Minggu, 08 Januari 2012

Part 2: Workshop-ku Sayang Petualanganku Menantang



            Yang pertama adalah Guitar. Lho kok kenapa aku bawa Guitar ke forum ini?? Mau ngamen ya?? Hushhhh!! Bukan mau ngamen. Terus mau apa?? Maukonser?? Konser juga gak sih, soalnya aku tahu kalau aku konser di forum curhat ini pasti Kartuneters semua udah siap-siap ngelempar sandal ke mukaku, iya kan?? Nah, Guitar yang kubawa sebenernya sih Cuma symbol aja. Gini nih, kebetulan di part 2 ini ada beberapa moment yang memaksaku nyanyi. Bukan dipaksa deng, tapi suka rela hehehe. Ya, di beberapa kesempatan kalian pasti bakalan denger suara merdu bak suara Mpok Nori yang keluar dari mulutku heheheh. Penasaran?? Oh, gak penasaran ya…ya udah deh gak apa-apa. Tapi meskipun gak penasaran, silahkan dicek ya, kali aja yang tadinya gak penasaran bisa berubah jadi penasaran. Syukur-syukur bisa nge’fans sama aku heheheh.

            Yang selanjutnya adalah secarik kertas lusuh. Tentu kertas lusuh ini bukan bungkus gorengan ya. Ayo tebak, apa isi kertas ini?? Yup btul!! Tentu isinya bukan udang, oncom, apa lagi irisan ayam. Isinya ya tentu kisah petualanganku ke Semarang yang kemaren sempet keputus di part 1. Meskipun kertasnya agak lusuh, tapi kayaknya masih bisa dibaca deh. Sok aja atuh dibaca, tapi jangan rebutan ya, takut kertasnya robek hehehe. Sok lah dimulai aja…Hope you enjoy this story! *sok ngerti aja nih ngomong pakai bahasanya Dek Shinchan!*. “Bukannya Shinchan gak ngomong bahasa Inggris ya? Bukannya Shinchan ngomongnya bahas a Arab ya?” protes salah satu bantal yang tergeletak gak jauh dariku. Hahahaha…bener juga ya, yang ngomong English kan bukan Shinchan tapi Upin Ipin!! *Ngaco!*

Jum’at, 25 November 2011…

            Mentari telah benar-benar melek sekarang. Seluruh isi bumi telah Nampak dalam pandangan sang surya, tak terkecuali dengan tubuh panjang si Kaligung Emas yang sedang kutumpangi. Dengan bermandikan tatapan sang surya, kereta Kaligung Emas berlari begitu cepat sambil membawa gumpalan-gumpalan kemungkinan tentang Workshop Kewirausahaan yang akan kuikuti. Ya, meskipun tubuhku belum tiba di kota Semarang, tapi pikiranku telah lebih dulu melayang kesana. Aku menerka-nerka dan meraba setiap kemungkinan yang mungkin akan tercipta disana. “Betah gak ya aku disana?” tanyaku dalam hati. Tentu beralasan kalau aku bertanya seperti itu pada diriku sendiri. Maklum saja, aku ini memang terkenal sebagai seseorang yang tak betahaan kalau tinggal di luar rumah, tak peduli apakah tempat itu sangat mewah dan nyaman. Semasa kuliah dulu saja aku hanya bertahan dua bulan di rumah kost, setelah itu aku lebih memilih menghabiskan waktuku di perjalanan. Nah, apa lagi sekarang, aku terpisah jarak yang lumayan jauh, Semarang-Brebes, pastilah aku akan dijangkiti virus “Home sick”. Ditambah lagi aku dituntut untuk mandiri saat workshop nanti. Makan harus mandiri, beres-beres barang bawaan sendiri, menunaikan setiap kegiatan hanya ditemani orang-orang baru yang belum kukenal, itulah beberapa hal yang harus siap kuhadapi. Tapi kurasa aku mampu melaksanakannya. “Bener nih gak bakal nangis pas workshop nanti?” goda sehelai tissue basah yang sedang menghuni tanganku. “Hmm, buat apa nangis? Gak mungkin nangis lah, kan disana banyak temennya, apa lagi ada si dia yang tiap malam menghuni ruang mimpiku” kataku pada si tissue. Benar juga ya, sebentar lagi aku akan bertemu pangeranku. Wow, dream comes true tuh namanya. Yes yes yes…!! “Sadar neng sadar sadar!! Kamu ke Semarang kan buat ikut workshop, bukan buat ngecengin cowok!” sebuah suara magis tiba-tiba merangsek masuk ke dalam daun telingaku. Belum sempat aku menimpali suara magi situ, tiba-tiba ada suara lain  yang merangsek masuk ke dalam lubang hidungku bersamaan dengan aroma yang ditimbulkan oleh asap rokok salah seorang penumpang dalam gerbong yang kutumpangi. “Gak apa-apa kok, Ka. Cuek aja, kan ikut workshop sekalian ngecengin cowok sah-sah aja. Lanjutkan!” begitu kata suara magis yang menjelma pada asap rokok yang menyesakkan dada. Buru-buru aku menggeleng, mencoba membuang suara-suara yang berseliweran tadi. “Tapi bener juga tuh kata si suara magis yang tadi masuk ke hidungku. Kan gak ada salahnya ikut workshop sambil ngecengin cowok, itung-itung menyelam sambil minum air hehehehe” batinku sambil cengengesan. “OK lah eka, lanjutkan!!” lanjutku dalam hati.

            Aku terbangun dari lamunanku ketika kudapati sepasang anak manusia tengah asyik mengobrol dengan bahasa “ngapak-ngapak” yang begitu fasih dilafadzkan oleh keduanya. Hmm, kuyakin mereka berdua adalah “ngapakers sejati”. Aku sangat iri kepada dua ngapakers itu. Tapi alas an di balik rasa iri itu bukan dikarenakan oleh kemampuan berbahasa “ngapak” mereka yang jauh lebih mumpuni di atasku. So, apa dong alasannya? Alasannya sangat sederhana, yaitu aku tak bisa mengobrol ria layaknya mereka. Lihat saja bangku kosong di sebelahku. Tak ada sesosok manusia atau dedemit pun mengisi bangku kosong di sebelah kananku. Bagaimana bisa aku mengobrol ria kalau teman sebangkuku saja tak menampakan batang hidungnya? Kalau boleh “Lebay”, nasib malangku kian menjadi. Ya, tak hanya ketinggalan kereta, ketinggalan teman, dan harus berangkat ke Semarang seorang diri, saat di dalam kereta pun aku harus rela duduk seorang diri tanpa memiliki teman mengobrol. Bisa dibayangkan berapa ember rasa bosan yang akan diguyurkan padaku selama perjalanan ke Semarang. Wah, sesampainya di Semarang bisa-bisa aku basah kuyup oleh rasa bosan!! Tapi mudah-mudahan saja beberapa stasiun di depan sana akan merasa iba padaku dan akan dengan sukarela menghadiahiku sesosok anak manusia yang bisa kujadikan teman mengobrol. Eits, tapi jangan menghadiahiku anak kucing ya!! Dengan penuh keikhlasan pasti kutolak hadiah anak kucing itu. Lebih baik aku mati karena rasa bosan dari pada harus mati karena rasa geliku pada baby binatang yang menurut sebagian orang dianggap sebagai binatang lucu dan menggemaskan. Huuueeeekkk…lucu dari mananya? Dari Hongkong kali!! Dan akhirnya, sambil menunggu keretaku sampai di stasiun berikutnya, kusibukkan diriku untuk mengaduk-aduk tas miniku demi mencari apa saja yang bisa kujadikan alat pembunuh sang waktu. Tissue basah, tissue kering, permen karet, permen Frozz, permen Mentoz rasa mint, tiket kereta api, dompet, Handphone, beberapa uang receh, beberapa bungkus Tolak Angin Cair…satu per satu kuabsen barang bawaanku yang saling berhimpitan did alam tas mini di atas pangkuanku. Kemudian, kulihat seraut muka memelas yang ditunjukkan oleh salah satu barang bawaan yang tadi kuabsen. Sebungkus permen karet, itulah pelaku di balik muka memelas tadi. Aku sungguh tak tega melihat tubuhnya dihimpit oleh barang bawaan lainnya. Akhirnya dengan memasang muka bak seorang malaikat penolong, kuangkat tubuh si permen karet dari hiruk pikuk dalam tas miniku. “Duh, kasihan ya kamu, Ret. Demi menghindarkan kamu dari barang-barang bawaanku yang lainnya, gimana kalau kamu pindah ke mulutku aja? Di mulutku kamu bisa lebih tenang dan damai, mau kan?” kataku sambil melucuti pakaian si permen karet. Aku tak lagi memasang muka malaikat, yang kupasang kali ini adalah muka Si kucing nakal nan penuh kesialan bernama “Tom” yang siap menerkam si tikus imut nan pintar bernama “Jerry”. “Jangan…jangan lakukan itu…tolong…tolong…” teriak si permen karet. Tapi sama sekali tak kuindahkan jeritan si permen karet. Dengan begitu teganya kumasukan tubuh tipis si permen karet ke dalam mulutku. Dan dengan begitu kejamnya kucabik-cabik tubuh elastis si permen karet menggunakan gigi tajamku. Aku mengunyah si permen karet yang sudah tak bernyawa lagi. Aku merasa puas, tapi rasa bosanku sepertinya tak gentar dengan prilaku kejamku tadi. Rasa bosan itu justru semakin mendekat, seakan menantang diriku yang tak berkawan ini. “Aku harus bertahan melawan rasa bosan ini! Sabar Eka sabar sabar!” kataku menguatkan diri sendiri. Ya, sekuat tenaga aku bertahan dalam rasa bosan yang mulai menjangkitiku sampai akhirnya kudapati sebuah stasiun yang sedari tadi kunanti. Sebuah stasiun yang beberapa waktu lalu sempat menghebohkan jagat perkereta apian di Indonesia karena kasus kecelakaan maut antara dua buah kereta, kini sedang diinjak oleh si Kaligung yang kutumpangi. Stasiun Petarukan di kota Pemalang, itulah nama stasiun berdarah itu. Mengetahui bahwa keretaku tengah berhenti di sebuah stasiun, seketika ketegangan akibat rasa bosanku musnah dan digantikan oleh senyum manisku. Buru-buru aku melongok ke arah jendela, seolah-olah bisa melihat gerak-gerik para penumpang yang hendak menaiki si Kaligung. Aku tersenyum, seolah mendapati sesosok anak manusia yang dihadiahkan stasiun ini kepadaku, padahal yang kudapati hanyalah kabut putih. Beberapa suara berbahasa jawa terdengar memasuki gerbong. Seiring dengan suara-suara itu, terdengar pula derap langkah yang mulai mendekati tempat dudukku. Aku berdoa dalam hati, meminta pada Tuhan yang Maha Esa agar salah seorang dari pemilik derap itu mampir di sebuah bangku kosong di sebelah kananku. Sambil berdoa, kupasang muka semanis mungkin, semata-mata demi menaarik derap langkah itu. Tik-tok…20 detik telah terlewati, tapi bangku di sebelahku masih saja kosong. OK, jangan putus asa dulu, coba lagi!! Tik-tok…40 detik telah berlalu, tapi aku masih menjomblo. Jangan putus asa dulu, coba lagi!! Tik-tok-tik-tok…detik tak lagi terdengar, kini menit lah yang menguasai sang waktu. Melihat kehadiran sang menit, tubuhku melunglai dan mukaku berubah pucat pasi bak rembulan kesiangan. Betapa tidak, sampai sang menit nongol, bangku di sebelahku masih saja kosong. Dimana penghuni bangku ini? Apa dia kesasar ke gerbong lain ya? “Saatnya berangkat!!” teriak si Kaligung sambil memutar rodanya. Ah!! Ternyata aku belum beruntung. “Lagi, dan akhirnya kusendiri lagi…” demi melengkapi ketidak-beruntunganku kali ini, kudendangkan saja sebuah lagu milik Band yang tak kuketahui nama Band-nya itu heheheh. “Lagi kecewa kok masih sempet-sempetnya nyanyi n ketawa sih…aneh…” sebuah kipas angin yang tengah bertugas di dalam gerbong ini tiba-tiba berkomentar dengan begitu ketusnya. “Cut cut cut!! Aduh, payah kali kau ini, Non! Tak perlu lah kau pasang muka cengengesan macam tadi, apa lagi nyanyianmu itu, bah tak perlu lah kau lakukan itu! Yang kau lakukan tadi tak ada di skenario! Bagaimana pula kau ini!” teriak Pak Sutradara padaku. OK OK, serius deh dari pada harus dipotong gaji. Kalau begitu, mari kembali ke peranku sebagai gadis yang sedang kecewa plus dijangkiti rasa bosan!

            Roda kereta api Kaligung Emas terus berputar, jeritannya pun terus terdengar memecah geliat sang pagi. Dari aromanya, si Kaligung Nampak sedang cerah ceria berlari menyusuri rel demi menyambut pesona kota Semarang. Sementara itu di dalam gerbong si Kaligung, seorang gadis manis yang mukanya sering mondar-mandir di album foto sebuah akun Facebook bernama “Ekka Prathiwie taufanty” tengah tergolek tak berdaya bersimbah rasa bosan. Mukanya begitu lecek dan masam, bibirnya mengerucut, tangannya ia gunakan untuk menopang dagunya, dan kedua matanya hampa menatap ke luar jendela. “Lebih baik aku loncat dari kereta ini dari pada sekujur tubuhku penuh dengan jamur gara-gara rasa bosanku!! Pak Bu, maafkan adinda…” batinku dengan tatapan mirip seorang gadis yang hendak nyemplung ke dalam kolam ikan akibat pacarnya digondol cewek lain. “Udah gak usah berdrama ria, langsung loncat aja! Tuh pintu kereta terbuka lebar, langsung terjun paying aja. Aku jamin besok kamu udah jadi orang terkenal, tampangmu bakalan mondar-mandir di layar kaca dan Koran” lagi-lagi si kipas angin jutek itu menggodaku. “Enak aja ya!! Masa gadis sebohai aku disuruh terjun dari atas kereta!! Apa kata dunia??!! Lagian tadi kan aku Cuma bercanda, dasar rumpi!!” kataku kesal. OK, tak perlu mengurusi kipas angin itu, lebih baik lanjut ke cerita saja yuk!! Kalian tentu tahu kan sebuah kebosanan lah yang menyebabkan diriku masam. Nah, fakta lain yang juga sangat mengecewakan adalah fakta bahwa beberapa stasiun yang telah didatangi oleh si Kaligung ternyata tak satu pun menghadiahi sesosok anak manusia untukku. Jangankan anak manusia, bayi kucing saja tak dihadiahkan padaku. Ya, tak hanya stasiun Petarukan saja yang nihil, ternyata stasiun-stasiun yang lainnya pun sama. Kini aku benar-benar telah putus asa. Aku telah memutuskan untuk tak lagi mengharapkan sesosok anak manusia menghuni bangku kosong di sebelahku. Harapanku telah musnah!! Biarkan kunikmati kesendirianku hanya dengan ditemani alunan kalimat berbahasa jawa yang dilontarkan oleh para penumpang lainnya. Biarkan alunan music yang menyembul dari Handphone salah seorang penumpang menjadi soundtrack keputus-asaan plus kebosananku. Ah, tapi aku tak menyukai jenis music yang mengalun itu. “Dangdut”, itu dia jenis music yang sedang distel oleh salah seorang penumpang itu. Bukan bermaksud antipati terhadap music Dangdut, hanya saja lagu yang sedang diputar tak begitu familiar di telingaku. Andai aku boleh request padanya, pasti sekarang ini aku sudah me-request lagu kesukaanku. Sebenarnya aku ingin menyetel di Handphone-ku sendiri, tapi aku takut baterai Handphone-ku habis. Bisa gawat kan kalau hal itu sampai terjadi. Eh, tunggu dulu!! Kalau Baterai dalam tubuhku tentu tak mungkin habis kan?? Nah, kenapa tak coba menyetel lagu dari mulutku saja?? Bagaimana para fans-ku, mau digoyang bareng Ekka?? “Setuju! Ayo…digoyang…” teriak barang-barang bawaanku secara bersamaan. “OK, tarik Mang!!” teriakku tak kalah kencang sambil memegang gagang mic. Sementara itu, suara gemuruh kereta telah siap mengiringiku bernyanyi. Gemuruh itu bak sebuah drum yang dipukul. Tak hanya itu, jeritan si Kaligung pun seolah menjadi suling yang siap menambah “maknyos” nyanyianku. Wah, dengarlah suara para penumpang yang saling bersahutan, seolah menjadi piano plus guitar yang siap mengalun dalam aksi menyanyiku. Nah, kalau sudah siap semua, langsung saja digoyang!! Akhirnya sebuah lagu berjudul “Just Like a Star” milik Mbak “Corine Baley Rae” mengalun dari mulutku. Lagu ini memang selalu memuaskan batinku. Aku merasa sexy saat melantunkan lagu itu hehehehe. Aku terus saja bernyanyi, tak peduli dengan botol-botol plastic yang menghujamku heheheh. Perlahan, sebutir rasa bosan jatuh menimpa tanah dan meninggalkan diriku. Yes, berhasil!! Mendapati sebutir rasa bosan telah jatuh, aku semakin bersemangat melantunkan lagu yang dulu sempat kurekam dan aku upload di akun Facebook-ku heheheh. Please, jangan katakan kalau aku adalah gadis narsis, karena tanpa kalian mengatakannya pun aku sudah mengakui kalau aku narsis hahahaha.

            “Forever and Always”, “Price Tag”, “Mad”, “Tear Drops on My Guitar”, “Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki” dan beberapa judul lagu lainnya mengalun dari mulutku usai lagu milik Mbak Corrine lebih dulu mengalun. Aku begitu PD menyanyikannya meskipun dengan suara ala kadarnya heheheh. Meskipun aksiku itu kelihatan aneh, tapi cukup ampuh mengusir rasa bosanku. Perlahan rasa bahagia muncul dalam hatiku dan kemasamanku pun melangkah menjauhiku. Rasa bahagiaku ternyata tak hanya bersumber dari lagu-lagu itu saja, tapi juga dari sebuah pesan singkat yang mampir ke Handphone-ku. Si Mr “x” kembali mengirimiku SMS. Dan SMS kali ini begitu membuatku tenang plus tak gentar untuk menaklukan petualangan ini. Yup, aku harus terus melangkah, tak usah takut, tak usah murung dan tak usah ragu karena aku tak sendirian. Semangat!!

            Tanpa kusadari cahaya terang menyembul dari balik jendela. Nampaknya sang mentari telah meninggi. Ia telah siap membantu mengeringkan jemuran para Ibu-ibu. Masih terekam jelas dalam ingatanku ketika sang mentari masih bayi. Tubuhnya bersembunyi dalam pelukan sang pagi. Tapi kini, dia telah tumbuh dan mampu merangkak menuju tempat sang siang. Tak terasa aku sudah lumayan lama bercokol dalam kereta ini. Nah, apa mungkin sebentar lagi stasiun Poncol akan segera kutemui? Sebuah lagu berjudul “Just can’t Enough” milik “Black Eyed Peace” tiba-tiba mengalun di antara tanyaku akan akhir dari perjalanan ini. Buru-buru kuangkat Handphone-ku. Sejurus dengan itu, sebuah suara Bapak-bapak menyembul dari ujung telpon sana. “Mbak Ekka udah nyampe mana?” Tanya Bapak-bapak yang menelponku itu. Aku sedikit geli mendengar pertanyaan itu. Entah mengapa aku ingin menampakkan gigi-gigi gondrongku ketika mendengar pertanyaan itu. “Mana aku tahu Pak, lha wong aku gak bisa lihat, masa ditanya kayak gitu” kataku dalam hati. “Aduh, Ekka gak tahu nih Pak” kataku pada si penelpon yang mengaku bernama Tito alias teman seperjuanganku yang berada dalam kereta yang berbeda denganku itu. “Kalau saya udah sampai stasiun Poncol nih, Mbak. Coba Mbak Ekka Tanya sama orang!” ujarnya padaku. Akhirnya kugeserkan tubuhku pada bangku kosong di sebelahku tanpa mematikan telpon. Aku sedikit ragu, kepada siapa kuharus bertanya? “Ehem…” sebagai basa-basi, kukeluarkan sebuah batuk buatan sebelum akhirnya melemparkan pertanyaan kepada penumpang lain. “Permisi…” kataku pada penumpang yang duduk bersebrangan denganku. “Iya…” jawabnya. Oh, dia ternyata seorang Bapak-bapak. “Permisi Pak, ini udah sampai mana ya?” tanyaku pada Bapak-bapak bersuara berat itu. “Ini udah sampai Semarang kok, Mbak. Bentar lagi sampai Poncol” tuturnya. Mendengar kalimatnya itu, buru-buru kuucapkan terima kasih dan buru-buru pula kuberitahu Pak Tito yang suaranya masih tertahan di Handphone-ku. “Ekka udah sampai di Semarang, Pak” kataku sambil mengedarkan tanganku demi mendapati tubuh pacarr alumuniumku. “OK, kalau gitu saya tunggu di sini ya, Mbak. Hati-hati!” pembicaraan pun berakhir seiring dengan hilangnya suara Pak Tito dari telingaku.

            Tanganku kuat mencengkram tas hitam yang sepertinya lebih berat dari bayi Beruang ini. Tubuh pacar alumuniumku pun tak lagi terlipat, kini dia telah tegak lurus dan siap menuntunku. Dadaku berdegup kencang. Degup di dadaku sekarang ini sepertinya lebih kencang dari degupku ketika hendak mengerjakan soal-soal Ujian Nasional pada tahun 2009 silam. Dan tahukah kamu ekspresi mukaku sekarang ini? Tegang!! Ya, mukaku begitu tegang dan mirip dengan ekspresi saat jongkok di pojokan toilet hehehehe. Nah lho, kok bisa begitu? Tentu saja! Betapa tidak, sebentar lagi kereta akan berhenti dan otomatis aku harus turun dari kereta ini. Nah, ketika turun nanti, adakah orang yang membantuku? Jawabannya masih menjadi teka-teki. Bisa “ada”, bisa “tidak”. Nah, kalau ternyata tak ada yang membantu, bagaimana hayo? “Tenang saying, ada aku di sisimu!” sebuah kalimat menyejukan tiba-tiba terlontar dari pacar alumuniumku yang pada tubuhnya terdapat “andeng-andeng” berwarna merah. Aku tersenyum pada Tongkatku, tapi keteganganku masih mendominasi muka pas-pasanku. Kereta pun telah benar-benar berhenti. Beberapa penumpang bersiap turun dari kereta, begitu pun denganku.

            Aku sempoyongan membawa tas hitam di tangan kiriku. Sementara itu, tangan kananku sibuk bergandengan dengan Tongkatku. Dengan gaya mirip emak-emak beranak 2 yang diusir oleh mertuanya, aku melangkah menyusuri gerbong demi mencari keberadaan pintu keluar. Aku celingukan mirip anak Monyet yang ditimpuk pakai sandal jepit. Aku bingung, tak tahu arah, tak tahu harus terus melangkah atau membelokan setir ke kiri dan kanan. Tapi lubuk hatiku yang paling dalam membisikan sesuatu padaku, “terus jalan aja! Pintunya masih jauh!”. Dengan tampang bloon mirip tokoh “Oneng” dalam sitcom “Bajaj Bajuri” aku terus melangkah mengikuti suara hatiku. Kalau boleh jujur sih, aku tak begitu mempercayai suara itu. Tapi berhubung tak ada suara lain, akhirnya ikut saja lah, yang penting suara itu tak menjerumuskanku ke dalam jurang heheheh. Dalam langkahku mencari pintu keluar, entah mengapa aku ingin sekali menyanyikan lagu “Alamat Palsu”. Nampaknya lagu itu cocok untuk kujadikan soundtrack dalam adegan “mencari pintu” ini. OK, yuk nyanyi…”Kemana…kemana…kemana…kuharus mencari kemana…si pintu kereta tak tahu rimbanya…” belum selesai batinku melantunkan lagu fenomenal itu, tiba-tiba saja Tongkatku nyangkut di salah satu bangku berpenumpang. “Ya ampun, pakai acara nyangkut segala sih! Udah tahu lagi ribet begini!” gerutuku dalam hati sambil menarik Tongkatku. Setelah semuanya kembali normal, kebingunganku kembali dating. Dimana pintu keluar itu ya?? Akhirnya dengan sangat terpaksa tanpa peduli dengan rasa malu, kuberanikan diri melemparkan pertanyaan pada penumpang lain tentang keberadaan si pintu keluar. “Ini pintu keluarnya dimana ya?” kataku dengan suara lantang sambil berdoa dalam hati mudah-mudahan saja ada yang mau menjawab pertanyaanku itu. “Lurus aja, Mbak!” sebuah jawaban akhirnya kuterima dari beberapa penumpang di belakangku yang juga hendak meninggalkan gerbong. OK, lurus saja! Akhirnya aku terus melangkah sesuai arahan dari beberapa orang tadi.

            Arahan dari penumpang lain telah kuikuti, tapi pintu keluar tak kunjung nongol. Karena takut kebablasan, akhirnya kulemparkan pertanyaan untuk yang kedua kalinya. “Ini pintu keluarnya dimana ya?” itulah pertanyaan kurang kreatif yang kulemparkan. Pertanyaan itu masih sama seperti pertanyaanku sebelumnya. “Lurus aja, Mbak!” sebuah jawaban yang sama seperti sebelumnya pun akhirnya kuterima. Rupanya tak hanya aku saja yang kurang kreatif, penumpang lainnya pun rupanya kurang kreatif, dengar saja jawaban yang diberikan padaku hehehe. OK, lurus katanya! Dan lagi-lagi sesuai arahan dari mereka, langkah maju lurus ke depan pun kutunaikan. Sampai akhirnya penglihatanku yang ala kadarnya ini melihat sebuah cahaya terang di sisi kanan. “Apa mungkin itu pintu keluarnya ya?” tanyaku dalam hati. Dan demi mendapatkan jawaban atas pertanyaanku itu, akhirnya kuputuskan saja untuk bertanya kepada penumpang lain. “Ini pintu keluarnya ya? Belok kanan ya?” tanyaku agak lebih kreatif dari pertanyaanku sebelumnya hehehhe. “Iya, belok kanan!” jawab penumpang lainnya serempak. Akhirnya kubelokkan kakiku kea rah kanan. Tapi, tubuhku tiba-tiba mematung. “Gimana caranya turun dengan tas buncit plus Tongkat di kedua tanganku?” tanyaku dalam hati. Ya, aku memang tak langsung melangkah keluar gerbong. Aku tahu lantai gerbong kereta yang kunaiki lebih tinggi dari lantai stasiun. Nah, tentu tak semudah itu aku menuruni kereta ini, apa lagi dengan barang bawaanku. Tapi kurasa aku tak bisa selamanya mematung disini, salah-salah bisa diprotes oleh penumpang lainnya. Akhirnya dengan bersusah payah aku meloncat dari kereta dengan tas hitam kujinjing di tangan kiriku plus Tongkat panjang kujinjing di tangan kananku. Hap! Aku berhasil menginjak lantai stasiun meskipun tubuhku nyaris ambruk. Alhamdulillah tak sampai tersungkur di lantai!

            Kini aku  tak lagi berdekatan dengan si Kaligung Emas yang tadi membawaku. Kini aku telah lolos dari gerbong itu meskipun dengan tubuh yang tadi nyaris ambruk. Dadaku masih berdegup kencang. Aksi melompatku tadi sepertinya masih meninggalkan jejak. Tak hanya dada yang dag-dig-dug, hati ini pun terasa perih. Ya, aku merasa sedikit kecewa dan sedih melihat pemandangan yang baru saja kualami. Kok bisa-bisanya ya tak ada satu pun penumpang atau petugas yang membantuku? Padahal jelas terlihat kalau aku benar-benar kesusahan. Hmm, tapi taka pa lah, yang penting aku selamat. Lebih baik aku berkonsentrasi saja pada langkahku selanjutnya.

            Aku terus berjalan, lagi-lagi tanpa sebuah arah. Kuikuti saja suara-suara yang berseliweran, siapa tahu menemukan batang hidung kedua temanku yaitu Pak Tito dan Pak Walim. Tak-tuk-tak-tuk…kuarahkan Tongkatku ke kiri dan kanan. Lama sudah aku berjalan, tapi pintu keluar tak kunjung kutemui. Ah, lagi-lagi aku harus berusaha menemukan pintu keluar. Kuakui adegan ini benar-benar membuatku puyeng. Mungkin kalau ada yang membantu sih tak jadi masalah, tapi kondisinya tak begitu. Tak ada satu pun penghuni stasiun ini yang membantuku, padahal sedari tadi aku celingukan mirip anak ilang di Mall. Apa tak ada yang tergugah melihatku ya? Kejam!! Kejam!!

            Dengan perasaan kecewa dan bingung yang luar biasa, kucoba mencari bantuan kepada yang lain. Kupasang telingaku baik-baik demi menangkap derap langkah penumpang lain yang mungkin akan menuju pintu keluar. Hap, kudapati derap langkah tak jauh dariku. Buru-buru kuandalkan sisa penglihatanku. Dan berhasil, ada sebuah bayangan bergerak tak jauh dariku. Aku pun berlari kecil menghampiri bayangan itu. Benar-benar merepotkan ya berlari sambil menjinjing tas buncit plus Tongkat. Yup, sambil sempoyongan kukejar bayangan tadi. Aku berusaha mensejajarkan langkahku. Dan hamper berhasil!!
“Permisi…permisi…” kataku dengan nafas ngos-ngosan. Tapi sosok yang kuhadiahi kata “permisi” malah asyik melangkah tanpa mengindahkan keberadaanku yang nyaris pingsan karena mengejarnya.
“Duh, ini orang kok tega banget sih. Jangankan menghentikan langkahnya, menimpali kalimatku saja gak!” gerutuku dalam hati sambil tergopoh-gopoh.
“Permisi, Mas. Pintu keluarnya dimana ya? Aku boleh ikut?” ungkapku dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
“Saya mau ke Ngaliyan” katanya sambil terus melangkah. Jujur satu detik setelah mendengar kalimat makhluk yang tak keliru kuhadiahi sapaan “mas” itu, rasanya aku ingin mengayunkan Tongkatku kea rah kepalanya, bila perlu kulemparkan sekalian sepatu coklatku ke arahnya.
“Eh eh eh…gak boleh gitu kali. Orang gak salah apa-apa kok mau ditimpuk pakai sepatu sih! Dasar cewek beringasan!” di tengah-tengah nafasku yang Senin-Kamis, tas hitam buncitku   sempat-sempatnya mengataiku “cewek beringasan”. Mendengar kalimat sit as yang terdengar kurang merdu di telingaku, aku pun menjadi murka. Akhirnya kuhentikan langkahku, kubiarkan cowok “Ngaliyan” tadi terus melangkah menjauhiku, dan yang terakhir; kuhentakkan tubuh sit as buncit yang sedari tadi kujinjing kea rah lantai. “Aduh…” kudengar tas tak tahu diri itu mengaduh kesakitan. “Rasain loe!” kataku penuh kemenangan.

            Kali ini aku benar-benar murka. Tak hanya murka kepada tas buncit yang mengataiku “cewek beringasan”, tapi sekaligus murka kepada cowok “Ngaliyan” tadi. Tahu kan siapa cowok yang kusapa “cowok Ngaliyan” itu? Itu lho cowok yang tadi kukejar bak seorang fans yang mengejar Justin Bieber di Bandara. Cowok tadi benar-benar tak memiliki rasa belas kasihan plus tak memiliki “otak encer”. Kok bisa gitu? OK, kucoba jelaskan maksud kalimatku. Firstly, jelas-jelas cowok itu melihat cewek dengan sebuah Tongkat plus tas buncit di tangan tengah tergopoh-gopoh mengejarnya. Tapi dia malah asyik dengan langkahnya tanpa mau sedetik pun menghentikannya. Bisa dibayangkan kan betapa teganya cowok itu. Yang lebih membuatku kesal dan kecewa, dia seolah ketakutan dan semakin mempercepat langkahnya. Dia piker aku ini penculik anak di stasiun kali ya?!!? Payah!! Perih hati ini melihat sikap si cowok itu. Cewek secantik aku kok bisa-bisanya dicuekan macam tadi, padahal kuyakin cowok-cowok di luar stasiun sana sedang mengantri demi mendapatkanku *narsis*. “Ya iya lah cowok-cowok di luar sana pada ngantri, secara mereka kan tukang beca, kalau gak ya tukang ojek…” celetuk Mickey Mouse di jilbabku.

            Nah, itu dia alas an di balik kata “tak punya rasa belas kasihan” yang kuhadiahkan pada cowok “Ngaliyan” tadi. OK, sekarang giliran alas an di balik kata “tak punya otak encer”. Secondly, cowok tadi aga kurang nyambung. Coba deh kita flashback ke beberapa menit lalu. Coba diputar ulang adegan saat aku bertanya kepada cowok itu. Bukankah saat itu aku bertanya begini, “Permisi, Mas. Pintu keluarnya dimana ya? Aku boleh ikut?”. Benar begitu kan? OK, sekarang kita coba cek jawaban cowok tadi. “Saya mau ke Ngaliyan”, begitu kalimat yang kutangkap. Nah, nyambung kah jawaban cowok itu dengan pertanyaanku??? Menurut pendapatku selaku cewek yang pernah dua tahun berturut-turut menjabat sebagai “Seksi Kewirausahaan” dalam kepengurusan OSIS ketika SMA dulu, jawaban cowok tadi benar-benar melenceng dan kurang relevan. “Apa hubungannya ya jabatan seksi kewirausahaan sama kasus ini?” Tanya Mickey Mouse dalam hati. Bukankah dalam pertanyaan yang uajukan pada si cowok, sama sekali tak memuat pertanyaan yang membutuhkan jawaban “daerah tujuan” si cowok?? Lantas mengapa dia menyuguhkan daerah “Ngaliyan” dalam jawabannya. Benar-benar tak nyambung! Sayang sekali aku harus memberi nilai “nol” untuk si cowok. Terpaksa dia harus tinggal kelas. Payah tuh cowok!Siapa juga yang ingin ikut ke Ngaliyan bersamanya, aku kan hanya ingin ikut sampai pintu keluar saja. Padahal aku hanya membutuhkan jawaban “Pintu ke luarnya di sebelah sana, Mbak. Mari bareng denganku!” Hanya itu jawaban yang kuinginkan. Hmm, ternyata cowok itu bukanlah Malaikat yang bisa membebaskanku dari cengkraman kabut putih yang berseliweran di stasiun ini.

            Kini aku kembali terjerembab dalam lubang yang begitu dalam yang dipenuhi dengan rasa bingung. Hmm, aku harus mencari pintu keluar seorang diri tanpa ada yang mau membantuku. Kemana para penghuni stasiun ini? Masa iya tak ada satu pun orang yang merasa iba melihat seorang Tunanetra tengah celingukan di stasiun? Apakah tak ada satu pun orang yang merasa penasaran dengan tujuan dari langkah-langkah sempoyonganku?? Oh, I know…mungkin para penghuni stasiun ini sama-sama Tunanetra sepertiku, jadi mereka tak bisa melihat kesulitanku. Ya ya ya…sepertinya kedua mata para penghuni stasiun ini sudah buta. Lebih baik berusaha sendiri saja, kuyakin sisa penglihatanku bisa menangkap aroma segar yang menyembul dari pintu keluar yang belum kuketahui dimana rimbanya. Kemudian kugerakkan kembali Tongkat alumuniumku. Gaya anak Monyet yang kena timpuk pun akhirnya kupasang sebagai theme pada part ini. Dengan air mata yang bercucuran di dalam hatiku, aku terus berusaha menaklukan tantangan dalam petualangan kali ini. Tapi tiba-tiba Handphone-ku memberitahukan sesuatu padaku. Begini katanya, “Mbak Ekka, Pak Tito nelpon tuh. Ayo diangkat dulu!”

            Mendengar kalimat si Handphone, akhirnya kuhentikan langkahku dan meluangkan waktuku sejenak untuk mengangkat telpon dari teman seperjuanganku. “Mbak Ekka dimana?” Tanya Pak Tito. “Ini Ekka lagi nyari pintu keluar, Pak…” jawabku dengan suara lemas. “Oh, bagus kalau gitu. Kita langsung ketemu di pintu keluar aja. Saya dan Pak Walim pakai baju warna merah, Mbak…” kata Pak Tito sambil menyudahi pembicaraan di antara kami.

            Usai menerima telpon dari Pak Tito, aku kembali melanjutkan langkahku. Dan setelah beberapa langkah kubuang, kuputuskan untuk bertanya kepada orang-orang yang suaranya sempat nemplok di telingaku. Aku bergerak mendekati suara yang terdengar menghuni sebuah sudut di stasiun ini. “Permisi…pintu keluarnya dimana ya?” tanyaku pada suara-suara yang didominasi oleh suara kaum hawa itu. “Oh, ini pintu keluarnya, Mbak!” jawab salah seorang dari suara-suara itu. “Oh, makasih ya, Bu…” kataku lalu melangkah pergi.

