Tampilkan postingan dengan label note facebook. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label note facebook. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Juli 2015

ANGGI, MY GUARDIAN ANGEL :)



“Kayaknya orang-orang yang deket sama kamu kalah pamor sampe-sampe gak kuat and pilih dropout dari kampus deh!”
Begitulah kelakar yang dilemparkan oleh temanku di sela-sela aktivitas kongkow lepas tawa yang kerap kami lakukan. Aku tak pernah ambil pusing dengan kelakar itu, karena itu tak lebih dari sekedar kelakar. Pantang bagi kami membawa kelakar di tempat tongkrongan ke kasur impoten di kamar kos. Tapi sesuatu yang menempel di batang otakku seolah geli dengan kalimat itu dan mencoba mengorek ada makna apa di balik kalimat yang sejatinya hanya kelakar.

“Masa iya sih aku penyebab teman-teman dropout dari kampus?”

Tanyaku sesekali meluncur entah ketika nongkrong atau ketika melamun di kamar kos.

“Iya…temen-temen ngerasa kalah pamor sama kamu, Bloh! Mereka gak kuat temenan sama kamu. Kamu terlalu pinter!”

Begitu jawaban yang temanku lemparkan atas tanyaku. Tentu aku berontak mendengar pernytaan itu, meski kutahu itu hanya kelakar.

“Gak mungkin! Masa gara-gara aku sih!”

“Iya lho gara-gara kamu. Coba deh kamu hitung mulai dari Anggi, Rina, dan sekarang Yogi. Andin malah nyaris juga!” tawa meluncur diakhir kalimat.

Anggi…Rina…Yogi…ketiga sosok itu memang sahabat kentalku. Tak pernah kubayangkan sebelumnya mereka akan cabut dari kampus. Tapi fakta berkata demikian. Mereka telah lenyap. Mereka tak lagi silewaren di kampus, atau pun sekedar makan mie ayam Pak Kenyut. Ya, Anggi misalnya…kini tak Nampak lagi curhatannya tentang senior-senior kami yang bias jadi cool. Tak ada lagi Rina yang biasanya numpang tidur di kosku sekaligus guardian angel ketika aku butuh bantuan ke ATM. Atau mungkin Yogi…lelaki yang pendiam namun penuh petuah bijak. Mereka telah pergi, bukan untuk meninggalkanku tapi untuk masa depan di jalan lain, bukan di UDINUS.

Persahabatan kami tentu penuh warna. Ada suka, duka pun tak kalah menghias hari-hari kami di kampus. Semua benar-benar penuh warna dan terangkum jadi satu dalam sebuah ‘genk’ berjuluk ‘Firework’. Yap, kami yang berpersonil aku, Ari, Ical, Guspur, Anggi, Rina, Andien, dan Yogi, memang menyatu dalam tubuh ‘Fireork’ yang kami bentuk di awal semester satu.

Tapi kali ini, khusus kuceritakan kisahku bersama Anggi, si jangkung tipis dari Kudus. Kalau teman-teman Firework bilang, Anggi sama dengan Bella Saphira. Mirip kah? Hmm, mungkin tidak terlalu, tapi entahlah teman-temanku sudah hobby memanggilnya ‘Bella Saphira’. Gadis itu tepat kukenal ketika kami berada di awal kuliah di Sastra Inggris Udinus. Pertama kali aku mengenalnya ketika ia mengulurkan tangannya demi mengantarku ke kamar mandi ketika pelajran dimulai. Dari situlah aku mengenal sosoknya. Sejak saat itu persahabatan kami semakin kental. Dia selalu ada di samppingku, setiap saat dan dalam kegiataan apa pun. Ah, mengingatnya sungguh membuatku rindu!

Dari geriknya di sampingku, aku menilai bahwa dia tulus kepadaku. Bayangkan saja, mana mungkin ada orang yang bersedia menungguiku di toilet kala aku buang air? Mana ada orang yang rela berpanas-panas ria muter-muter mencari kos buatku?? Mana ada orang yang mau hujan-hujanan demi mengantarku pindahan kos?? Anggi, hanya Anggi yang mau melakukannya buatku!

Dari empat personil Firework yang berjenis kelamin perempuan, aku memang paling dekat dengan Anggi. Saking dekatnya, aku lebih nyaman dibantu baik ketika makan, berjalan dan sebagainya oleh gadis berambut panjang itu. Dia sudah mengerti Tunanetra, lebih dari teman-temanku lainnya. Tak hanya itu, kedekatan kami pun berlanjut sampai di kegiatan kampus. Kami berdua bersama-sama tergabung dalam UKM Pers Kampus. Banyak memori bersama, termasuk wara-wiri bersama. Dan dari kegiatan Pers kampus, ada cerita yang datang dari kami berdua.

Suatu malam di acara Pelatihan Jurnalistik Dasar yang diadakan UKM Pers Kampus, ketika yang lain terlelap beralaskan tikar, perutku justru tak dapat dikompromi. Rasanya aku ingin pergi ke toilet. Walhasil kubangunkan Anggi yang tengah damai dengan mimpinya. Awalnya aku ragu meminta bantuannya karena lazimnya orang yang tengah bergumul dengan mimpi enggan untuk bangkit, apa lagi mengantar orang lain ke toilet. Tapi hal itu tak berlaku padanya. Dia rela bangkit dan mengantarku. Lagi, dari geriknya lagi, aku dapat menilai bahwa Anggi tulus melakukan hal itu.

Cerita lainnya antara kami adalah ketika kami harus berjalan beratus-ratus meter demi menunaikan tugas sebagai peserta dalam PJD. Dalam ‘jalan malam’ itu, kami harus berpindah dari satu pos ke pos lainnya demi mengenal Pers kampus lebih dekat. Pada kegiatan yang berlangsung tengah malam itu, kami dibagi ke dalam beberapa grup, dan aku berada dalam satu grup dengan Anggi. Ah, dalam kegiatan itu aku benar-benar berterimakasih padanya. Betapa tidak, dengan perjalanan jauh semacam itu, sekaligus tenggorokan yang haus dan perut yang lapar, Anggi bersedia menuntunku dalam gelapnya malam! Amazing bukan?? Aku tahu, sangat tahu bahwa berjalan dalam keadaan lelah sangat menyulitkan. Jangankan menuntun orang lain, menopang diri sendiri saja rasanya ingin mati. Tapi Anggi, dia mau melakukan hal itu buatku!

Banyak hal yang telah kami lakukan bersama. Suka dan duka kami jalani bersama. Ia sahabatku, meski kami berada jauh sekarang. Ia tak peduli dengan kondisiku sebagai penyandang disabilitas netra. Dia tetap mau berada di sampingku, mengantarku ke toilet, mengambilkan makanan buatku, membetulkan laptopku ketika di kelas, dan banyak lagi hal lainnya!! Dari sosok Anggi aku belajar betapa ketulusan itu ada di tengah-tengah mahasiswa lain yang sibuk menata diri dalam pergaulan masa kini, dan seolah-olah tutup mata dengan temannya yang Tunanetra. Ketika yang lain menjauh, Anggi justru mendekat…itulah yang kusebut dengan ketulusan!
!

Note :
Tulisan ini kubuat udah lama. Aku lupa kapan tepatnya. Aku nulis tulisan ini karena dimintain tolong sama Mas Wahyu, seniorku di kampus :)
Tulisan ini juga kuposting di Facebook pribadiku :)

Senin, 20 April 2015

BERBUAT KEBAIKAN, KENAPA MALU?

Pernahkah mendengar kalimat usil semacam ini??

“Cie…cie…cie…tumben pagi-pagi udah nongkrong di sekolah…”

Atau mungkin kalimat usil yang ini???

“Ah, kerasukan setan mana loe, bro, tumben mau bersih-bersih rumah!?!?”

Mungkin yang ini???

“Wah, mau jadi anak mamih ya loe, tumben pagi-pagi udah nganterin nyokap belanja!”

Atau bahkan kalimat super usil yang ini??

“Kesambet jin putih dari mana loe, bro, tumben sholat!”

Rentetan kalimat di atas tentu sudah tak asing lagi di telinga kita, apa lagi di kalangan mereka yang menamai diri si anak muda. Kalimat-kalimat ‘usil’ tersebut seolah kelakar yang dengan mudah dilemparkan pada siapa saja yang sedang mencoba ‘tekun’ pada nilai dan norma. Dengan mudah bahkan lebih mudah dari PR yang mereka dapat dari sekolah, kalimat-kalimat semacam tadi terus didengungkan tanpa sadar akan efek dari kalimat yang dilemparkan tersebut.

‘Kebaikan’, itulah tujuan yang diusung oleh mereka yang dihadiahi rentetan kalimat usil tadi. Maksud hati ingin menunaikan kebaikan sekaligus pembuktian terhadap kata “Taubat” yang disampaikan pada Tuhan, justru mendapat rintangan berupa kalimat usil semacam tadi. Sebagai individu yang masih dalam proses mewujudkan kebaikan yang bisa jadi telah ditinggalkan sekian lama, tentu akan goyah ketika mendapat kelakar tak beralasan sebagai komentar.

Lantas efek apa yang timbul dari keusilan semacam tadi?

‘Malu’, itulah rasa yang sebetulnya menjadi efek dari kalimat usil tak bertanggungjawab sebagai komentar bagi mereka yang ingin tekun. Menurut opini penulis, mereka yang sedang berusaha menunaikan kebaikan akan merasa ‘malu’ ketika ada pihak lain yang mengomentari usahanya tersebut, lebih-lebih jika komentar yang dilemparkan berupa ejekan. Sebetulnya sudah wajar adanya rasa malu itu timbul ketika seseorang sedang melakukan kebaikan, namun tidak untuk kasus pada remaja. Betapa tidak, remaja merupakan masa dimana rasa ‘gengsi’ itu punya andil besar pada diri mereka. Oleh karena itulah, ketika ada pihak yang mengejek dan menilai bahwa kebaikan yang sedang ditunaikan itu adalah hal konyol sekaligus ‘tumben-tumbenanan’, si pelaku kebaikan langsung undur diri, bahkan tak lagi bernafsu untuk menunaikan kebaikan tersebut.

Lantas, jika malu telah melanda, apa yang akan terjadi??

Umumnya jika malu telah mendera, lebih-lebih pada mereka yang tak punya tekad yang kuat, keesokan harinya kebaikan itu tak akan ditunaikan. Dengan kata lain, mereka akan kembali pada zona sebelumnya. Kebaikan pun kemudian tersimpan jauh dalam angan. Hilang?? Bukan hilang, namun lebih kepada mengendap dalam angan yang entah kapan akan direalisasikan. Jika sudah demikian, tentu sulit untuk mengembalikan situasi, kecuali kalimat usil dilempar jauh dari budaya para remaja.

Karena adanya budaya yang tercermin pada kalimat-kalimat usil di atas, penulis beranggapan bahwa hal itulah yang justru menghambat menjamurnya kebaikan di kalangan remaja. Para tunas bangsa itu seolah lebih berkonsentrasi pada seberapa banyak teman yang berkomentar dari pada esensi kebaikan itu sendiri. Karena konsentrasi mereka terfokus pada komentar teman, pada akhirnya mereka akan mudah goyah dan cenderung melepaskan janji mereka untuk berbuat kebaikan. Dampaknya, ketika hendak melakukan amalan-amalan yang ditetapkan pada nilai dan norma, mereka akan berpikir beribu-ribu kali, bukan untuk berpikir seberapa besar manfaat dari amalan tersebut, namun lebih kepada seberapa banyak kata ‘tumben’ yang temannya lemparkan.

Penulis coba ambil contoh dari realita yang ada. Sebagai contoh adalah adik penulis yang kini duduk di bangku SMP. Pernah suatu ketika ia bangun pagi, kemudian bergegas merappikan tempat tidur, mencuci sepatu dan membersihkan rumah. Tak hanya itu, ia pun getol menawarkan bantuan yang bisa ia lakukan. Tentu hal itu membuat seisi rumah takjub dan terheran-heran. Pasalnya ia memang terkenal malas di rumah. Akhirnya penulis yang memang kerap menggodanya, tergelitik untuk melempar canda.

“Cie…cie…tumben rajin amat! Kerasukan setan dari mana, bro??” goda penulis sambil cekikikan.

Mendengar kalimat usil dari penulis, ia pun nampak gondok. Terbukti dari mulutnya yang maju lima senti. Tak sampai disitu, penulis lagi-lagi menggodanya dengan berkata, “Gitu dong, Bro. Jadi anak tuh yang rajin. Kalau gitu kan bisa disayang mertua.”

Rupanya komentar-komentar usil yang penulis berikan memberi efek ‘jera’ pada sang adik. Kontan ia langsung menghentikan aktivitasnya dan ngeloyor entah kemana. Usut punya usut, ketika diintrogasi hari berikutnya, ia mengaku malu sebab penulis terus menggodanya. Tak hanya itu, sang ibu yang memamerkan tindakan adik itu pun menjadi penyumbang dalam mogoknya aksi bersih-bersih yang dilakukan adik.

Dari contoh dan sedikit uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam melakukan kebaikan yang tercantum dalam nilai dan norma, setiap individu harus memiliki niat terlebih dahulu. Jika niat telah ada, ditambah lagi dengan tekad yang kuat, maka apa pun kendala dan godaan, tak akan menjadi soal. Kemudian, rasa malu hendaknya dibuang jauh-jauh sebab ‘kebaikan’ merupakan hal terpuji, sehingga tak perlu merasa malu dan ragu dalam menunaikannya. Bandingkan dengan serentetan keburukan yang pernah dilakukan, pernahkah kita memikirkan atau pun merasa malu ketika melakukannya? Penulis rasa jarang kita merasa malu atas tindakan yang dilakukan, bahkan tak jarang siswa-siswi sekolah yang kedapatan mencuri dan cabut dari sekolah. Bukankah hal itu merupakan hal buruk yang seharusnya dihindari? Namun faktanya banyak remaja yang menikmati hal buruk tersebut. Oleh karena itu, tak perlu malu melakukan kebaikan yang tentu saja ditunaikan dengan cara yang baik pula.


JIKA 'RASA' BERKATA : VERSI LABIRIN

Ada sedikit ungkapan sang 'Rasa'. Ini sebenernya lanjutan dari tulisan 'Epilog' Jika Rasa Berkata Versi 'Cermin'. Mungkin teman-teman bingung maksud atau
jalan cerita tulisanku ini, tapi nikmati aja ya hehehe, syukur-syukur komen dan ikut analissis hehehe. Tulisan ini jg diposting di Kartunet (
www.kartunet.com)

Hope you enjoy it!

---

Gulita memeluk mereka. Pekat tanpa cahaya, di sana mereka berada. Tangan hanya mampu meraba, penuh harap agar bertemu dengan malaikat dari syurga. Pandangan
terlempar ke segala arah namun gulita itu lebih matang dan dewasa sehingga cahaya tak kunjung datang jua.

-(0)-

Nafasnya terengah, memburu dengan waktu, mencoba mengusir diri dari pekat yang menenggelamkannya. Namun itu sia-sia. Entah telah berapa lama ia berputar,
menjejakkan kaki dari satu alur ke alur lainnya. Ia tak tahu harus mencari titik dimana lagi. Semuanya penuh dengan pekat! Tak ada cahaya, lantaas bagaimana
bisa keluar dari tempat ia berada?

“Tolong!”

Bibir tipisnya terbuka, melemparkan udara yang menggumpal menjadi kata-kata, kemudian melemparkannya ke langit-langit yang menjulang seolah tak berujung.
Namun kalimatnya hanya menguap di udara, memantul dari sudut satu ke sudut lainnya. Andai kalimat itu membeku dan menghantam pintu keluar yang ia cari
agar ia dapat keluar, tentu itu akan membuatnya bahagia.

“Kau akan mati di tempat ini!”

Ia mendengar suara menggema di sekitarnya. Bulu kuduknya berdiri, dadanya berdegup kencang, seolah-olah dinding-dinding di sekitarnya semakin bergerak ke
arahnya dan siap menghimpit tubuh kecilnya.

“Tolong!”

Suaranya kembali melolong bagai anjing yang lapar oleh dinginnya malam. Jejak kakinya berpindah mengikuti arahan dari hati kecilnya. Terus berdetak menciptakan
melodi di tempat asing tanpa terang. Yang ia harap hanya temukan terang meski nafasnya terasa sesak karena ketakutan yang memburu dalam dada.

“Uhuk…”

Ia terbatuk di tengah-tengah jejak kakinya. Nafasnya begitu sesak. Keringat dingin mengalir di dahinya tanpa peduli hal itu justru dapat menambah level
ketakutannya. Udara sepertinya semakin menipis, terbukti dari batuk yang semakin sering ia lontarkan. Ah, sial! Ketakutannya tentu menang sebab ia pasti
menganggap ia akan mati! Tak lagi ada kesempatan untuk lari! Ia akan mati di tempat asing, di tempat yang diisi oleh pekat yang tak bersahabat!

“Bersiaplah untuk mati!” ada suara merangsek ke telinganya. Suara itu semakin dekat terdengar. Apakah itu suara malaikat maut?? Ah, tidak! Bukan malaikat
maut yang ia harap, namun malaikat pembawa terang yang ia nanti kehadirannya!

“Tidak! Aku tidak akan mati di tempat ini! Aku pasti bisa keluar!”

Tak terduga! Ia menjerit melawan suara yang sedari tadi berdzikir untuk kematiannya. Ia kembali melangkah. Perlahan mengatur nafasnya, perlahan membagi
sisa udara agar masuk ke seluruh aliran kerongkongannya. Rupanya ambang kematian tak menghapus harapan dalam dirinya. Tanpa peduli sudah berapa kali ia
berputar-putar dalam pekat, ia terus jejakkan kakinya. Jalan itu pasti ada, begitu yang ada di pikirannya.

“Tuhan, ijinkan aku tetap hidup. Ijinkan aku keluar dari tempat ini. Aku ingin hidup Tuhan…”

Kini bibirnya melantunkan harap kepada Tuhan. Ia tak peduli jikalau Tuhan sebetulnya tengah mengirim malaikat maut untuk mengambil nyawanya. Ah, bisakah
ia melawan maut?? Bisakah takdirnya berubah? Omong kosong! Namun orang bijak sering berkata bahwa apabila pengharapan telah habis, maka habis pula jalan
hidupmu. Entah karena perkataaan orang bijak itu, atau karena ia yang menganggap maut tak akan datang sebelum ia merasakan tubuh mungil dalam gendongannya,
ia tetap berani menjejakkan kakinya pada poros gulita yang ada. Ia tak sadar sebetulnya hal itu dapat menghabiskan tenaganya yang sudah di batas ambang.

Dug! Ia terjatuh. Tubuhnya lemas. Pucat sekali rautnya. Inikah akhir dari hidupnya?? Akan berakhir sia-siakah detak kakinya yang ia seret sedari tadi??
Apakah Tuhan menjawab dzikirnya dengan malaikat maut yang memang telah ia siapkan???

Ia masih terduduk di lantai beku. Dingin menjalari tubuhnya, bercampur dengan rasa takut yang membakar jiwa. Air matanya kini meleleh meski basahnya hanya
ia yang dapat merasa. Lantas digerakan tangannya agar menyentuh gundukkan di perutnya. Dalam sesak ia usapkan jemarinya. Bibirnya gemetar, sedikit terbuka,
sedikit melepas udara. Ada sejuta kasih yang memancar darinya. Kasih yang coba ia utarakan pada gundukkan di perutnya.

“Malang sekali nasibmu, nak. Mengapa kau harus lahir dari rahimku?? Mengapa kau harus lahir tanpa ada lelaki di sampingmu??”

“Haruskah kau mati di sini bersamaku?? Bukankah ini dosaku, nak??”

Ia tergugu. Dicengkramnya kuat-kuat gundukan di perutnya. Ingin sekali ia keluarkan isi dalam gundukkan itu agar tak ikut mati bersamanya. Namun itu sia-sia.
Nyawa di dalam gundukkan itu terlalu kuat sepertinya. Isi dalam gundukkan itu seolah berkata, “Aku pasti hidup!”. Perkataan yang seolah-olah terbang berputar
di kepalanya itu sebetulnya justru membuat ia semakin tersiksa. Dilema, ia benar-benar dilema. Harus bagaimana?? Sementara tenaga sudah tak ada, apakah
kaki itu harus terus melangkah??

Jalan pikirannya buntu. Tak ada lelaki yang dapat memapahnya agar tetap mampu melangkah mencari terang dan jalan keluar. Ia seorang diri, hanya berteman
gulita yang sesakkan dada. Ikatan sebuah harapan seolah ingin ia lepaskan. Ia tak kuat, benar-benar tak kuat. Ia tak lagi punya tenaga. Lantas disentuhkannya
jemari lembutnya pada lantai yang ia duduki. Cukup lama ia jejakkan jemarinya disana. Beku, benar-benar beku. “Haruskah lantai ini menjadi alas kematianku?”
ia bertanya pada dirinya sendiri.

Detik berikutnya, ia usap lantai beku itu. Setelah itu, kepalanya telah tenang di atas lantai. Rambut lurusnya tergerai, jatuh dari bahu ke lantai. Ia telah
siap, begitu pun dengan kaki yang lurus di atas lantai. Sementara itu, kedua tangannya yang telah siap di atas gundukkan pada perutnya ia sempatkan mengusap
basah di kedua pipinya.

Ia menghela nafas panjang dan berat. Dari tarikannya, seolah itu adalah nafas terakhirnya. Ia seolah tak sanggup menghirup udara lagi. Kemudian ia pun berkata,
“Inikah akhir segalanya?? Akankah berakhir disini???”

“Bila memang ini takdirmu, Tuhan, biarkan yang ada dalam rahim ini mati bersamaku. Aku siap bila memang harus sekarang, Tuhan…” lemah bibirnya berucap.
Seiring dengan lemahnya bibir itu, kedua kelopak mata pun ikut melemah. Ia hendak memejamkan matanya. Untuk terakhir…ya…untuk terakhir kalinya.

‘Namun’ itu selalu ada pada setiap untaian kata, termasuk skenario sang sutradara. Maka, pengecualian itu tetap ada pada takdir makhluk di dunia…

Mata itu nyaris tertutup ketika dentang terdengar dari sudut yang tak terjamah oleh mata. Yang jelas, dentang itu ada di tempat yang sama. Ya, di tempat
yang sama dengan tubuh yang sedang meregang nyawa di atas marmer tak bernyawa.

>>Bersambung>>

Kamis, 14 Maret 2013

The Secret of Lesung Pipit



Bagi penikmat film India alias Bollywood, pasti udah gak asing lagi sama yang namanya “Pretty Shinta”. Muka cantik bintang film yang satu ini emang udah sering wara-wiri di layar kaca. Beberapa judul film yang dibintanginya pernah booming banget di Indonesia, sampe-sampe merasuk ke sanubari orang ndonesia yang akhirnya muncul demam Bollywood gitu. Untung aja gak kelewat batas; gak sampe lari-larian di taman sambil nyanyi-nyanyi pake selendang segala wkwkwkwk. Nah, kalo ngebayangin yang namanya Pretty Shinta, apa yang pertama kali terlintas di pikiran kita??? Ayo piker piker! Nah, selagi mikir, kita coba pindah ke cewek lain yang gak kalah cantiknya. Siapa hayoooo??? Yuk,let’s check her out!!

Siapa diantara kita yang sering nonton acara gossip??? Silet kek, was—was kek, insert kek, up to you aja lah, yang penting pernah nonton acara gossip kan???  Well, kalo semuanya udah pernah nonton, pasti pernah denger gossip soal “Syahrul Gunawan” kan??
Nah, ada yang inget gak dulu siapa yang jadi partner gossip Aa Alul *sok akrab* di acara gosip? Inisialnya “IN”...ayooo...thu kan??? Yup, bener banget, his partner’s Intan Nuraini.

Nah, Intan Nuraini ini tentu udah gak asing lagi kan di layar kaca, bukan sekedar karena dia pernah punya hubungan sama Aa Alul, tapi karena dia juga artis sekaligus singer. Terus kalo kita jejerin sama Pretty Shinta, kira-kira apa persamaannya???

Ayo, bayangan Pretty Shnta nya dimunculin lagi, eluarin!! Nah, anggap aja sekarang kita lagi jejerin mukanyaPretty and Intan, terus apa dong yang bisa kita simpulin???
Lesung Pipit!!”
Ya, lesung pipit adalah persamaan yang ada di antara mereka. Keduanya emang punya cekungan di pipinya. Dan cekungan itu bisa jadi nilai plus buat mereka. Ya, mereka kelihatan lebih cute and cantik. Tapi bener gak sih kalo lesung pipit itu bisa bikin kita makin ok, yang cewek makin cantik and yang cowok makin ganteng??? Sebelum kita jawab pertanyaan itu, mending kita bahas dulu aja deh mitos soal “Lesung Pipit”.

Lesung pipit atau dalam Bahasa Jawa iasa disebut “Dekik”” and dalam Bahassa Sunda disebut “Pekok”, biasanya bsa diciptakan cukup dengan cabai atau bawang merah. Tapi itu menurut versi masyarakat, termasuk nenekku. Ya, kebanyakan masyarakat kita emang percaya kalo yang namanya lesung pipit itu bisa diciptakan ketika seorang bayi baru lahir dari Rahim ibunya. Tepat setelah si bayi brojol *bahasa yang tidak disempurnakan wkwkwkwk*, kita bisa langsung make over si abayi. Mungkin yang awalnya shock lihat bayinya yang mrip banget sama kita, kurang cantik and terkesan jelek, kita gak usah galau. Cukup ambil cabe atau bawang merah, maka semua kegalauan kita terselesaikan. Mau tahu caranya? Gampang! Ayo lihat tutorial di bawah ini :

Tutorial menghilangkan efek jelek pada bayi :
1.       Siapkan 1 cabai hijau/merah atau bawang merah.
2.       Kemudian, ketika bayi Ada keluar dari Rahim Ada, tempelkan cabai/bawang yang tadi sudah disiapkan pada pipi sang bayi.
3.       Setelah itu tunggu beberapa bulan.
4.       Setelah beebrapa bulan, efek jelek pada bayi akan menghilang dengan sendirinya dan berganti dengan wajah yang mempesona.

Nah, itu dia tutorial menghilangkan efek jelek pada bayi. Bagi yang mau mencoba ya silahkan aja, tapi gak janji juga deh bakalan berhasil. Kalo kadar kejelekannya udah tinggi banget, kayaknya susah dihilangin wkwkwkwk...

Mitos udah keburu berkembang di masyarakat. Masyarakat udah keburu percaya kalo yag amanya lesung pipit itu bisa muncul karena jasa cabe atau bawang merah. Tapi kita tahu gak sih kalo sebenernya lesung pipit itu adalah sebuah kecacatan/kelainan otot pipi yang diturunkan??? Kecacatan terjadi pada otot Zygomaticus utama dan bisa jadi otot Zygomaticus utama itu terbelah dua atau lebih pendek dari yang sewajarnya,. Oleh karena itu, karena kelainan itu maka ketika seseorang yang berlesung pipit tersenyum atau berbicara, maka akan terjadi penarikan pada otot yang mengalami kelainan itu. Penarikan itulah yang akan membuat lesung di pipi kita. So, lesung itu gak bisa diciptakan sendiri tapi harus berdasarkan genetic. Bukan cabe atau bawang merah yang menurunkan lesung di pipi kita, tapi oorang tua atau mbah kita atau siapa kek yang masih keturunan kita lah yang bisa menurunkan lesung pipit. Jadi, kalo ada orang tua yang punya lesung pipit, maka ada kemungkinan anaknya bakalan punya lesung pipit juga. Contohnya aku and adekku. Kami sama-sama punya lesung pipit di sebelah kanan dan juju raja sih kami gak tahu siapa yang menurunkannya, soalnya sepengathuanku oortuku gak punya lesung pipit. Tapi bisa jadi lesung di pipi mereka udah gak keliatan karena menurut penelitian, biasanya lesung pipit bakalan gak terllihat kalo kita udah dewasa atau udah tua karena kulit kita memang udah kendor and renggang.
Bukti lain yang juga mematahkan mitos cabe and bawang merah pencipta lesung adalah ada beberapa kasus orang tua yang menusukkan cab eke pipi bayinya yang baru lahir tapi pipi sang bayi tak kunjung menampakan cekungan, bahkan sampai si anak tumbuh menjadi balita. Itu tentu bisa membuktikan bahwa cabe atau bawang merah memang bukan pencipta lesung. Si bayi emang gak punya gen kelaianan otot pipi, jadi ya gitu deh. Meski ditusuk pake ulekan juga gak bakal muncul kalo dia gak punya bakat yang diturunkan secara genetis.

Itu dia sekelumit bahasan tentang lesung pipit dilihat dari kacamata medis. Nah kalo dilihat dari kacamata social atau psikologis, gimana ya??

Menurut survey kecil-kecilan yang aku lakuin di facebook kemaren and juga dari surbvei pengalaman yang aku alami selama hidup di dunia sebagai cewek berlesung pipit, maka aku bisa mengemukakan beberapa statement..
Ketika beberapa orang ditanya soal cewek/cowok berlesung pipit, maka jawaban mereka bervariatif. Ada yang bilang cute, manis, gemesin, punya daya tarik, lembut, murah senyum, sensitive, cantik, and bla-bla-bla. Wah, komentarnya kok yang bagus-bagus semua ya. Hmm, tapi beberapa orang berpendapat emang kalo cewek atau cowok punya lesung pipit, pasti keliatan cantik. Tapi menurutku sih, kalo emang dasarnya cantik ya cantika aja, iya gak???

Nah, pertanyaan lain adalah....ketika seseorang dapat dilahirkan kembali, apa yang akan ia pilih? Berlesung pipit atau gak? Dan jawabannya adalah...kebanyakan orang memilih untuk bisa mendapatkan lesung pipit jika ia bisa dilahirkan kembali. Wow, segitu magic nya ya lesung pipit. Banyak banget yang pengen punya lesung pipit. Eits, tapi gak semua orang pengen punya lesung pipit lho. Ada juga orang yang gak mau punya lesung pipit, alasannya sih karena lesung pipit itu kayak mbah-mbah yang pipinya kempot. Bener juga sih kalo dipikir-pikir...

Mau percaya atau gk, tapi sometime lesung pipit bisa bawa rezeki. Kok bisa? Ya, itu sih menurut pengalamanku. Beberapa cowok biasanya tertarik pada cewek berlesung pipit and alhasil bisa kesengsem gitu. Siang malem bisa mikirin senyuman si cewek. Ngejar-ngejar gak patah arang. Ngasih ini itu saking kesengsemnya. Dan itu bisa bawa keuntungan buat si cewek. Si cewek bisa makan gratis, bisa beli ini itu dibayarin si cowok, pokoknya rezeki nomplok. Gak percaya ya? Garing ya? Ya up to you deh...
Kalo gitu, Afghan bisa jadi enyanyi arena dia punya lesung pipit ya?? Ya gak lah!!! Dia bisa jadi penyanyi karena jalan takdirnya emang kayak gitu! #bukan jawaban akademisi wkwkwkwk

Udah dulu ya nulisnya...mau belajar nih..belajar apa??? Belajar ngukir cekungan di jidat wkwkwkwk...
Salam Idiot!!
yuk kunjungi www.dinus.ac.id

Kamis, 26 Juli 2012

CERITA: UJUNG

Gadis kecil itu memeluk lututnya erat-erat. Tubuh kecilnya menghuni sudut kosong di kamar mungilnya. Gulita ia biarkan menari mengelilinginya, hanya kilau
air mata di kedua pipinya lah yang ia biarkan benderang. Menangis, gadis itu menangis. Tak ada yang tahu apa yang sedang ia tangisi, bahkan dinding kamarnya
pun tak tahu apa yang gadis kecil itu tangisi padahal sudah jelas-jelas kawan sang adis hanyalah dinding-dinding beku kamar itu.
Lagi…air matanya lagi-lagi jatuh di kedua pipinya. Lagi-lagi dia terisak. Tapi kali ini ia lepaskan pelukan tangannya dari lututnya. Perlahan bahkan sangat
pelan, sambil menahan pilu yang ia rasakan, tangan mungilnya meraih sesuatu yang teronggok begitu saja tak jauh dari tempat ia berpilu ria. Sepotong kaki
boneka, itulah yang diraih oleh gadis kecil tanpa kawan itu. Digenggamnya sepotong kaki boneka itu, lalu diamatilah benda tak bernyawa itu. Lekat ia pandangi,
sampai akhirnya gerimis yang begitu lebat kembali menghias wajah polosnya.
“Jangan pergi…” begitu katanya dengan gerimis di kedua mata beningnya.
“Aku takut kalau kau pergi…” untuk yang kedua kalinya ia lemparkan kalimat di antara tangisnya.
“Kalau kau pergi, lalu siapa yang akan menjadi sahabatku?”
“Ayah dan Ibu sudah pergi meninggalkanku, lalu apakah kau pun akan pergi meninggalkanku?” gadis itu berdialog dengan sepotong kaki boneka yang masih ia
genggam.
“Mereka…anak-anak nakal itu…orang-orang dewasa tak punya hati itu…” gadis kecil itu menghentikan kalimatnya. Ia terdiam sejenak, seolah tengah menahan
perih yang teramat dalam di hatinya.
“Gara-gara mereka aku seorang diri di dunia ini…gara-gara mereka Ayah dan Ibu pergi…dan sekarang, gara-gara mereka pula kau akan pergi…” bibir gadis kecil
itu bergetar. Bola mata yang semula bening bagai embun pagi tadi, kini berubah menjadi merah membara bagai ada api yang menyala disana.
Gadis kecil itu kembali menggerakkan tangannya. Diraih kembali sisa-sisa potongan boneka yang teronggok tak jauh darinya. Kini ia dekap potongan-potongan
boneka itu, lalu dibasuhlah boneka yang tak lagi utuh itu dengan air matanya. Perih…seolah hati gadis kecil tiu begitu perih. Lallu dia bangkit dari tempat
duduknya. Ia berjalan di antara gulita yang menyelimutinya. Ia terus berjalan tanpa peduli pekat dan tanpa peduli dinding-dinding kamar yang menelanjanginya.
Dan akhirnya kaki mungilnya terhenti tepat di hadapan jendela yang tertutup rapat dengan sehelai gorden melambai pada pekat malam. Perlahan ia sibak gorden
yang melambai itu. Setelah tak ada lagi gorden yang menghalangi pandangannya, ia pun membuka jendela yang tertutup itu. Tak ada semilir angin atau pun
kerlip bintang, yang ada hanyalah pekat, pekat yang tak seperti malam-malam bisanya.
“Ayah…” bibirnya bergetar dengan gerimis yang masih mengalir di kedua pipinya.
“Ibu…”
“Aku kangen kalian…” ungkapan yang begitu tulus ia hadiahkan untuk Ayah dan Ibunya yang sudah berada di syurga.
“Ayah…Ibu…boleh kan kalau bonekaku ketemu Ayah dan Ibu untuk sampaikan salam rinduku pada kalian?” tatapannya kosong menghempas ke langit lepas yang begitu
pekat. Lalu, potongan tubuh boneka yang semula digenggamnya secepat kilat melulncur keluar jendela dan jatuh menimpa tanah yang berjarak beberapa meter
dari tempatnya berddiri.
“Horeee…sekarang bonekaku sudah ketemu Ayah dan Ibu” gadis kecil itu bertepuk tangan sambil menabur tawa mengerikan di antara aktibvitas tepuk tangannya.

Setelah tak lagi bertepuk tangaan, kini ia melakukan aksi lain. Ia memanjat jendela kamarnya, dan…
Gadis kecil berpita merah jambu itu tertawa kecil sambil memandangi sesosok tubuh gadis kecil yang tergeletak bersimbah darah tepat berdampingan dengan
potongan-potongan boneka. Gadis kecil itu tengah bercermin pada mayat di hadapannya. Mayat itu, mayat yang kaku dengan amis darah, mayat yang tergeletak
bersama boneka itu adalah dia, si pemilik tawa kecil yang mematung di hadapan mayatyang meluncur dari atas jendela kamar yang gelap gulita.
“Sekarang aku bias ketemu Ayah dan Ibu…”
“Sekarang aku gak akan seorang diri lagi…”
“Aku akan menghuni syurga bersama Ayah, Ibu dan bonekaku…” gadis kecil itu tersenyum lebar sambil tetap mengamati dirinya yang tergeletak bersimbah darah
di atas tanah.