Taylor Swift
sedang melantunkan lagu ‘Forever and Always’ ketika Eka tengah mengerucutkan
bibirnya seraya menatap langit-langit kamar yang entah apa warnanya. Dahinya
berkerut dan bibirnya masih saja mengerucut. Hal itu benar-benar kontras dengan
lagu yang mengalun dari laptop di sebelahnya. Entah apa yang sedang terjadi
padanya, tak ada yang tahu, bahkan akun Facebook yang biasa menjadi tempat
pelampiasan isi hati pun menggeleng bila kita bertanya perihal bibir Eka yang
mengerucut.
“Rese deh!”
Eka tiba-tiba
berteriak, mengagetkan boneka yang tadi dipeluknya sehingga boneka itu melonjak
dan terjatuh di lantai. Tidak, sebetulnya boneka itu tidak melonjak kaget,
melainkan terlempar jatuh karena Eka sengaja melemparnya begitu saja tanpa dosa
dan tanpa peduli kesakitan yang dirasakan oleh boneka koala yang selalu
menemaninya tidur itu.
Sepertinya gadis
penderita Glaukoma itu sedang galau karena cinta, atau mungkin datang bulan?
Kemungkinan paling besar sepertinya yang kedua. Gadis itu biasa uring-uringan tak
jelas bila ia sedang datang bulan. Jangan berani-berani mendekati gadis itu
bila ia sedang kedatangan tamu, salah-salah bisa digigit dan dilempar macam
boneka koala yang kini tersungkur di lantai.
Eka membalikkan
tubuhnya. Langit-lagnit kamar kini tak lagi ia pelototi. Wajahnya kini terbenam
di bantal. Nafasnya naik turun cepat sekali. Ia tak bisa bernafas sepertinya,
tapi lihatlah, ia tak bergeming. Ia masih bertahan menenggelamkan wajah
kusutnya pada bantal yang beruntung baru kemarin dibersihkan.
“Aaahhh…”
suranya tertahan oleh bantal. Coba bila tak ada bantal, suaranya pasti sudah
menggema di seluruh sudut kos, bahkan bisa meruntuhkan Tugu Muda yang tak jauh
dari tempat tinggalnya itu.
Ia kesal
sepertinya. Kesal sekali. Belum pernah ia kesal semacam itu, setidaknya empat
minggu lalu ketika dadanya dihentak oleh pernyataan yang membuat tanduk di
kepalanya muncul. Pernyataan yang tak pernah ia bayankan akan meluncur dari
mulut sosok itu; sosok yang ia anggap berwibawa dan patut dihormati.
Star star star
Kelas telah
ramai ketika tubuh jangkung berbalut bisana serba biru melangkah terbata menuju
kursi kosong. Ruangan itu benar-benar sesak oleh suara-suara yang saling
bersahutan dan tawa yang saling beradu satu sama lain. Sosok berbusana biru itu
mengerutkan keningnya seraya berjalan mengikuti lengan yang memapahnya, hingga
akhirnya ia tiba di sebuah kursi kosong yang posisinya berada di deretan paling
belakang. Ia asing dengan posisi itu, sebab biasanya ia menempati kursi deretan
paling depan, atau setidaknya nomer dua dan tiga.
“Baik, sudah
jelas kan dengan tugasnya?”
Pria di depan
sana bertanya pada seisi kelas. Suaranya berat tapi terdngar masih fresh dan
maco. Gadis itu tahu betul siapa orang di depan sana tanpa perlu dikenalkan
oleh teman atau bahkan pria itu sendiri.
“Ada yang belum
jelas?” pria itu bertanya sekali lagi dan hal itu membuat gadis berbusana biru
itu berteriak-teriak dalam hati dan rasanya ingin sekali mengatakan bahwa ia
belum mengerti dengan tugas yang sedari tadi pria itu lontarkan. Tapi ia urung
melakukannya. Ia sadar diri kalau ia datang terlambat ke kelas, jadi sudah
barang tentu ketidaktahuannya menjadi konsekuensi telak baginya.
“Nanti tanya
temen aja deh!” seru gadis itu dalam hati.
“Baiklah kalau
sudah mengerti…” ucap pria itu masih dengan suara maconya.
“Siapa yang
absen hari ini?” pria itu lagi-lagi bertanya, tapi pertanyaannaya kali ini sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang pria itu bicarakan sejak tadi.
Kelas masih
riuh. Tawa masih menggema disana-sini. Pria itu memang terkenal santai bila
sedang di kelas, sampai-sampai tak pernah meperdulikan anak-anak yang gaduh.
“Eka Pratiwi
Taufanti!”
Gadis itu
terperanjat. Lamunanya seketika buyar ketika pria itu menyebut namanya dengan
lantang, lantang sekali. Refleks gadis pemilik nama itu mengangkat tngannya
tinggi-tinggi, seolah bila ia tidak melakukannya, pria di depan sana tak bisa
melihat tubuh jangkungnya yang terbenam di kursi belakang.
“Tanda tangan
kok centang!”
Deg! Eka
tertegun. Wajahnya merah padam mirip wajah yang baru saja terpapar sinar
matahari berskala tinggi. Dadanya berdegup kencang. Ingin marah, ia ingin marah
pada pria di depan sana, tapi ia tahu bila ia marah, hal itu hanya akan membuat
harga dirinya runtuh karena dianggap berbuat hal konyol. Tapi…tapi…rasa di
dadanya, rasa yang entah apa namanya, terlalu tak mengenakan baginya. Ia ingin
lari, keluar dari ruangan itu, kemudian bersembunyi di kamarnya sambil memeluk
boneka koalanya.
Tegakah pria
itu? Ia berkali-kali berpikir dan hampir bahkan telah berpikir negatif pada
pria di depan sana. Tahukah ia akan kondisiku? Pertanyaan itu berkelebat di
benak Eka dan ia lebih suka pertanyaan itu dari pada pertanyaan yang pertama
yaitu tentang ‘tega’.
Eka tak sadar
ternyata ia sedari tadi terlalu sibuk dengan pikiran dan rasa tak enak di
dadanya. Kelas telah hampir kosong, dan Eka baru menyadari itu ketika salah
seorang temannya menempuk bahunya seraya berkata, “Gimana Mbak Eka, tanda
tangan kok centang?”
Pemuda itu
terkekeh. Eka tahu betul ia sedang bergurau, mengulangi perkataan pria bersuara
maco yang sempat membuat dadanya sesak. Eka hanya melempar senyum terpaksa pada
mahasiswa itu. Sudah jelas detik itu Eka masih memendam rasa tak enak akibat
insiden biasa tapi luar biasa baginya.
Star star star
“Kok pak dosen
yang tadi bilang gitu ya samasi tante? Tega bener!”
Salah seorang
pemuda dari segerombolan mahasisswa yang tengah menuruni tangga menuju lobi itu
bertanya entah pada siapa. Ia sebetulnya tak ambil pusing perihal siapa yang
menjawab pertanyaannya, yang penting baginya adalah tak kehabisan bahan
pembicaraan selama perjalanan menuruni tangga yang tak ia ketahui berapa
jumlahnya meski setiap Senin hingga Jum’at ia selalu menjejakkan kakinya
disana.
“Tahu tuh!” Eka
berseru, seolah tak terjadi apa-apa di dadanya. Ia berpura-pura santai,
seolah-olah wajahnya tak merah padam ketika berada di kelas tadi.
“Tega nian…tanda
tangan kok centang!” kini pemuda lainnya ikut mengulangi kalimat yang
sebetulnya tak ingin lagi Eka dengar. Tapi ia tak mampu berbuat apa-apa, apa
lagi melarang sahabat-sahabatnya melontarkan kalimat itu, salah-salah ia bisa
dikira orang tersinggungan meski bisa jadi tuduhan itu betul.
“Sabar ya,
tante!” kini ada kalimat yang berusaha membuat Eka tenang. Eka terlonjak mendengar
kalimat itu. Wajahnya memancarkan semburat kemerahan. Cepat-cepat ia
menundukkan wajah, berusaha menyembunyikan ekspresinya. Ia sebetulnya heran,
mengapa sahabatnya melontarkan kalimat yang seolah-olah Eka sedang menderita
tingkat akut meski malu-malu ia akui, ia tengah menderita sekali mendengar
ucapan pria tadi, pria yang sebetulnya adlah salah satu dosen yang mengajarnya
selama semester dua ini.
“Mungkin dia gak
tahu aku tunanetra, makanya pak dosen satu itu mempermasalahkan tanda tangan centang
di daftar kehadiran mahasiswa!” Tepat pada anak tangga terakhir Eka mengucapkan
kalimat itu; kalimat yang ia harap dapat menentramkan hatinya sekaligus tak
membuat sahabat-sahabatnya kembali mengulangi kalimat yang menyesakkan itu.
Star star star
Wajah Eka masih
tertelungkup di atas bantal. Nafasnya kini semakin cepat naik turun.
Hembusan-hembusan nafas bernada ‘huh huh huh’ mirip seseorang yang mencoba
memberi nafas buatan pada korban tenggelam nampak jelas. Tapi sayangnya
kondisinya terbalik; bukan Eka yang sedang memberikan nafas buatan, melainkan
ia sendiri butuh diberi nafas buatan akibat hidung dan mulut yang tersumpal
oleh bantal tidurnya!
“Ahhhh…” Eka
kembali berteriak. Suaranya lantang sekali, nyaris memecahkan kaca jendela
kamarnya. Beruntung Tugu Muda tak hancur karenanya meski dapat diakui suaranya
keras dan lantang.
Eka
meniup-niupkan udara ke langit-langit kamar. Dadanya naik turun cepat sekali.
Nafasnya tersengal. Ia kehabisan nafas. Ia tak tahan bila harus berlama-lama
membenamkan wajahnya di atas bantal meski faktanya ia baru lima menit melakukan
tindakan konyol itu. Mau apa sebtulnya gadis itu? Ingin bunuh diri? Ah,
sepertinya tidak. Lantas? Mungkin ia ingin menghilangkan galau yang
melayang-layang di benaknya, mondar-mandir tak jelas, dan hanya membuatnya
pusing kepala. Ya, sepertinya ia ingin melakukan itu. Tapi, apa sebetulnya
kegalauan yang ia miliki? Adakah kaitannya dengan ingatan yang beberapa saat
tadi melintas di pikirannya? Ya, adakah kaitannya dengan pria bersuara maco, tanda
tangan centang, dan…ah, Eka tak ingin mengingatnya lagi! Sungguh mengingatnya
membuat dada Eka sesak dan stres berkepanjangan!
“Kenapa sih
urusannya jadi panjang gini?” Eka menggerutu dengan nafas yang belum sepenuhnya
teratur.
“Jangan-jangan
dosen satu itu emang pengen bikin aku susah…” ekspresi kebencian kentara sekali
pada wajah Eka, meski sebetulnya ia tak sungguh-sungguh mengeluarkan ekspresi
semacam itu.
“Seorang
pendidik seharusnya memberikan solusi buat mahasiswanya yang kesulitan, apa
lagi Tunanetra macam aku…” Eka masih menggerutu. Poni di keningnya
melambai-lambai tertiup kipas angin yang menempel di tembok. Sementara itu,
Taylor Swift tak lagi bersuara. Kini suaranya digantikan oleh Lenka yang riang
melantunkan lagu kesukaan Eka, ‘We will not grow old’, tapi nampaknya Eka tak
sedang bernafsu dengan lagu itu. Lihat saja mulutnya yang bukannya
berkomat-kamit melantunkan lagu kesuakaannya, tapi ia justru manyun jelek
sekali.
“Cari
gara-gara…itu dosen kayaknya cari gara-gara deh!” Eka masih sewot. Lenka sama
sekali tak dihiraukannya. Musik di sampingnya, dan pikiran yang menggelayut di
atas kepalanya, seolah berjalan berlawanan, tak ada benang merah, sama sekali
tak sinkron!
Penuh amarah
gadis yang memiliki seorang adik laki-laki itu membalikkan tubuhnya. Wajah
kesalnya kembali ia benamkan di atas bantal. Tapi sepertinya ia teringat
penderitaannya beberapa saat lalu ketika ia kehabisan nafas akibat tingkah
konyolnya, alhasil ia pun urung menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Kini
kepalanya miring. Bola matanya tepat menghujam Kola yang tersungkur di lantai.
Tatapan Eka berapi-api. Amarah betul-betul sedang menguasai dirinya
sampai-sampai Koala kesayangannya mengkerut ketakutandan diam. Koala itu tak
punya banyak keberanian untuk bergerak, atau bahkan untuk menelan ludah
sekalipun, sebab salah-salah ia bisa dilempar dari lantai dua oleh tuannya itu.
“Apa lagi sih yang harus dilakukan?
Tugas…tugas…tugas…menyebalkan! Gak ngasih jalan keluar sama sekali!”
Dalam amarah
yang tengah meraung-raung berlomba-lomba dengan hawa panas Kota Semarang, Eka
tiba-tiba teringat wejangan dari salah seorang lelaki yang bisa dibilang
berjasa dalam Perjalanan pendidikan Eka. Wejangan itu melayang dari masa
lampau, terbang berayun tertiup semilir angin gersang, bagai layang-layang di
musim kemarau, dan jatuh begitu saja di atas piringan hitam di otak gadis yang
sempat ditinggal kekasihnya karena ketunanetraannya itu.
Eka
mengerjap-ngerjapkan matanya. Bola mata itu terasa keras bagai batu tepat ketika
kelopak matanya berkedip-kedip, mirip seperti nyala lampu kota Tegal ketika
dulu ia masih menjadi mahasiswa di salah satu universitas swasta disana. Dulu,
ya, dulu sekali, ketika Glaukoma itu belum sampai hati mempersuntingnya dan
merampas obor di bola matanya. Sejurus dengan kelopak mata yang berkedip-kedip,
piringan hitam di otak Eka berputar. Syahdu dan agak sedikit cacat disana-sini,
memori itu terus terputar, menampilkan untaian kata. Meski agak sedikit cacat,
agak tak utuh piringan hitam itu terputar, tapi Eka bisa menangkap maksud dari
apa yang tengah ia ‘ingat-ingat’.
“Saya pesan
kepada kalian, tolong kalau ada kendala kaitannya dengan perkuliahan, sampaikan
saja ke dosen masing-masing. Yang terpenting adalah komunikasi dengan dosen.
Tidak boleh pasif karena yang tahu apa yang kalian butuhkan ya diri kalian
sendiri. Jadi, komunikasikan kepada mereka, apa kendala yang kalian hadapi
selama mengakses perkuliahan sebagai mahasiswa Tunanetra…” kata-kata itu
meluncur deras dari bibir Suryandaru, seorang bapak satu anak yang menjabat
sebagai ketua pada organisasi yang Eka ikuti bersama Ari, teman sekelasnya yang
juga tak memiliki obor di bola matanya.
Piringan hitam
itu terhenti, tepat berbarengan dengan Lenka yang tak lagi bersuara. Sejurus
dengan itu, Eka kembali ke alam sadarnya. Ia kembali dikuasai oleh amarahnya
meski beberapa detik berlalu, ia sempat melupakan amarahnya dan tenggelam
bersama ingatan masa lalunya. Nafasnya memburu, persis seekor banteng yang
tengah bersiap menghujamkan tanduknya pada kain merah yang dibawa sang matador.
“Komunikasi…seharusnya
ampuh, tapi buat dosen satu itu, sama sekali gak ampuh!” Eka menyemburkan
kata-kata itu ke udara. Percikan kata-kata bernada amarah itu mengenai
benda-benda mati yang dulu sempat jadi saksi bisu percakapan di antara dua anak
adam dan hawa yang nyatanya kini percakapan itu menyulut amarah gadis berlesung
pipi bernama Eka.
Star star star
“Gimana, mas,
kamu udah ngehubungi beliau? Terus gimana hasilnya? Ada jalan keluar buat tugas
kita ini kan? Kamu dapet soft file nya kan? Atau kita dikasih tugas pengganti?
Apa…apa…apa mas hasilnya?” Eka memborbardir sahabatnya di telepon.
“Sabar dong!
Nyerocos aja nih. Kalau ngomong tuh pelan-pelan dong!” pemuda bernama Ari yang
kerap disapa ‘Mas’ oleh Eka itu berkomentar. Eka mengatupkan bibirnya
rapat-rapat. Bukan…bukan untuk bungkam dan menuruti apa yang Ari katakan, tapi
ia begitu karena sebal sebab disuruh diam padahal berjuta pertanyaan dan rasa
penasaran bergelayut di pikiran Eka.
Ari diam, Eka
pun diam. Bibir Eka benar-benar terkatup, sama sekali tak ada celah disana.
Meski begitu, meski tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir Eka, meski
udara sekali pun tak berani menyelusup mencari celah untuk keluar lewat celah
di bibir Eka, tapi sebetulnya gadis itu berteriak-teriak dalam hatinya;
berteriak agar Ari cepat menjelentrehkan segala jawaban atas rasa penasaran
Eka. Tapi ternyata? Ari diam, tak ada suara yang keluar. Nampaknya pemuda itu
kesal pada gadis yang sudah lama dekat dengannya itu. Sejak mengenal Eka lebih
dalam, Ari memang tak begitu menyukai tabiat Eka yang cerewet yang suaranya
mengalir deras dan cepat seolah tak ada tanda titik atau pun koma saat Eka
mengucapkannya.
“Ehem…” Eka
berdehem meski tenggorokannya sebetulnya sama sekali tak gatal. Hanya saja,
ribuan pertanyaan di otaknya melonjak-lonjak tak karuan, menuntut jawaban, dan
ujung-ujungnya membuat kulit kepala Eka gatal. Tapi entahlah, gatal di kulit
kepala mengapa Eka justru berdehem seolah tenggorokannya lah yang sedang gatal.
“Hey, buruan
jawab! Buruan! Buruan!” Eka mengomel dalam hati. Sampai detik kesekian, Eka
masih belum berani mengeluarkan kecerewetannya.
“Ehem…” Eka
berdehem sekali lagi. Kini batuk yang dibuat-buat itu terdengagr lebih keras.
Sekali lagi kita harus tahu, gadis itu sedang tidak gatal di tenggorokan, tapi
ia sedang penasaran, dan batuk itu, batuk yang dibuat-buat itu sebetulnya
sinyal yang ia lemparkan pada pemuda di ujung telepon yang sepertinya tak
terlalu sensitif untuk permasalahan urgent bagi Eka ini.
Eka benar-benar
tak sabar. Ada apa dengan pemuda di ujung telepon itu? Eka terus
bertanya-tanya, dan itu membuat kulit kepalanya semakin gatal!
“Mas! Buruan
dong jawab! Apa yang kamu dapet!?!”
Pecah sudah
kebungkaman Eka. Pertahaanannya jebol. Ia tak sanggup, sungguh tak sanggup lagi
bila harus berlama-lama mengunci mulutnya. Ia tak lagi peduli dengan amarah
yang mungkin saja ia dapat dari Ari, pemuda yang memang tak menyukai suara Eka.
Bukan, bukan suara, tapi gaya bicara Eka yang cerewet yang sama sekali jauh
dari kata ‘kalem’ dan kerap membuat gendang telinga Ari serasa mau pecah!
“Bisa gak sih
ngomongnya pelan dikit?” bukannya menjelentrehkan jawaban atas pertanyaan yang
melonjak-lonjak di balik tempurung kepala Eka, Ari justru menyuruh gadis itu
menurunkan volume suaranya. Mendengar hal itu, Eka kembali manyun, sementara
tangan kirinya yang kosong tak menggenggam apa pun ia gunakan untuk
meremas-remas seprai kasurnya. Dari remasan tangan Eka, nampaknya ia sedang
jengkel karena Ari tak kunjung memberitahunya perihal kabar yang telah ia
nanti-nanti sejak semalam.
“Ehem…” kini
gantian Ari yang berdehem, tapi deheman Ari tidaklah dibuat-buat.
Tenggorokannya memang tengah gatal.
“Begini…” Ari
mulai melontarkan satu kata yang Eka tahu betul kata itu akan mengantarnya pada
jawaban yang ia tunggu-tunggu. Tubuh Eka seketika terpelanjat dan tegak
berdiri. Ia benar-benar antusias menunggu kata-kata Ari selanjutnya. Dari
ekspresinya, gadis itu tengah mengharap kabar baik, meski terkadang di dunia
ini harapan tak selalu berjalan beriringan dengan kenyataan. Dan Eka lupa akan
hal itu!
“Semalem aku
udah ketemu beliau…” suara Ari tertahan. Tak ada kata-kata selanjutnya, dan
yang terdengar hanya bunyi kasak-kusuk. Eka kesal dan bertanya-tanya perihal
apa yang tengah pemuda itu lakukan di tengah-tengah pembicaraan yang Eka anggap
serius meski bagi Ari sama sekali tak serius.
“Terus? Terus
gimana? Terus beliau bilang apa? Terus terus?” penyakit cerewet Eka kambuh
lagi. Ia kembali tak sabar menunggu Ari yang entah sedang apa. Eka tak sama
sekali tak kuasa menahan mulutnya untuk tidak berkata-kata meski hanya satu
atau dua menit.
“Kita disuruh cari e-book nya. Gak ada jalan keluar lain selain cari e-book
nya..”
“Apa? Cari e-book? Ah, kan udah dicari, dan hasilnya nihil!” Eka nyerocos
tidak puas dengan apa yang dilontarkan Ari.
“Mau gimana lagi, orang disuruhnya begitu...”
“Masa iya sih kita harus beli trus scan itu buku. Parah!” gerutu Eka.
“Tau deh! Pasrah aja lah!”
Kata-kata Ari mengakhiri pembicaraan singkat lewat telpon. Eka kembali
bersungut-sungut. Nampaknya amarah yang ia miliki terhadap dosen itu pun masih
membara. Benci kah dia? Tidak nampaknya, hanya saja ia kesal dengan apa yang ia
dapat. Namun ia kembali merenung bahwa menjalani hari-hari sebagai mahasiswa
tunanetra tidaklah semudah membalikan telapak tangan, maka wajar saja jika
sekarang ini ia menjumpai kerikil yang menusuk kakinya.
“Jangan emosi, Eka. Jangan emosi. Baru segini doang...” kata gadis berlesung
pipi itu mencoba menghibur diri sendiri.
“Jangan selalu berharap orang lain mengerti kamu, Eka. Cobalah memahami
mereka juga...”
“Gak mungkin ada dosen yang benci atau mencoba bikin kamu kesusahan, Eka..”
“Semangat...jangan menyerah hanya karena tugas ini...”
Diposting juga di Facebook pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar