Gadis kecil itu memeluk lututnya erat-erat. Tubuh kecilnya menghuni sudut kosong di kamar mungilnya. Gulita ia biarkan menari mengelilinginya, hanya kilau
air mata di kedua pipinya lah yang ia biarkan benderang. Menangis, gadis itu menangis. Tak ada yang tahu apa yang sedang ia tangisi, bahkan dinding kamarnya
pun tak tahu apa yang gadis kecil itu tangisi padahal sudah jelas-jelas kawan sang adis hanyalah dinding-dinding beku kamar itu.
Lagi…air matanya lagi-lagi jatuh di kedua pipinya. Lagi-lagi dia terisak. Tapi kali ini ia lepaskan pelukan tangannya dari lututnya. Perlahan bahkan sangat
pelan, sambil menahan pilu yang ia rasakan, tangan mungilnya meraih sesuatu yang teronggok begitu saja tak jauh dari tempat ia berpilu ria. Sepotong kaki
boneka, itulah yang diraih oleh gadis kecil tanpa kawan itu. Digenggamnya sepotong kaki boneka itu, lalu diamatilah benda tak bernyawa itu. Lekat ia pandangi,
sampai akhirnya gerimis yang begitu lebat kembali menghias wajah polosnya.
“Jangan pergi…” begitu katanya dengan gerimis di kedua mata beningnya.
“Aku takut kalau kau pergi…” untuk yang kedua kalinya ia lemparkan kalimat di antara tangisnya.
“Kalau kau pergi, lalu siapa yang akan menjadi sahabatku?”
“Ayah dan Ibu sudah pergi meninggalkanku, lalu apakah kau pun akan pergi meninggalkanku?” gadis itu berdialog dengan sepotong kaki boneka yang masih ia
genggam.
“Mereka…anak-anak nakal itu…orang-orang dewasa tak punya hati itu…” gadis kecil itu menghentikan kalimatnya. Ia terdiam sejenak, seolah tengah menahan
perih yang teramat dalam di hatinya.
“Gara-gara mereka aku seorang diri di dunia ini…gara-gara mereka Ayah dan Ibu pergi…dan sekarang, gara-gara mereka pula kau akan pergi…” bibir gadis kecil
itu bergetar. Bola mata yang semula bening bagai embun pagi tadi, kini berubah menjadi merah membara bagai ada api yang menyala disana.
Gadis kecil itu kembali menggerakkan tangannya. Diraih kembali sisa-sisa potongan boneka yang teronggok tak jauh darinya. Kini ia dekap potongan-potongan
boneka itu, lalu dibasuhlah boneka yang tak lagi utuh itu dengan air matanya. Perih…seolah hati gadis kecil tiu begitu perih. Lallu dia bangkit dari tempat
duduknya. Ia berjalan di antara gulita yang menyelimutinya. Ia terus berjalan tanpa peduli pekat dan tanpa peduli dinding-dinding kamar yang menelanjanginya.
Dan akhirnya kaki mungilnya terhenti tepat di hadapan jendela yang tertutup rapat dengan sehelai gorden melambai pada pekat malam. Perlahan ia sibak gorden
yang melambai itu. Setelah tak ada lagi gorden yang menghalangi pandangannya, ia pun membuka jendela yang tertutup itu. Tak ada semilir angin atau pun
kerlip bintang, yang ada hanyalah pekat, pekat yang tak seperti malam-malam bisanya.
“Ayah…” bibirnya bergetar dengan gerimis yang masih mengalir di kedua pipinya.
“Ibu…”
“Aku kangen kalian…” ungkapan yang begitu tulus ia hadiahkan untuk Ayah dan Ibunya yang sudah berada di syurga.
“Ayah…Ibu…boleh kan kalau bonekaku ketemu Ayah dan Ibu untuk sampaikan salam rinduku pada kalian?” tatapannya kosong menghempas ke langit lepas yang begitu
pekat. Lalu, potongan tubuh boneka yang semula digenggamnya secepat kilat melulncur keluar jendela dan jatuh menimpa tanah yang berjarak beberapa meter
dari tempatnya berddiri.
“Horeee…sekarang bonekaku sudah ketemu Ayah dan Ibu” gadis kecil itu bertepuk tangan sambil menabur tawa mengerikan di antara aktibvitas tepuk tangannya.
Setelah tak lagi bertepuk tangaan, kini ia melakukan aksi lain. Ia memanjat jendela kamarnya, dan…
Gadis kecil berpita merah jambu itu tertawa kecil sambil memandangi sesosok tubuh gadis kecil yang tergeletak bersimbah darah tepat berdampingan dengan
potongan-potongan boneka. Gadis kecil itu tengah bercermin pada mayat di hadapannya. Mayat itu, mayat yang kaku dengan amis darah, mayat yang tergeletak
bersama boneka itu adalah dia, si pemilik tawa kecil yang mematung di hadapan mayatyang meluncur dari atas jendela kamar yang gelap gulita.
“Sekarang aku bias ketemu Ayah dan Ibu…”
“Sekarang aku gak akan seorang diri lagi…”
“Aku akan menghuni syurga bersama Ayah, Ibu dan bonekaku…” gadis kecil itu tersenyum lebar sambil tetap mengamati dirinya yang tergeletak bersimbah darah
di atas tanah.
Tampilkan postingan dengan label cerita lucu ala Oneng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita lucu ala Oneng. Tampilkan semua postingan
Kamis, 26 Juli 2012
CERLU: UDIN GALAU SEDUNIA!
Udin ngelamun. Muka eksotis dengan
hiasan jerawat di pipi kiri dan kanan, Udin lipat sampai enam bagian. Kalau
udah dilipat-lipat begitu, tinggal buang aja deh ke tong sampah. Bibirnya yang
seksi dengan jigong yang masih nemplok disana ,kelihatan manyun. Pokoknya
tampang si Udin hari ini “gak” pakai “banget”. Berhubung gak ada tokoh lain
yang bersedia jadi tokoh utama dalam tulisan ini, jadi mau gak mau penulis
pakai jasa cowok berambut kriting ala Marley Mondrow itu. Dihimbau kepada
seluruh pembaca, sediakan kantung plastic selama tulisan ini ditayangkan.
Diprediksi para pembaca bakalan muntah-muntah bahkan sampai buang air gara-gara
ngeliatin muka si Udin.
“Stop
dong caci makinya, Mbak penulis! Gue udah capek nih pasang gaya ngelamun, mana
ngelamunnya di bawah pohon Mangga lagi. Kalau gue digerayangin ulet bulu
gimana?? Ayo dong Mbak, lanjut ke adegan selanjutnya!” protes si Udin. Bener
juga kata si Udin, bisa gawat kalau si Udin sampai bersentuhan sama Ulat bulu.
Bukan apa-apa, kasihan aja kalau itu Ulat sampai gatel-gatel plus bentol-bentol
gara-gara nempel sama si Udin. OK, lanjut aja ke cerita!
Gak Cuma status Facebook-nya aja
yang galau, suasana hati Udin sekarang ini pun lagi galau, bahkan galau stadium
akhir. Saking galaunya, dia sering ngelamun di bawah pohon mangga sambil
dengerin lagu “Begadang” milik Bang Rhoma. Agak gak nyambung sih sama tema
galau yang lagi Udin pajang dalam setiap helaan nafasnya, tapi penulis nurut
aja deh. Maklum, itu lagu paforit Udin sejak dia orok, bahkan pas baru keluar
dari rahim Ibunya aja dia udah nyanyiin lagu itu.
Emang apa sih yang bikin si Udin
galau? Hmm, sebenernya rada gak enak hati sama si Udin pas penulis bikin
tulisan ini. Kesannya penulis underestimate banget sama dia, padahal kesalahan
bukan terletak pada alur cerita, tapi kesalahan terletak pada muka Udin yang
pas-pasan bahkan lebih “gak banget” dari Suneo. Pada tahu Suneo kan? Itu lho temennya
tokoh kartun yang gak pernah ganti baju, si Nobita yang udah bertahun-tahun
pakai baju kuning yang itu-itu mulu.
Aksi 24 jam ber-galau ria ini Udin
tunaikan tepat setelah dia nembak cewek beken di sekolahnya. Marsha, itu nama
cewek yang habis ditembak Udin pakai pistol maenan punya adeknya. Kalau
dipikir-pikir gede juga nyali si Udin. Berani-beraninya dia nembak Marsha yang
notabene dikenal sebagai cewek beken, punya body sebelas-dua belas sama Julia
Perez, plus punya tampang cantik pakai “banget” ala Dian Sastro. Eits, ada satu
lagi, reputasi Marsha sebagai anak dari seorang Pak Lurah, eh salah, maksudnya
reputasinya sebagai anak Pejabat penting di daerahnya, sering bikin nyali
cowok-cowok jadi ciut kayak upil Nyamuk. Nah lho, si Udin kok malah berani ya
nembak Marsha? Cari mati lo, Din! Begitu teriak temen-temen Udin pas denger
niat nekad cowok yang salah satu giginya hilang digondol kucing.
Pernah suatu ketika Udin berujar
sesuatu sama temen-temennya. Entah si Udin lagi dalam keadaan sadar atau
keadaan mabuk BusWaypas berujar sesuatu itu, soalnya kalimat si Udin agak gak
realistis. Bukan agak deng, tapi bener-bener gak realistis!
“Jelas
lah kalian pada gak berani nembak Marsha, secara kalian gak punya ‘selling
point’ kaya gue. Coba dong kalian lihat gue, perfect banget kan? Cocok banget
deh bersanding sama Neng Marsha,” kata Udin ke-Pede-an, pakai acara ngomong
Bahasa Inggris segala. Dapet dari mana tuh kosa kata Bahsa Inggris kayak gitu,
kemajuan juga si Udin. Ternyata gak Cuma bibirnya aja yang ada kemajuan, tapi
otaknya juga ada kemajuan.
“Si
Udin lagi mabuk ya? Omongannya kok ngaco gitu. Kasihan!” temen Udin yang
namanya Joni bisik-bisik di telinga Ismail yang lagi sibuk nahan ketawa. Gimana
gak ketawa denger kalimat super duper PeDe punyanya si Udin. Patung Pancoran
sekalipun bakalan cekikikan kalau denger kalimat narsis si Udin.
“Bukan
mabuk, Jon, tapi kesambet. Gitu tuh akibatnya kalau sering ngelamun di bawah
pohon asem belakang sekolah. Makanya lo jangan suka ngelamun disana Jon, apa
lagi sampai kencing sembarangan disitu!” ucap Ismail sekenanya sambil
bisik-bisik.
Prok…prok…prok…kasih applause meriah
buat cowok yang punya nama lengkap “Komarudin”. Rupanya Percaya Diri plus
bernyali besar juga ya cowok yang satu ini. Meski punya muka ala kadarnya, tapi
dia berani unjuk gigi. Ya iya lah, kapan pun dan dimana pun gigi si Udin emang
selalu unjuk kebolehan, malah cenderung liar sampai pernah bikin anak kecil
umur 4 tahun 2 bulan lebih 3 hari nangis kejer. Penulis sih curiga itu anak
nangis gara-gara gigi si Udin. Makanya penulis pernah ngasih saran sama si Udin
buat ngerangkeng giginya. Ya semata-mata demi mempertahankan keceriaan
anak-anak kecil.
“Oh
bebeb Marsha…kenapa dikau tega menolak cintaku? Kurang apa daku ini? Tampang
udah mirip Christian Sugiono, tubuh juga udah atletis kaya Bambang Pamuji, eh
salah, maksudnya Bambang Pamungas, tapi masih aja dikau membiarkan hati ini
layu…” gumam Udin dengan gaya mirip tokoh Gusur dalam cerita “Lupus”.
Udin menghela nafas panjang. Lalu ia
sandarkan tubuh cungringnya pada pohon Mangga yang tegak berdiri di
belakangnya. Pandangannya kosong, hanya tertuju pada satu arah yaitu pada
seekor Bebek yang lagi asyik berenang di empang gak jauh dari tempat Udin
ber-galau ria. Si Bebek yang kata Pak RT berjenis kelamin perempuan itu,
terlihat risih sama tatapan si Udin.
“Dasar
manusia mesum! Berani-beraninya ya ngintip gue mandi! Gue laporin Pak RT baru
tahu rasa lo!” cerocos Bebek betina itu sambil mengenakan handuk dan pergi dari
empang itu.
Udin masih ngelamun. Mukanya masih
abstrak. Dan hatinya masih galau. Dia masih aja inget sama peristiwa penolakan
itu. Udin gemes sama Marsha. Dia bertanya-tanya, gimana bisa cintanya ditolak
padahal dia udah ngorbanin celengan Ayam Jago punya Enyaknya demi beliin kado
buat Marsha? Kayaknya Udin pengen loncat aja ke empang yang ada di depannya.
Bayangin aja, Udin udah bela-belain kelayaban malem Jum’at kliwon demi dating
ke rumahnya Marsha. Udah gitu, Udin juga bela-belain pinjem sepeda Engkongnya
buat nyamperin ke rumah cewek impiannya itu. Tapi apa balasan yang didapat
Udin??
“Jauh-jauh
dari gue deh lo, Din! Masih mending gue deket-deket sama Lalat dari pada harus
deket-deket sama lo! Parfume lo, apa lagi muka lo…rasanya bikin gue pengen
muntah…”
Plak!! Udin berasa digampar pakai
raket nyamuk pas denger kalimat Marsha itu. Harga dirinya terasa diinjak-injak
pakai sandal Bakiak. Lalat, masa Lalat dianggap lebih baik dari Udin. Oh no!
Kayaknya habis peristiwa memilukan plus memalukan ini berakhir, Udin langsung
beli obat serangga. Lalat-lalat di rumahnya pasti langsung dibombardir sama
Udin. Kalau obat serangganya sisa, Udin malah berencana mau nyicipin sambil
ngemil kacang kulit di bawah pohon Mangga.
“Oh
Bebeb Marsha…andai dikau tahu, cintaku sedalam empang di depan sana. Kalau
dikau menolak cintaku, lebih baik daku…” suara Udin tertahan di tenggorokkan,
mirip kejadian pas Udin keselek biji Kedongdong.
“Ah,
dasar semut sialan! Berani-beraninya masuk ke baju gue tanpa permisi! Gak tahu
apa y ague lagi galau!?!” Udin kelabakan. Dia bangkit dari tempat duduknya.
Tangannya sibuk menggaruk-garuk badannya yang diciumin semut. Kayaknya itu
semut minta dilempar pakai sandal jepit.
“Wah,
ini gara-gara penulis bikin setting di bawah pohon Mangga, gini kan jadinya!”
Dua menit udah terlewati. Sekarang
Udin gak diciumin semut lagi, tapi mukanya yang abstrak itu sekarang jadi
bengkak gara-gara gatel. Tapi Udin masih setia nongkrong di pinggir empang,
tapi kali ini dia duduk di bawah pohon Nangka. Aduh Din, emangnya gak ada
tempat yang kerenan dikit kali ya.
Udin termangu. Gayanya mirip banget sama
Rangga di film “AADC”. Dari balik saku celananya, mengalun lagu Bang Rhoma.
Duh, mellow banget sih. Di benak Udin berseliweran sosok Marsha dengan sejuta
pesonanya.
Satu menit…dua menit…tiga menit…sampai
akhirnya…
“Gebyurrrr…”
air bah turun di atas kepala Udin. Udin gelagapan. Enyak Udin nyiram Udin pakai
air bekas cucian piring. Tampang Udin sekarang ini mirip banget sama tikus
kecebur got.
“Udin!!
Ngapain lo nongkrong di bawah pohon Nangka?! Dari tadi Enyak cariin, eh lo
malah asyik ngelamun di sini! Buruan pulang! Tuh Ayam belum lo masukin
kandang!”sekarang Enyak Udin ganti teriak-teriak. Udin kesel. Tampang udah cool
kayak Rangga gitu, eh disuruh masukin Ayam ke kandang, mana pakai acara disiram
air bekas cucian piring segala. Udin…Udin…...
Langganan:
Postingan (Atom)