Minggu, 08 Januari 2012

Part 1: Workhsop-ku Sayang Petualanganku Menantang



            Oiya, sebenernya ceritaku ini udah berlangsung agak lama, tepatnya pada bulan November lalu. Tapi maaf baru sempet aku certain sekarang heheheh. Basi gak ya kira-kira? Ya mudah-mudahan aja gak basi ya. Oiya, sebenernya ada sedikit musibah yang kualami ketika menulis cerita petualangan ini. Beberapa waktu lalu aku udah bikin ceritanya, lumayan panjang deh. Tapi tiba-tiba aja ada sebuah musibah, tulisanku itu kehapus. Aduh, menyebalkan banget. Jujur, karena musibah itu aku jadi males nulis hehehhe. Kecewa berat lah pokoknya. Nah karena itulah akhirnya tulisan itu baru kuselesaikan sekarang, itu pun baru sampai part 1 hehehhe. Gak apa-apa kan ya, gak basi kan? Hehehhe. OK, kalau gitu kita simak aja yuk petualanganku yang terangkum dalam 3 hari tak terlupakan dalam Workshop Kewirausahaan di kota Semarang. Yuk mari…

 Jum’at, 25 November 2011…
            “Sayang, ini aku berikan setangkai mawar ini untukmu. Mawar indah ini hanya cocok jika kuberikan pada sosok yang juga indah sepertimu” kata seorang cowok tinggi yang begitu kukenal meski mukanya mirip layar kaca penuh semut alias tak jelas hehehe. “Iya, saying. Makasih ya” kataku sambil menerima setangkai bunga yang diberikan oleh si cowok yang selama ini kurindukan itu. Situasi yang mengiringi drama antara aku dan cowok itu benar-benar romantis. Di kanan-kiriku terhampar berbagai jenis bunga dengan beraneka ragam warna dan aroma. Selain itu, semilir angin menyapu kulit kami, membelai mesra rambut sebahuku dan berbisik penuh gelora di telingaku. Sementara itu, di salah satu ranting pohon Jengkol tak jauh dari tempatku, ada dua ekor burung nuri yang tengah membawa kamera di tanganya. Mereka sibuk mengabadikan moment-moment indah yang kutunjukkan brsama si cowok yang mukanya tetap blur meskipun dia hanya berjarak beberapa senti dari mukaku. Lengkap sudah drama romantic kali ini. Ah, tunggu dulu, masih ada satu lagi yang terlupa. Sebuah lagu berjudul “I Heart You” milik Boyband “Smash” tak lupa distel sebagai soundtrack drama dua anak manusia yang sedang dimabuk asmara. Sesuai lagunya, hatiku pun cenat-cenut ketika berada di dekat si cowok. Tapi sebuah sentuhan lembut di atas jari-jemariku membuat “cenat-cenut” itu hilang entah kemana. Sentuhan itu seakan meyakinkanku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Aku pun menyambutnya dengan sebuah senyuman. Aku terbang tinggi, melayang bersama cowok pujaanku itu. Tapi lama kelamaan ada sebuah ketidaknyamanan yang kurasakan. Semilir angin yang semula membelaiku penuh rasa, kini berubah menjadi Tornado yang setiap detiknya terasa makin kencang bergemuruh. Kemudian, nasib si Bunga-bunga yang semula semampai di kanan dan kiriku, kini terlihat sempoyongan seperti habis terkena pegal linu dan asam urat. Dan lagu “Cenat-cenut” itu, perlahan menghilang. Yang terdengar sekarang hanyalah sebuah alunan music “Rock” yang merangsek masuk ke dalam lubang telingaku. Dan tahukah kamu siapa Rocker di balik semua itu??? Tak lain dan tak bukan dia adalah Ibuku, si wanita beranak dua yang gagah perkasa hehehe *emangnya Samsons*. “Bangun!! Udah mau jam tiga, buruan bangun!!” begitu kurang lebih nyanyian Rock Ibuku. Ah, drama romantis itu hilang entah kemana gara-gara nyanyian Ibu yang memekakan telinga. Kenapa tiba-tiba si Ibu nongol di tengah-tengah drama yang sedang kupentaskan? Bukannya dramaku itu hanya menyertakan dua tokoh yaitu aku dan si cowok pujaanku, lantas kenapa Ibu nongol??

            Aku mengucek kedua mataku sambil diselingi sebuah aktivitas menguap. Perlahan kuedarkan pandanganku ke  seluruh penjuru. Dimana setting drama itu? Tak ada taman bunga, yang ada hanya tumpukan bantal dan gulungan selimut berbau apek. Where is My Prince?? Alamak, kenapa yang nongol justru tubuh besar Ibuku?? “Ayo Bangun!! Jangan molor terus!!” teriakan Ibu tiba-tiba disemprotkan padaku yang sejatinya masih belum “hidup” seutuhnya. Sejenak aku mengaduk-aduk pringan hitam dalam otakku, mencari file yang terekam beberapa saat lalu sebelum si Ibu nongol di hadapanku. “My Prince…My Prince…My Prince…” kataku dalam hati, berharap rekaman peristiwa beberapa saat lalu kembali terputar hanya dengan menyebut kata “My Prince” berulang kali. Ah, berhasil!! Jurus mengulang kata “My Prince” yang kulakukan tadi ternyata membuahkan hasil. Aku mengingat drama romantis itu. Semuanya kembali tersaji dalam ingatanku. Tapi saying sungguh saying, drama romantis itu ternyata hanya sebuah mimpi di pagi buta. Ya, semua itu hanya mimpi, lagi-lagi mimpi. Oh My Prince, you’re still in My dream. Kupikir aku telah benar-benar bertatap muka dengan My Prince.

            Aku menghela nafas panjang. Belum sempat nafasku sampai ke ubun-ubun, tiba-tiba sebuah teriakan kembali menghentak, memutuskan nafasku dan memotongnya pas di tenggorokkan. Aku tersentak, dadaku sesak. Buru-buru kutegakkan tubuhku dan membiarkan serpihan-serpihan ingatan tentang mimpi indah bersama My Prince tertinggal di atas bantal, melekat dengan cairan berbau yang sempat kukeluarkan dari mulutku saat tertidur selama kurang lebih lima jam itu hehehehe. Melihat anak gadisnya yang Nampak cantik dengan piyama ungu plus rambut mobat-mabit bak sampah di kali Ciliwung telah tegak di hadapannya, ia pun akhirnya menghentikan nyanyian Rock-nya. Bagus…bagus…bagus…begitu baru bagus!! Kasihan kan ayam tetangga pada mati gara-gara teriakan Ibuku hehehehe. “Kamu mau berangkat jam berapa? Ini udah mau jam tiga” kata Ibu dengan suara yang tak meledak-ledak lagi. “Hmm, apa tadi Ibu bilang?? Berangkat?? Berangkat kemana??” tanyaku dalam hati sambil kedap-kedip. “Ngapain kedap-kedip, Ka? Lagi godain Pak Hansip di pos ronda ya?” Tanya sebuah guling yang kuhimpit dengan kedua kakiku. “Bukan lagi godain Pak Hansip, tapi lagi ngeluarin kotoran di mataku hehehe. Mau?? Gratis deh buat kamu…” jawabku sambil nyengir. “Ogah!! Dasar cewek jorok!!” teriak si Guling. “Biarpun jorok yang penting manis hahahah” kataku penuh kenarsisan. Ya, hari gini gak narsis ya gak hidup, betul kan? *Teori dari mana tuh? Hahaha*. Back to the question!!! Ada yang tahu jawaban di balik kata “berangkat” itu? “Keretamu berangkat jam berapa, hah? Pak Tito nyuruh kamu berangkat jam berapa? Kamu mau naik Kaligung yang jam berapa?” suara Ibu tiba-tiba menyembul di antara Tanya yang kulontarkan pada seisi penghuni kamar. Selain memangku jabatan sebagai seorang Ibu dari dua orang putra-putri, Ibuku sepertinya merangkap juga sebagai seorang cenayang. Buktinya dia bisa melontarkan jawaban dari pertanyaan yang kulontarkan dalam hati. Si Ibu rupanya memiliki bakat terpendam sebagai seorang cenayang, dia bisa tahu apa-apa yang sebenarnya tak bisa diketahui oleh nalar manusia hehehe *Lebay…ngomong apa kau ini, Ka?*. OK, kembali ke track!! Aku tersentak mendengar serentetan kalimat yang dilontarkan Ibu. Kesadaranku akhirnya pulih setelah mendengar kata “Kereta” dan “Kalligung” plus sebuah nama yang taka sing lagi di jagat perpijatan Kabupaten Brebes yaitu nama “Tito”. Aku familiar betul dengan ketiga clue itu. Kalau dijadikan satu, ketiga clue itu membentuk sebuah kesimpulan, yaitu “Workshop”. Ya, Workshop Kewirausahaan, itulah alas an dibalik teriakan Ibu plus kesimpulan di balik ketiga clue itu. Hari ini aku memang berencana bertolak ke Semarang untuk mengikuti Workshop Kewirausahaan. Dan menurut perintah dari Pak Tito selaku ketua Pertuni Brebes, aku dimandatkan untuk meluncur ke stasiun Kabupaten Brebes pada pukul 3 pagi. Wah, pagi sekali ya. Tapi memang harus begitu, sebab si Kaligung akan meluncur ke Semarang pagi-pagi benar.

            Akhirnya aku langsung meloncat dari tempat tidur. Hap hap hap…terus meloncat melewati lemari dua pintu, melewati sebuah meja berisi tetek bengek kewanitaan, plus melewati sebuah pintu kamar yang sudah terbuka. Aku ngebut ke kamar mandi. Tentu semua itu demi efisiensi waktuku pagi ini agar tak telat dating ke Stasiun. Dan sesampainya di kamar mandi, tubuhku gemetaran. Tanganku rasanya tak sanggup menyentuh air yang menghuni kolam di kamar mandi miniku ini. Tubuhku masih gemetaran, bibirku pun tak kalah keras bergetar. Udara pagi ini memang sangat dingin. Ah, tapi mau sampai kapan ya aku brdiri di samping kolam?? “Ayo Eka ayo Eka, kamu pasti bisa!! Ayo sentuhkan tanganmu pada air itu!! Ayo ayo ayo!” teriak botol shampoo, pasta gigi dan sikat gigi. Mereka bertepuk tangan sambil berteriak, mirip supporter Indonesia saat menonton para Atlet Indonesia berlaga di ajang Sea Games beberapa waktu lalu. Mendengar support dari para fans-ku itu, semangatku jdi memuncak. Akhirnya aku langsung menceburkan tanganku ke dalam kolam, menciduk air dengan gayung berwarna merah, kemudian mengguyurkannya pada tubuh jangkungku. Kecipak…kecipuk…kecipak…kecipuk…gemericik air yang beradu dengan lantai kamar mandi terdengar istimewa di pagi yang masih sangat buta ini.  Rasa dingin sebenarnya menusuk tulangku tapi semua itu harus bisa kutahan demi binasanya bau yang menempel di tubuhku. Maklum saja, aku akan berkencan dengan si Tongkat, jadi harus wangi dong heheheh.

            Sebuah medali emas telah kuraih setelah berhasil mengalahkan rasa dingin di kamar mandi beberapa saat lalu. Kini aku tengah mematut di hadapan cermin dengan sebuah medali tergantung di leherku. Sebuah baju berwarna abu-abu yang cicilan kreditnya baru saja lunas sebulan yang lalu plus sebuah jeans berwarna abu-abu pula, telah menempel di tubuhku. Aku sebenarnya kurang PD dengan baju ini. Jujur, aku baru dua kali ini memakai baju ini meskipun baju ini telah lama kumiliki. Selama ini baju berlengan panjang ini hanya menghuni lemari pakaianku. Nah, kenapa sekarang aku mau memakai baju ini?? Alasannya Cuma satu, yaitu “paksaan dari Ibu”. Ya, itu dia alasanku memakai baju ini. Kalau bukan karena paksaan dari Ibu, mungkin sekarang ini si baju abu-abu ini  masih menjomblo di lemari pakaianku. Menurut beberapa pendapat orang, aku keliatan OK menggunakan baju ini. Hehehehe…GR nih. Tapi tetap saja aku kurang PD. Aku merasa seperti emak-emak beranak tiga hehehe. “Norak!!! Gak tau mode!! Anak muda di luar sana banyak yang pada pake baju itu, nah kamu sendiri malah gak mau. Dasar anak norak!!” begitulah teriakan si Ibu ketika diriku menunjukkan penolakan terhadap baju abu-abu itu. Hmm, kalau dipikir-pikir yang norak itu aku atau Ibuku ya?? “Kamu yang norak, Eka. Kamu cocok kok pakai baju itu. Terlihat anggun dan matang. Apa lagi kalau jilbabmu sudah kau pasang, bweh pasti mantap semantap buah Durian” sebuah cermin yang berdiri di hadapanku tiba-tiba angkat bicara mengomentari penampilanku pagi ini. Biasanya sebuah cermin tak pernah bohong, betul tidak? Nah, kalau si cermin melontarkan pujian padaku, itu tandanya aku memang layak dipuji hehehe *narsis banget*. OK lah, PD aja!! Sip, biarkan baju ini menemaniku berpetualang bersama si Tongkat hari ini. Dan setelah siap dengan busana, kini tiba saatnya untuk menyantap sarapan. Sedari kemarin aku memang hanya menyantap sepiring nasi goring, setelah itu tak ada lagi yang kusantap. Wajar saja kalau sekarang aku minta dibuatkan sarapan oleh Ibu. Selain itu, perjalanan yang akan kutempuh terhitung panjang, jadi aku memerlukan energy lebih dan sarapan tentulah bagus untuk menambah energiku. Tara…sepiring nasi plus Sarden hangat kini siap kusantap. Yuk, mari makan!!! Sementara aku asyik dengan makananku, di sudut lain rumahku, teriakan Ibu kembali menggema. Kali ini Bapak lah yang menjadi sasaran. Ibu terdengar sibuk membangunkan Bapak yang sebetulnya baru dua jam tertidur. Sebenarnya aku merasa kasihan pada Bapak, dia pasti kelelahan, tapi apa boleh buat, kalau bukan Bapak yang mengantarku lalu siapa lagi?!?

            Kreteeeekkkk…pintu gerbang dibuka oleh Ibu. Sementara itu, aku dan Bapak telah siap di atas sepeda motor pinjaman. Ya, aku memang tak memiliki sepeda motor, jadi sepeda motor milik sepupuku lah yang kupinjam. Perlahan roda sepeda motor yang kutumpangi pun berputar melewati pintu gerbang tua yang telah menganga. Aku melambai pada Ibu setelah ssebelumnya mencium tangannya. Angin pagi yang masih perkasa dengan kekuatan sang malam nakal menggerogoti tubuhku yang sebenarnya telah dilindungi oleh sebuah sweater berwarna hitam. Muka, telapak tangan, dan kaki terasa membeku. Aku kedinginan plus ketakutan. Kok bisa? “Kamu ngelihat kuntilanak ya, Ka?” Tanya Bintang-bintang kecil berwarna-warni yang melingkar manis di pergelangan tanganku. “Kuntilanak dari Hongkong!! Gimana bisa ngelihat Kuntilanak, ngeliat muka sendiri aja kesusahan” jawabku sambil menahan dingin. Rasa takutku muncul karena udara dingin ini. Aku takut Rematikku kambuh, aku takut alergiku kambuh, dan aku takut perutku kembung. “Manja banget!!” kata Helm putih yang menempel di kepala Bapak. Bukan manja, tapi memang begitu. Kalau terkena udara dingin pasti Rematikku kambuh. Selain itu, alergi yang kuderita pasti akan menghadiahiku tat arias “bentol-bentol” plus gatal-gatal di sekujur tubuh tatkala dingin membelaiku. Dan ada satu lagi, perut buncitku. Ya, perut ini kerap rewel tiap kali desir angin bercampur dingin menyapa tubuhku. Benar-benar merepotkan!! Nah, atas dasar itulah sekarang ini aku ketakutan. Tentu aku tak ingin mukaku yang sudah kinclong macam kaca mobil Pak SBY ini berubah bengkak oleh alergi yang kumiliki. Oiya, tahukah kamu sesuatu yang special di dalam tas miniku? Tentulah yang special itu bukan sebuah mesin cuci apa lagi seperangkat computer heheheh. Yang special di dalam tasku adalah beberapa bungkus “Tolak Angin Cir”. “Hush hush hush…jangan nyebutin merk disini dong! Promosi tuh namanya” teriak Mickey Mouse berwarna coklat yang sedang nongkrong di jilbab putihku. “Ups, maaf keceplosan! OK, kalo gitu disensor aja ya” kataku sambil nyengir. Ya, beberapa bungkus “Teeetttt” *disensor* sengaja kubawa untuk mengantisipasi kerewalan perutku. Dari pada di Semarang nanti aku tergeletak tak berdaya akibat perut kembung, lebih baik sedia paying sebelum hujan alias sedia obat sebelum kembung itu dating.

            Deru angin yang bercampur dengan deru knalpot kendaraan yang berlari di jalan pantura, keras menghantam tubuhku dan tubuh Bapak. Dingin masih merajai sekujur tubuhku. Dan kini tak hanya rasa dingin dan takut saja yang bergejolak di dadaku, tapi ada sebuah perasaan baru yang tergambar dari muka bulatku. “Cemas”…itulah perasaan baru yang hadir menemani dua rasa sebelumnya. Perasaan cemasku hadir seiring pagi yang mulai melek. Ya, binasanya kebutaan sang pagi tentulah akan berdampak pada kereta Kaligung yang akan membawaku berpetualang ke Semarang. Aku cemas si Kaligung akan kabur tunggang langgang ketika sang pagi tak lagi buta. Dan kalau si Kaligung sudah tancap gas, lalu bagaimana nasibku? Aku sadar bahwa Bapakku mengemudikan sepeda motor tak seperti biasanya. Kalau biasanya dia mengemudikan Speda Motor dengan gaya Pedrosa, tapi yang Nampak sekarang malah gaya kura-kura naik motor. Pelan, meski tak sepelan Ibuku ketika berkendara. Oh ternyata lubang-lubang yang menganga di sepanjang jalan lah yang membuat Bapak meninggalkan gaya Bang Pedrosa. OK lah, it’s good but It’s not a good choice!! Kalau melaju dengan kecepatan seperti ini, sudah bisa dipastikan diriku tak akan menjumpai tubuh panjang si Kaligung. Hmm, lebih baik berdoa saja, mudah-mudahan si Kaligung tak buru-buru kabur meskipun sang pagi mulai menanggalkan kebutaannya.

            Cekiittt…Bapak menghentikan laju Speda Motornya tepat di sebuah tempat yang sudah bisa kutebak tempat apa ini. Stasiun, kurasa itulah nama tempat yang terasa sepi ini. Meskipun kedua mata bulatku yang bersembunyi di balik kacamata berlensa bening ini tak mampu menangkap setiap lekuk tempat yang sedang kuinjak ini, tapi suara khas petugas Stasiun yang mengalun pada pengeras suara yang terpasang di setiap sudut Stasiun cukup membuatku yakin bahwa tempat ini adalah Stasiun. Akhirnya sampai juga!! “Mau ke Semarang ya, Pak?” tiba-tiba ada seberkas suara yang menyembul di sisi kananku. Buru-buru aku menoleh kea rah sumber suara. Tak kudapati apa-apa disana, yang kudapati justru kalimat lanjutan dari kalimat sebelumnya. “Keretanya baru aja berangkat, Pak!” lanjut orang asing itu tanpa memberi kesempatan pada Bapak untuk menimpali kalimatnya. “Ini orang kok bisa tahu ya kalau aku mau ke Semarang?! Apa di punggungku ada sebuah tulisan yang berbunyi ‘aku mau ke Semarang’ ? hehehe” kataku dalam hati. “Gak usah ketawa, Eka. Lebih baik urusi aja nasibmu! Kamu ketinggalan kereta lho” ledek Helm putih yang menempel di kepala Bapak. OK, mari pasang muka cemas plus ketakutan, kata Pak Sutradara ekspresinya harus bgitu!! “Oh, keretanya udah berangkat ya. Udah lama, Pak?” kata Bapak kepada orang asing tadi. “Belum lama kok, Pak. Baru aja jalan. Coba dikejar aja ke Tegal!” kata si orang asing memberi saran. “Kalau gitu ke Tegal aja, Pak!” kataku pada Bapak dengan muka cemas, mirip seorang nenek yang sedang menanti kelahiran cucunya. “Coba ditelpon dulu temennya, Nok!” kata Bapak menyuruhku menelpon Pak Tito yang tak kujumpai batang hidungnya di tempat ini. “Bapak ada dimana? Eka ada di stasiun, Pak. Tapi keretanya udah berangkat…” kataku pada lelaki yang ada di ujung telpon sana. “Saya udah di kereta sama Pak Walim, Mbak. Coba Mbak Eka ke Tegal aja, siapa tahu keretanya kekejar” kata Pak Tito yang suaranya tak begitu jelas tertutup gemuruh kereta yang ditumpanginya. “Ya udah Eka kesitu ya, Pak. Biar Eka berangkat ke Semarang sendirian aja. Nanti kita ketemu di Poncol aja ya, Pak” tegasku pada Pak Tito. Dan pembicaraan pun berakhir seiring pulsaku yang ludes sebesar Rp 1000,-. “Ayo Pak, kita ke Tegal aja!” kataku pada Bapak. Kemudian kami pun beranjak pergi meninggalkan stasiun Kabupaten Brebes yang  Nampak lengang setelah sebelumnya berpamitan pada orang asing yang kutemui tadi. Kecemasanku ternyata terbukti. Si Kaligung membawa kabur kedua teman seperjuanganku yaitu Pak Tito dan Pak Walim dan meninggalkan gadis semanis diriku seorang diri *narsis*. Kalau sudah begini, terpaksa aku terbang ke Semarang sorang diri. Aku bisa bilang begitu sebab aku bisa memprediksi bahwa kereta yang ditumpangi dua teman seperjuanganku tak akan mampu kukejar. Kami akan terpisah. Bagaimana nasibku kelak ya? Atau aku pulang lagi saja? Ah, jangan Eka! Kalau aku pulang, sosok yang ada dalam mimpiku malam tadi tak akan kujumpai. Ayo semangat Eka!

            Kini aku dan Bapak telah sampai di kota yang penuh kenangan setelah menmpuh perjalanan kurang lebih 20 menit. Tegal Keminclong Muncer Kotane, itulah jargon yang didengungkan oleh kota yang Stasiun Kereta Apinya sedang kuinjak ini. Sepeda Motor pun telah diparkir dan tas hitam buncitku pun sudah diturunkan. Kini saatnya melangkah masuk ked alam Stasiun. “Pak…” kataku pada Bapak ketika pluit tanda dimulainya langkah ditiupkan oleh sang waktu. Lelaki pensiunan yang tadi memboncengku sepertinya lupa kalau anak pertamanya adalah seorang Tunanetra. Dia melengggang begitu saja tanpa menggandeng anak gadisnya ini. Akhirnya setelah kata “Pak” aku hadiahkan padanya, ia pun mengaitkan tanganku pada lengannya. Aku melangkah mengikuti derapnya. Jujur, ada rasa canggung yang merambat di sekujur tubuhku. Rasa canggung ini sepertinya lebih besar dari rasa canggungku ketika harus berpegangan tangan dengan seorang cowok saat mementaskan drama “Cinderella” sewaktu SMA dulu heheheh. Memang aneh, terhadap Bapak sendiri kok canggung. Tapi itulah aku. Bisa dibilang sikapku pada Bapak lebih mirip seorang murid terhadap gurunya dari pada seorang anak pada Bapaknya. Aku pun tak tahu mengapa sikapku jadi kaku padanya, padahal sewaktu kecil sampai SD aku tak pernah absen mendapatkan pelukan dan ciuman dari lelaki yang di lututnya terdapat bekas operasi akibat tersenggol timah panas itu. Tiap kali Bapak pulang kerja, dia selalu menggendongku dan menghadiahiku berjuta mimpi indah. Tapi entah mengapa sekarang tak Nampak lagi aksi-aksi semacam itu. Untuk sekedar bertegur sapa pun sangat jarang kami lakukan, padahal kami tinggal di satu atap. Mungkin semua itu karena sekarang usiaku telah bertambah, sudah 20 tahun, jadi sepertinya tak pantas lagi kalau Bapak menggendongku hehehe. Bisa jadi tubuhnya ambruk saat menggendongku.
            “Mau yang Eksekutif atau yang Bisnis, Pak? Tanya seorang petugas penjual Tiket yang sosoknya tak Nampak di pelupuk mataku. “Mau yang Eksekutif atau yang Bisnis, Nok?” Tanya Bapak padaku. “emangnya yang Bisnis masih ada ya, Pak?” aku malah berbalik Tanya pada Bapak. “Masih ada, Mbak. Kereta Bisnis nyambung sama Eksekutif…” bukannya Bapak yang menjawab, tapi malah si petugas yang berada di balik loket lah yang menjawab. Akhirnya kupesan kereta Bisnis. Maklum lah, uangnya pas-pasan hehehe. Intermezzo sebentar ya, kemarin tapatnya pada tanggal 24 November, aku bergerilya dari satu rumah ke rumah lainnya. Bukan untuk meminta sumbangan, tapi untuk meminjam uang hehehe. Ya, untuk memperoleh perbekalan guna melanglang buana ke Semarang, aku harus meminta pinjaman pada saudara-saudaraku, dan kali ini kulakukan seorang diri tanpa campur tangan Bapak atau Ibu. Kok bisa sih? Memangnya tak ada dana dari Pertuni ya? Kebetulan kas Pertuni Brebes sedang cekak jadi aku dan dua orang lainnya yaitu Pak Tito dan Pak Walim terpaksa harus merogoh kocek pribadi untuk mengikuti Workhsop Kiwarusahaan itu. Ya sudah, akhirnya aku montang-manting kesana-kemari demi mendapat suntikan dana hehehe.

            Sebuah tiket perjalanan pun telah berada di genggamanku. Dan pacar alumuniumku pun tak lagi menghuni tas buncitku. Dia telah kukeluarkan dari persembunyiaannya. Kini aku terduduk manis di atas sebuah kursi sambil memangku tongkat alumuniumku. Aku menyandarkan tubuhku pada kursi yang sedang kududuki. Aku menghela nafas panjang. Perlahan kuusap keningku meski disana tak ada sebutir pun keringat. Kemudian, kubuka tas miniku, kuaduk-aduk isi tas itu demi mendapati sebutir permen yang telah kubawa dari rumah. Setelah melucuti pakaian si permen, tanpa ragu kumasukkan permen itu ke dalam mulutku. Aku menggoyang lidahku, merasakan setiap sensasi yang diciptakan oleh permen dengan rasa mint itu. Seiring dengan sensasi si permen yang mulai menjangkit sekujur tubuhku, moment-moment kurang mengenakan yang  sempat kualami saat di stasiun tadi pun mencuat dalam benakku. “Aku ketinggalan kereta, ketinggalan temen, dan harus pergi ke Semarang sendirian” batinku sambil mengamati serentetan adegan yang terjadi menimpaku sebelum akhirnya aku terduduk disini. Aku mengucek-ucek bungkus permen yang masih menghuni tanganku. Dari sorot mataku Nampak sebuah rasa kesal yang teramat sangat. Ya, aku memang sedang kesal pada nasib malang yang menimpaku. Seandainya tadi pagi Ibu tak terlambat membangunkanku, seandainya jalan pantura yang kulalui tak dipenuhi oleh lubang-lubang menganga, seandainya aku tak tertahan oleh para pelaku kehidupan di Pasar tak jauh dari Stasiun Kabupaten Brebes, pastilah aku tak akan ditinggal pergi oleh Kaligung yang ditumpangi oleh teman seperjuanganku yaitu Pak Tito dan Pak Walim. “Sudahlah Ekka, tak usah diratapi. Yang penting kamu bisa tetep berangkat ke Semarang. Kamu pasti bisa!” kata pacar alumuniumku. “Ya, aku pasti bisa! Aku kan bukan penakut. Lagi pula aku kan ditemani pacar alumuniumku, jadi buat apa takut!” kataku menyemangati diri sendiri.

            Jujur, ada sedikit ketakutan yang kurasakan saat ini. Bayangkan saja, beberapa saat lagi aku akan melangkah ke kota Semarang seorang diri. Bagaimana nasibku di kereta kelak, lalu bagaimana nasibku saat turun dari kereta kelak? Tapi semua perasaan takut itu langsung kusingkirkan ketika baying-bayang “Workshop” dan “Pangeran Impianku” berseliweran dalam benakku. Semua ini pasti bisa kutaklukan semudah aku menaklukan petualangan-petualangan lainnya. Ya, kurasa petualangan kali ini akan lebih mudah dari petualangan si kelinci imut “Tinny Toon” ketika berada pada level gua es dalam permainan “SEGA”. “Hayoo, pada inget jenis permainan itu gak? Itu lho game jaman dulu hehehhe” tanyaku. “Aku tahunya permainan congklak, Ka…” jawab tas miniku.

            Setelah rasa takut bisa kusingkirkan, kini aku menyibukkan diri untuk mengamati setiap jeeritan alat transportasi massa bernama “Kereta”  yang Nampak heboh berlarian di atas track-nya. Sembari mendengar jeritan kereta-kereta itu, daun telingaku pun kupasang untuk menangkap informasi yang mengalun dari pengeras suara yang terpasang di setiap sudut stasiun. Tentu semua itu kulakukan demi mengetahui apakah kereta yang kunanti telah tiba atau justru terlambat dating. “Bagi penumpang Kaligung Emas jurusan Semarang, mohon bersabar sebentar karena Kaligung Emas sedang mengalami trouble. Mohon maaf atas ketidak-nyamanan ini. Terimakasih…” sebuah pengumuman tiba-tiba meluncur dari pengeras suara yang sedari tadi kuperhatikan. Seiring dengan meluncurnya pengumuman itu, beberapa orang pun terdengar bersorak penuh kesal. Kuyakin orang-orang itu adalah para penggemar si Kaligung yang merasa kecewa karena tak bisa segera bertemu si Kaligung. Tak jauh beda dengan mereka, aku yang juga tengah menanti kedatangan si Kaligung, turut melemparkan rasa kecewaku. Tapi ekspresi kecewaku tak kutunjukan dengan sorak-sorai apa lagi dengan mengobrak-abrik stasiun, melainkan cukup dengan menendang tas buncit berwarna hitam yang berdiri tak jauh dari kakiku. Aku sadar perbuatanku itu adalah perbuatan biadab karena telah menyakiti benda tak berdosa, tapi apa boleh buat. Sebenarnya aku ingin menendang bola tapi di stasiun ini tak ada bola jadi kutendang saja tas buncitku heheheh. Semua aksiku itu semata-mata karena ingin mengobati rasa kecewaku dan sebagai penebus rasa jenuhku karena sudah menanti si Kaligung sejak tadi. Kemudian, di tengah-tengah rasa kecewaku, kudapati Handphone-ku menjerit. Buru-buru kurogoh tas miniku demi mengetahui apa yang telah menimpa Hanphone jomblowati itu. Ternyata jeritan si Handphone bukan karena tubuhnya terjepit rongsokan di dalam tas miniku, melainkan karena ada sebuah SMS yang mampir padanya. Senyumku tiba-tiba saja terkembang, melunturkan rasa kecewa yang semula mendominasi muka bulatku. Senyumku tambah lebar dan memaksa lubang di pipi sebelah kananku menyembul di antara padatnya lemak di pipiku ketika kudengar isi dari SMs itu. Seketika saja stasiun yang sedang kuinjak ini berubah menjadi taman bunga yang dipenuhi warna-warni kembang. Jeritan kereta-kereta yang berlalu-lalang seketika berubah menjadi gemericik anak sungai yang menyejukkan jiwa. Sementara itu, teriakan para pedagang asongan, terdengar merdu bak kicau burung gereja di ranting pohon. “Siapa yang mengirim SMS itu?” Tanya pacar alumuniumku. Bukannya menjawab, aku malah geleng-geleng sambil melempar senyum padanya. Kurasa dia kesal padaku dan penasaran juga tentunya. Bagaimana dengan kalian? Penasaran kah? Hmm, kurasa biar aku saja yang tahu siapa pengirim SMS tadi. Dan, akhirnya sebuah SMs balasan pun kukirim pada si sosok rahasia itu hehehe.

            Ngung jegjeg ngung jegjeg…sebuah kereta berlari perlahan menuju kea rah stasiun sambil berkata, “I’m coming…Let’s go to Semarang!!”. Mendengar kalimat si kereta, aku jadi gelisah. Apa mungkin kereta itu adalah si Kaligung? Kalau memang benar, itu artinya aku akan segera dibawa pergi oleh kereta itu. Ah, tapi dimana Bapakku?? Benarkah dia si Kaligung? Demi menjawab semua pertanyaanku, akhirnya kuputuskan untuk bertanya pada siapa saja yang bisa menjawab, tak terkecuali Pak Albert Einstein *ngawur!*. Aku mengarahkan tubuhku ke sisi kanan. Dari aura yang kurasakan, sepertinya di sisi kananku ada seseorang yang tengah duduk. Baiklah, mari kita coba Tanya padanya tentang si kereta yang baru dating tadi. “Permisi, mau kemana ya?” tanyaku tanpa menyematkan kata sapaan seperti “Pak”, “Bu”, “Mbak”, “Mas” apa lagi “Brother”. Maklum saja, aku memang tak mengetahui jenis kelamin seseorang yang sedang kutanyai. “Iya, aku mau ke Semarang. Kalau Mbak mau kemana?” kata orang yang tadi kutanyai dengan penuh keramahan. Ah, aku baru tahu, ternyata dia seorang perempuan muda. “Oh, Mbak mau ke Semarang juga ya, sama dong. Oiya, itu keretanya ya Mbak?” tanyaku sambil melempar senyum. “Iya, itu keretanya…” jawabnya lagi-lagi dengan penuh keramahan. “Kalau gitu naik sekarang ya, Mbak? Mbak naik yang Eksekutive atau yang Bisnis ya? Nanti aku boleh bareng kan, Mbak?” ungkapku sambil melempar Tanya padanya. “Naiknya nanti aja, masih lama kok. Aku naik yang Eksekutive. Iya, nanti kita naik bareng” jawabnya. “Oh, kita beda gerbong. Kalau aku yang Bisnis,” kataku dengan sedikit kecewa. “Gak apa-apa kok. Nanti aku bantu…” perempuan muda itu menawarkan bantuannya padaku. Mendengar kalimatnya itu hatiku sedikit lega. “Mau naik kapan, Mbak?” tanyaku pada perempuan muda di sebelahku setelah kami terdiam kurang lebih 15 menit. “Hmm, nunggu Bapaknya dulu aja. Emang tadi Bapaknya kemana, Mbak?” kata perempuan muda itu sambil berbalik Tanya padaku. “Bapak lagi di Musholla, Mbak. Gak usah nunggu Bapak kalau emang kita harus naik sekarang, Mbak” jawabku sambil menaarik tas hitamku. “Emangnya Bapak gak ikut ke Semarang, Mbak?” tanyanya lagi. Aku menggeleng padanya. “Ya udah kalau gitu kita naik sekarang…” ajaknya sambil memegang lenganku. Aku pun akhirnya bangkit lalu melangkah mengikuti si perempuan muda yang tubuhnya beraroma bunga itu. Sambil menjinjing tas hitamku, aku berusaha melangkah dengan sebaik-baiknya agar tak mengecawakan perempuan muda yang telah begitu perhatian membimbingku berjalan. Dan, tiba-tiba saja langkah kami terhenti. “Tunggu sebentar ya!” kata perempuan itu sambil menyentuh jemariku. Aku pun mengangguk sambil tersenyum. Tepat setelah sebuah senyuman kulemparkan padanya, suara merdu perempuan yang baru kukenal itu tak lagi terdengar di telingaku.

            Tak sampai lima menit aku ditinggalkan oleh perempuan muda tadi, kini suaranya telah kembali mengalun di telingaku, tapi kali ini ada suara baru yang menyembul. Suara lelaki siapa itu? “Mbak, aku minta maaf ya gak bisa nganter sampai ke gerbong Mbak. Ini ada petugas yang bisa nganter Mbak sampai ke tempat duduk Mbak. Gak apa-apa kan, Mbak? Maafin aku ya, Mbak…” kata perempuan muda tadi sambil meminta maaf padaku. Tangannya tak lupa ia sentuhkan pada jemariku ketika melontarkan kalimatnya. “Oh, iya gak apa-apa kok, Mbak. Aku yang seharusnya minta maaf soalnya udah ngerepotin Mbak” kataku pada si perempuan muda. “Gak ngerepotin kok, Mbak. Ya udah kalau gitu Mbak sama petugas ini ya” katanya. “Tolong dianter ya, Mas!” lanjut perempuan muda itu, tapi kali ini ia hadiahkan kalimatnya itu kepada petugas stasiun yang hendak mengantarku. Akhirnya aku dan perempuan itu benar-benar berpisah. Kini aku tak lagi dibimbing oleh perempuan ramah yang baru kutemui pagi ini. Yang kali ini membimbingku adalah Mas petugas stasiun yang tadi dimintai tolong oleh si Mbak. Kugerakan tongkatku. Aku terlihat ringan berjalan. Tentu saja, sebab tangan kiriku tak lagi menjinjing tas hitam buncit yang kubawa dari rumah. Sang petugas rupanya menawarkan bantuan padaku dengan membawakan tas buncitku. Wah, lumayan mengirit tenaga heheheh. Langkah demi langkah kubuang demi mencapai gerbong yang kutuju. Tapi tiba-tiba saja ada yang menarik lenganku dari arah belakang, persis di film-film India. Aku pun menoleh kea rah si penarik lengan dengan gaya slow motion, pokoknya persis di film-film India. Bedanya, yang kukibaskan bukanlah rambut hitam menjuntai, melainkan sebuah jilbab berwarna putih dengan motif bunga berwarna biru hehehhe. “Maaf, Mas. Ini anak saya…” mendengar kalimat itu aku langsung sadar bahwa yang menarik lenganku bukanlah Sharur Khan apa lagi Amitha Bachan, melainkan Bapakku sendiri hehehe. Ternyata Bapakku telah kembali dari Musholla. Akhirnya aku dibimbing oleh dua orang kaum Adam yaitu petugas stasiun dan Bapakku.

            Akhirnya sampai juga aku di atas stasiun. Aku disuruh duduk di sebuah kursi yang di-desain untuk dua orang penumpang. Tanpa ragu aku pun langsung menghuni sebuah tempat duduk tepat di samping jendela. “Makasih ya, Mas…” ungkapku pada sang petugas stasiun. “Iya Mbak, sama-sama. Ati-ati ya…” kata sang petugas stasiun itu. “Setelah mengucapkan terimakasih pada sang petugas, kini giliran Bapakku yang kuhadiahi ucapan terima kasih sambil mencium tangannya. “Nanti kamu turunnya gimana, Nok?” Tanya Bapak sebelum melangkah pergi meninggalkanku. “Tenang Pak, banyak yang bantu Eka kok…” kataku sambil melempar senyum agar Bapakku itu merasa  tenang melepasku pergi seorang diri. “Ya udah, ati-ati ya, Nok!” kata Bapak dengan tak lupa menyertakan kata “Nok”  sebagai julukan saying untukku. “Iya, Pak…” kataku sekaligus menutup dialog di antara aku dan Bapak. Kini tinggalah aku seorang diri di atas kereta tanpa orang-orang yang kukenal. Aku melemparkan pandanganku ke luar jendela. Disana yang kudapati hanyalah kabut putih. “Aku pasti bisa menaklukan petualangan ini!” kataku dalam hati. Tak lama kemudian kereta pun melangkah perlahan meninggalkan stasiun kota Tegal.

            Finish untuk Part 1. Nanti dilanjut di part selanjutnya ya. Kita lihat apakah aku bisa menaklukan petualangan ini atau aku akan kalah dan menyerah?!!? Mohon ditunggu aja ya, tapi nunggunya gak usah sambil penasaran ya heheheh. OK, udahan dulu ya! Makasih lho buat yang udah mau nyempetin baca tulisan gak penting itu heheheh. See ya, sobat!! Salam Akselerasi!
Dipostkan juga di www.kartunet.com

Part 5: Mengembara ke Semarang Setelah 2 Tahun Menyepi :D


Rabu, 19 Oktober 2011…
            Aku manggut-manggut sambil menggoyangkan jemariku di atas papan Keyboard seiring dengan serentetan kalimat yang terlontar dari bibir seorang cowok di sampingku. Tentu aku manggut-manggut plus menggoyangkan jemariku bukan karena sedang “Dangdutan”, melainkan sedang mendengarkan arahan dari Mas Ari, sang Instruktur Pelatihan Komputer Bicara, perihal materi baru yang dia berikan kepadaku menjelang detik-detik kepergianku dari Padepokan ini. Kalau sebelum lunch tadi aku diajari soal berselancar di dunia maya, tapi kali ini aku diajari bagaimana cara mengoperasikan JAWS untuk program pengolah kata Microsoft Word 2007. Perlahan kuikuti setiap kalimat milik cowok itu. Rasa nervous sepertinya tak lagi Nampak dariku, tak seperti moment-moment kebersamaan kami sebelumnya. Rasa canggung yang semula menggunung, kini telah mencair seiring dengan tetesan keringat yang membanjiri sekujur tubuhku siang ini. Kini aku tak lagi malu-malu kucing saat hendak melontarkan pertanyaan pada cowok yang Ibuku bilang memiliki muka “kasep” alias “ganteng” itu. Mencairnya rasa canggungku pada Mas Ari, memberikan manfaat tersendiri bagi kerja otakku dalam memproses materi yang sedang kupelajari ini. Ya, aku semakin rileks dan hal itu tentu membuatku sedikit lebih mudah menangkap setiap materi yang diberikan. Dan setali tiga uang denganku, Pak Mahendra yang duduk di samping kanan Mas Ari, nampaknya tak mengalami kesulitan dalam mencerna materi kali ini. Baguslah kalau begitu, itu tandanya sang Instruktur berhasil mendidik kedua muridnya, yaitu aku dan Pak Mahendra.
            Udara panas kota Semarang terus meraung-raung di dalam ruangan yang sedang kudiami bersama beberapa kaum adam. Sedangkan Ibuku, dimana dia? Hmm, entahlah! Mungkin dia sedang mendinginkan kepalanya dari kobaran masalah yang menggumpal di dalam tubuh keluargaku. Ya, Ibu memang sempat mencuri-curi pembicaraan denganku saat pelatihan sedang berlangsung sebelum waktu Dzuhur tiba beberapa waktu lalu. Kepadaku Ibu mengatakan bahwa dia ditelpon oleh orang rumah, yaitu oleh Bapak, nenek, dan juga Bibiku. Ketiga orang itu mengutarakan hal yang sama pada Ibu, yaitu perihal kekacauan yang telah terjadi di rumahku. Mereka bilang, ada seorang tamu yang mengamuk di rumahku. Tentu tamu itu tidak sedang mabuk atau pun kerasukan setan. Ah, tunggu! Tamu itu memang tidak sedang mabuk, tapi kata “kerasukan setan” sepertinya tepat disandang oleh tamu itu. Hmm, sebenarnya apa yang terjadi? Menurut cerita yang kudapat dari Ibu, tamu itu adalah salah seorang sahabat Bapak sewaktu masih bertugas di kemiliteran dulu. Sepengatuhanku, seseorang berinisial “S” itu memang sahabat karib Bapak. Tapi kini semua itu berubah. Dan perubahan itu terjadi karena perkara hutang piutang. Bapak memiliki hutang pada sahabatnya itu. Tapi bocornya lumbung perekonomian keluargaku sepertinya memaksa kedua orang tuaku untuk masuk ke dalam masa tenggang pengembalian sejumlah uang milik seseorang yang dulu sempat menjadi bawahan Bapak itu. Tapi rupanya seorang pensiunan Tentara berinisial “S” itu tak mau mengampuni keterbatasan yang sedang dialami oleh kedua orang tuaku. Dia mengamuk sejadi-jadinya di rumahku, menerobos ke dalam rumahku, memanggil-manggil Bapakku, persis seperti seseorang yang kerasukan setan. Padahal nenekku sudah mengatakan pada orang itu kalau Bapakku sedang mengaji dan akan segera menemuinya di ruang tamu. Tapi sepertinya setan memang sedang merasuk pada diri pensiunan itu. Ya, menurut cerita, orang itu menghadiahkan beberapa kata kasar pada keluargaku. Dan pada saat itu, Bapak, nenek, dan Bibiku lah yang mendapat kado berupa perkataan kasar itu. Hmm, sungguh aku tak tahu harus berbuat apa bila berada di posisi keluargaku. Di tengah-tengah keterbatasan ekonomi keluarga, kami dituntut untuk memenuhi setiap lubang yang bocor. Sungguh aku tak kuasa menahan kesedihan, juga amarah atas semua perlakuan kasar yang diterima oleh keluargaku. Tentu sekarang ini aku bisa merasakan kegundahan serta kesedihan yang teramat sangat yang dirasakan oleh IBu.
            Kabar kurang mengenakan yang diterima Ibu dari rumah, tentu berpengaruh jugaterhadapku . Kekacauan tentu sedang terjadi di otakku. Wajah kusut rumahku tak henti-hentinya berseliweran dalam pandanganku. Hal itu tentu membuat jantungku berdetak kencang, membuat perutku mulas, dan membuat tubuhku lemas. Sungguh aku tak ingin menjumpai segudang masalah yang menanti di rumah. Rasanya aku ingin tetap berada disini agar tak kudengar keluh kesah keluargaku. Saat kembali ke rumah, tak hanya kesunyian yang kudapat, badai yang bertiup di dalam keluargaku pun tak mampu kuelak lagi. Semuanya akan menghampar di pelupuk mataku. Semuanya akan menghimpitku, membuat sesak nafas sang Takdir. Tapia pa boleh buat, semua itu adalah jalan yang Tuhan berikan. Aku dan keluargaku hanyalah lakon yang cukup berperan tanpa memiliki hak untuk menawar segala pemberian Tuhan.
            Pelatihan terus berjalan, gerak bibir, langkah jari-jemariku di atas papan Keyboard, serta anggukan kepalaku masih menjadi suguhan utama di episode terakhir lakonku sebagai peserta Pelatihan Komputer Bicara di padepokan ini. Semua itu terus menggeliat tanpa peduli gundah yang ada di lubuk hati Ibu dan juga diriku. Sebisa mungkin kusingkirkan awan mendung yang menggelayut di atas langitku, semua itu demi kelangsungan konsentrasiku pada Pelatihan Komputer Bicara yang sedang kujalani. Dan kali ini Mas Ari sedang mengajarkan materi tentang penggunaan “e-mail” setelah sebelumnya mempelajari tentang program pengolah kata Microsoft Word 2007. Aku tak begitu takjub dengan materi kali ini, pasalnya aku memang sudah mengenal si “e-mail” itu. Meski demikian, rasa senang dan antusiasme tetap kutunjukkan di tengah ruangan ini. Tentu itu tak sekedar basa-basi. Aku memang begitu berantusias, sebab ada sebuah trik baru alias ilmu baru yang kutangkap dari Mas Ari. Kalau sebelumnya aku tak bisa membaca e-mail menggunakan JAWS, tapi kali ini sepertinya aku tak akan menemui kesulitan itu lagi. Semua itu berkat sang Instruktur. Hmm, tapi nampaknya Pak Mahendra, pengembara dari Kendal itu tak berlanjut ke materi ini. Tentu alasannya bukan karena si “e-mail” itu mantan pacarnya, apa lagi kalau dibilang si “e-mail” itu adalah tukang kredit kompor yang dihutangi oleh Pak Mahendra hehehe. “Hush! Kalau ngomong jangan sembarangan! Ini “e-mail” alias “surat elektronik”, bukan “Imel” anaknya Mang Dadang, apa lagi dibilang mantan pacar dan tukang kredit! Kalau tukang kredit itu mah namanya ce Mumun, bukan “Imel” apa lagi “e-mail”…” teriak sebuah benda kecil berbentuk Mickey Mouse yang nemplok di jilbab coklatku. Hahaha…betul betul betul! Yang menjadi alas an ketidak-ikutsertaan Pak Mahendra di materi kali ini memang bukan dikarenakan oleh nama “e-mail”, mantan pacar, apa lagi tukang kredit, melainkan karena Pak Mahendra belumlah memiliki sebuah alamat e-mail. Berhubung waktu yang kami miliki di Padepokan ini tak begitu banyak lagi, jadi para Instruktur di padepokan ini terpaksa membebas tugaskan Pak Mahendra dari materi “e-mail” ini. Alhasil salah seorang guru di sebuah Sekolah Luar Biasa(SLB) di kota Kendal itu pun menghabiskan waktunya untuk mengaduk-aduk perut Om Google. Nah, sementara itu, aku dan Mas Ari sibuk berkencan. Eits, jangan menggosip dulu ya! Kencan disini maksudnya adalah aku dan Mas Ari sedang asyik menjelajah “Gmail”. Ya bisa dibilang kami ini mirip dua sejoli yang sedang berkencan hehehe. Lihat saja, kami Cuma asyik berdua tanpa diganggu oleh yang lain, Mas Ari sepenuhnya menjadi Instruktur pribadiku kali ini hehehhe.
            Setelah aku diajak berkeliling di rumah si “Gmail”, kini tiba saatnya aku berkirim surat. Mas Ari memerintahkanku untuk mengirimkan sebuah file kepada seseorang. Dan dia pun menyuruhku mengirimkan file berisi hasil belajarku sejak kemarin kepada sebuah alamat rajadewanata@gmail.com. Aku menurut saja. Tak ada rasa curiga, apa lagi rasa mentega hehehe. Ya iya lah, untuk apa curiga, kan tak ada yang perlu dicurigai dari sebuah perkara mengirim e-mail ke sebuah alamat e-mail. “Kalau situasinya kau sedang nongkrong dikamar mandi, kemudian ada seseorang yang menempelkan telinganya pada pintu kamar mandi, barulah kau boleh curiga. Mungkin aja orang itu akan mengintipmu hehehe” sebuah kipas angin yang berdiri tak jauh dariku tiba-tiba melemparkan kalimatnya untukku. Aku yang dihadiahi kalimat oleh si Kipas Angin, hanya tertawa dalam hati, menertawakan kekonyolanku itu.
            Sebuah e-mail pun telah berhasil kukirim. Sebuah Medali Emas pun dikalungkan di leherku oleh Mas Ari. Tentu itu sekedar ungkapanku saja dalam menggambarkan keberhasilanku kali ini. Tetapi setelah prosesi pengalungan Medali itu usai, ada sebuah Tanya mencuat di pikiranku. rajadewanata@gmail.com, alamat e-mail milik siapa ya itu? Jangan-jangan si pemilik e-mail itu akan memarahiku gara-gara mengiriminya sebuah e-mail tak jelas hehehe. Ternyata eh ternyata, itu adalah alamat e-mail milik Mas Ari. Baguslah kalau begitu, sekarang aku bisa lega tanpa perlu takut dimarahi oleh seseorang gara-gara e-mail tak jelasku heheh. Kupikir Mas Ari akan menyesatkanku ke alamat e-mail yang semula tak kuketahui siapa pemiliknya itu, tapi ternyata dugaanku itu salah hehehe.
            Ruangan semakin memanas! Memanasnya ruangan ini bukan karena goyang gergaji Dewi Persik, melainkan karena udara kota Semarang detik ini begitu panas. Tubuhku telah basah oleh keringat. Dan mukaku…oh no! Aku sudah bisa menebak kalau mukaku sekarang ini sudah tak berbentuk alias carut-marut hehehe. Aku bisa merasakan mukaku sekarang ini begitu lengket oleh keringat, pokoknya sudah tak sedap dipandang mata. Parah! Muka sudah butek, eh ditambah butek oleh keringat maha subur yang dicipta oleh udara panas Semarang kota kembang ini. “Eka! Apa tadi kau bilang? Sepertinya kau bersekolah selama tujuh tahun ya saat Sekolah Dasar dulu?!? Bagaimana bisa kota Semarang kau juluki sebagai kota kembang, jelas-jelas kota kembang itu sudah ada yang punya, si Bandung itu lho,” kata si Kipas Angin lagi-lagi mengomentari kalimatku. “Wah, kau ketinggalan gossip ya, Pas? Si kembang kan sudah putus dengan si Bandung, sekarang dia menjalin hubungan dengan si Semarang ini! Makanya lihat “SILAT” dong, jangan liatnya “Upin Ipin” mulu!” timpalku pada si Kipas Angin. “Mbak, Mbak, bukan “SILAT” tapi “SILET”, Mbak Eka salah ngomong tuh! Malu dong Mbak sama orang se-Indonesia, ini kan website terkenal, bukan Blog kacanganmu  itu hehehe” tiba-tiba si Mickey Mouse yang tengah mejeng di jilbab coklatku angkat bicara. “Oh iya iya, aku lupa! Yang bener kan “SILET” ya hehehe. Pembawa acaranya kan aku kenal banget, namanya kan Mbak Peniti Bros!” katakusok tahu. “Tuh kan salah lagi! Bukan Peniti Bros, tapi Feni Rose! Wah, malu-maluin jagat per-curhatan Kartunet nih si Mbak,” lagi-lagi aku diprotes oleh si Mickey Mouse. Hmm, sepertinya si Mickey Mouse adalah fans berat acara gossip yang satu itu, terbukti dari protes yang dilemparkannya tiap kali aku mengatakan hal yang kurang tepat tentang acara TV yang satu itu hehehe. OK, focus ke cerita! Di tengah-tengah raungan hawa panas yang menderaku, sebisa mungkin aku tetap mendengarkan setiap arahan dari Mas Ari. Meski tanganku kerap kusibukkan untuk mengibas-ibaskan jilbabku demi mendatangkan angin yang ala kadarnya, tapi keseriusanku dalam mengikuti pelatihan bisa dibilang tak berkurang secuil pun. Aku sebetulnya gelisah mendengar detak jarum jam. Kutahu tumpukan detak sang jam itu akan segera menghanyutkanku ke rumah. Aku pun sadar kalau geliatku di padepokan ini sudah hamper binasa tergerus waktu yang mulai meninggalkan siang menuju petang. Oh semua itu sungguh tak ingin kulalui! Aku ingin berada disini, jauh dari rumah, jauh dari keluh kesah, jauh dari tekanan, dan jauh dari kesunyian! Tapi nampaknya semua itu memang tak bisa kuhindari, semua itu harus kuhadapi sebagaimana sang Takdir yang telah kuhadapi meski dengan tangis yang sempat mengiringiku.
            Aku tersenyum ketika Mas Ari mengatakan kalau Pelatihan telah usai. Meski sebuah senyuman telah kuberikan pada cowok itu, tapi semburat kesedihan sungguh tak bisa kuhapuskan dari kedua bola mataku. Mungkin kalau Mas Ari bukan seorang Tunanetra, sekarang ini dia pasti sudah melihat mendung yang menggelayut di kedua mataku. Kesedihan tentu menghampiriku seiring kalimat Mas Ari yang menyatakan bahwa pelatihan telah usai. Hmm, waktunya telah tiba! Aku sepertinya harus mengakhiri kehangatan di ruangan ini. Sungguh aku tak mau! Tapi sebelum kuakhiri pelatihan ini, tak lupa aku meminta ijin kepada Mas Ari untuk me-copy dua buah lagu milik Taylor Swift. Dia pun mempersilahkanku me-copy dua buah lagu itu dari sebuah computer di hadapanku. Sebuah FD milik kakak Mas Ari lagi-lagi kupinjam sebagai media pemindah file dari computer milik DPD Pertuni ke Laptop-ku. Setelah selesai dicopy, kini tiba saatnya untuk meletakannya di Laptop-ku. Kali ini giliran Mas Ari yang melakukannya. Aku mengamati Mas Ari yang tengah menggoyangkan jari-jemarinya di atas Keyboard Laptop rentaku. Di sela-sela aktivitas me-copy yang dilakukan Mas Ari, sebuah perbincangan turut disertakan di antara kami. “Berarti ketemu lagi nanti tanggal 25 ya?” kata Mas Ari. Aku buru-buru mengangkat kepalaku, lalu mengarahkannya pada sosok yang sedang mengajakku bicara. Aku sedikit terkejut dengan kalimatnya itu. “Workshop itu ya? Emangnya Mas Ari ikut juga ya?” tanyaku sambil melempar senyum padanya. Ia pun menjawab “iya”. Hmm, entah mengapa ada sedikit rasa bahagia ketika kudengar pernyataannya itu. Berarti aku akan bertemu kembali dengannya pada tanggal 25 November yang akan dating. Entahlah rasa bahagiaku itu hadir karena alas an apa, yang jelas senyumku terkembang ketika kutahu aku dan dia akan kembali bertemu.
            Kini semuanya sudah beres. Aku tak lagi mendengar arahan Mas Ari, juga tak lagi mendengar suara Om JAWS. Yang kudengar sekarang ini hanyalah kalimat “ini saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada padepokan ini, Eka!” yang dibisikan oleh kalbuku. Dan setelah berdiskusi tentang kepulanganku, akhirnya diputuskan bahwa aku dan Ibu akan pulang saat ini juga. Ibu langsung mengajakku berkemas. Keringat yang masih membasahiku, serta pakaian yang tak lagi segar, seolah tak dihiraukan oleh Ibu. Ya, dia tak memberiku kesempatan untuk mandi. Really?!? Oh no! Jangan bilang kalau aku akan pulang dengan badan penuh keringat plus pakaian compang-camping macam ini! Tapi rupanya Ibu telah berubah menjadi Ratu Tega. Aku disemprotnya dengan serentetan hardikan ketika aku merengek minta mandi. Aku tahu sikap Ibu itu semata-mata karena ia takut kalau kami akan ketinggalan kereta. Ya sudah, akhirnya aku menyerah. Kubiarkan tubuhku bau kecut. Eits, tunggu dulu! Kurasa aku punya trik yang bisa sedikit menyemarkan kecut tubuhku. Lalu kuaduk-aduk tas punggungku demi mencari sebotol benda ajaib. Toreng…toreng…toreng…ini dia benda ajaibnya! Parfume seharga sepuluh ribuan telah siap kusemprotkan ke pakaianku. Tak peduli sesosok cowok yang tengah duduk tak jauh dariku, si Parfume itu kusemprotkan beberapa kali ke pakaianku. Seketika aroma si Parfume menyeruak ke seisi ruangan. Nah, finish! Langsung saja gendong tas yang tubuhnya Nampak lebih buncit dari sebelumnya!
            Aku berpamitan pada Mas Ari dan Pak Mahendra, sedangkan kepada Mas Sigit dan Mas Fadzirin hal itu tak kulakukan, sebab kedua Mitra Bakti itu akan mengantarku ke stasiun. Akhirnya aku menyalami tangan Mas Ari dan Pak Mahendra, tentu dengan diarahkan oleh Ibu. Tak begitu banyak ucapan terimakasih yang kuontarkan padanya. Sebenarnya perpisahan semacam ini bukanlah yang kuharapkan. Yang terlihat di moment perpisahan ini adalah ketergesa-gesaan yang teramat sangat. Setiap gerak yang kulakukan bersama Ibu benar-benar seperti sedang dikejar hantu. Maklum saja, kami memang sedang diburu waktu. Terpaksa sebuah ucapan ala kadarnya lah yang kuucapkan pada Mas Ari dan Pak Mahendra. Aku tahu ucapan ala kadarnya itu tak cukup untuk membalas segala kebaikan dan ilmu yang telah kuterima disini. Tapia pa boleh buat, hanya itu yang bisa kuberikan. Mudah-mudahan suatu saat nanti aku bisa kembali bertemu dengan keduanya dan bisa membalas segala kebaikannya.
            Sebuah sepeda motor dengan dua orang penumpang di atasnya tengah melenggak-lenggok di sebuah jalan aspal kota Semarang. Sang pengemudi sepertinya tak menghiraukan kemacetan yang sedang terjadi sekarang ini. Sepeda motornya terus dipacu demi memenangkan perlombaan yang sedang diikutinya bersama sang waktu. Sementara itu, seorang gadis berjilbab coklat, berkacamata bening, serta sebuah tas menempel di punggungnya, tengah ketakutan dengan aksi sang pengemudi. Ya, gadis berjilbab itu adalah aku. Aku benar-benar ketakutan dengan aksi Mas Fadzirin yang mirip Valentino Rossi. Rasanya aku ingin menyuruh Mas Fadzirin untuk menghentikan laju sepeda motornya dan memintanya untuk mengijinkanku jalan kaki ke stasiun. Sungguh aku takut bila harus diajak kebut-kebutan di atas sepeda motor. Hmm, tapi sepertinya aku harus menelan rasa takutku dan membiarkan Mas Fadzirin membelah jalanan kota Semarang yang padat oleh kendaraan penghuninya.
            Alhamdulillah! Kurasa aku telah sampai di stasiun Poncol yang kelak akan menyediakan sebuah kereta untuk kunaiki menuju kota Tegal. Mas Fadzirin memarkir sepeda motornya, begitu pun dengan Mas Sigit yang tadi memboncengkan Ibu di atas sepeda motornya. Kami berdiskusi sejenak sebelum akhirnya aku berjalan sambil berpegangan pada lengan Mas Fadzirin.
            Kini aku, Ibu dan Mas Fadzirin telah berada di depan sebuah loket pembelian tiket. Mas Fadzirin membantu kami untuk memesan tiket  pada sang penjual tiket. Tiket yang kami pesan adalah tiket Kereta Api Bisnis, tapi lagi-lagi kami kurang beruntung. Tiket Kereta Api Kaligung Bisnis telah sold out. Akhirnya lagi-lagi kami relakan uang seratus ribu beralih tangan kepada sang penjual tiket. Taka pa lah, yang penting bisa pulang. Akhirnya setelah tiket berhasil digenggam, aku dan Ibu pun berpamitan kepada Mas Fadzirin yang telah begitu baik kepada aku dan Ibu. Perpisahan pun telah benar-benar terjadi seiring dengan tubuhku yang tenggelam di peron stasiun. Aku dan Ibu berlari cukup kencang, mencari gerbong yang kelak akan kuhuni bersama Ibu. Penglihatanku yang terbatas sangat terasa mengganggu. Beberapa kali tubuhku menabrak tubuh lain ketika Ibu menyeretku menuju si Kaligung Emas. Dari tingkah Ibu yang beringasan mencari keberadaan tubuh si Kaligung, aku bisa tahu kalau sekarang ini Ibu sedang cemas. Tentu saja dia cemas bila mengingat jarum jam telah memberitahukan kepada kami bahwa kereta asekutiv Kaligung Emas akan segera bertolak ke kota Tegal. Langkah kami akhirnya terhenti ketika ada seorang petugas kereta api yang membantu kami menemukan kereta yang kami cari.
            Kini tubuhku tak lagi berlarian di peron. Kini aku dan Ibu telah berada
di dalam sebuah gerbong kereta api yang begitu sejuk dengan tiupan sang AC. Aku masih setia mencengkram lengan IBu, sementara itu Ibu Nampak kebingungan. Ibu yang kedua matanya sudah tak begitu awas lagi akibat usianya yang bertambah, terlihat kesusahan membaca dan mencocokan nomor yang ada di tiket dengan nomor tempat duduk di gerbong ini. Kurasa saat ini beberapa pasang mata sedang memperhatikan kami. Bisa dibilang kami ini benar-benar kebingungan mencari tempat duduk. Tapi untungnya ada seorang cowok yang jika diperhatikan dari suaranya, dia berumur tak jauh dariku. Dia membacakan nomor yang tertera di tiket yang Ibu pegang, kemudian mengarahkan tempat duduk yang kami cari. Alhamdulillah ada orang baik di kereta ini.
Peluh kuusap dari muka dan jiwaku. Aku bersandar pada kursi empuk yang sedang kududuki. Kuperhatikan Ibuku lebih banyak diam. Terasa sebuah kesedihan serta kegundahan sedang dihadapinya. Aku tahu sekarang ini dia sedang memikirkan kondisi rumahku. “Ya Allah, gimana kita melunasi semua hutang-hutang kita, Ka?” Ibu tiba-tiba berbicara padaku. Suaranya lirih, nyaris tertutupi oleh teriakan si Kaligung. Ya, saat ini kereta memang sudah melaju meninggalkan Semarang. “Saba raja, Mah! Nanti juga pasti ada jalan keluarnya. Gak usah dipikirin terus, Mah!” kataku mencoba menenangkan Ibu yang terlihat murung. Mendengar kalimatku, Ibu  seperti tak punya kekuatan untuk membalas kalimatku. Lagi-lagi dia terdiam dan hanyut dalam lamunannya. Melihat Ibuku seperti itu, aku jadi tak tega untuk mengajaknya bicara perihal pengembaraan kami yang telah usai. Akhirnya kuputuskan saja untuk mengirim SMS kepada Pak Ndaru. Kebetulan aku belum berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada beliau. Sebuah SMS berisi ucapan terima kasih pun akhirnya kukirim kepada beliau. Tak lama setelah itu, sebuah SMS balasan kudapatkan dari Pak Ndaru. Oiya, tak lupa kuminta nomor Mas Fadzirin kepada Pak Ndaru. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Mas Fadzirin atas bantuannya. Pak Ndaru pun memberikannya untukku. Tanpa menunggu lama, langsung saja kukirim SMS pada cowok yang berstatus sebagai Mahasiswa itu. Ah, ada satu hal lagi. Kepada Mas Fadzirin aku mengutarakan keinginanku untuk memiliki nomor Handphone Mas Ari dan Mas Sigit. Tentu keinginanku itu tak jauh-jauh dari niatku mengucapkan terima kasih. Alhamdulillah, akhirnya kudapatkan juga nomor Handphone kedua cowok itu.
Pemalang…kini kereta yang kutumpangi sudah sampai di kota Pemalang. Benarkah? Wah, tak terasa sudah sampai Pemalang. Kurasa si Kaligung berlari begitu cepat, secepat si Sonic hehehe. Benar-benar tak kupercaya, belum sampai satu jam aku duduk di kereta tapi kini sudah sampai di Pemalang. Kalau begitu baguslah, aku tak perlu berlama-lama di dalam kereta. Sebentar lagi aku akan tiba di kota Tegal, dan Semarang akan benar-benar menghilang dari pandanganku. Entah mengapa ada desir di dalam hatiku yang terasa sakit kala kuingat sosok-sosok yang kukenal di Semarang. Entah mengapa aku kangen kepada mereka. Aku ingin kembali kepada mereka dan berkumpul lagi bersama mereka. Ya mudah-mudahan saja bisa bertemu mereka lagi!
Aku meringkuk di atas ranjang kayu di kamarku. Tak ada lagi keriuhan kota Semarang maupun kota-kota lainnya. Yang kini Nampak hanyalah kesunyian kamarku. Ya, aku memang telah sampai di rumah tanpa kurang suatu apapun. Kumainkan Handphone-ku, kubaca lagi beberapa SMS yang telah masuk. SMS dari Mas Sigit dan Mas Ari lah yang kubaca sekarang ini. SMS dari mereka berdua memang mampir di Handphone-ku pada detik-detik terakhir kedatanganku di rumah. Hmm, hatiku kok rasanya berbeda ya saat mendengar nama “Mas Ari” dibacakan oleh Cross putih milikku. Kok ada sebuah rasa yang timbul ya? Rasa apa ya itu? Hmm, entah mengapa otakku kembali memutar moment-moment kebersamaanku dengan Mas Ari. Dan, sebuah lagu berjudul “Tear Drops on My Guitar” mengingatkanku pada Mas Ari. Setiap nada yang terdengar dari lagu itu seolah jadi mantra tersendiri yang mampu membuat dadaku berdegup kencang sekaligus membuat mataku berkaca-kaca. Apa yang sedang terjadi padaku sekarang ini?
            Selesai sudah kisah pengembaraanku ke Semarang! Ini adalah episode terakhir kisah pengembaraanku. Tapi sebenarnya aku masih punya kisah lain yang masih menjadi bagian dari kisah pengembaraan ini. Hmm, Insya Allah akan kubagi disini, tapi mungkin kisahnya agak anak muda gitu hehehe. Pokoknya ditunggu aja ya, tapi kalau gak mau nunggu juga gak apa-apa hehehe. OK deh Kartuneters, makasih banyak atas kesediannya mengikuti kisahku dari part 1 sampai 5 ini. Aku benar-benar terharu, tulisan jelek begini tapi masih ada juga yang bersedia baca. Terima kasih Kartuneters! Sampai jumpa di kisah-kisah selanjutnya! Salam Akselerasi!