            Aku menengadahkan kepalaku, aku memicingkan mataku, demi mendapati sebuah pintu keluar yang tadi dikatakan bahwa disinilah pintu keluar yang kucari. Berhasil! Ternyata lantai yang kuinjak ini adalah lantai menuju pintu keluar. Hal itu terbukti dari cahaya terang yang menyembul menerpa ekor mata sebelah kananku. Senyumku terkembang, hatiku merasa menang, dan langkahku bergoyang menuju cahaya terang di ujung sana. “Gak lama lagi Pak Tito dan Pak Walim bakalan nongol di kedua mataku” gumamku dalam hati. Dan sejurus dengan itu, sebuah tangan menggeser tubuhku kea rah kanan. Aku kaget mendapati tubuhku yang digeser  tanpa seijinku. Aku pun celingukan, mencari keberadaan pelaku yang menggeser tubuhku tanpa ijin. Tapi tak kudapati siapa-siapa, bahkan helaan nafasnya pun tak kudengar. “Hmm, mungkin tadi aku nyaris menabrak sesuatu, makanya aku digeser ke kanan…” gumamku sambil celingukan. Kemudian aku kembali melanjutkan langkahku dengan tak lupa mengucapkan kata “terima kasih” pada sosok yang tak kuketahui siapa dan dari mana asalnya itu.

            Kini aku telah benar-benar menghirup udara segar. Cahaya telah benar-benar penuh dalam pandanganku. Kondisi sekelilingku telah benderang. Apakah aku telah lolos dari mulut stasiun yang tampangnya begitu mengerikan itu??
“Becaknya, Mbak??” seorang kaum Adam dengan suara ramah menawarkan Becaknya padaku. Mendengar tawaran itu aku jadi yakin kalau sekarang ini aku telah benar-benar lolos dari mulut stasiun yang tadi sempat menyuguhkan pengalaman mengerikan untukku. Tapi dimana ya keberadaan teman seperjuanganku??
“Mau kemana, Mbak?” Tanya tukang becak tadi untuk yang kedua kalinya.
“Aku lagi nunggu temen, Om. Oiya, lihat dua orang Tunanetra gak, Om?” ungkapku pada si Abang tukang becak.
“Oh, tadi udah pergi, Mbak…”
“Apa?? Gak salah denger nih aku?? Yang bener Pak Tito dan Pak Walim ninggalin aku?” teriakku dalam hati.
“Yang badannya gemuk kan, Mbak?” Tanya si Abang tukang Becak.
“Hmm, mana aku tahu gemuk atau gak. Aku kan gak pernah ngeraba-raba badan kedua temanku” batinku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang memang gatal oleh ketombe hehehhe.
“Hmm, yang…” belum sempat aku menimpali kalimat si Abang, tiba-tiba suara si Abang langsung nyerobot mirip oplet Si Doel anak Betawi asli.
“Temannya laki-laki dan perempuan to’, Mbak?” Tanya si Abang dengan logat jawa-nya.
“Oh, bukan bukan…temenku laki-laki semua, Om. Lihat gak, Om? Mereka pakai baju warna merah, Om…” buru-buru kupatahkan kalimat si Abang. Setahuku Pak Tito dan Pak Walim berjenis kelamin laki-laki, jadi sudah barang tentu orang yang dimaksud si Abang itu bukanlah kedua temanku. Masa iya Pak Walim berubah jadi perempuan hehehehe.
“Oh, kalau yang itu gak ada, Mbak…” kata si Abang. Aku pun mengangguk dan bertahan pada posisiku. Aku berniat untuk menunggu kedua temanku yang kurasa masih terjebak di dalam stasiun.
“Itu Mbak temannya. Pakai baju merah kan?” tak lama setelah perbincanganku dengan si Abang Becak, kedua temanku pun nongol dari arah stasiun.
“Mbak Ekka…” kedua temanku memanggil namaku. Aku pun menyahuti keduanya.
“Ini temannya, Mbak…” kata si Abang tukang becak dengan penuh keramahaan. Aku dan kedua temanku pun bersorak gembira karena akhirnya bisa bertemu setelah terpisah bebrapa jam.

            Setelah tiga kekuatan bersatu, ditambah dengan tiga “Tongkat Sakti” sebagai senjata kami, akhirnya kami pun bersiap bertarung dengan debu-debu nakal yang berseliweran di jalan. Kami pun siap menaklukan “Workshop Kewirausahaan” yang sudah menanti dengan sejuta amunisinya. Kami pasti bisa menaklukkan tantangan itu meskipun kami hanya berasal dari sebuah Kabupaten kecil di tepian provinsi Jawa Tengah!! Ayo semangat!!

            Yes, tokoh narsis bernama Ekka yang ada pada cerita di atas ternyata bisa menaklukan kesendiriannya dan berhasil menjumpai kedua teman seperjuangannya. Ternyata si tokoh narsis itu gak loncat dari kereta hehehehe. Nah, gimana ya kisah selanjutnya?? Apa ketiga jagoan itu berhasil mencapai tempat workshop dengan selamat?? Atau mungkin mereka kesasar ke Gunung Ungaran?? Nah, lebih baik kita simak aja kelanjutan kisahnya. Hmm, tapi kalau pun gak ada yang mau nyimak juga gak apa-apa kok, yang penting tulisanku jangan dibakar ya hehehehe. Kalau ngerasa tulisanku mengganggu, silahkan curahkan unek-unek kalian pada kolom komentar di bawah sana!! Makasih ya buat yang udah nyempetin baca!! Salam Akselerasi!
Dipostkan juga di www.kartunet.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar