“Kayaknya
orang-orang yang deket sama kamu kalah pamor sampe-sampe gak kuat and pilih
dropout dari kampus deh!”
Begitulah
kelakar yang dilemparkan oleh temanku di sela-sela aktivitas kongkow lepas tawa
yang kerap kami lakukan. Aku tak pernah ambil pusing dengan kelakar itu, karena
itu tak lebih dari sekedar kelakar. Pantang bagi kami membawa kelakar di tempat
tongkrongan ke kasur impoten di kamar kos. Tapi sesuatu yang menempel di batang
otakku seolah geli dengan kalimat itu dan mencoba mengorek ada makna apa di
balik kalimat yang sejatinya hanya kelakar.
“Masa iya sih
aku penyebab teman-teman dropout dari kampus?”
Tanyaku sesekali
meluncur entah ketika nongkrong atau ketika melamun di kamar kos.
“Iya…temen-temen
ngerasa kalah pamor sama kamu, Bloh! Mereka gak kuat temenan sama kamu. Kamu
terlalu pinter!”
Begitu jawaban
yang temanku lemparkan atas tanyaku. Tentu aku berontak mendengar pernytaan
itu, meski kutahu itu hanya kelakar.
“Gak mungkin!
Masa gara-gara aku sih!”
“Iya lho
gara-gara kamu. Coba deh kamu hitung mulai dari Anggi, Rina, dan sekarang Yogi.
Andin malah nyaris juga!” tawa meluncur diakhir kalimat.
Anggi…Rina…Yogi…ketiga
sosok itu memang sahabat kentalku. Tak pernah kubayangkan sebelumnya mereka
akan cabut dari kampus. Tapi fakta berkata demikian. Mereka telah lenyap.
Mereka tak lagi silewaren di kampus, atau pun sekedar makan mie ayam Pak
Kenyut. Ya, Anggi misalnya…kini tak Nampak lagi curhatannya tentang
senior-senior kami yang bias jadi cool. Tak ada lagi Rina yang biasanya numpang
tidur di kosku sekaligus guardian angel ketika aku butuh bantuan ke ATM. Atau
mungkin Yogi…lelaki yang pendiam namun penuh petuah bijak. Mereka telah pergi,
bukan untuk meninggalkanku tapi untuk masa depan di jalan lain, bukan di UDINUS.
Persahabatan
kami tentu penuh warna. Ada suka, duka pun tak kalah menghias hari-hari kami di
kampus. Semua benar-benar penuh warna dan terangkum jadi satu dalam sebuah
‘genk’ berjuluk ‘Firework’. Yap, kami yang berpersonil aku, Ari, Ical, Guspur,
Anggi, Rina, Andien, dan Yogi, memang menyatu dalam tubuh ‘Fireork’ yang kami
bentuk di awal semester satu.
Tapi kali ini,
khusus kuceritakan kisahku bersama Anggi, si jangkung tipis dari Kudus. Kalau
teman-teman Firework bilang, Anggi sama dengan Bella Saphira. Mirip kah? Hmm,
mungkin tidak terlalu, tapi entahlah teman-temanku sudah hobby memanggilnya
‘Bella Saphira’. Gadis itu tepat kukenal ketika kami berada di awal kuliah di
Sastra Inggris Udinus. Pertama kali aku mengenalnya ketika ia mengulurkan tangannya
demi mengantarku ke kamar mandi ketika pelajran dimulai. Dari situlah aku
mengenal sosoknya. Sejak saat itu persahabatan kami semakin kental. Dia selalu
ada di samppingku, setiap saat dan dalam kegiataan apa pun. Ah, mengingatnya
sungguh membuatku rindu!
Dari geriknya di
sampingku, aku menilai bahwa dia tulus kepadaku. Bayangkan saja, mana mungkin
ada orang yang bersedia menungguiku di toilet kala aku buang air? Mana ada
orang yang rela berpanas-panas ria muter-muter mencari kos buatku?? Mana ada
orang yang mau hujan-hujanan demi mengantarku pindahan kos?? Anggi, hanya Anggi
yang mau melakukannya buatku!
Dari empat
personil Firework yang berjenis kelamin perempuan, aku memang paling dekat
dengan Anggi. Saking dekatnya, aku lebih nyaman dibantu baik ketika makan,
berjalan dan sebagainya oleh gadis berambut panjang itu. Dia sudah mengerti
Tunanetra, lebih dari teman-temanku lainnya. Tak hanya itu, kedekatan kami pun
berlanjut sampai di kegiatan kampus. Kami berdua bersama-sama tergabung dalam
UKM Pers Kampus. Banyak memori bersama, termasuk wara-wiri bersama. Dan dari
kegiatan Pers kampus, ada cerita yang datang dari kami berdua.
Suatu malam di
acara Pelatihan Jurnalistik Dasar yang diadakan UKM Pers Kampus, ketika yang
lain terlelap beralaskan tikar, perutku justru tak dapat dikompromi. Rasanya
aku ingin pergi ke toilet. Walhasil kubangunkan Anggi yang tengah damai dengan
mimpinya. Awalnya aku ragu meminta bantuannya karena lazimnya orang yang tengah
bergumul dengan mimpi enggan untuk bangkit, apa lagi mengantar orang lain ke
toilet. Tapi hal itu tak berlaku padanya. Dia rela bangkit dan mengantarku. Lagi, dari geriknya lagi, aku dapat menilai
bahwa Anggi tulus melakukan hal itu.
Cerita lainnya
antara kami adalah ketika kami harus berjalan beratus-ratus meter demi
menunaikan tugas sebagai peserta dalam PJD. Dalam ‘jalan malam’ itu, kami harus
berpindah dari satu pos ke pos lainnya demi mengenal Pers kampus lebih dekat.
Pada kegiatan yang berlangsung tengah malam itu, kami dibagi ke dalam beberapa
grup, dan aku berada dalam satu grup dengan Anggi. Ah, dalam kegiatan itu aku
benar-benar berterimakasih padanya. Betapa tidak, dengan perjalanan jauh
semacam itu, sekaligus tenggorokan yang haus dan perut yang lapar, Anggi
bersedia menuntunku dalam gelapnya malam! Amazing bukan?? Aku tahu, sangat tahu
bahwa berjalan dalam keadaan lelah sangat menyulitkan. Jangankan menuntun orang
lain, menopang diri sendiri saja rasanya ingin mati. Tapi Anggi, dia mau
melakukan hal itu buatku!
Banyak hal yang
telah kami lakukan bersama. Suka dan duka kami jalani bersama. Ia sahabatku,
meski kami berada jauh sekarang. Ia tak peduli dengan kondisiku sebagai
penyandang disabilitas netra. Dia tetap mau berada di sampingku, mengantarku ke
toilet, mengambilkan makanan buatku, membetulkan laptopku ketika di kelas, dan
banyak lagi hal lainnya!! Dari sosok Anggi aku belajar betapa ketulusan itu ada
di tengah-tengah mahasiswa lain yang sibuk menata diri dalam pergaulan masa
kini, dan seolah-olah tutup mata dengan temannya yang Tunanetra. Ketika yang
lain menjauh, Anggi justru mendekat…itulah yang kusebut dengan ketulusan!
!Note :
Tulisan ini kubuat udah lama. Aku lupa kapan tepatnya. Aku nulis tulisan ini karena dimintain tolong sama Mas Wahyu, seniorku di kampus :)
Tulisan ini juga kuposting di Facebook pribadiku :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar