Hi, sahabat! Aku balik lagi nih. Kali ini aku coba
lanjutkan kisah tentang perempuan Tunanetra dan tindak kriminalitas yang ada di
Indonesia. Kali ini masih tentang ceritaku sendiri. Yuk langsung aja ke TKP!
Menjadi Tunanetra kini bukan
sesuatu yang perlu digalaukan lagi bagi diriku. Menjadi Tunanetra ya menjadi
perempuan seperti yang lainnya. Aku pergi ke luar rumah seorang diri, itu hal
biasa, termasuk berkendara dengan bis pun sudah lumrah kulakukan. Tapi, siapa
sangka aku pernah nyaris dibawa kabur oleh awak bis??
Cerita bermula ketika semester 1
silam. Seperti yang sudah aku ceritakan di part sebelumnya, di awal
perkuliahanku aku tinggal bersama orang tua angkatku di Kabupaten Semarang.
Otomatis aksesku ke kampus harus menggunakan bis karena jaraknya memang
terhitung jauh. Berkendara saja bisamenghabiskan waktu kurang lebih 45 menit,
itu untuk kendaraan yang lajunya cepat, tapi kalau untuk yang lajunya bagai
siput? Ya sudah bisa dipastikan akan memakan waktu satu jam.
Ketika itu jam telah menunjukkan
waktu ashar. Kala itu aku memang pulang sore mengingat pelajaran yang
mengharuskan mahasiswanya stay di kampus lebih lama. Nah, ketika pulang, aku
menumpang sebuah bis Semarang-Salatiga. Tak ada yang aneh dan asing dengan
kendarran satu itu. Aku sudah terbiasa pulang pergi naik bis itu. Alhasil aku
pun santai di dalam bis dengan tak lupa menyampaikan tujuanku pada sang
kondektur.
Selama perjalanan bis memang
terasa lengang. Bis yang berpenumpang banyak biasanya gaduh dan terasa sesak,
tapi kala itu aku tak merasakan tubuh yang menghimpitku. Benar-benar lengang,
yang kudengar hanya celoteh si kondektur mengajak penumpang di pinggir jalan
yang nampak ogah menaiki bis yang sedang kutumpangi. Melihat kondisi bis yang
lengang, aku sama sekali tak menaruh kecurigaan, sebab setiap hari kunaiki bis
dengan jurusan yang sama, tak satu pun yang berulah kurang ajar padaku. Tapi
ternyata prediksiku salah!
Bis berhenti di sebuah tempat.
Feeling-ku sebagai Tunanetra merasa bahwa bis tengah terhenti di lampu merah
sebuah pasar menuju tempat pemberhentianku. “Sebentar lagi sampai!”, pkirku.
Karena merasa sudah sampai pasar, aku pun kembali berujar pada kondektur,
“Bang, turun alun-alun ya!”
“Alun-alun masih lama!” jawab si
kondektur.
Mendengar jawabannya itu, aku
jadi bingung dengan keberadaanku sekarang ini. Aku yang salah atau kondekturnya
yang salah??
Akhirnya kuutarakan lagi pada
kondektur, “Bang, alun-alun lama lho!”
Lagi-lagi si kondektur menjawab,
“Masih jauh, Mbak!”
Mendengar dia yang berujar
kalimat yang sama, aku pun diam. Masa iya dia berbohong? Tapi, masa iya
perkiraanku salah? Pasalnya ketika bis terhenti tadi, aku mendengar musik khas
pasar tak jauh dari tempatku berhenti, tapi si kondektur yang berpenglihatan
awas itu menyatakan bahwa alun-alun yang sehrusnya hanya berjarak 500 meter
dari pasar sebetulnya masih jauh. Akhirnya aku mencoba percaya pada si
kondektur. Tapi feeling-ku terasa tak enak. Aku merasa bis bergoyang seolah
sedang mendarat di atas aspal rusak. Bagaimana bisa? Padahal sehrusnya tak ada
aspal rusak semacam itu bila ingin menuju alun-alun. Selain itu, perjalanan pun
terasa lebih lama dari sebelumnya. What’s wrong?? Aku jadi panik dibuatnya. Bis
pun masih terasa lengang. Akhirnya kebranikan berujar kembali pada si
kondektur, “Bang, udah nyampe alun-alun belum ya? Alun-alun lama, Bang! Masa
lama banget ya!?!”
Seperti anak TK yang kurang daya
kreatifitas, si kondektur pun menjawab pertanyaanku dengan kalimat yang sama
dari sebelumnya, “Alun-alun lama masih jauh, Mbak!”
Masa iya??? Aku makin panik. Ada
yang tidak beres sepertinya. Akhirnya kulontarkan lagi pernyataan seperti
sebelumnya. Akhirnya ketika bis terhenti untuk mengangkut seorang penumpang,
penumpang itu pun tersita perhatiaannya olehku yang sedikit keras berbicara
seraya berdiri dan mengacungkan tongkatku. Melihat aku yang berdiri semacam
itu, si kondektur menyuruhku duduk, tapi aku berontak dan minta turun.
“Mau kemana, Mbak?” tanya
penumpang yang baru naik tadi.
“Mau ke alun-alun lama!” ujarku.
“Alun-alun lama? Wah, itu udah kelewat
jauh, Mbak. Tadi jauh disana!”
Deg! Dadaku langsung sesak
mendengar kata-kata penumpang itu. Umpatan dan kutukan pun seolah ingin
merangsek keluar menuju muka si kondektur.
“Turun, Bang!” ucapku berbarengan
dengan si penumpang tadi. Aku pun turun dengna kesal seraya dituntun menyebrang
oleh si kondektur yang telah dimintai tolong oelh si penumpang tadi. Dan
kekesalanku tambah berkali-kali lipat ketika kudengar celoteh dari si
kondektur.
“Mbak nya udah punya bojo?”
Ah! Apa-apaan dia bertanya hal itu
dengan nada ‘genit’??
“Kalau belum punya bojo, jadi
bojoku aja yuk, Mbak…” ujarnya lagi.
“Sudah punya!” jawabku begitu
gondok seeraya berbohong. Bisa-bisanya dia bertanya hal itu padahal dia sudah
salah padaku. Alhasil aku pun celingukan di pinggir jalan di daerah yang tak
kukenal. Beruntung ada mas-mas yang menolongku dan menawarkan bantuan padaku.
Sebetulnya aku sempat ragu dan takut dibawa kabur oleh mas-mas yang membawa
motor itu, tapi aku berusaha berpikiran baik. Alhamdulillah aku diantar sampai
ke rumah oleh si mas pembawa motor itu.
Sekian cerita pengalamanku. Hmm,
sebenernya sih aku tak ingin buruk sangkat dengan kondektur bis itu, tapi dari
gelagatnya benar-benar mencurigakan. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa
alun-alun masih jauh, padahal sudah jelas bis telah lewat begitu jauh dari
tempat tujuanku. Padahal aku pun berkali-kali bilang padanya, tapi dia selalu
menjawab ‘masih jauh’. Tentu aku berpikir bahwa dia akan membawaku entah
kemana. Apa lagi kudengar kabar dari ibu angkatku bahwa sedikit lagi bis akan
memasuki kawasan yang dipenuhi semak belukar dan tak ada satu pun rumah.
Alhamdulillah aku selamat.
(Tulisan ini diposting juga di Kartunet.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar