Manusia memang makhluk sempurna, namun ingatlah, tak ada
satu pun manusia yang dapat membaca garis tangan sang kuasa di masa depan,
bahkan untuk satu detik kemudian yang manusia miliki. Begitu pun diriku. Aku
tak pernah tahu bahwa sekarang akan menjadi begitu abstrak segala yang menempel
pada diriku, bahkan sebentuk hati yang kumiliki pun kini tak berbentuk lagi.
Mengapa? Adakah kutukan yang kudapat di masa-masa sebelumnya, jauh ketika rahim
ibuku sesak oleh ruh yang dihembuskan pada janin yang kemudian tumbuh menjadi
sosok sepertiku? Mungkin kejadiannya tak serumit itu. Ya, garis itu tak lebih
dari goresan pena yang kutorehkan atas kehendak sosok berparas malaikat.
Aku menoleh padanya. Sosok itu masih terdiam di tempat
duduknya. Ia tak menoleh padaku. Lekat kupandangi lekuk tubuhnya. Rambutnya,
telinganya, matanya, hidungnya, bibirnya, pipinya, lehernya, bahunya yang
kekar, tangannya yang halus lembut, dan ah! Aku menarik pandanganku,
menyembunyikannya dalamm-dalam di kedua lututku. Dadakku sesak. Mataku yang
semula berbinar karena sosok indah di sebelahku, kini berganti panas yang
seolah ingin membakar habis keindahan yang ada disana. Aku memeluk lututku
erat-erat. Sekuat tenaga kukembalikan perasaanku pada titik paling wajar yang
pernah ada. Namun rasanya aku tak kuasa hingga hasratku menarikku kuat-kuat
pada sebuah fatamorgana yang selama ini mengakar dalam jiwa.
Kembali kulemparkan pandang pada sosok indah itu. Ia masih
tak bergeming disana. Bibir merahnya begitu mempesona, membangkitkan gejolak
pada diriku untuk menyentuhkan jemari tanganku pada bibir merah milik sosok
itu.
Perlahan aku mendekat padanya. Kini kubiarkan tubuhku
menghadap padanya. Ia masih tak bergeming bagai patung yang tak bertuan. Puas
aku melihat sosok itu. Kembali rambut itu, telinga itu, hidung itu, mata itu,
bibir itu, leher itu, dan semua tentang dia, begitu indah, sampai akhirnya aku
menghambur ke arahnya.
Pertahananku jebol. Aku kalah oleh sosok itu. Aku menangis
dalam pelukannya. Dadakku begitu sesak nyaris sama sesakknya seperti moment
ketika salah seorang dokter memvonisku dengan sebuah penyakit yang begitu
menyeramkan.
“Lihat aku…lihat aku…”
Aku merengek pada sosok itu. Air mataku masih berlinang.
Wajahku kacau. Sekuat tenaga aku mentransfer perasaanku padanya, namun ia tetap
sama, tak bergeming meski hanya untuk melirik lewat ekor matanya.
“Kamu kenapa?” batinku. Aku masih merengek dalam pelukannya.
Aku gemas, namun juga tak bisa apa-apa. Ia masih mematung. Sulit rasanya
membuatnya berbicara. Aku terus menangis, berharap ia melunak dan berbalik arah
padaku.
“Aku tak lagi ingin melihat satu sisi darimu, tapi aku ingin
seluruh sisi darimu,” Aku berucap lirih padanya. Ia masih tetap tak bergeming,
hanya saja, kini bibir merahnya menyunggingkan senyum. Aku menatap senyum itu,
dalam. Air mataku menetes bulir demi bulir, namun aku tak peduli dengan air
mataku. Yang kupikirkan sekarang adalah makna yang ada di balik senyum itu.
“Apa maksudmu?” aku melontarkan tanya itu dalam hati.
Inginnya melontarkan secara nyata, namun bibir rasanya kelu untuk membuatnya
nyata.
Detik demi detik senyum itu memudar. Jangan! Aku tak ingin
senyum itu memudar. Aku belum selesai menyimpulkan segalanya. Aku tak ingin
senyum itu pudar. Aku butuh waktu lebih. Ya, waktu lebih untuk menyimpulkan
senyum yang bahkan hanya dapat kulihat dari satu sisi, seperti halnya ketika
aku melihat bagian tubuh ia, yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar