Senin, 17 Agustus 2015 di Bangka
Ari, Ical dan Guspur, sangat
kuharapkan untuk membaca catatan ini...
Angin berdesir meniupkan udara
kering pada rumpun pepohonan yang daunnya tak lagi hijau. Kering, gersang,
apa-apa di sekitarnya berpolah sama; sama-sama tak menunjukkan kesegaran dan
gairah. Jangankan ada merah, kuning atau putih bunga-bunga, sehelai daun saja
cepat-cepat terkulai di atas tanah. Daun-daun kian meranggas. Kering, gersang
dan nyaris tak ada gairah untuk melanjutkan masa, masa dimana hijau kembali
bergoyang dan burung serta kupu-kupu kembali bercumbu di antara rumpun daun,
batang dan bunga-bunga.
Kering, gersang dan tak ada
gairah, nampaknya memang begitu yang kurasakan di semester 7 ini. Separuh
jiwaku hilang. Semangatku ikut terbang bersama kenangan sekian semester yang
tak mungkin lagi datang.
Semester 7 ini ibarat perempuan
matang yang di perutnya mengandung ‘Janin’ berjuluk “Mimpi”. Mimpi itu kini
nyaris lahir nyata. Saatnya, ya saatnya. Namun ‘Janin’ itu belum tentu lahir
sempurna bila sang punya rahim tak mau menjaganya. Ya, aku, hawa yang sekian
lama mengandung ‘Janin’ berjuluk ‘Mimpi’ ini nampak kelelahan. Ketakutan dan
kecemasaan bercumbu dan bergumul penuh nafsu dan pada detik yang sama itulah
aku seolah ingin berkata, “Sanggupkah aku terus melangkah?”
“Sanggupkah aku terus melangkah?”
Pertanyaan itu memang membebani
pikiranku. Boom, boom, boom dan boom! Gejolak itu terus muncul. Aku seolah tak
punya pegangan. Aku sendirian dengan ‘Janin’ yang kian besar dan siap ‘Menatap’
wajah kehidupan dengan kekuatan yang kuberi selama eksistensiku sebagai
mahasiswa.
Selama ini, aku berdiri karena
dia dan mereka. Selama ini aku sanggup membesarkan ‘Janin’ ini karena senyum,
tawa serta tingkah polah mereka; lakon-lakon kehidupan dengan panggung
‘Perkuliahan’.
‘Mereka’, para lakon-lakon
berjuluk ‘Mahasiswa’ bagai suplemen yang menguatkan aku dan ‘Janinku’. Tak
terhitung siapa saja mereka. Tak terhitung berapa banyak kekuatan yang mereka
beri padaku. Mereka yang kerap duduk di deretan belakang, mereka yang kerap
duduk tepat di hadapan dosen, mereka yang duduk di deretan ke-tiga atau mungkin
mereka, sosok-sosok yang kerap temani aku di setiap langkahku selama di kampus,
kesemuanya berarti dan tanpa mereka, aku tak mungkin sanggup membesarkan
‘Janinku’.
Namun, dari sekian banyak
‘Mereka’, ada ‘Dia’. ‘Dia’ itu sama denganku. ‘Dia’ bagai ‘Ayah’ yang seolah
tegang menanti buah hati lahir ke bumi. ‘Dia’, adam yang juga butuh kekuatan
dari ‘Mereka’, sesungguhnya juga butuh ‘Kekuatan’ dariku. Ya, sebab itulah,
sejak ‘Janinku’ masih terhitung muda, kami saling menguatkan, saling bersinergi
dan saling meyakinkan bahwa “Aku bisa membawa ‘Janin’ ini menjadi nyata dan ia
bisa menjadi ‘Ayah’ atas ‘Mimpi’ yang tak hanya milik kami, namun milik semua
mahasiswa”.
Ari, dia adam itu. Ari, dia
sahabatku. Ari, dia ‘Ayah’ dari sebuah ‘Mimpi’ untuk esok hari. Ari, adam yang
sama sepertiku. Ari, adam yang selalu bersamaku terhitung sejak ‘Janinku’ masih
muda. Ari, adam yang bagai urat nadiku dalam kehidupan kampus. Ari bagai dawai
yang mengindahkan laguku sebagai mahasiswi. Ari, adam yang selaras dengan
inginku untuk mengecap mata kuliah yang sama dan untuk meneguk setiap kegiatan
kampus bersama. Ya, adalah Ari, adam yang bersamanya aku merasa aman berjalan
di antara deretan kelas.
Ari dan aku, adam dan hawa yang
kerap berduet di bangku kuliah, tak pernah sekali pun dalam sejarah terpisah,
kecuali pada semester satu dulu, semester dimana ketentuan kampus yang punya
kuasa. Ya, di masa itu, aku dan Ari terpisah dunia, aku pagi dan ia malam. Kami
tak pernah sama, kecuali dalam cinta berwujud ‘Pendidikan Agama Islam’. Ya,
hanya mata kuliah itulah yang membuat kami bertaut. Namun, sejarah lain
mengukir.
Semester dua hingga semester 6,
kami menyatu dalam setiap gelak tawa kelas. Kami tak terpisah. Setiap mata
kuliah, selalu seirama. Setiap sukar dan gelisah, kami lewati bersama. Setiap
semangat yang mulai mengendor, kami coba nyalakan lagi, bersama, ya, bersama.
Terkadang, bahkan bisa dikatakan kerap juga, ‘Mereka’, mahasiswa lainnya juga
ikut menyalakan semangat kami. Sama, selalu sama. Ya, kami selalu sama, tak
pernah ada beda, kecuali pada beberapa nilai mata kuliah.
Ketika ‘Mereka’ mencoba
peruntungan dengan mengambil 24 SKS, 22 SKS justru kami pilih. Ya, aku dan Ari
tak pernah berhasrat untuk mengambil mata kuliah di atas rata-rata meskipun
sejatinya Indeks Prestasi kami cukup mampu membayar jika kami ingin lebih. 22
SKS saja, itu sudah cukup bagi kami dan konsekuensi untuk itu tentu ada.
Lantas apa konsekuensi yang kami
dapat?
Ical dan Guspur, dua sahabat
kami, dua sosok yang kerap memberikan pundaknya untuk aku dan Ari pegang kala
kami kehilangan arah, itulah konsekuensinya. Ya, aku dan Ari beberapa kali
sempat kehilangan sosok mereka di beberapa kelas. Penyebabnya ya tentu saja
karena Ical dan Guspur mencoba peruntungan di angka 24. Kesepian dan kehilangan
pegangan, itu pasti. Namun, aku dan Ari masih tegak berdiri karena kami
bersama, kami bersatu dan kami bisa menghalau tantangan yang datang. Maka, tak
ada Ical dan Guspur di beberapa kelas tak menyurutkan semangat aku dan Ari.
Namun, kini, di semester 7 ini,
aku merasakan udara kering yang ditiupkan angin. Tak nyaman, sungguh tak
nyaman. Rasa-rasanya aku ingin menghadirkan hujan agargersang tak lagi nampak
dan hijau bisa datang. Namun siapakah aku hingga mampu mendatangkan hujan?
Bukan, bukan siapa-siapa, aku bukan siapa-siapa hingga mampu mendatangkan
hujan. Aku tak pernah punya kuasa atas apapun, termasuk atas diriku sendiri,
lebih-lebih kuasa untuk ‘Dia dan ‘Mereka’.
Aku dan Ari melangkah di jalur
yang berbeda!
Lihatlah, adam itu berbelok ke
arah lain, sedang aku berbelok ke arah yang bertolak belakang dengannya. Ya,
semester 7 ini aku dan Ari terpisah, memutuskan untuk berpisah lebih tepatnya.
Adalah perbedaan ‘Passion’, itulah kiranya yang menjadi dasar perpisahan kami.
‘Passion’?
Ya, minat kami berbeda dan
rupanya tak ada satu dari kami berdua yang mau merelakan passion-nya terganti
oleh passion milik yang lain. Aku tertambat pada “English Teaching”, sedang
adam itu justru tertaut pada “Export-Import”. Sangat bertolak belakang kan?
Aku, hawa yang tak sedikit pun
menyimpan gairah pada “Bisnis” atau “Perdagangan internasional” atau apa saja
yang berhubungan dengan dunia “Perbisnisan” lebih memilih jalur lain yang lebih
membuatku nyaman yaitu “English Teaching”. Bagiku, English Teaching lebih mampu
membuat jiwaku keluar. Aku suka mengajar dan cita-citaku sejak kecil adalah
“Menjadi pengajar”. Maka, sudah tentu seluruh diriku tertarik magnet yang
dimiliki oleh mata kuliah English Teaching. Aku tak peduli dengan siapa sosok
di balik mata kuliah itu. Aku tak peduli apakah kelak aku akan mendapatkan
nilai yang mentok di B atau mungkin C, aku tak peduli sebab persinggahanku
bukan itu. Yang utama bagiku adalah ilmu dan kesenangan serta kenyamanan yang
mungkin kudapat ketika aku bergumul dengan mata kuliah itu. Sungguh, mengajar
itu adalah passion-ku. Aku tak ingin melewatkan masa-masa ‘Kehamilan tua-ku’
untuk ber-haha-hihi dengan mata kuliah yang tak aku senangi. Aku tak ingin
kejadian semester 5 lalu terulang. Ya, aku tak ingin masa itu hadir kembali.
Masa dimana aku menyesal dengan pilihanku. Masa dimana aku merasa tak nyaman
dengan jurusan yang aku pilih karena sebab ‘Membiarkan passion-ku terganti oleh
passion milik yang lain’. Aku tak ingin hal itu kembali terulang. Nyaman itu
tak kudapat kala aku ada di masa itu. Nyaman itu adalah apa yang aku rasa,
bukan apa yang aku coba perankan...
Sedih tentu datang kala aku
memutuskan untuk ‘Berpisah’ dengan ‘Separuh jiwaku’ di kehidupan kampus. Siapa
yang kelak menjadi api penyulut sumbu semangatku? Siapa kiranya tempat aku
berkeluh tentang sukar dan gelisah yang bersumber dari perkuliahan? Beri tahu
aku, siapa kiranya yang mampu menjadi sosoknya bila aku dan Ari tak lagi sama?
Tak ada, kurasa tak ada. Lantas
siapa yang sekiranya mampu menggantikan adam itu? Tak ada, lagi-lagi bisa
kukatakan tak ada. Namun, pengorbanan untuk menjatuhkan diriku pada mata kuliah
“Export-Import”, sama sekal tak ingin kulakukan. Cukup pengalaman di semester 5
lalu menjadi pelajaran. Tetap mantap pada pilihan English Teaching, itulah yang
kucoba. Tak adakah jalan lain agar dapat tetap sama dengan adam itu?
Tak ada, sungguh tak ada. Ari tak
mungkin mau merelakan waktunya untuk ber-haha-hihi dengan mata kuliah yang
bukan passion-nya. Pada dasarnya sama, “Ia tak ingin passion-nya terganti oleh
passion yang lain”. Bisa juga aku berasumsi bahwa pengalaman semester 6 lalu
tak ingin Ari ulang untuk kedua kalinya. Ya, “Creative Writing” sepertinya telah
ia jadikan pelajaran. Kala itu, ia dan Ical memilih mata kuliah itu karena ada
bujuk rayu dariku, hawa yang punya passion sangat besar dengan dunia menulis.
Ari dan Ical, rupa-rupanya tak begitu nyaman dengan hal-hal yang berbau
menulis. Maka di semester ini, mereka pun tak ingin terjerumus di dalam
kubangan English Teaching, mata kuliah yang mereka sama sekali tak memiliki
passion untuk itu. Lagi-lagi kukatakan, “Mereka tak ingin passion-nya terganti
oleh passion yang lain”.
Baiklah, biarkan Ari terpisah
dariku. Aku putuskan untuk menetap dengan pilihanku. Biarkan Ari seirama dengan
Ical di kelas Export-Import. Biarkan aku seorang diri. Tak bergairah karena tak
ada sahabat-sahabat di sisiku tentulah membuatku sedih dan kesepian. Namun rasa
sakit yang kudapat kala aku harus menggadaikan passion-ku dengan passion milik
yang lain rasa-rasanya terlalu mengerikan jika dibandingkan dengan
kesendirianku di kelas English Teaching. Lagi pula, aku punya Mas Tito, salah
satu kawanku yang juga merelakan dirinya jatuh dalam pelukan English Teaching.
Bersama Mas Tito, mungkin kelak aku akan berbagi udara di kelas English
Teaching.
Gerimis mulai turun membasahi
bumi. Aroma khas tanah bersimbah gerimis benar-benar kuhirup. Apa yang
kuinginkan mulai datang. Tak perlu aku berusaha menjadi kuasa atas segala sebab
semesta nampaknya mendukung inginku. Ari, adam itu, akhirnya berada di mata
kuliah yang sama. “Communication”, mata kuliah itu ibarat gerimis yang membasuh
tanah kering dan pepohonan gersang. Communication nyatanya menjadi rakit agar
aku dan Ari tetap bersama. Nyatanya, ‘Namun’ itu selalu ada untuk mereka yang
tak pernah putus pengharapan. Ya, kala aku mencoba mantap dengan pilihanku dan
kala aku tetap berpengharapan baik atas segala, jalan terang itu muncul.
Semesta mengiyakan inginku. Satu
dari dua mata kuliah yang harus kuambil ternyata mendudukan aku dan Ari di
tempat yang sama. Tak apa Ari bergumul dengan Export-Import sedang aku dengan
English Teaching sebab yang terpenting adalah Communication tetap akan menjadikan
kami tetap berbagi.
Maka, jadilah semester ini aku
berpisah dengan Ari di satu kelas, hanya satu kelas saja. Sedangkan dengan Ical
sahabatku yang sangat kusayangi, aku berbeda dalam dua mata kuliah. Sedihkah
aku harus berpisah dengan Ical di dua mata kuliah? Ya, tentu sedih, namun
dengannya aku sudah terbiasa terpisah, seperti yang telah kujelaskan di sudut
lain tulisanku ini. Sementara dengan Ari, tak pernah aku terpisah. Wajar adanya
bila aku merasa kehilangan, sedih dan layu kala kudapati adam itu tak lagi
berbagi udara denganku. Bagaimana dengan Guspur? Adam itu sudah memilih dan
memegang passionnya sejak semester-semester lalu. Ya, Guspur sudah sejak lama
tak lagi satu kelas dengan Ari, Ical dan Aku. Namun, ingatlah, persahabatan
kami dengan adam itu masih tetap ada dan tumbuh seiring ‘Janin’ di rahimku.
Bismillah, aku mantap melangkah
dengan kaki yang kugerakkan karena apa yang benar-benar menjadi inginku, bukan
ingin orang lain. Semoga aku tetap kuat menjaga ‘Janin’ dalam ‘Rahimku’. Semoga
kelak ‘Janin’ ini dapat lahir dengan sempurna dan menghadiahkan ‘Mimpi’
berparas indah yang bisa mengantarku ke pintu kebahagiaan. Semoga ‘Janin’ ini
lahir di waktu yang tepat dan menjadikanku indah dengan toga dan gelar Sarjana
Sastra. Ya, setelah ‘Janin’ ini lahir, aku akan berjuluk “Sarjana Sastra”,
begitu pun dengan Ari, Ical, Guspur dan ‘Mereka’.
Ari, sahabatku. Ari, adamku,
tetaplah saling memberi semangat di ujung perjuangan kita sebagai mahasiswa
tunanetra. Tetaplah nyalakan obor semangat yang sudah kita nyalakan sejak dulu.
Tetaplah menjadi ‘Ayah’ yang baik atas ‘Janin’ berjuluk ‘Mimpi’ yang siap lahir
ke bumi tak lama lagi. Percayalah, toga itu akan segera kau kenakan dan gelar
itu akan segera kau timang. Gelar yang indah dan mimpi yang jadi nyata, semua
itu akan kau rengkuh. Tetaplah sabar dan berjuang menanti ‘Janin’ itu nyata;
tetaplah mantapkan hati hingga ‘Mimpi’ itu jadi nyata. Dan satu lagi, tetaplah
beri kekuatan padaku, pada hawa yang tengah mengandung ‘Mimpi’ dalam benak dan
jiwa.
Ical, sahabatku. Ical, adamku.
Ical, separuh jiwaku yang sungguh kusayangi. Tetaplah menjadi Ical yang juga
menanti hadirnya ‘Mimpi. Tak lama lagi, Insya Allah tak lama lagi gelar
“Sarjana Sastra” akan kau timang. Tak lama lagi, kau berjuluk sarjana. Tak lama
lagi. Maka tetaplah kuatkan aku dan ‘Mimpi’ yang kukandung agar kita dapat
mengenakan toga itu di hari dan detik yang sama. Tetaplah menjadi adamku,
tetaplah menjadi sahabatku yang kusayangi. Tetaplah berjuang bersama aku dan
Ari yang sungguh sangat membutuhkan pundakmu agar kami tak kehilangan arah kala
melangkah. Tetaplah menjadi obor kami, Cal, hingga masa itu tiba, masa dimana
kita tersenyum pada secarik foto dengan toga yang kita kenakan. Terima kasih
dan teruslah bantu aku dan Ari, Cal, karena uluran tanganmu dan pundakmu
sungguh berarti untuk mahasiswa tunanetra sepertiku.
Guspur, sahabatku. Guspur,
adamku. Kau telah lama tak berbagi udara di kelas yang sama. Kau telah lebih
dulu yakin dan mantap memperjuangkan passion-mu. Sementara aku, belum mampu, hingga
semester ini tiba. Ya, aku berani memperjuangkan passion-ku di semester 7 ini,
sedang dahulu? Ah, aku terlalu takut kehilangan Ical dan Ari ketimbang
kehilangan passion-ku. Aku ingat betul masa kala penjurusan harus kita ambil.
Semester 5 yang penuh kebimbangan, begitu aku menyebutnya. Ya, kala itu kau
berusaha meyakinkanku untuk melangkah sesuai isi hatiku. Sastra, kau coba
meyakinkan diriku tentang jurusan itu. Kau seolah mampu membaca apa inginku dan
dimana passion-ku. Kau terus mencoba menghapuskan keraguanku akan jurusan yang
harus kuambil. Namun nampaknya kau mengerti bahwa aku bimbang, bahwa terlalu
sukar untuk memilih antara passion dan sahabat-sahabat. Lantas kau pun berkata,
“Begini saja. Pilihlah jurusan yang paling banyak dipilih oleh sahabatmu. Jika
Ical dan Ari berada di satu jurusan, silahkan kau ikut dengan mereka. Namun
jika kau ingin memilih Sastra, mari bersamaku. Insya Allah aku siap membantu
kesulitan yang kau hadapi di jurusan Sastra”. Indah sekali perjuanganmu untuk
seutas passion-mu. Terima kasih, Gus, atas pelajaran itu. Dan memang, kau
benar, kala kau mau mengikuti isi hati, kala kau mau mengikuti passion-mu, maka
kau akan bahagia. Aku bisa melihat itu darimu, sahabatku. Aku bisa melihat
bahwa kau bahagia dengan pilihanmu. Guspur, sahabatku yang kusayang, tetaplah
berjuang untuk ‘Mimpi’ yang tak lama lagi jadi nyata. Percayalah, esok kau akan
tiba di masa itu, masa dimana mimpimu jadi nyata. Percayalah, esok kita bisa menimang
gelar di masa yang sama.
Ketakutanku akan kehilangan Ari
memang begitu besar. Namun, sungguh dapat kuyakinkan bahwa sayangku pada
kalian, Ical dan Guspur, juga sama seperti sayangku pada Ari. Kalian adalah
sahabatku yang sungguh berjasa dalam kehidupan perkuliahanku. Tanpa kalian,
mungkin telah lama ‘Janinku’ mati, gugur tanpa arti. Doaku di usia
‘Kehamilanku’ yang cukup tua, semoga aku, Ari, Ical, Guspur dan ‘Mereka’ bisa
lulus di waktu yang tepat. Semoga kita bisa wisuda bersama-sama. Namun,
sekarang, mari kita fokus dengan mata kuliah dan skripsi yang tengah kita
ambil. Perpisahan tak selalu buruk. Ari, meskipun kau tak bersamaku, namun
kuharap semangat dan perjuangan tetap kita nyalakan untuk kesuksesan kita
berdua. Doakan aku agar aku mampu menghadapi kesendirianku, menghadapi
hari-hariku tanpa ada helaan nafasmu, adamku. Dan, berdoalah untuk ‘Janin’ ini,
adamku.
I love you, guys!
Note :
Mungkin tulisanku bisa dikatakan
‘Lebay’ karena aku menulis sesuatu yang ‘Biasa saja’ sebetulnya, namun aku
justru melebih-lebihkan tulisan ini. Sungguh, bagiku Ari adalah urat nadi dan
nyawa di kampus karena kami berjuang bersama sebagai mahasiswa tunanetra.
Sementara, Ical dan Guspur adalah dua sosok sahabat yang begitu baik dan tulus
karena mau menjadi obor yang menerangi langkah aku dan Ari sebagai mahasiswa
tunanetra. Maka, ketika aku harus berpisah dengan sahabatku, aku benar-benar
merasa kehilangan. Tanpa orang lain, tanpa sahabat, tanpa kawan, I am nothing.
-
Eka Pratiwi Taufanty -