Eka
Pratiwi Taufanti, itulah namaku. Aku terlahir pada tanggal 16 November 1991
silam di desa kecil di perbatasan Provinsi Jawa Tengah-Jawa Barat, tepatnya di
Desa babakan Kecamatan Losari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Seperti yang
nampak pada awalan namaku “Eka”, aku dilahirkan sebagai anak pertama dari dua
bersaudara. Ya, aku memang memiliki seorang adik laki-laki yang rentan usianya
10 tahun denganku. Ia kini duduk di bangku kelas 1 SMP. Sementara aku, Kini aku
tengah duduk di semester 4 Fakultas Ilmu Budaya progdi Sastra Inggris Udinus.
Tentu aku bangga bisa berkuliah di Udinus mengingat aku hanya anak kampung di
pinggiran Kabupaten Brebes. Namun siapa sangka ada kisah yang mewarnai perjalannan
hidupku sampai akhirnya tiba di Udinus?
16
November 1991 pukul 23.00 WIB, aku terlahir dengan normal dari rahim ibuku. Eka
kecil menangis, seolah ngeri melihat dunia baru yang sebetulnya tak sepenuhnya
mengerikan. Tak ada kekurangan fisik yang nampak pada bayi kecil pasangan
Mochammad Taufik Hidayat dan Ema Hermawati. Penglihatan, pendengaran, dan
indera lainnya lengkap dan berfungsi dengan baik. Baiklah, bila sudah begitu,
orang tuaku patut berucap syukur atas Blue Print-ku sebagai bayi kecil mungil
berindera lengkap; aku tak terlahir sebagai bayi yang memiliki kekurangan fisik
atau biasa disebut ‘cacat’ (disabilitas).
Aku pun
tumbuh dengan baik. TK dan SD kujalani dengan tanpa hambatan, bahkan bisa
dibilang ketika SD dulu aku dinobatkan sebagai salah satu murid berprestasi di
SD Negeri 1 Babakan mengingat peringkat juara kelas yang kerap kusandang. Namun
aku sedikit ‘malas’ dengan nyeri di sekujur tubuhku ketika dingin menerjang.
‘Rematik’, begitulah dokter bilang atas nyeri di otot-otot persedianku. Memang
agak ganjal bila aku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar harus memiliki
penyakit semacam itu. Tiap kali rematik datang, aku pasti menangis karena tak
kuasa menahan nyeri yang benar-benar mengganggu. Alhasil simbahku yang kerap
memijat bahkan tak segan kuminta beliau memukul tangan dan kakiku agar nyerinya
berkurang. Dan tahukah apa yang kulakukan selain dipijat semacam itu?
Mengkonsumsi obat tak berlabel yang kubeli di Apotek, itulah pereda nyeri cukup
ampuh yang kemudian terus kukonsumsi hingga aku dewasa.
Lulus
dari SD, aku melanjutkan di SMP Negeri 2 Losari, Brebes. Ketika duduk di bangku
SMP, keganjilan lain muncul selain rematik dan obat pereda nyeri yang tetap
kukonsumsi tentunya. Aku bermasalah dengan penglihatanku. Dengan kata lain, aku
tak begitu jelas bila harus melihat tulisan dengan jarak yang agak jauh.
Alhasil aku berobat mata, dan dokter menyatakan aku terkena minus dengan
tambahan silindris. Akhirnya setahun setelah pemeriksaan itu, tepatnya ketika
aku duduk di bangku kelas 2 SMP, aku pun mengenakan kacamata minus. Menyoal
prestasi di SMP, tak ada yang begitu mencolok. Pasalnya, aku tak lagi mendapat
peringkat pertama di kelas, hanya puas mentok di peringkat ketiga atau bahkan
aku pernah mendapat peringkat 6 ketika kelas 2 SMP. Meski prestasiku tak begitu
kentara, namun aku tetap berusaha aktiv di ekstrakurikuler sekolah. Ketika itu
aku bergabung dengan Paskibra dan English Club karena memang aku sudah tertarik
dengan Bahasa Inggris sejak aku SD.
Lulus
dari SMP, aku melanjutkan ke SMA Negeri 1 Tanjung, Brebes. Di SMA aku bergabung
dengan OSIS selama dua kali masa jabatan sekaligus bergabung dengan Paduan
Suara di SMA-ku. Tak begitu jauh dengan SMP, prestasiku pun biasa-biasa saja.
Peringkat terbaikku hanya mentok di peringkat ketiga. Namun dari mata pelajaran
yang ada, pelajaran Bahasa Inggris memang menjadi penyumbang angka bagus di
raport-ku. Namun sedikit ganjalan terjadi padaku ketika SMA. Memang sejak SMP,
aku kerap berganti kacamata dengan jarak pergantian yang tak begitu jauh. Di
SMA pun aku masih melakukan hal yang sama. Namun puncaknya terjadi ketika aku
kelas 3 SMA. Aku merasakan hal aneh pada bola mataku. Aku merasakan ada selaput
tipis menutupi bola mataku yang kiri. Selaput itu mengganggu proses mobilitas
dan belajarku meski tak begitu kentara gangguannya. Kupikir itu adalah kotoran
di mataku, namun berulang kali kubersihkan, selaput itu tak kunjung hilang. Aku
semakin curiga, lebih-lebih ketika rasa nyeri juga datang bertubi-tubi di bola
mataku. Ya, aku merasakan nyeri yang teramat sangat. Nyeri itu sulit
digambarkan. Nyeri itu menyerang bola mataku, semacam dipukuli orang rasa yang
kuderita. Ketika nyeri itu datang, kontan nyeri itu akan menjalar ke bagian
tubuh lainnya seperti gigi, hidung dan kepala tentunya. Alhasil, setiap kali
aku diserang rasa itu, aku tak mampu melakukan apa-apa karena memang rasa itu
akan berujung pula di perutku. Ya, perutku mual, mungkin karena rasa sakit di
kepala juga. Tahukah apa yang kulakukan untuk meredam nyeri itu? Aku merebahkan
tubuhku di ranjang, kemudian kugantung kepalaku; kubiarkan kepalaku menggantung
di ranjang. Aneh memang, namun itulah sedikit jalan yang bisa kutempuh. Tak
hanya itu, aku pun kerap memukul kepalaku ketika nyeri datang. Benar-benar
nyeri yang menyiksa!
Meskipun
penderitaan di bola mata terus kudapat, aku tak serta merta berobat ke dokter.
Ketika itu aku hanya mengganti kacamataku karena kupikir minus-ku bertambah
mengingat aku memang kesulitan melihat tulisan di papan tulis meski aku duduk
di kursi paling depan. Aku sempat merasa aneh sebab baru dua bulan aku
mengganti kacamataku, mengapa kacamatku minta diganti lagi? Namun kuturuti saja
keinginan itu karena memang aku tak kuasa menahan nyeri ketika bola mataku
kupaksa membaca tulisan. Bisa dibilang masa-masa SMA kujalani dengan cukup
bersusah payah mengingat rasa nyeri yang baru kali itu kurasakan. Beruntunglah
aku karena akhirnya aku dapat lulus SMA meski dengan perjuangan yang cukup
melelahkan.
Tak
ingin terhenti di SMA, pada tahun 2009 aku pun melanjutkan kuliah ke
Universitas Pancasakti Tegal Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Progdi
Pendidikan Bahasa Inggris. Aku tak terlalu begitu dipusingkan dengan pemilihan
jurusan karena minatku hanya di Bahasa Inggris, sehingga aku langsung putuskan
masuk jurusan itu. Awal kuliah, tepatnya pada masa orientasi mahasiswa,
kesabaranku benar-benar diuji. Bola mataku semakin ganas! Nyerinya semakin
menjadi, lebih-lebih ketika aku berada di luar ruangan dan terpapar sinar
matahari. Tahukah apa yang terjadi? Ketika terpapar cahaya matahari, kontan
penglihatanku kabur, kontan pula penglihatanku berubah menjadi putih seputih
kabut. Bisa dibayangkan betapa sulitnya menjalani ospek dengan gangguan semacam
itu. Alhasil karena aku tak lagi kuasa menahan nyeri dan ganggunan fenomena
‘kabut’, aku pun meluncur ke klinik mata di Kota Tegal dengan dokternya yang
bernama dr. Nuryanto. Dari pemeriksaan dokter, aku dinyatakan positif Glaukoma.
Dan tahukah apa penyebab dari Glaukoma-ku? Obat rematik yang sedari kecil
kukonsumsi, ternyata jadi penyebab datangnya Glaukoma. Apa itu ‘Glaukoma’?
‘Glaukoma’
adalah penyakit mata yang ditimbulkan karena tersumbatnya cairan di bola mata
yang kemudian menimbulkan tekanan di syaraf mata. Tekanan itulah yang kemudian
merusak syaraf mata yang notabene pengantar pesan cahaya ke otak. Dan parahnya,
hadiah yang diberikan oleh penyakit itu adalah ketunanetraan. Awalnya aku tak
peduli dengan ancaman ketunanetraan yang menghantuiku, namun lambat laun
ancaman itu semakin nyata. Hal itu terbukti dari tekanan bola mataku yang
fluktuatif. Akhirnya aku dirujuk ke RS Mata Cicendo Bandung, namun tak
membuahkan hasil, begitu pun ketika dirujuk ke RS Mata Yap Jogjakarta.
Sebetulnya keganjilan mulai nampak ketika penglihatanku menurun. Lambat laun
mobilitasku semakin terganggu. Akhirnya orang tuaku tak lagi mengijinkanku
mengendarai sepeda motor.
Hari
demi hari penglihatanku semakin menurun. Seiring dengan itu, aku pun semakin
sadar bahwa ketunanetraan akan segera kusandang. Ternyata benar saja, setelah
aku rutin menjalani pengobatan seminggu sekali dengan biaya obat yang tak
murah, akhirnya pada hari ketiga di semester 2, aku harus dropout dari kampus.
Aku tak mau melakukannya, namun keluargaku memaksa karena memang aku tak lagi
sanggup melihat papan tulis dan mobilitas seorang diri. Ketika itu aku sudah
sering nyaris ditabrak kendaraan dan nyaris jatuh dari tangga karena penglihatan
yang menurun.
Tahun
2010 pun aku tak lagi berkuliah. Aku hanya menghabiskan hari-hariku di rumah.
Menangis, marah, mengurung diri di kamar, bahkan sempat nyaris menggunduli
rambut karena depresi, itulah gambaranku ketika itu. Ditambah lagi kekasihku
ketika itu tak bisa menerima kondisiku sebagai Tunanetra dengan status
low-vision. Ya, dia meninggalkanku seorang diri. Benar-benar fase yang berat.
Perubahan yang drastis. Aku yang semula lincah bepergian, akhirnya harus
‘lumpuh’ di kamar tanpa ada semangat yang mengaliri.
2010
hingga 2011 kulewatkan begitu saja di rumah. Tak ada aktivitas, hanya mampu
berdiam diri, bahkan untuk menyalurkan hobi menulisku saja aku tak kuasa karena
memang penglihatanku yang tak lagi bisa diandalkan untuk mengakses komputer. Namun
kemudian, pada awal 2011 aku mengnal komunitas di dunia maya bernama Kartunet
(Karya Tunanetra). Dari mereka aku tahu informasi tentang ‘Komputer Bicara’
sebagai alat bantu Tunanetra. Dari mereka lah semangat kuliahku tumbuh, meski
aku tak dapat langsung merealisasikan mimpiku mengingat kondisi ekonomi
keluargaku yang carut marut. Namun pada bulan suci ramadhan 2011, aku mendapat
software pembaca layar yang diinstalkan oleh mahasiswa yang tengah KKN di kampungku.
Alhasil laptopku sudah terinstall pembaca layar. Kemudian, bulan berikutnya,
tepatnya pada Bulan Oktober 2011, aku diundang mengikuti pelatihan komputer
bicara di sekretariat DPD Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) di Semarang.
Ketika itu aku memang telah mendaftarkan diri sebagai anggota Pertuni cabang
Kabupaten Brebes. Dan kemudian dari pelatihan itulah aku megnanal lebih dalam
tentang komputer bicara, tentang software pembaca layar bernama JAWS(Job Access
With Speech), dan tentu aku mulai tahu informasi tentang Udinus.
Berkat
informasi dari Ketua Umum DPD Pertuni Jawa Tengah, Pak Suryandaru, yang juga
alumni Sastra Inggris Udinus, aku tahu bahwa Udinus memiliki kerjasama beasiswa
pendidikan dengan DPD Pertuni Jawa Tengah. Aku tentu tergiur dengan tawaran
itu, namun aku sadar bahwa orang tuaku tak punya cukup uang untuk membiayai
hidupku di Semarang. Namun berkat doa dan bantuan dari banyak pihak, akhirnya
aku berhasil kuliah di Udinus, dan itu pun dengan menggunakan laptop bekas
pemberian Pak Suryandaru. Kami mahasiswa Tunanetra di Udinus memang dianjurkan
emiliki laptop mengingat proses belajar di Udinus sudah komputerisasi.
2012 pun
aku resmi menjadi mahasiswa Sastra Inggris Udinus. Pada angkatanku, hanya ada
aku dan sahabatku Ari Triono yang tercatat sebagai mahasiswa Tunaentra di Udinus.
Kami berkuliah dengan menggunakan laptop, dan tentu saja kugunakan laptop
pemberian Pak Suryandaru. Di awal perkuliahan tentu aku harus menyesuaikan
belajar dengan kondisi sebagai Tunanetra berstatus Totally Blind karena sejak
akhir 2011 penglihatanku sudah hilang sama sekali. Tak ada hambatan berarti.
Sekali pun ada hambatan, letaknya ada pada modul dengan tulisan awas (latin).
Tentu Tunanetra tak dapat menggunakan modul tersebut. Kalau pun harus
menggunakan, kami perlu melakukan scanning terlebih dahulu. Meski hambatan
berupa modul mengancamku, namun Alhamdulillah prestasiku tak begitu buruk. Pada
semester 1 lalu, aku mendapat IP 3,45. Sedangkan pada semester 2 aku mendapat
IP 3,86. Dan semester tiga kemarin, aku berhasil mendapat IP 3,91. Tentu hal
itu membuatku bahagia karena di tengah-tengah keterbatasnku, aku bisa sedikit
membuat bangga orang tuaku.
Di
kampus aku mengikuti UKM Pers Kampus (Warta Dinus), dan ketika semester 1 lalu,
aku sempat mengikuti Udinus Debate Club (UDC) meski tak berlangsung lama.
Sebetulnya ketika aku semester 2 lalu, aku dan beberapa senior di Progdi Sastra
Inggirs dikirim ke Unnes untuk mengikuti Speech Contest se-Jateng. Tentu aku
bangga dan bahagia bisa mendapat kepercayaan semacam itu, ditambah lagi statusku
sebagai Tunanetra. Pada Speech Contest itu, rupanya aku belum beruntung karena
dari 60 peserta, aku hanya puas menduduki peringkat ke-20.
Hal lain
yang juga menjadi pengalamanku berkuliah di Udinus adalah ketika aku dan
teman-teman mengikuti program fasilitasi dari Diknas. Bersama Ari Triono yang
juga mahasiswa Tunanetra, sekaligus dua sahabat kami yang memiliki penglihatan
awas, kami mencoba mengikuti program fasilitasi dari Diknas tersebut. Kami
mengirimkan Proposal Kewirausahaan bernama “Nugget Herbivora”, dan
Alhamdulillah kami berhasil didanai oleh Diknas dan menjadi satu-satunya
proposal mahasiswa dari Udinus yang lolos hingga didanai. Tak hanya itu, pada
event Pekan Ilmiah dan Seni di Udinus pun saya dan Ari Triono berhasil
meloloskan paper Gagasan Tertulis kami hingga lolos 10 besar. Pada tanggal 19
Maret 2014, aku selaku ketua PKM GT dari timku, harus presentasi di depan
reviewer. Pada pagelaran PIS ini, sebetulnya ada cabang lomba lain yang kuikuti
yaitu penulisan cerpen. Namun sayangnya aku harus melepaskan cabang lomba itu
mengingat jadwal lomba penulisan cerpen bentrok dengan presentasi PKM GT.
Selain itu, pada Bulan Oktober 2013 lalu, aku dan Ari mengikuti Pertemuan
Mahasiswa Tunanetra Tingkat Nasional di Jakarta sebagai wakil mahasiswa dari
Jawa Tengah, dan tentu saja dari Udinus. Pada acara tersebut, Alhamdulillah aku
dinobatkan sebagai peserta terbaik. Sementara itu, Di luar kampus, aku
mengikuti Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) dan menjabat sebagai Bendahara
di DPD Pertuni Jawa Tengah. Kini aku hidup seorang diri di Semarang. Selama
berkuliah, aku tinggal di rumah kos yang beralamat di Nakula Raya 12. Dalam
melakukan mobilitas, aku kerap melakukannya seorang diri, begitu pun ketika
hendak berangkat kuliah.
Aku
tentu bangga dan bahagia dengan apa yang kudapat sekarang ini. Memang yang
kudapat ini belum apa-apa jika diabndingkan dengan teman-teman lainnya, namun
aku tetap bersyukur karena meskipun aku harus tinggal berpisah dengan orang
tuaku yang berjualan pecel serta nasi di luar jawa, namun aku bisa tetap
melanjutkan pendidikanku. Pelita di kedua mataku kini memang telahtiada ,
terganti gulita yang sesakkan dada. Namun berkat rasa syukur dan mimpi yang
mberpijar dalam jiwa, gulita itu seolah bukan apa-apa. Pelita lain, pelita baru
yang lebih benderang dari cahaya optic pada indera penglihatanku kini berpijar,
menyinari kehidupan seorang anak manusia yang dianugerahi sebuah ketunanetraan,
seorang anak manusia yang meski memiliki keterbatasan namun tetap memiliki
mimpi sebesar bahkan lebih besar dari mereka; individu-individu yang sempurna
secara fisik. Seseorang dengan keterbatasan nyatanya dapat menembus
keterbatasan tanpa batas, berlari mengejar mimpi dengan keyakinan penuh dalam
hati. Bagiku hidup adalah berawl dari mimpi, maka jangan takut bermimpi karena
ketika kita takut bermimpi, kehidupan ini tak akan ada
untuk kita.
“Kuncinya,
ikhlas dengan takdir yang ada and do believe that God will give a hand for
us!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar