Minggu, 19 April 2015

HOROR : KENAPA TAKUT?

Note ini adalah salah satu part kecil dalam tumpukan diary aku. Udah lewat hari dan bulannya, tapi siapa tahu ada yang pengen baca diary pribadi aku hahhaa.
Silahkan menikmati dan berkomentar ya! Oia, note ini juga diposting di Kartunet... Oia, note ini gak bermaksud menyudutkan siapa pun, tapi ini murni perasaan
dan pengalamanku..

KENAPA TAKUT?

Sabtu, 05 April 2014

Aku terdiam. Mulut terkunci dengan nafas yang berhembus pelan. Kepalaku kubiarkan tersandar. Pikiranku menerawang, dan pandanganku kosong menembus kaca
mobil yang sedang kutumpangi. Bosan? Bukan bosan. Marah? Tidak juga. Lantas? Entahlah perasaan ini apa namanya. Yang jelas, aku tak ingin mobil yang kutumpangi
cepat mencapai tujuan. Aku ingin mobil ini berjalan di tempat, atau bahkan mogok sampai hari senin tiba.

Jahat kah pikiranku itu? Tidak, kurasa tidak, sebab apa yang kupanjatkan semata-mata bukan karena aku ingin terjadi apa-apa dengan seisi penumpang di mobil
ini, namun karena sebab lain, sebab yang bisa kukatakan tidak masuk akal. Mengapa kukatakan demikian? Alasannya karena aku takut. Takut? Ya, takut, aku
takut. Tak ada alasan lain selain rasa takut yang sejak kemarin menghantuiku.

“Kenapa kok diem aja, Ka?” lelaki yang duduk di sebelahku tergelitik atas sikap bungkamku selama perjalanan kami menuju rumah. Aku terkesiap dan spontan
menggeleng meski kusadar sosok di sebelahku ini tak dapat menangkap gerak kepalaku karena indera penglihatannya yang tak lagi berfungsi.

“Gak apa-apa kok, Pak,” jawabku lirih pada lelaki yang menjadi Ketua di DPD Pertuni Jawa Tengah. Aku berusaha menyembunyikan rasa takutku darinya. Bukan
apa-apa, aku hanya malu mengungkap perasaan takut yang bagi sebagian orang tak beralasan itu.

Entah telah berapa banyak detik yang terbuang. Entah telah berapa banyak lampu merah yang telah kulewati. Entah berapa banyak doa yang telah kupanjatkan
demi mogoknya kendaraan beroda empat ini. Semuanya sia-sia belaka. Kini aku tepat berada di depan rumah kosku. Bulu kudukku berdiri. Raut wajah cemas semakin
kentara dan dapat dengan mudah dideteksi oleh siapa saja yang melihatku. Untung sepasang suami-istri pemilik mobil yang kutumpangi yang notabene orang
tua dari lelaki yang tadi duduk di sebelahku tak sampai memperhatikan wajahku mengingat posisi tempat duduk kami tak sejajar.

“Udah sampe ya?” tanyaku basa-basi.

“Iya, silahkan dan hati-hati ya!” ucap ketiga orang di dalam mobil. Aku melempar senyum pada mereka, berusaha ceria meski detak jantungku tak lagi wajar.

“Terima kasih ya, Pak, Bu. Mohon maaf merepotkan,” kataku sambil menuruni mobil milik orang tua Pak Suryandaru, sang ketua.

“Iya, sama-sama, Mbak…”

“Mari…Wasalamualaikum…” aku membanting pintu mobil. Sedetik kemudian mobil melaju dan lenyap dari pendengaranku.

Aku melangkahkan kakiku dengan ragu. Detak jantungku masih memburu. Cemas di wajahku masih tetap ada. Aku tak ingin, rasanya tak ingin masuk ke dalam rumah
kos yang sudah satu tahun lebih menjadi tempat singgahku. Namun kenyataan rupanya tak mendukung. Aku harus masuk, harus tetap langkahkan kaki ke dalam,
sebab bila tak disini, dimana lagi aku akan melewatkan malam?

Aku menyentuhkan tanganku pada gerbang. Menarik perlahan, namun tak ada respon gerakan pintu gerbang. Kucoba sekali lagi, kali ini pada pintu di sisi yang
lain, namun hasilnya tetap sama. Mendapati itu, kecemasanku semakin berlipat-lipat. Lututku lemas. Aku tak ingin, benar-benar tak ingin meneruskan tahap
selanjutnya. Namun lagi-lagi aku teringat pada malam yang mulai menjelang serta bunyi adzan yang mengalun di setiap sudut kota. Bila sudah begitu, aku
tak lagi punya pilihan. Aku harus masuk, harus melawan segalanya, dan lewatkan malam di dalam kamar dengan nasib yang entah seperti apa jadinya.

Setelah tekadku bulat, aku merunduk di depan gerbang, kemudian memasukan tangan di antara sela-sela pintu. Lantas kugerakkan tanganku, meraba ke setiap
bidang demi menemukan gerendel pintu gerbang yang menjadi tujuan. Meski tangan tidak diam, namun dalam pikiran justru berharap gerendel telah digembok
dengan kunci super canggih, atau bahkan bila perlu kunci yang dipakai untuk gembok telah dilarung ke laut dan termakan oleh hiu di sana. Namun ingin hanya
tetap jadi ingin. Tanganku ternyata menemukan gerendel pintu yang tak tergembok. Bila begitu adanya, itu berarti aku bisa lolos dari pintu gerbang dan
tinggal melangkah masuk ke dalam rumah lalu naik ke kamar.

Aku menghela nafas berat, sangat berat, bahkan jantungkunyaris copot dan tergeletak di lantai. Namun aku telah bertekad bahwa aku harus jadi pemberani,
toh aku tidak sedang ikut uji nyali, jadi untuk apa takut?

Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, sampai beberapa langkah dan akhirnya aku tepat berdiri di depan pintu masuk ke dalam rumah. Jantungku masih berdetak
kencang. Keringatku kini mengalir entah karena hawa panas atau hal lain. Aku menarik nafas dalam-dalam, kemudian mengulurkan tanganku pada gagang pintu
di hadapanku dan berkata, “Aku harus berani! Gak ada apa-apa!”

Gagang pintu itu kutekan, lalu daun pintu kudorong kuat-kuat. Eh, namun, pintu itu diam, tak bereaksi apapun. Ada apa ini? Anugerah atau justru bencana?
Ah, aku berani bertaruh untuk yang kedua! Betaapa tidak, bila pintu terkunci, bisa jadi penghuni kos lainnya tak sedang berada di dalam. Lalu aku bagaimana?

Kalut kini kurasakan. Panik dan berbagai perasaan kelu lainnya menggumpal jadi satu dalam dada. Aku tak dapat berpikir jernih. Otakku mampet, tersumbat
rasa-rasa aneh yang terus menghantui. Kini pilihannya jadi dilematis. Tetap berdiri di depan pintu kos yang sejak kemarin begitu mengerikan, atau lari
dan mengungsi sampai ada tanda-tanda kehidupan di dalam? Ah, bila kubertaruh untuk yang kedua, lantas siapa yang akan menjadi tempat pengungsianku padahal
hari sudah malam? Diam, menggigit bibir bagian bawah, dan menarik nafas panjang, berusaha mengendalikan diri. Itu yang kulakukan beberapa saat setelah
kudapati pintu masuk tak dapat terbuka. Akhirnya kuputuskan untuk menggedor pintu sekencang-kencangnya, berharap di dalam masih ada nafas yang bisa membuka
pintu akses itu.

Dog…dog…dog…tanganku beradu kencang dengan pintu. Suara tangan yang beradu terdengar gaduh, mirip seseorang yang tengah marah-marah. Beruntung salam meluncur
di tengah-tengah aktivitas menggdor pintu itu, sehingga aku tak sedang dikira marah-marah. Sekali, dua kali, sampai berkali-kali kugedor pintu kos sekuat-kuatnya,
namun tak ada jawaban langkah kaki atau suara yang menyahut salamku.

Aku diam. Menghentikan aktivitas menggedor pintu, dan mencoba peruntungan lain. Tanganku kusentuhkan lagi pada gagang pintu. Bersiap menekannya kuat-kuat
seraya berkata, “Mbak Lili!!”

Aku berteriak-teriak memanggil sang penjaga kos, namun nihil. Gagang pintu yang kutarik-tarik dan mengeluarkan suara gaduh ternyata tak membangunkan siapa
pun yang ada di dalam. Sial, benar-benar sial. Pasti di dalam tak ada siapa-siapa. Akhirnya aku menyerah. Menarik tanganku dari gagang pintu dan melangkah
menjauhi benda yang tak memberiku kebhagiaan itu. Kakiku lemas. Wjahku kusut. Kedua bola mataku panas. Bila sudah begini, alamat hujan deras di mataku.
Namun aku berusaha tenang, tidak panik, dan menggap hari ini aku tidak sedang diliputi rasa takut, dan pintu kos yang tak dapat terbuka ini hanyalah insiden
biasa. Ya, aku harus berpikir begitu bila tak ingin semakin kacau.

Tak ada yang bisa kulakukan bila sudah begini. Satu-satunya cara yang bisa kulakukan hanyalah menelpon orang-orang yang berkepentingan. Ah, sial, ternyata
setelah kuingat-ingat, di ponselku hanya ada tiga nomor orang yang punya kepentingan. Pertama adalah sang penjaga kos; kedua adalah Rizki, teman sekosku,
dan terakhir adalah Mbak Tya, yang juga teman sekosku. Namun sayangnya Mbak Tya sedang pulang kampung, maka sudah barang tenttu ia tak dapat membukakan
pintu buatku. Akhirnya kuputuskan untuk menelpon Mbak Lili, sang penjaga kos.

Lantas kukeluarkan ponsel dari dalam saku celanaku. Kudekatkan ponsel itu ke telinga kananku demi bisa mendengar suara screen reader. Kutekan huruf ‘M’
hingga kutemukan nama ‘Mbak Lili’ di kontak teleponku. Tanpa pikir panjang, tombol ‘dial’ langsung kutekan. Nada tersambung terdengar dari ujung telepon.
Suaranya timbul tenggelam, seperti kehilangan sinyal. Aku jadi ketar-ketir, cemas akan mendapat bencana yang berikutnya. Ah, namun bencana memang datang.
Ia tak menjawab teleponku. Sial, hari yang sial. Namun aku tak patah arang. Kucoba sekali lagi. Kutekan tombol ‘dial’ sekali lagi, meski setelah menunggu
jawaban tak lagi ada. Coba lagi. Aku mencobanya lagi. Namun nihil lagi-lagi kudapati. Merasa percuma, akhirnya kuputuskan mengirim SMS saja. SMS sudah
berhasil kukirim, dan harapanku tentu nasib baik. Selesai dengan Mbak Lili, kucoba peruntungan lainnya. Rizki, kini ialah yang jadi targetku. Kutekan-tekan
ponselku, mencari nama ‘Rizki Udinus’ di dalamnya. Berhasil, aku telah menemukannya. Dengan perasaan kalut, aku menelpon gadis Tunanetra itu. Harapanku
besar padanya sebab dia adalah penghuni kos satu-satunya setelah aku yang paling jarang kelayaban di luar kos. Ah, namun bencana lagi-lagi datang!

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktiv”

Benarkah apa yang kudengar?? Tak mungkin, aku merasa itu tak mungkin. Akhirnya kucoba sekali lagi. Ternyata ponsel gadis yang pintar bermain biola itu memang
tak aktif. Aku makin kalut. Ternyata aku baru sadar kalau dia sedang pergi ke gereja.

“Kamu nanti malam ada di kos kan, Riz?” kataku tadi pagi ketika aku sedang menemaninya belajar komputer bersama Ari, sang instruktur.

“Ya, saya di kos. Tapi sore jam 5 saya ke gereja. Hari Jum’at besok kan paskah,” balasnya dengan logat Papua yang kentara.

“Yaaaa…kamu gak ada di kos dong. Aku gak ada temennya dong nanti sepulang dari Pertuni,” nada kecewa kentara betul dalam kalimatku.

“Tenang, sayang. Ke gereja paling jam 9 juga udah pulang,”

Obrolanku dengan Rizki terputar kembali dalam benakku. Lututku jadi lemas. Aku sadar sekrang sudah lebih dari jam enam sore, dan pasti Rizki tidak sedang
di kos. Gereja, ya, dia sedang ada di gereja. Lantas bagaimana nasibku sekarang? Menunggu? Haruskah aku menunggu di depan kos yang tepat berhadapan dengan
jalan ramai yang siapa saja bisa lewat, bahkan penjahat sekali pun?

Di tengah kekalutanku, aku berusaha tetap tegak dengan berpegangan pada pintu gerbang. Aku tak punya cukup nyali untuk berdiri di dalam garasi. Tempat itu
terlalu menyeramkan, setidaknya sejak kemarin, sejak berita itu mampir ke telingaku. Kini tangan kiriku bertumpu pada pintu gerbang. Tubuhku terasa berat.
Sepertinya itu akibat dari berbagai rasa yang menggumpal. Lelah karena seharian pergi, takut yang sedari kemarin menjalari, dan kesal karena tak ada satu
pun orang yang menjawab kegusaranku akan kos yang terkunci ini bersatu padu menghancurkan pertahananku. Aku menangkat tangan kananku. Dengan pendengaranku,
kuperhatikan ponsel yang tergenggam di tangan. Namun ponsel itu tetap bisu. Lama kuamati, namun ponsel itu tak juga mengeluarkan dering, yang terdengar
hanya bunyi screen reader yang mengoceh entah minta apa. Aku kecewa. Seolah tak ada harapan. Haruskah aku berdiam di depan kos sampai Rizki pulang dari
gereja? Yang benar saja? Tidakkah merasa bodoh bila aku harus berdiri disini hingga pukul sembilan tiba? Tidak, sepertinya aku tak ingin menjadi sebodoh
itu, dan sebuah nama di ponselku menjadi tempatku mencari pertimbangan.

“Haloo…” suraku gemetar meski sedikit kehangatan merasuk dalam jiwaku tepat ketika suara itu membalas ucapanku.

“Iya…” suaranya beradu dengan musik. Kurasa ia masih di jalan, di dalam bus lebih tepatnya.

“Mas, aku takut. Aku sedih. Aku gak bisa masuk kos,” aku merajuk, persis seperti anak kecil yang mengadu pada ayahnya atas perlakuan teman yang mengambil
mainannya.

“Kok bisa?”

“Gak tahu. Gak ada yang bukain pintu. Aku udah gedor-gedor juga gak ada yang bukain. Nelpon Mbak Lili juga gak diangkat. Di-SMS juga gak dibales. Nelpon
Rizki juga gmalah gak aktiv nomernya,” panjagn lebar kujelentrehkan nasib sialku pada pemuda itu. Namun, belum sempat dia menjawab, telponku berbunyi ‘bip
bip bip’, tandanya ada telepon masuk ke ponselku. Akhirnya kuminta pemuda itu mengakhiri pembicaraan kami agar aku bisa menerima panggilaln masuk ke ponselku.

“Hallooo…” kataku dengan harapan sebesar-besarnya.

“Iya, Mbak. Mbak Eka dimana?” aku tahu siapa penelpon itu. Mbak Lili, dialah penelpon yang teleponnya kutunggu sejak tadi.

“Aku di depan kos, Mbak. Aku gak bisa masuk. Aku udah gedor pintu tapi gak ada yang bukain. Mbak Lili dimana? Di dalam ada siapa, Mbak?” kalimatku memburu.
Terdengar tak sabar, dan tentu berharap ada kalimat penyejuk yang datang dari perempuan berstatus mahasiswa itu.

“Saya tidak ada di kos, Mbak. Bukannya kemarin sudah dibagi kunci masing-masing? Kenapa tidak dipakai?” aku gondok. Jalan keluar tak kudapati, namun kunci
yang dibagi Cuma-Cuma kemarin malah dijadikan alasan.

“Aku lupa bawa, Mbak. Kuncinya aku tinggal di kamar, soalnya kan kemarin juga anak-anak pada gak pake kunci, Mbak,” kataku membela diri.

“Terus di dalam ada siapa, Mbak?” lanjutku mencari angin segar.

“Aduh, saya tidak tahu, Mbak. Coba hubungi Mbak Cinde,” pintanya.

“Gak punya, Mbak. Aku gak punya nomer temen-temen. Rizki juga malah gak aktif nomernya,”

“Ya udah saya kirim nomernya Mbak Cinde ya,”

Pembicaraan di antara kami pun berakhir. Jujur aku sudah agak tenang, meski belum benar-benar tenang. Aku tahu Cinde, salah seorang teman kosku tidak sedang
berada di kos, sebab bila dia ada di kos, sudah barang tentu dia bukakan pintu yang kugedor tadi. Mustahil bila pintu yang kugedor kuat-kuat tadi tak ada
yang mendengar. Namun, satu menit, lima menit, sepuluh menit, Mbak Lili tak kunjung memberikan nomer teleppon yang kuminta. Ketika kukirim SMS pun dia
tak membalas. Gondok, aku benar-benar gondok. Rasanya ingin marah, namun ini bukankah murni kesalahanku? Benar kan?

Aku tak lagi bergairah. Aku pasrah, tak ingin ambil pusing dengan segalanya. Biar nasibku kupertaruhkan saja pada waktu. Bila sudah bertakdir pintu terbuka
dan aku bisa masuk, ya beruntunglah aku. Namun bila aku harus di depan kos dengan perasaan kalut dan takut hingga pukul sembilan tiba, ya tetap harus kuterima.
Ibu, kurasa ibuku adalah tempat yang tepat. Lantas kutelepon beliau, berharap mendapat ketenangan dan pencerahan.

“Hallooo, Assalamuallaikum,” ibuku bersuara dari ujung telepon. Suaranya dekat dan hangat, meski ia berrada begitu jauh dengnaku.

“Wa’alaikumsalam…” aku menjawab salamnya dengan nada suara parau.

“Ada apa? Sudah pulang dari Pertuni?” tanyanya.

“Udah, tadi ikut sama orang tuanya Pak Ndaru. Tapi, Mah, Eka gak bisa masuk kos. Pintunya kekunci…” aku mulai masuk ke dalam cerita tentang nasib sialku
sore ini.

“Kok bisa? Sudah menelpon Mbak Lili?” ada nada kecemasan dalam kalimat beliau.

“Udah. Udah telepon dan minta nomer temen, tapi belum dibalesin. Eka takut, Mah. Takut…” entah mengapa kuutarakan ketakutanku padanya, padahal selama ini
aku tak pernah megnatkan kata ‘takut’ meskipun aku harus berangkat ke kampus malam hari.

“Terus ini d depan kos?”

“Iya, ini di depan kos. Takut, Mah,” panas mataku semakin terasa. Entah dan entah, kata itu berputar-putar di benakku. Ya, entah mengapa aku menjadi penakut
seperti ini. Bukankah berada di jalanan sudah tak jadi soal buatku?

“Ya udah, ditunggu aja SMS dari Mbak Lili. Kamu berdoa. Kalau takut, coba berdiri dekat gerbang, tapi jagnan di luar gerbang. Gerbangnya biar ditutup aja,”

“Udah gak usah takut. Mamah mau sholat dulu,” ia mengakhiri pembicaraan kami. Jujur aku masih tak karuan meski petuah telah ibuku sampaikan. Aku celingukan.
Telinga kupasang betul-betul, sedang ponsel, digenggam erat seolah ada orang lain yang hendak merampasnya. Hingga kemudian, pemuda itu, yang tadi kutelepon,
suaranya kembali mengisi ponselku.

“Mas, aku takut. Gimana ini?” kataku dengan nada parau.

“Beneran gak ada yang bukain pintu? Mbak Mona gak bukain pintu?”

Mendengar nama ‘Mona’, bulu kudukku berdiri semua. Aku kacau. Mataku panas. Kakiku gemetar, begitu pun dengan tangan yang menggenggam ponsel. Nyaris kulepaskan
ponsel dalam genggamanku. Jantungku berdetak tak karuan. Kalut, benar-benar kalut, bahkan kali ini kekalutanku sudah naik ke tingkat paling tinggi dari
kalut yang pernah kurasakan.

“Mas! Aku takut! Kamu apa-apaan sih?” air mataku meleleh. Rasa takutku membuncah. Aku tak tahu lagi bagaimana cara mengendalikan rasa takutku itu. Berbagai
macam memori dan bayangan berkelibat dalam benakku. Tentu hal itu semakin membuatku takut. Mengapa pemuda itu sempat-sempatnya melemparkan nama itu di
tengah kekcauan hatiku sejak kemarin?

“Kamu kok jahat sih, Mas. Aku…aku kan sendirian…aku kan lagi…” aku tak bernafsu melanjutkan ucapanku. Aku terlanjur kecewa dengan pemuda itu. Aku sesaat
tak ingin mengenal pemuda yang setega itu mengaduk-aduk perasaan takutku yang sudah menjadi sejak teleponku yang pertama.

Teleppon itu kini sudah mati tak tersisa suara apa pun, yang ada hanya isakan. Ya, aku terisak. Air mataku meleleh. Sedikit lucu, sebab aku menagis karena
hal yang sehrusnya tak membuatku menangis. Namun bukankah tiap individu punya ‘warna-nya’ masing-masing? Lantas wajar adanya kan bila aku menangis karena
‘takut’?

Air mataku terus meleleh. Aku tak dapat mengontrol diriku. Bulu kudukku masih berdiri. Aku teringat banyak hal. Berkali-kali aku menoleh pada arah belakang,
seolah-olah aku tengah memastikan tak ada bayangan atau sosok apa pun di belakangku, meski sebetulnya itu konyol. Ya, tentu konyol, sebab aku adalah seorang
Tunanetra, maka tak mungkin bila aku bisa melihat sosok atau bayangan di sekitarku. Sebetulnya apa yang terjadi padaku? Cerita apa yang terjadi kemarin
hingga aku menjadi kalut dan takut?

Ponselku berdering. Ada SMS masuk di ponsel yang sejak tadi kugenggam. Ternyata yang mengirim SMS adalah seseorang yang sedari tadi kutunggu SMS-nya. Mbak
Lili mengirim nomer telepon dua orang teman kosku yaitu Nindi dan Cinde. Akhirnya pertama kali kuputar nomer telepon Nindi. Beda dengan nomer-nomer sebelumnya
yang sulit kuhubungi, mahasiswa semester dua itu justru langsung mengangkat teleponku. Namun, suara di sekitar Nindi begitu gaduh. Tentu dari suara-suara
itu aku bisa menebak bila Nindi sedang tak ada di kos. Tak apa, pikirku. Yang terpenting adalah, aku bisa tahu keberadaan teman-teman lainnya, yang siapa
tahu ada di dalam kos dan tertidur sehingga tak mendengar pintu yang kugedor.

“Nindi, kamu gak ada di kos ya?” tanyaku to the point.

“Ini Mbak Eka ya?” ia balas tanya.

“Iya, Nin. Aku mau masuk kos, tapi kok kosnya kekunci ya? Kok gak bisa dibuka ya?”

“Aduh aku gak ada di kos, Mbak. Dini dan Mbak Cinde juga gak ada. Emang Mbak Eka gak bawa kunci?”

“Gak, Nin. Aku lupa bawa. Terus gimana ya? Di dalam ada siapa ya?”

“Kurang tahu, Mbak. Tapi kalau Mbak mau masuk, coba cari kunci di sekitar garasi. Tadi aku naro kunci disitu buat Dini,”

Pembicaraan berakhir. Entah nasib baik tengah datang padaku, atau justru kesialan yang lagi-lagi datang. Teman-teman kosku ternyata tak ada di dalam, sedang
aku diberi jalan masuk namun ketika aku masuk, aku akan sendirian di dalam. Mampukah aku berada di dalam dengan kabar yang kemarin kuterima? Tidakkah aku
mati berdiri di dalam? Lantas, akan kupaksakan masuk atau tetap berada di luar? Ah, aku tak cukup punya banyak keberanian sepeertinya. Lantas bagaimana
ini?

Aku menimbang cukup lama. Air mataku masih meleleh, teringat perkataan pemuda tadi. Aku paranoid. Aku takut. Aku ingin berlari menghambur ke pelukan seseorang
dan bersembunyi di pelukannya. Aku ingin dilindungi dari rasa takut tak beralasan dan konyol ini. Kemudian, kukeluarkan ponsel yang tadi sempat kumasukan
ke dalam kantong celana. Kucari nama temanku untuk kuajak menamaniku disini. ‘Guspur Udinus’, itulah nama yang kutuju. Nada tersambung mengalun di ponselku,
namun ternyata tak ada jawaban. Aku galau. Siapa lagi kiranya yang bisa kutanyai dan kumintai pertimbangan? Pemuda itu lagi? Ah, benarkah aku akan menelpon
pemuda itu lagi? Bukankah tadi aku sempat kesal padanya? Namun aku rupanya tak cukup kuat bertahan untuk tak meneleponnya. Dan sebuah suara pemuda pun
menjawab segalanya.

“Gimana?” tanyanya.

“Kamu kok jahat sih, Mas…” aku mengulangi kalimat yang kulontarkan pada obrolan kami sebelumnya. Tangisku masih pecah, meski tak separah sebeelumnya.

“Terus wae gembenge digede-gedeke” ucapnya tenang namun menohok. Mendengar ucapannya itu, dadaku makin sesak. Menelpon dia, sepertinya bukan jalan yang
tepat. Belum lagi, dari depan gerbang kudengar ada sepeda motor terhenti namun tak kudapati seseorang membuka pintu gerbang. Perihal siapa pengguna sepeda
motor itu, aku tak tahu, dan hal itu jujur membuatku semakin paranoid.

“Lebih baik kumatikan telepon ini,” kataku dalam hati. Namun belum sempat aku tutup, dari arah pintu kos, kudengar ada kunci yang diputar.

“Siapa itu?” tanyaku dalam benak. Dan betapa bahagianya aku ketika kudapati seseorang keluar dari dalam kos. Tanpa pikir panjang dan belum sempat kumatikan
teleponku, kulontarkan sapa pada sosok yang baru keluar itu.

“Permisi. Siapa ya?” Langkah itu terhenti tepat di hadapanku ketika kulontarkan sapa tadi. Aku berusaha mengenali langkah itu, namun ingatanku belum mampu
mengenalinya. Namun sebuah kalimat singkat yang sosok itu lontarkan, akhirnya membuatku mampu mengenali sosok itu.

“Tyas ya?” kataku dengan yakin. Ya, tentu kuyakin seratus persen bahwa sosok itu adalah Tyas, mahasiswa semester dua asal Pemalang.

“Iya, Mbak…”

“Kamu ngapain disini, Yas?”

“Mau ngambil delivery, Mbak…”

Ah, rupanya sepeda motor yang tadi terhenti adalah delivery yang mengantar makanan milik Tyas. Aku tentu bahagia, meski rasa takutku masih ada ketika Tyas
menyampaikan padaku bahwa di dalam kos sangatlah sepi.

Kami pun masuk ke dalam bersamaan. Ia bertugas mengunci pintu, sementara aku naik ke lantai dua dan siap masuk kamar. Namun, ketika hendak naik ke lantai
dua, bulu kudukku berdiri. Tak ada apa-apa, kuyakin tak ada apa-apa. Namun entah mengapa sejak kemarin, kawasan dekat tangga menjadi tempat yang membuatku
merinding. Buru-buru kulangkahkan kakiku menaikki tangga. Beberapa kali nayris kakiku terselip di tangga karena saking terburu-burunya naik. Beruntung
aku tak sampai terselip dan jatuh menggelundung ke bawah. Sesampainya di lantai dua, angin berhembus menerpa wajahku. Angin itu terasa sejuk namun aku
tak suka. Entah mengapa, beberapa hal di dalam kos, seperti angin yang sudah biasa masuk dari loteng dan merayap menuruni tangga menuju lantai dua, khusus
sejak kemarin hingga hari ini terasa berbeda dan menyebalkan.

Dengan cepat aku menuju kamarku yang berada di ujung lorong. Agar tak jatuh tersandung barang-barang, tangan kananku berpegangan pada jendela kamar-kamar
yang kulewati. Hingga akhirnya aku sampai di kamarku. Buru-buru kubuka pintu kamar, namun semakin aku terburu-buru, kunci itu tak berhasil masuk ke lubangnya.
Tenang, tenang, aku harus tenang. Akhirnya setelah kuatur nafasku, kukendalikan diriku, kunci itu berhasil masuk dan pintu pun terbuka.

Bruk! Aku menutup pintu kencang-kencang. Buru-buru kulempar tubuhku di atas kasur. Boneka koala besar yang menghuni pojok kasur pun aku tarik dan kupeluk.
Sesaat kemudian, aku terlentang menghadap langit-langit kamar. Aku menarik nafas, mencoba melupakan segala yang terjadi beberapa waktu tadi. Aku mengerjap-ngerjapkan
mataku. Pikiranku menerawang pada ketakutan tak masuk akal yang kubawa sejak kemarin.

“Kenapa aku ini?” tanyaku pada diri sendiri.

“Kenapa aku takut sama Mbak Mona?”

“Kenapa?”

Bukankah dia teman kos yang baik?”

“Dia bukan hantu kan? Lantas kenapa aku takut?”

“Apa yang perlu ditakuti dari sosok yang kerap membantu mengangkat barangku, membukakan pintu kos bila penjaga kos sedang tak ada dan sosok yang ramah itu?
Kenapa? Kenapa dengan Mbak Mona?”

Bukankah dia cantik? Bukankah dia bukan hantu? Lantas kenapa takut?” Aku terus melemparkan pertanyaan pada diriku sendiri.

Kemarin, tepat pada tanggal 4 April 2014, aku mendengar kabar dari salah seorang teman kosku. Ia memberitahuku bahwa Mbak Mona, salah satu teman kos, tengah
koma di rumah sakit akibat kecelakaan. Ya, mahasiswa jurusan kesehatan itu tengah terbaring koma, bahkan temannya yang juga berada dalam kecelakaan itu
harus rela menghadap Tuhan lebih dulu. Sebetulnya tak ada alasan buatku untuk takut. Namun, teman-teman di kampus sudah terlanjur merasuki pikiranku, akibatnya
aku selalu membayangkan yang tidak-tidak. Betapa tidak, teman Mbak Mona yang meninggal itu sebetulnya kerap main ke kosku, dan berita itu langsung dimanfaatkan
teman-temanku untuk menakut-nakutiku.

“Biasanya kalau orang meninggal karena kecelakaan, arwahnya gentayangan ke tempat-tempat yang biasa dia datengi lho. Apa lagi dia sering main ke kosmu,
pasti sering datang tuh arwahnya,” Mendengar kalimat itu tentu aku langsung bergidik ngeri. Belum lagi kalimat lain yang tak kalah menakutkan.

“Mbak Mona kan koma, nah biasanya orang koma itu arwahnya keliaran kemana-mana. Udah pasti arwahnya keliaran ke kosmu, kan disitu tempat ia menghabiskan
hari-harinya…”

Ah, aku jadi gila mendengar kalimat-kalimat yang menakutkan itu. Sejak kabar itu kuterima, aku langsung kacau. Tubuhku selalu gemetar. Aku tak karuan. Aku
sebetulnya malu dengan apa yang kulakukan, namun aku tak dapat berbuat apa-apa. Rasa takutku terlalu besar. Aku tak bisa melawan rasa takut yang tak beralasan
itu. Ah, sungguh aku malu, sebab rasa takut itu sampai membuatku menangis di depan kos dan nyaris menggelinding di tanga. Sampai detik ini, aku masih berbalut
rasa takut, dan entah kapan akan berakhir.

Sejak hari Jum’at hingga hari Minggu, kosan memang sepi. Banyak penghuni kos yang pulang kampung, termasuk penjaga kos yang asli Demak. Dengan kondisi kos
yang sepi, ditambah kabar mengharukan perihal kecelakaan yang menimpa teman kosku, tentu aku jadi kurang nyaman di kos. Maklum saja, di lantai dua hanya
ada aku dan Rizki, selebihnya kamar-kamar ditinggalkan pemiliknya. Tak jauh dengan lantai dua, lantai satu pun kosong melompong, hanya segelintir anak
saja yang ada disana. Kapan kosan kembali ramai? Aku sudah tak sabar. Aku terlalu tersiksa dengan perasaan takut yang kucipta sendiri…

-    Nakula Raya 2, Semarang –

Foot note :

Terus wae gembenge digede-gedeke artinya “Terus saja cengengnya dibesar-besarkan”

Pertuni : Persatuan Tunanetra Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar