Selasa, 08 November 2011

Part 4: Mengembara ke Semarang Setelah 2 Tahun Menyepi :D


Rabu, 19 Oktober 2011…
            Pagi masih sangat buta ketika kubuka kedua bola matabulatku. Tubuhku menggeliat mengiringi kedua bola mataku yang terbuka. Aku mengucek mataku, berharap ada sesuatu yang nongol di mataku. Tapi harapku itu takterbukti. Yang kutangkap di kedua bola mataku hanyalah kabut putih. Aku terdiam di antara kabut-kabut putih yang berseliweran dalam pandanganku. Kubiarkan nyawaku terkumpul sebelum akhirnya menepuk punggung Ibu yang masih meringkuk di sampingku. Sayup-sayup kudengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Lantunan ayat suci itu terasa sejuk dalam keheningan pagi ini. Hmm, kalau sudah terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an macam itu, tandanya subuh akan segera dating. Entah mengapa senyumku terkembang ketika kata “subuh” terlintas di benakku. Mungkin aku sudah tak sabar untuk bertemu sang fajar guna melanjutkan kembali Pelatihan Komputer Bicara. Atau mungkin aku sudah tak sabar untuk segera pulang ke kampong halaman? Menurut jadwal, Pelatihan Komputer Bicara yang sedang kujalani ini akan berakhir pada hari ini, tanggal 19 Oktober 2011. Ah, tapi rasanya aku tak ingin pelatihan ini berakhir. Aku ingin tetap disini dan tetap belajar computer bicara. Senyumku yang semula terkembang kini sedikit pudar kala kuingat bahwa hari ini pelatihan akan segera berakhir. Ah, sudhahlah…masih ada beberapa jam yang bisa kumanfaatkan untuk belajar computer bicara, kuyakin saat pulang nanti aku bisa menggondol banyak ilmu dari padepokan ini meski waktu yang kulewati hanya 2 hari. OK, sekarang lebih baik tepuk punggung Ibu lalu ajak dia pergi ke kamar mandi.
            Akhirnya kusentuhkan tanganku pada punggung Ibu. Perlahan kutepuk punggungnya. Tubuh Ibuku akhirnya menggeliat hanya dengan tiga kali tepukan tanganku di punggungnya. Tingkah Ibu sekarang ini tak juh dengan apa yang telah kutunjukkan beberapa saat lalu. Ya, Ibu menggeliat, lalu mengucek kedua matanya dan diakhiri dengan diam. Begitulah kiranya yang kutangkap dari sudut mataku yang kebetulan masih bisa kuandalkan untuk menangkap gerak seseorang meski hanya Nampak seperti bayangan. Kubiarkan Ibuku mengumpulkan nyawanya. Sementara Ibu tengah sibuk mengumpulkan nyawanya, aku justru sibuk mematahkan jari-jemariku. Apa yang terjadi padaku? Hmm, sebuah rematik yang kumiliki nampaknya sedang beraksi saat ini. Itu terbukti dari pegal dan sakit yang kurasakan pada jari-jemariku. Nah, ketika si Rematik beraksi, biasanya kulancarkan sebuah aksi balasan dengan jalan mematahkan jari-jemariku. Aksi yang kulakukan itu biasanya cukup ampuh mengusir nyeri yang ditimbulkan oleh si Rematik. Tapi kalau pun tak berhasil, aku masih punya cara lain yang bisa kugunakan untuk melawan si Rematik. Air hangat yang diberi garam, itulah alternatif lain yang biasa kugunakan untuk mengusir nyeri yang ditimbulkan oleh penyakit yang lebih sering menyerang kaum lansia ketimbang remaja macam aku ini. Hmm, tapi kurasa air hangat plus garam itu tak perlu kudatangkan disini, sebab aksi si Rematik kali ini tidaklah terlalu mengkhawatirkan.
            Suara Ibu tiba-tiba menggema di antara suara patahan jari-jemariku. Rupanya nyawa Ibu sudah terkumpul. Akhirnya kuhentikan kegiatanku bersama beberapa ruas jari-jemariku dan bergegas mengalihkan perhatianku pada Ibu. Ibu terdengar beberapa kali melemparkan kalimat padaku. Inti kalimat yang ilontarkannya adalah perihal kenyamananku tidur mala mtadi. Tentu aku langsung menimpali kalimat-kalimat Ibu itu dengan sebuah ekspresi yang menunjukkan bahwa tidurku malam tadi sangatlah nyenyak. Tak ingin kalah dengan Ibu, aku pun ikut melemparkan beberapa kalimat Tanya pada Ibu. Tentu pertanyaan yang kulemparkan padanya tak jauh-jauh dari pengalaman tidurnya malam tadi. Dan jawaban yang dihadiahkan padaku cukup membuatku geleng-geleng kepala. Betapa tidak, kepadaku Ibu menceritakan bahwa semalaman dia digerogoti oleh hawa panas. Dia bercerita bahwa badannya basah kuyup oleh keringat. Nah, yang membuatku geleng-geleng kepala adalah keberadaan sang AC yang tak dihiraukan oleh Ibu. Ya, AC yang menyala di ruangan ini rupanya tak mempan untuk mengusir gerah yang Ibu rasakan, padahal menurutku AC yang bertiup semalam rasanya mampu membekukan sebungkus Ice Cream. Aku saja kedinginan sampai-sampai Rematikku kambuh, Tapi Ibu justru kegerahan. Ckckck…Ibu memang aneh.
            Usai berdiskusi bersama, akhirnya aku dan Ibu memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Kemudian aku pun berjalan sambil berpegangan pada Ibu. Perlahan-lahan kulangkahkan kedua kakiku, mengikuti derap langkah seorang wanita didepanku. Belum lama aku melangkah, tiba-tiba Ibu mengatakan sesuatu. Tapi kalimat yang Ibu lontarkan itu tak begitu jelas terekam di telingaku. Belum sempat aku menanyakan kalimat apa yang Ibu lontarkan, tiba-tiba kakiku menabrak sesuatu. “Aduh, tubuh siapa yang kutabrak?” batinku sambil celingukan, mencari tahu pemilik tubuh yang kutabrak tadi. Usut punya usut, salah seorang dari ketiga jagoan di padepokan inilah yang kutabrak. Ya, salah seorang dari tiga sekawan, Mas Ari, Mas Fadzzirin, dan Pak Mahendra, tak sengaja ditabrak oleh kakiku. Hehehe, maklum lah kurang awas, ditambah lagi kondisiku yang baru saja bangkit dari mimpiku. “Maaf, maaf, maaf”  begitu kataku penuh rasa bersalah. Gara-gara kecerobohanku dalam melangkah, tidur kaum adam itu jadi terganggu. Dan memang benar, tanda-tanda kehidupan yang kutunjukkan bersama Ibu pagi ini membuat para kaum adam itu terbangun. Tapi taka pa, lagi pula suara Adzan sudah berkumandang di luar sana.
            Beberapa menit telah berlalu, dan kini aku telah duduk manis di samping sebuah pintu. Aku sedang menunggu Ibuku yang tengah menunaikan sholat subuh. Sementara itu, tak jauh dari tempat yang sedang kudiami sekarang ini, tiga kaum adam yaitu Mas Ari, Mas Fadzirin dan Pak Mahendra, tengah asyik berbincang membicarakan sesuatu yang tak kumengerti. Aku terus mematung di samping pintu tanpa melakukan suatu gerakan yang berarti. Hanya sesekali terlihat bibirku bergerak. Gerakan bibirku itu bukan karena kedinginan apa lagi ketakutan, melainkan karena beberapa butir permen sedang menghuni mulutku. Butiran permen itu menciptakan gerakan tersendiri pada kedua bibirku. Maklum saja, permen yang sedang kulumat ini adalah permen kesukaanku yang sengaja kupesan pada saudaraku yang semalam sempat menemuiku di padepokan ini. Ya, saudaraku itulah yang membelikan permen ini untukku hehehe. Tapi tiba-tiba Ibu membangunkanku dari lamunan. Rupanya Ibu telah selesai menunaikan kewajibannya kepada sang pencipta. Dan seiring dengan tuntasnya kewajiban Ibu kepada sang pencipta pada pagi ini, ketiga kaum adam itu pun mulai melaksanakan tugas rutin mereka setiap paginya, yaitu mandi pagi. Satu persatu mereka bergantian menggunakan kamar mandi.
            Entah sudah berapa banyak denting yang diciptakan oleh sang waktu seusai aktivitas Subuh tadi. Yang jelas, mentari telah nongkrong di luar sana. Sebenarnya aku tak tahu apakah sang mentari telah benar-benar menampakkan dirinya atau kah masih malu-malu dan lebih memilih untuk berdiam terlebih dulu di persembunyiaannya. Tapi beberapa geliat masyarakat di luar sana cukup membuatku yakin bahwa mentari memang sudah nongol dan siap menjaga hari ini dari kegelapan. Sementara orang-orang tengah sibuk dengan aktivitasnya, aku dan Ibu justru tengah asyik duduk di sebuah ruangan yang semalam sempat kujadikan tempat melukis mimpi lewat alam bawah sadar. Sementara itu, geliat ketiga kaum adam tak Nampakdi pelupuk mataku. Aku tak tahu apa yang sedang dikerjakan mereka sekarang ini. Berlama-lama duduk tanpa melakukan sesuatu sepertinya membuat Ibuku berinisiatif untuk melakukan sesuatu. Menyapu, itulah inisiatif yang dikemukakan padaku. Kontan aku langsung mendukung inisiatifnya itu. Buru-buru kusuruh dia membersihkan padepokan ini. Rasanya kurang pantas kalau aku dan Ibu hanya duduk santai, padahal kami telah diberi tumpangan disini. Kemudian Ibu pun memulai aktivitas menyapunya, sementara itu aku ditaruhnya di sebuah sudut. Aku lebih banyak diam. Aku tak tahu harus berbincang apa serta dengan siapa. Sebenarnya aku ingin berbincang dengan yang lain tapi aku takut dikira sok kenal dan sok dekat hehehe. Ya sudah, gaya mematunglah yang akhirnya kupilih sebagai tema ekspresiku kali ini.
            Tak lama berselang setelah aktivitas sapu menyapu yang dilakukan Ibu, kini aku dan yang lainnya duduk bersama di sebuah ruangan yang selama ini dijadikan sebagai tempatku berlatih computer. Perbincangan pun dimulai. Satu persatu tema diangkat pada diskusi kami pagi ini. Tak lupa secangkir kopi hangat menemani diskusi pagi ini. Tapi lagi-lagi di tanganku tak bertengger secangkir kopi hangat itu. Alasannya tentu tak jauh-jauh dari si Glaukoma, suamiku. Ah, tunggu, kenapa ada secangkir kopi hangat di tangan guruku ya? Ya, Mas Ari, guruku, dia terlihat mesra bercengkrama dengan secangkir kopi hangat padahal setahuku dia memiliki “hubungan” dengan siGlaukoma. Aduh, aduh, aduh, Mas Ari kok bandel begitu sih, jelas-jelas istrinya(Glaukoma) tak menyukai kopi, kenapa dia malah bermesraan dengan minuman itu?!? Langsung saja kuingatkan guruku itu, tentu mengingatkannya dengan baik-baik, tak seperti ketika Ibuku mengingatkanku untuk membereskan kamar hehehe. Kalau aku mengingatkan Mas Ari sambil melempar canda, lain lagi ceritanya dengan Ibuku. Ketika Ibu hendak memerintahkan atau mengingatkan sesuatu padaku, ia mengingatkanku dengan cara berteriak di lubang telingaku hehehe. Mas Ari memberikan sebuah jawaban yang membuatku “iri” perihal kopi dan Glaukoma. Hah, iri? Ya, aku memang “iri”, sebab dia mengatakan bahwa dia bebas meminum kopi tanpa takut si Glaukoma mengobrak-abrik matanya. Kok bisa? Ya, Mas Ari mengaku bahwa dirinya telah “bercerai” dengan si Glaukoma di sebuah ruang operasi beberapa tahun lalu. Iya, iya, aku baru ingat kalau Mas Ari sudah pernah menghuni ruang operasi ketika akan “bercerai” dengan si Glaukoma. Hmm, aku ingin seperti itu, aku ingin bebas meminum kopi layaknya Mas Ari.
            Kalimat demi kalimat meluncur dari mulut kami. Diskusi semakin panas dengan berbagai kisah dan pengalaman yang kami bagi. Dan aku, aku merasa tak perlu lagi memasang gaya “mematung” di ruangan ini. Aku ikut membagi kisah dan pengalamanku pada mereka. Sungguh hangat kurasakan kebersamaan ini. Rasanya enggan aku beranjak dari atmosfer macam ini. Rasanya aku ingin hari ini berjalan perlahan agar jadwal kepulanganku tak segera kutemui. Wajah kamar suramku yang dipenuhi kebisuan dan kesunyian rasanya tak ingin kulihat lagi. Aku tak ingin kembali menjadi penunggu kamar bersama beberapa benda tak bernyawa lainnya. Ah, tapi kurasa inginku itu sulit untuk terwujud mengingat keberadaanku di Semarang hanyalah seorang tamu. Ya sudah lah, hadapi dulu saja apa yang ada sambil tetap memupuk harapan agar suatu saat nanti aku bisa lepas dari kebisuan kamarku dan bisa tertawa sambil mengejar mimpi bersama yang lain.
            Waktu telah berjalan meninggalkan keseruan diskusi yang kami gelar. Di luar sana, mentari pun sudah semakin meninggi, memamerkan terangnya. Kini aku bisa merasakan hangat sang mentari, sebab kini aku sedang berada di luar. Ya, aku memang sedang di luar bersama Ibu. Kami tidak sedang berjogging ria, apa lagi sedang menunggu Bubur ayam lewat. Perut kami kebetulan sudah diisi oleh semangkuk Soto. Lalu, apa yang sedang kami lakukan di luar sini? Menemani Ibu yang tengah asyik menelpon, itulah aktivitas yang kulakukan sekarang ini. Pelatihan memang belum dimulai. Kudengar Pak Mahendra masih asyik dengan aktivitas mengotak-atik telpon genggamnya, sedangkan Mas Ari dan Mas Fadzirin nampaknya sedang asyik mengotak-atik komputernya. Kulihat Ibuku serius berbicara di telpon. Aku tahu siapa orang yang ada di ujung telpon sana, orang itu adalah Bibiku, adik ipar Bapakku lebih tepatnya. Kudengar suara Ibu semakin lama semakin parau. Meski aku tak melihat ekspresi wajahnya tapi aku bisa menebak dari suaranya kalau sekarang ini dia sedang bersedih. Bahkan bisa kupastikan kalau di matanya sudah ada mendung yang siap menurunkan hujan. Benar saja, butiran bening mengalir dari sudut matanya. Aku tahu itu dari suara paraunya. Hmm, kenapa lagi Ibuku ini? Kalau kutangkap dari pembicaraanya, sepertinya Ibuku menangis gara-gara masalah yang sedang dimilikinya. Ya, keluargaku memang sedang diterpa badai yang sangat luar biasa, oleh sebab itulah tangis Ibu pecah tiap kali membahas hal itu dengan yang lain. Hatiku perih melihat tangis Ibuku itu. Kasihan dia, meskipun sedang berada jauh dari rumah tapi masalah yang ada di rumah terus saja mengikutinya. Aku ingin segera mengakhiri mendung yang sedang menaungi langit Ibuku. Akhirnya kusuruh saja Ibu untuk mematikan telponnya dan segera menyuruhnya masuk ke dalam ruangan. Mendengar pintaku itu, Ibu pun langsung menurutiku.
            Tangis Ibu tak lagi Nampak, yang kini Nampak hanyalah sebuah Perangkat Komputer di hadapanku. Ya, pelatihan memang akan segera dimulai. Aku dan Pak Mahendra telah siap dilatih kembali oleh para guru di padepokan ini. Dan materi kali ini adalah memindahkan file dari computer ke Flashdisk ataupun sebaliknya. Oh God, aku lupa tak membawa Fd. Benda kecil itu kutinggalkan di kamarku padahal sebelum berangkat ke Semarang aku telah berencana untuk mengikutsertakan benda kecil itu dalam pengembaraanku. Tapi entah bisikan apa yang telah meracuniku sampai-sampai aku lupa membawanya. Buru-buru kubilang kepada Mas Ari tentang FD yang tak kubawa itu. Untungnya para pengajarku begitu baik hati, aku dipinjami sebuah FD. Tapi saying sungguh saying, FD yang dipinjamkan kepadaku tak terbaca oleh si computer. Alhasil Mas Ari pun merelakan FD miliknya untuk kupinjam. Sebenarnya FD itu bukan milik Mas Ari melainkan milik kakaknya. Oiya, ada sebuah kebetulan yang mengiringi aksiku meminjam FD milik kakak Mas Ari itu. Sungguh tak kusangka, FD yang kupinjam memiliki nama serupa denganku. Eka, itulah nama FD yang kupinjam hehehe. Benar-benar tak terduga! Ternyata Kakak Mas Ari bernama sama denganku. Nah, itu dia tadi sebuah kebetulan yang kudapat di tengah-tengah pelatihan Komputer Bicara. Lanjut ke materi!
            Tahap demi tahap, trik demi trik, sedikit demi sedikit mulai kuperoleh dari sang guru. Dan setelah dirasa cukup untuk materi pemindahan file itu, kini materi beralih pada materi yang sangat kusukai. Belajar Internet, itulah materi selanjutnya dari Mas Ari. Wow, aku benar-benar bersemangat!! Dengan adanya materi tentang Internet ini, aku jadi bisa tahu lebih banyak dan bisa mendapat jawaban atas beberapa masalah yang sering kutemui saat berselancar di dunia maya. Senang…senang…benar-benar senang…akhirnya aku bisa bertanya pada orang-orang yang memang mengerti tentang penggunaan Internet dengan JAWS. Satu persatu kulemparkan pertanyaanku pada mas Ari di tengah-tengah materi yang sedang diajarkan padaku. Bisa dibilang aku lumayan bisa mengimbangi materi serta perintah-perintah yang dilontarkan Mas Ari. Hmm, taapi nampaknya seorang pengembara dari Kendal, Pak Mahendra, sedikit kesulitan dalam mengikuti materi tentang Internet ini. Tapi untungnya ada para pengajar yang baik hati yang siap menjelaskan dan membimbing beliau sampai beliau mengerti.
            Kedua daun telingaku kupasang baik-baik, yang satu kupasang untuk Om JAWS, sedangkan yang satunya lagi kupasang untuk mendengarkan arahan dari Mas Ari. Tanganku bergoyang di atas papan keyboard seiring arahan yang Mas Ari lontarkan. Kini aku tak hanya diarahkan untuk membuka “Google”, tapi beberapa jejaring social pun sang instruktur anjurkan untuk kubuka. Alhasil Facebook, Twitter dan Kartunet pun tak luput kubuka. Mumpung sedang berdekatan dengan sang instruktur, kuputuskan saja untuk meminta ID FB dan Twitternya. Duh, deg-degan sih, tapi untungnya dia memberikan ID FB dan Twitternya. Click…click…kuhadiahkan satu click untuk tombol “Follow” dan satu click lagi untuk tombol “Tambahkan Permintaan Pertemanan”. Setelah beres, tak lupa kuminta Mas Ari untuk Follow Back Twitter-ku dan Konfirmasi Facebook-ku. Sementara aku sibuk dengan jejaring social-ku, Pak Mahendra yang duduk di sebelah kanan Mas Ari justru masih asyik dengan Google-nya. Taka pa, mungkin ada bagian yang masih belum beliau mengerti.
            Suara JAWS masih terdengar di ruangan ini, dan itu berarti pelatihan belumlah selesai. Yup, aku masih asyik berselancar di dunia maya, terlebih lagi ada sebuah aktivitas Downloading yang sedang kukerjakan. Kebetulan Mas Ari sedang mengajariku me-Download sebuah lagu. Tapi tiba-tiba saja Handphone-ku menjerit. Ternyata SMS dari Pak Ndaru lah yang menyebabkan Handphone-ku menjerit. Ketika kubuka ternyata isinya adalah pemberitahuan tentang publikasi Kegiatan Pelatihan Komputer Bicara yang sedang kujalani ini. Ternyata Mas Syukron, wartawan yang kemrin me-wawancarai aku dan yang lainnya telah selesai me-posting tulisannya di sebuah surat kabar “Suara Merdeka”. Wah, ternyata sudah terbit ya. Buru-buru para Instruktur di padepokan ini mengaduk-aduk Google demi mendapatkan tulisan yang dibuat Mas Syukron itu. Yup, sepertinya Instruktur-ku berhasil mendapatkan tulisan Mas Syukron tentang kegiatan ini. “Pencet Keyboard, Andalkan Kekuatan Pendengaran”, itulah bunyi judul tulisan yang dibuat wartawan itu. Aku penasaran, lalu kuminta saja Mas Ari yang sedang “membaca” tulisan itu untuk membacakannya padaku. Tapi kemudian Mas Ari dan yang lainnya tertawa mendengar kalimatku. Mereka ternyata menertawakan kalimatku yang berbunyi, “bacain dong, Mas”. Hahaha…pantas saja mereka tertawa, orang tingkahku aneh begitu. Kok bisa-bisanya aku meminta Mas Ari untuk membacakan tulisan itu padahal jelas-jelas Mas Ari pun dibacakan oleh Om JAWS. Dari pada Mas Ari yang bacain, lebih baik denger langsung saja dari Om JAWS, kurang lebih begitu katanya. Hahaha…dasar Eka Oneng! Akhirnya aku mendengarkan langsung dari Om JAWS. Tapi sepertinya ada tawa aneh di telingaku. Tawa siapa ya itu? Ternyata tawa itu milik Ibuku. Wanita beranak dua itu ternyata menertawakanku. Kok bisa? Ya, dia menertawakanku gara-gara tulisan yang ia dengar dari Om JAWS. Ada beberapa kata yang membuat Ibuku terkekeh dan nakal menggodaku. “Perempuan cantik” dan “jemari lentik”, itulah dua kata yang membuat Ibuku tega menertawakanku. Aku juga kurang mengerti mengapa Ibu terkekeh begitu, padahal tak ada yang lucu dengan tulisan itu. Hmm, mungkin Ibu merasa geli dengan tulisan Mas Syukron yang mengatakan bahwa aku adalah “Perempuan cantik”. Mungkin di mata Ibu, anaknya ini tidaklah cantik. Huh, Ibu ini! Tak sekedar kata itu, kata “jemari lentik” pun dirasanya tak cocok digunakan untuk menggambarkan kondisi jari-jemariku. Mungkin Ibu beranggapan bahwa jari-jemariku bukan lentik, tapi bengkak bak singkong di kebun dekat rumahku. Ckckck…Ibu sepertinya senang melihat anaknya ditertawakan macam itu. Aku kesal mendengar tawanya. Aku juga malu mendengar godaannya. Biarkanlah Ibu tertawa sesuka hatinya sampai dia puas, huh.
            Keseruan telah terjadi di ruangan ini. Tapi sepertinya keseruan yang ada harus segera diakhiri mengingat waktu makan siang telah tiba. Hmm, bukannya senang, tapi aku justru bersedih. Lesung pipi yang semula kupamerkan dalam keseruan tadi, kini tak lagi menghias pipi sebelah kananku. Kenapa bisa seperti itu? Ya, aku takut mengakhiri pelatihan ini. Waktu makan siang telah tiba, itu tandanya detik-detik perpisahan pun akan segera dating. Hanya tersisa sedikit waktu untukku berdiam disini. Ah, sudahlah, tak perlu kupikirkan! Lebih baik sekarang focus pada tawaran yang disuguhkan oleh Mas Fadzirin. Tentu tawaran makanan lah yang disuguhkannya. Ia menawarkan beberapa jenis makanan untukku. Aku tak langsung menjawab. Aku justru melemparkan tawaran itu pada Ibu. Aku memutuskan untuk mengikuti apa yang menjadi pilihan Ibu. Selain itu, aku pun meminta sepiring berdua dengan IBu. Tapi sepertinya yang lain tak mengijinkan. Ya sudah akhirnya kupilih Bakso sebagai menu makan siangku. Makanan yang satu itu memang paforitku. Semasa sekolah sampai kuliah dulu, aku tak pernah absen dengan makanan berbentuk bulat itu. Sehari tak menyantap bakso rasanya begitu merana hehehe. Pantas saja mukaku bulat bak sebuah bakso hahaha. Oiya, aku boleh sedikit cerita kan? Dulu aku sempat dikenal dengan julukan “BS”. Kata itu disematkan kepadaku oleh teman-teman sekolahku. Mereka bilang, “BS” itu berarti “Bakso”. Untung tak berarti “Barang Second” hehehe. Selain julukan itu, aku dan dua temanku yang lainnya (Novi dan Yuli) dijuluki sebagai Genk “Royal”. Nah lho, kenapa bisa dijuluki seperti itu? Alasannya ya tak jauh-jauh dari hobi-ku menyantap Bakso. “Royal” adalah nama sebuah kedai Bakso langgananku. Sepulang sekolah, sehabis ulangan, sehabis ujian, sehabis bolos, kami pasti selalu menyempatkan diri untuk mampir ke kedai itu. Nah, karena itulah aku, Novi, dan Yuli, dijuluki sebagai Genk Royal. Hahaha…dasar anak muda!
            OK, kembali ke tawaran makan siang. Kepada Mas Fadzirin aku memesan semangkuk Bakso tanpa embel-embel sayuran, bihun, dan kawan-kawannya. Tapi lidahku ternyata salah bicara. Kepada Mas Fadzirin aku mengatakan bahwa aku memesan Bakso tanpa diberi apa-apa. Maksudku sih tanpa diberi sayuran, Bihun dan kawan-kawannya. Tapi rupanya Mas Fadzirin menggodaku. Dia bilang, “pesennya apa? Kuahnya aja tanpa Bakso ya?”, begitu katanya. Aku tertawa mendengar kelakarnya itu. Dan setelah semuanya beres, Mas Fadzirin pun meluncur meninggalkan kami. Dia pergi untuk memburu makanan di luar sana. OK Mas Fadzirin, hati-hati di jalan ya!
            Finish untuk Part 4. Tapi tenang, masih ada satu part lagi kok. Ditunggu aja ya. Oiya, seperti biasa, makasih atas perhatian Kartuneters semua dan maaf kalau tulisannya mengganggu kenyamanan Kartuneters semua hehehe. OK, see you later! Salam Akselerasi!
Tulisan ini dipostkan juga di www.kartunet.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar