereka pagi ini. Mulai dari masalah rumah tangga, ekonomi, bisnis, sampai politik mereka bahas setajam Silet. Ah, dari pada aku tersayat-sayat oleh kalimat mereka, lebih baik aku bermain-main saja dengan lamunanku. Kuseruput terlebih dulu the hangat-ku sebelum memulai lamunanku. Seiring dengan kehangatan yang masuk ke dalam tenggorokanku, beberapa keeping peristiwa yang terekam dalam ruangan ini pun masuk ke dalam ingatanku. Ruangaan ini mengingatkanku pada peristiwa semalam. Ada peristiwa seru yang terjadi semalam sebelum akhirnya aku meringkuk di atas pembaringan. Seorang anak berumur 10 tahun itu kembali menari dalam ingatanku. Iyuz, itulah nama anak itu. Ada yang special dari anak chineese itu, dia adalah seorang anak yang menderita Down Syndrome. Meski dia menderita Down Syndrome tapi keceriaan dan keaktivan-nya tak kalah dengan anak lainnya. Padaku ia menunjukkan tarian Caia-Caia ala Briptu Noorman. Dengan lincahnya ia bergaya sambil melantunkan lagu India itu dengan kalimatnya sendiri. Aku, Ibu, Mbah dan sang Ibunda Iyuz terkekeh melihat aksi siswa SLB itu. Meski aku tak bisa melihat gaya si Iyuz, tapi aku bisa membayangkan gerakan yang dipamerkan anak laki-laki itu. Tak hanya itu, ia pun mengajakku bermain ala pelayan dan costumer di sebuah Resto. Dia berlakon sebagai pelayan, dan aku berlakon sebagai seorang costumer. Wah, seru. Anak berkubutuhan khusus itu benar-benar cerdas. Dari sosok Iyuz itu aku semakin yakin bahwa anak-anak yang dianggap memiliki dunia-nya sendiri macam Iyuz ini tetap sama seperti anak-anak lainnya, tetap ceria dan memiliki kelebihan juga.
            Tik-Tok-Tik-Tok…sang waktu perlahan mulai mengusir tumpukan menit. Berhubung tumpukan menit itu mulai habis dan hitungan jam mulai dating, aku dan Ibu memutuskan untuk segera bertolak ke Stasiun. Sebuah tas yang didominasi warna pink dan coklat muda langsung kugendong di punggung. Dan sebuah tas berisi Laptop kugantung di pundak sebelah kananku. Yup, kami siap mengembara !! Eits, jangan lupa pamit dulu kepada Mbah tercinta….Kalau sudah selesai, let’s go !
            Tak lama setelah berpamitan pada Mbah, kini aku dan Ibu telah berada di Stasiun dan siap menukarkan si “money” yang sejak kemarin sudah dikerangkeng dalam dompet Ibu dengan sebuah tiket perjalanan kereta api menuju kota yang memiliki objek wisata bersejarah Lawang Sewu. Tiket kereta api bisnis rencananya akan kami pesan, itu tandanya cukup menggelontorkan uang lima puluh ribu saja. Tapi malang sungguh malang….tiket yang kami inginkan telah sold out. OMG, terus bagaimana? Terpaksa ambil tiket kereta Eksekutif Kaligung Emas yang tentu harganya lebih mahal dari kereta bisnis. Glotak, uang seratus ribu kini menghuni kotak uang si penjual tiket di loket pembelian. Alamak, niat ingin ngirit malah ngorot. Tapi tak apalah, dari pada waktu belajarku di Semarang tersita gara-gara menunda keberangkatan, lebih baik relakan saja uang seratus ribu itu. Toh keretanya sama-sama bernama Kaligung haha.
            Singkat cerita, kini aku dan Ibu telah menghuni sebuah tempat duduk empuk di salah satu gerbong kereta api yang akan mengantarku ke Stasiun Poncol Semarang. Udara sejuk sang AC akhirnya bisa aku hirup setelah menunggu lama si Kaligung yang terkena Trouble. Bosen, trouble terus. Benar kata neng Lenka, dia bilang Trouble is A Friend. Betul neng Lenka, lagunya tepat. Ah, kenapa jadi membahas lagu sih, lupakan soal neng Lenka itu, sekarang lebih baik focus pada pengembaraan ! Ngung jegjeg ngung jegjeg…apaan tuh? Itu suara kereta apinya. Anggap saja bunyinya seperti itu *maksa haha*. Kereta terus melaju melewati hamparan sawah yang tersenyum di kiri dan kanan. Lihatlah, ada sungai yang mengalir, ada sawah yang dipenuhi palawija, wah bahkan ada laut di sebelah tubuh si Kaligung Emas. “Kok kamu bisa tahu, Ka?” Tanya si Telor mata sapi yang sedang tergeletak di atas piring berisi nasi goring di hadapanku. “Iya, mata kamu kan error, masa iya kamu bisa lihat pemandangan-pemandangan itu? Ngaco ah !” tambah sendok dan garpu, angkat bicara. “Hush, jangan buka kartu dong, anggap aja aku bisa lihat haha” kataku pada si sendok dan garpu. Ya, meskipun aku tidak bisa melihat pemandangan itu secara langsung tapi aku bisa melihat pemandangan itu dari piringan hitam dalam ingatanku. Aku tinggal memutarnya dan secara otomatis pemandangan itu terhampar dalam anganku. Maksudnya opo kuwi? Maksudnya, dulu aku pernah ke Semarang naik kereta dan kulihat pemandangan-pemandangan yang kudeskripsikan macam tadi. Nah, sekarang tinggal putar saja pemandangan itu di awing-awang hehe. Ah, si Eka mulai ngaco nih nulisnya *padahal dari awal tulisannya emang udah ngaco haha*.
            Alhamdulillah *tanpa gaya Syahrini*, perutku kenyang setelah menyantap sepiring nasi goring yang dipesan dalam kereta. Kini saatnya merelaksasi diri sambil ditemani oleh alunan lagu “Alamat Palsu” yang mengalun entah dari mana. Haha siapa juga tuh yang memutar lagu Ayu Ting Ting di dalam kereta, ketahuan nge-fans berat tuh nampaknya. Hmm, saatnya bersantai. Tik-tok-Tik-Tok…jarum jam berdetak entah dari mana. Seiring detak itu, kedua mataku yang bersembunyi di balik kacamata mulai tergulung. Perlahan aku mulai masuk ke dalam alam bawah sadar alias tertidur. Tapi tiba-tiba ada suara yang menjerit dari dalam tasku, jeritannya mirip jeritan para “Bencis” yang dikejar Satpol PP. Aku langsung membuka kembali mataku. Kuraih tas-ku lalu kukeluarkan benda yang mengeluarkan jeritan beberapa saat lalu itu. Ternyata ada sebuah amplop yang mampir di inbox Handphone putih-ku. Amplop itu isinya apa ya, si “money” kah? Hmm, kalau isinya si “money” berarti lumayan bisa menemani “money-money” yang sedang dikerangkeng di dalam dompet Ibu. Hush, ada-ada saja, isinya ya pesan lah. Okay, mari dibuka, silahkan Mbak bacakan SMS itu padaku. Dan mulailah si Cross *nama Handphone-ku* membacakan SMS itu dengan suara gadisnya. Wah, kaget…kaget…kaget…speechless…speechless…speechless…benarkah dia yang mengirimiku SMS itu? “Cie..cie..cie…gebetannya ya yang SMS? Cihy…” goda si botol air mineral yang sedang dipangku oleh Ibu. “Gebetan? Gebetan dari mana, dari Hongkong kali” kataku pada si botol. “Terus dari siapa? Dari Mas Johan dodolmu itu ya?” goda si botol sekali lagi. “Rumpi deh si botol, udah kayak emak-emak aja” batinku. “What, Johan? Kalau dia yang SMS berarti dunia mau kiamat. Gak ada sejarahnya tu anak SMS aku, bales SMS yang kukirim aja udah untung” jawabku sedikit bersedih. Ah, kok jadi curcol sih. Fokus ! Bukan gebetanku apalagi mantanku yang mengirim SMS itu, tapi ada yang lain yang benar-benar surprise untukku. Mbak Angel alias Little Angel, dialah pemilik SMS itu. Tentu nama Little Angel sudah tidak asing lagi di jagat per-curhatan Kartunet. Nah, bukan hanya nama di balik SMS itu saja yang surprise untukku, tapi isi SMS nya pun tak kalah surprise. Mbak Angel menawariku bantuan untuk mencarikan bekal guna berkelana ke Semarang. Ya ampun , Mbak Angel baik sekali. Kami belum pernah bertatap muka tapi dia sudah bersedia membantuku. Mimpi apa aku semalam? Tapi malang sunggung malang, aku sudah berada di atas kereta. Dan kebetulan aku sudah memiliki bekal. Jadi aku katakana saja yang sesungguhnya. Wah, aku benar-benar bahagia mendapat SMS darinya, support nya itu lho tak pernah putus ditaburkan padaku. Aku bisa merasakan niatnya untuk membantuku dan itu terlihat dari usahanya mencari nommorku. Demi membantuku Mbak Angel sampai harus meminta nomorku kepada yang lain *konon Mbak Angel meminta dari Esa*. Hiks..hikss…aku jadi terharu. Begitu banyak orang yang peduli padaku. Terimakasih banyak ya Mbak Angel dan semuanya.
            Cekittt….tubuh panjang si Kaligung terhenti di sebuah Stasiun bernama Poncol. Beberapa penumpang terlihat turun dari kereta, termasuk aku dan Ibu. Sambil berpegangan pada lengan Ibu, aku melangkah di antara lautan manusia yang bercokol di Stasiun. Hmm, udara pagi kota Semarang menghempas tubuhku seirama dengan beberapa pejuang kehidupan yang menawariku Taxi, becak dan ojek. Dan pilihan kami jatuh pada sebuah Taxi. Setelah mengutarakan tujuan kami, aku dan Ibu pun kemudian tenggelam ddalam Taxi yang sudah kami pilih. Keempat roda Taxi tanpa AC ini terus berputar di atas aspal kota Semarang yang panas tapi sejuk oleh ratusan Mahasiswa yang berkreasi dengan pengetahuannya di beberapa Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh penjuru Semarang. Tak banyak kalimat yang kulontarkan pada Ibu, begitu pun dengan wanita berumur 44 tahun itu. Kami sibuk dengann lamunan kami masing-masing. Tak lama kemudian, Taxi yang sedang kutumpangi terhenti di sebuah tempat yang tak kutahu bagaimana rupanya. Kuyakin ini adalah tempat yang kami tuju, Jl. Badak 3 no 62 Semarang. Alhamdulillah sampai juga J
            Huah, pegel banget deh nulis dari Tegal sampai Semarang hehe. Udahan dulu kali ya cerita untuk part kali ini. Nanti disambung lagi. Pengembaraan masih berlanjut kok. Okay okay sekarang bubar dulu aja ya, yang mau masak buat suami tercinta silahkan masak dulu, yang mau nyuci baju silahkan nyuci dulu, yang mau ngerjain tugas monggo dikerjakan dulu tugasnya, yang mau tetap nongkrong disini yo monggo. Yang mau corat-coret juga boleh, silahkan corat-coret di kotak komentar J
            Makasih banyak ya yang udah mau baca tulisan gak jelasku itu, seperti biasa mohon maaf kalau tulisanku marusak mata dan telinga kawan-kawan Kartuneters semua hehe….Sampai jumpa di part selanjutnya…
Salam Akselerasi!
Dipostkan juga di www.kartunet.com