Masa itu telah berakhir. Hiruk-pikuk pergumulan dengan
setumpuk buku telah usai. Keringat dingin yang membanjiri dahi ketika menghadap
selembar kertas berhias sederet soal tak lagi jadi soal. Semuanya telah bubar
jalan. Terbang meninggalkan jiwa-jiwa muda menuju selembar kertas berisi daftar
nilai. Disitulah kelak kami bersorak atau pun berteriak mendamba huruf “D” atau
bahkan “E” di daftar nilai berubah. Tak muluk-muluk, “C” saja sudah berucap
syukur. Mahasiswa…begitulah kelakar kami para mahasiswa.
Ujian Akhir Semester memang telah usai. Meninggalkan
setumpuk nota pembayaran bagi sebagian yang mengikuti program remedial yang
tujuan utamanya ingin mengubah nasib baik. Ya, nasib baik dari yang semula “D”
menjadi “C” atau yang “C” menjadi “B”. Harga mahal yang harus dibayar demi jamu
jitu bernama “Remidial” tak jadi soal bagi kami yang berjuluk “Orang kaya” bagi
sebagian orang. Entahlah siapa yang memulai me-generalisasikan julukan bagi
mahasiswa di kampus kami. Cukup diamini, tanpa perlu berdali, karena siapa tahu
esok saat bangun pagi motor vespa keluaran lama telah berubah menjadi mobil
super mewah seperti milik rector kami.
Kini Sistem Akademik di kampus kami laris manis. Jika pada
hari biasa banyak yang alergi membuka Sistem Akademik yang sebetulnya canggih
itu, tapi di musim Ujian dan update nilai seperrti sekarang ini, system itu
laris manis. Kami para mahasiswa rela meninggalkan social media meski hanya 5
menit untuk melihat nilai yang bagi sebagian mahasiswa bias dibilang
“Memalukan”, tapi bagi sebagian lagi justru “Membanggakan”. Atau untuk
mahasiswa seperti, sebut saja “Joko” jika tak ingin menyebut nama sebenarnya.
Joko sibuk membuka system itu dengan dalih mengikuti pendaftaran remedial. Tak
hanya Joko sebetulnya yang punya nasib begitu. Ada banyak Joko-Joko lainnya di
kampus kami, yang begitulah pekerjaannya, mengengok apakah pendaftaran
remidialnya sudah divalidasi dosen atau masih mengambang bagai sepotong sandal
jepit bekas di Kali Cisanggarung dekat kampong halamanku.
Melihat sebagian dari kami yang sibuk wara-wiri ke kampus
demi mengurus nasib di daftar nilainya yang punya noda “D”, “C”, atau bahkan
“E”, sejatinya aku mutlak bersyukur. Tentu aku mutlak melakukannya karena
lagi-lagi di semester kali ini pun aku tak perlu repot mengurus yang aneh-aneh
*hehehe*. Pasalnya nilaiku memang cukup memuaskan. Semester tiga ini memang
semester “Galau” sebetulnya. Semester ini adalah semester “Pengabaian” begitu
kata seorang teman yang tubuhnya sexy, berambut keriting, dan berjuluk
“Keriting” di CafĂ© Meong Mak’e langganan kami. Awalnya aku sempat melemparkan
tanda Tanya padanya. “Pengabaian” apa yang ia maksud? Oh, rupanya beanr juga
kata si kriting. Di semester tiga ini memang banyak sekali mahasiswa yang
mengabaikan perkuliahannya. Lagi-lagi temanku yang satu itu berhipotesis bahwa
semester pertama adalah semester penjajakan/uji coba. Kemudian semester dua
adalah fase mulai mengenal dan mengerti system. Dan ini dia fase semester tiga
yang justru menjadi fase pengabaian. Menurut hipotesa temanku tersebut, mahasiswa
umumnya mengabaikan perkuliahan karena mengganggap bahwa semester dua yang
telah lalu, mereka telah cukup membuat bangga dirinya dengan mendapat IP lebih
bagus dari semester satu, sehingga semester tiga ini mereka merasa tak perlu
lagi “Manut” jadi mahasiswa teladan. Seriously? Untuk jawaban dan kebenaran
hipotesa tersebut, silahkan kita Tanya pada diri kita masing-masing.
Sebetulnya apa pun hipotesa dan kegalauan yang telah terjadi
di semester tiga ini, aku tak punya alas an untuk tidak bersyukur. Terlepas
dari factor “Luck” yang kumiliki atau memang aku memiliki kemampuan untuk
mendapat nilai tersebut, segalanya harus kugarisbawahi dengan ucapan
“Alhamdulillah”. Dengan nilai yang hanya memiliki dua jenis nilai, yang dari
dua tersebut nilai “B” yang muncul satu kali, tentu saja tak ada alas an untuk
tidak berucap syukur.
Aku tak berbangga diri dengan nilai tersebut karena kuyakin
100%, ada teman lain yang memang lebih pintar dariku. Tapi, kuingin dengan
nilai yang kudapat di semester ini, aku bias lebih menghargai semuanya dan tak
lagi mengendorkan “Bolpoint” di tanganku. Bolpoint itu harus terus kugenggam
kuat, kugoreskan dengan penuh keyakinan dan tekad di atas lembaran riwayat
akademikku, sampai kemudian Bolpoint itu kugunakan untuk melegalkan mimpiku.
Ya, kuingin esok lebih baik dan bersungguh-sungguh dalam belajar. Apa yang
telah kulakukan sejauh ini sebetulnya belum apa-apa. Aku harus lebih maju demi
mimpi dan harapanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar