Rabu, 22 April 2015

TUGAS KULIAH : KLINIK PIJAT "BUDAYA SEHAT", ITU DIA TARGETKU!

Hi sahabat! Ini nih kali ini gue bakalan coba posting salah satu tugas kuliah gue. Tugas ini adalah tugas matkul Kewirausahaan. Gue and temen-temen sekelas emang disuruh observasi tempat usaha gitu, dan hasilnya harus dilaporin ke dosen. Ini dia hasilnya! Check it out!


BAB I                     PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang

Di Indonesia, stigma  terhadap penyandang disabilitas masih sangat kuat. Disadari atau tidak, adanya stigma yang diberikan masyarakat terhadap disabilitas memunculkan diskriminasi, dan para tunanetra menjadi salah satu masyarakat yang harus menelan pil pahit atas adanya diskriminasi tersebut. Bentuk-bentuk diskriminasi yang diterima oleh tunanetra dan disabilitas lainnya adalah diskriminasi dalam bidang pendidikan, kesehatan, akses informasi, akses transportasi, ekonomi dan lain sebagainya. Keseluruh bidang kehidupan tersebut sangatlah penting, terlebih lagi bidang ekonomi dimana ekonomi menjadi salah satu penggerak roda kehidupan.

Terbatasnya kesempatan kerja yang diberikan oleh masyarakat atau pun pemerintah kepada tunanetra adalah salah satu bentuk diskriminasi. Dengan adanya diskriminasi dalam mengakses peluang kerja tentu akan menyebabkan para tunanetra tidak memiliki pekerjaan. Ketika tunanetra tidak memiliki pekerjaan, maka pendapatan mereka pun berkurang, padahal faktor ekonomi harus teruslah berjalan untuk menggerakan roda kehidupan.

Meskipun diskriminasi terhadap tunanetra, khususnya diskriminasi di bidang ekonomi terus berlangsung, para tunaneta tidak berdiam dan berpasrah. Mereka melakukan alternatif pekerjaan yang dapat mereka lakukan, dan tentu saja dapat memutar roda perekonomian mereka. Kewirausahaan di bidang jasa, itulah salah satu alternatif yang dapat tunanetra ambil guna menjalankan roda perekonomian mereka.

Usaha di bidang jasa yang dapat tunanetra lakukan salah satunya yaitu membuka klinik pijat dimana klinik pijat dapat dijalankan secara mandiri oleh tunanetra tanpa memerlukan permodalan yang besar. Selain itu, berwirausaha dengan membukan klinik pijat dirasa tidak akan ada surutnya sehubungan dengan kebutuhan  manusia akan kebugaran serta kesehatan tubuhnya.

Berkaitan dengan usaha klinik pijat tunanetra, penulis mengambil objek observasi seorang tunanetra bernama Indra Kurniawan, S.H., dimana  ia merupakan seorang sarjana tunanetra yang memilih berkecimpung di bidang usaha jasa klinik pijat dari pada menekuni pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Selain itu,  ia tidak hanya menekuni usaha klinik pijat ala kadarnya, namun  ia mampu mendirikan panti pijat dengan pelayanan yang tidak kalah dengan klinik pijat yang dimiliki oleh non-tunanetra.

Dengan adanya contoh tunanetra yang mampu berwirausaha secara mandiri, penulis merasa perlu menggali informasi guna mencari alternatif pekerjaan yang dapat ditekuni oleh tunanetra lainnya. Wirausaha yang dimaksud bukan hanya sekedar wirausaha yang dikelola seadanya, namun harus dikelola dengan manajemen yang profesional.

B.      Tujuan Observasi

Observasi ini bertujuan untuk :
1.       Menggali informasi mengenai alternatif pekerjaan yang dapat ditekuni oleh tunanetra;
2.       Menggali informasi mengenai bagaimana tunanetra mengelola sebuah usaha;
3.       Menggali informasi mengenai kapasitas tunanetra di bidang pekerjaan;

C.      Manfaat Observasi

Observasi ini memiliki manfaat sebagai berikut :
1.       Memberikan wawasan kepada masyarakat mengenai alternatif pekerjaan yang dapat ditekuni oleh tunanetra;
2.       Memberikan wawasan kepada masyarakat mengenai cara-cara tunanetra mengelola sebuah usaha;
3.       Menjadi alat untuk mematahkan stigma di dalam masyarakat mengenai kemampuan tunanetra di bidang pekerjaan;

BAB II                    PELAKSANAAN OBSERVASI
A.      Lokasi Dan Waktu Observasi
Observasi ini dilakukan di klinik pijat tunanetra “Budaya Sehat” pada Sabtu, 4 April 2015. Klinik pijat tunanetra “Budaya Sehat” tersebut beralamat di Jalan Karang Gawang Baru Raya no. 139, Kelurahan Tambang, Kecamatan Tembalang.

B.      Objek Observasi
Objek observasi penulis adalah Indra Kurniawan, S.H.  ia merupakan seorang tunanetra berusia 35 tahun dan merupakan pemilik klinik pijat tunanetra “Budaya Sehat”. ia bertempat tinggal di alamat yang sama dengan tempat klinik pijatnya beroperasi yaitu di Jalan Karang Gawang Baru Raya no. 139, Kelurahan Tambang, Kecamatan Tembalang.

C.      Tekhnik Observasi
Observasi ini dilakukan dengan cara wawancara secara langsung dengan pemilik usaha dan juga observasi langsung di tempat usaha.


BAB III           HASIL OBSERVASI

Penulis telah melakukan observasi di sebuah tempat usaha yang bergerak di bidang jasa pijat. Tempat usaha tersebut bernama klinik pijat tunanetra “Budaya Sehat”. Pemilik usaha tersebut adalah Indra Kurniawan, S.H., dan  ia merupakan seorang tunanetra yang mengalami ketunanetraan di usia remaja yaitu ketika  ia baru saja lulus dari bangku SMA. Adapun usia  ia saat ini adalah 35 tahun dan telah memiliki dua orang anak.

Menjadi tunanetra di usia remaja tentu saja sempat mengguncang jiwa Indra. Akibatnya  ia sempat galau dan bingung dengan hidupnya, terlebih lagi ketika  ia mengingat masa depan dan roda perekonomian yang harus terus  ia jalankan. Hendak jadi apa, hendak kemana, hendak bekerja apa dan dimana, itulah yang Indra pikirkan. Gelar Sarjana Hukum yang  ia sandang serta prestasi sebagai wisudawan bergelar coumloudy tidak banyak membantu  ia di dunia pekerjaan. Stigma terhadap tunanetra nyatanya masih sangat kuat diberikan oleh masyarakat, khususnya para pelaku ekonomi.

Bayangan masa depan terus menghantui Indra. Pernikahan dan kehidupan rumah tangga yang tentu saja menuntut pemenuhan ekonomi, terus saja  ia pikirkan. Berdiam dan bertahan dengan kondisi yang ada tentu bukan pilihan yang tepat untuknya. Namun harus bekerja apa? Akhirnya di tengah-tengah kegalauannya, ide usaha pun muncul di benak Indra.

“Berwirausaha”, itulah yang Indra pilih. Usaha yang ditekuni  ia sebetulnya merupakan usaha yang banyak ditekuni oleh tunanetra, dan  ia memutuskan untuk membuka klinik pijat tunanetra. Ide usaha itu muncul karena ‘Kepepet’, begitu ia menyebutnya. ‘Kepepet’ disini dapat diartikan bahwa  ia terjebak dalam situasi yang membingungkan; roda perekonomian dan eksistensi diri terus menuntut untuk dipenuhi, maka usaha klinik pijat ini pun tercetuskan. Selain itu, Indra pun ‘Berani’ untuk menekuni usaha ini karena  ia pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan pijat di badan rehabilitasi sosial. Tidak hanya itu, menurut Indra, usaha klinik pijat ini pun tidak membutuhkan modal yang besar.

Dalam mewujudkan ide usahanya, Indra memulainya dengan melakukan konsultasi dengan keluarga dan para senior yang telah lebih dulu berkecimpung di usaha klinik pijat. Setelah itu Indra melakukan persiapan seperti persiapan lokasi dan permodalan. Terkait dengan permodalan, Indra sejauh ini melakukan permodalan dengan jalan modal mandiri. Modal mandiri disini maksudnya adalah  ia menggunakan tabungan pribadinya untuk memulai dan menjalankan usahanya hingga sekarang telah mencapai tahun ke-8.

Indra memilih permodalan mandiri bukan tanpa alasan. Menurut analisanya , usaha klinik pijat tidak terlalu membutuhkan modal yang besar karena usaha klinik pijat merupakan usaha di bidang jasa yang notabene jasa Indra sendirilah yang digunakan. Dalam pengeluaran usaha sehari-hari pun tidak banyak karena lagi-lagi jasalah yang ia gunakan. Modal hanya digunakan untuk kebutuhan listrik dan perlengkapan pijat. Mengenai lokasi, Indra tidak memerlukan banyak modal awal. Klinik pijat ini fleksibel, sehingga  ia dapat memanfaatkan rumahnya sebagai klinik (ketika awal usaha). Seiring dengan berjalannya waktu,  ia dapat menggunakan penghasilannya untuk membeli dan menyediakan klinik pijat yang lebih memadai.

Mengenai tujuan usaha, Indra menyampaikan bahwa tujuan  ia menekuni usaha ini adalah tercapainya kesejahteraan dan terwujudnya masyarakat tunanetra yang mandiri. Kesejahteraan yang  ia maksud adalah kesejahteraan untuk dirinya dan keluarga serta masyarakat.  ia berkeyakinan bahwa ketika masyrakat memiliki tubuh yang sehat dan bugar, maka aspek kehidupan lainnya dapat terpenuhi, dan salah satunya adalah kesejahteraan hidup.

Klinik pijat tunanetra “Budaya Sehat” memiliki latar belakang tersendiri. Indra memberikan nama “Budaya Sehat” untuk klinik pijat miliknya berdasarkan aspek filosofi makna dari nama tersebut. Indra memilih kata “Sehat” karena menurutnya kesehatan itu merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. Manusia perlu sehat untuk bekerja, manusia perlu sehat untuk berkarya, dan lain sebagainya. Sementara itu,  ia memilih kata “Budaya” karena  ia ingin masyarakat memiliki budaya untuk hidup sehat. Secara implisit Indra ingin menyampaikan bahwa melalui klinik pijat tunanetra miliknya,  ia dapat menkampanyekan budaya hidup sehat. Selain itu, kata “Budaya” seolah dijadikan strategi pemasaran oleh Indra sebab sejauh ini klinik pijat tunanetra yang telah ada hanya terpaut dengan kata “Sehat” tanpa memikirkan bagaimana “Sehat” itu menjadi budaya (budaya hidup sehat).

Terkait perijinan, Indra belum mengurus perijinan usahanya. Sementara itu, dalam hal manajemen, Indra mengelola klinik pijatnya secara mandiri, dan hanya dibantu oleh istri. Sebetulnya Indra pernah memiliki karyawan di klinik pijatnya, namun kini karyawan tidak lagi disediakan karena  ia memperkirakan bahwa tenaganya masih sanggup untuk melayani para pelanggan. Mengenai karyawan yang pernah  ia pekerjakan, tunanetralah yang dipilih. Meski demikian, penyediaan karyawan di klinik pijatnya ternyata tidak terlalu memberikan pengaruh signifikan terhadap kliniknya. Hal tersebut dikarenakan  ia memperkerjakan karyawan yang berstatus mahasiswa tunanetra. Berdasarkan pengalaman Indra, mahasiswa tersebut sudah terlalu lelah jika harus melayani pelanggan di tempatnya karena karyawan tersebut juga memiliki aktifitas dan tugas lain sebagai mahasiswa. Sebetulnya memungkinkan untuk Indra memperkerjakan tunanetra yang bukan mahasiswa, namun kebanyakan tunanetra lebih memilih membuka klinik pijat secara mandiri dan tidak terikat dengan klinik pijat milik orang lain. Oleh karena itu, Indra berpikir bahwa lebih baik karyawan ditiadakan di klinik pijatnya.

Berkaitan dengan manajemen, Indra memiliki suatu manajemen keuangan yang  ia rasa cukup baik. Dalam mengelola penghasilannya, Indra selalu menyisihkan uangnya untuk ditabung. Indra tidak akan menggunakan uang yang disisihkan tersebut untuk pos-pos yang tidak seharusnya. Sebagai contoh,  ia membeli kebutuhan rumah seperti perlengkapan mandi setiap awal bulan, maka uang yang disisihkan untuk pos kebutuhan hidup itu harus dikeluarkan pada awal bulan (pada masa dimana waktu untuk membeli kebutuhan hidup tiba). Sedangkan untuk membeli perlengkapan pijat pun Indra sudah memiliki pos-nya sendiri, sehingga penghasilan yang dimilikinya tidak tercampur antara modal dan laba.

Klinik pijat “Budaya Sehat” yang dirintis Indra dapat dikatakan cukup populer di kalangan masyarakat baik di kalangan pegawai negeri maupun masyarakat umum. Hal tersebut terjadi bukan hanya karena “Budaya Sehat” telah berdiri selama 8 tahun, melainkan dipicu oleh pelayanan serta trik marketing yang Indra gunakan. Mengenai pelayanan, Indra menyediakan klinik yang nyaman dan bersih, serta ‘Friendly service’ tidak luput menjadi salah satu trik marketing pria kelahiran Semarang tersebut. Untuk membuat nyaman para pengunjung, Indra menyediakan klinik dengan ruangan yang dilengkapi dengan Air Conditioner. Selain itu, Indra juga menyediakan beraneka ragam judul lagu dari berbagai aliran, dan lagu-lagu tersebut dapat diputar sesuai dengan permintaan pengunjung.

Trik lain yang Indra gunakan untuk membuat pengunjung nyaman adalah ‘Menjadi partner yang nyambung ketika diajak mengobrol’. Indra menyadari betul bahwa pengunjung yang datang ke klinik pijat miliknya berasal dari berbagai kalangan, dan tak jarang orang-orang dengan latar belakang pendidikan yang tinggi lebih banyak membicarakan hal-hal yang sedang hangat, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pemerintahan. Oleh karena itu, Indra berusaha mengkonsumsi berita sebanyak-banyaknya dengan cara membaca koran setiap hari di tablet miliknya. Hal tersebut ternyata dirasa efektif, sebab ketika proses memijat sedang berlangsung, Indra dan pengunjungnya tidak hanya saling diam namun dapat saling berinteraksi membicarakan berita yang tengah hangat. Dari interaksi tersebut, Indra menganalisa bahwa pengunjung nampak rileks dan tentu saja itu dapat membuat proses pijat atau proses penyembuhan lebih mudah dilakukan. Selain itu, Indra menyadari bahwa ketika seseorang sudah merasa nyaman berkomunikasi dan berinteraksi (karena concern terhadap isu yang sama, dalam hal ini berita-berita yang tengah hangat), seseorang tersebut keesokan harinya tidak ragu untuk kembali datang.

Trik lain yang Indra gunakan untuk menarik pengunjung adalah dengan memasang papan nama di tempat yang strategis dimana orang-orang dapat dengan mudah membaca papan nama tersebut. Selain itu, Indra mengaku bahwa lokasi klinik pijat “Budaya Sehat” terletak di tempat yang strategis, dan hal tersebut dapat menjadi salah satu trik untuk menarik pengunjung. Hal lain yang Indra lakukan yaitu membuat kartu nama. Kartu nama tersebut menurutnya dapat membantu proses penyebaran informasi mengenai klinik pijat miliknya, namun itu dulu, ketika di tahun awal ia merintis klinik pijatnya. Di kondisi sekarang, ia lebih memanfaatkan dan merasakan manfaat dari trik pemasaran ‘Mulut ke mulut’. Cara lain yang sedikit agak modern yaitu marketing melalui sosial media. Facebook, itulah media yang Indra gunakan untuk mempromosikan “Budaya Sehat”. Meski demikian, Indra masih menggunakan Facebook pribadi miliknya sebab dengan Facebook pribadi, lebih banyak rekanan yang dapat diberi informasi mengenai klinik pijatnya.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pelanggan “Budaya Sehat” berasal dari berbagai kalangan seperti PNS, supir, karyawan kantor, mahasiswa dan lain sebagainya. Indra memang tidak membatasi pengunjung. Perempuan dan laki-laki, anak-anak dan dewasa, semuanya dapat memanfaatkan klinik pijat miliknya, bahkan tidak jarang warga negara asing pun datang ke kliniknya. Untuk regulasi pelayanan, pengunjung dapat langsung datang ke lokasi “Budaya Sehat” atau dapat menelpon dan meminta pijat di rumah masing-masing. “Jemput bola” memang Indra lakukan, namun biasanya tarifnya berbeda. Jika pijat di klinik, tarif yang dipatok adalah Rp 50.000,-, sedangkan untuk pijat di rumah masing-masing tarif tersebut masih harus ditambah dengan biaya transportasi tergantung dari jauh dekatnya rumah tersebut. Jika disuruh memilih, Indra mengaku lebih senang mendapat pelanggan langsung di klinik karena ia tidak perlu mengeluarkan tenaga lebih untuk mobilitas ke tempat pelanggan. Dengan pelanggan bervariatif tersebut, paling tidak Indra mendapat 2 orang pelanggan, namun berbeda cerita jika hari sedang ramai.

8 tahun telah Indra jalani sebagai pemilik klinik pijat tunanetra “Budaya Sehat”. Suka duka telah ia rasakan, dan kendala pun tentu pernah ia rasakan. Kendala terbesar yang ia hadapi adalah pada tahun pertama ia merintis klinik pijat tersebut. Ketika itu, masyarakat belum mengenal “Budaya Sehat”, sehingga tidak banyak orang yang datang ke kliniknya. Namun ia berupaya mengencarkan promosi kepada siapa saja yang ia kenal, dan tentu saja dengan trik yang sudah dipaparkan pada paragraf sebelumnya. Dari keteguhan dan keuletan Indra, perlahan-lahan masyarakat mulai mengenal “Budaya Sehat” hingga sekarang. Kendala lain yang Indra rasakan adalah ‘Kenakalan pelanggan’. Indra kerap menjumpai pelanggan yang ‘Nakal’ yaitu mereka tega memberikan uang yang tidak sesuai dengan tarif. Biasanya mereka yang ‘Nakal’, memasukkan uangnya ke dalam amplop, dan ternyata ketika diperiksa di rumah, uang tersebut jauh berbeda dengan tarif yang telah ditentukan. Kendala terkait ‘Kenakalan pelanggan’ tersebut biasanya terjadi pada para pelanggan baru yang meminta pijat di rumahnya, bukan di kliniknya. Untuk mengatasi kendala tersebut, Indra berusaha lebih hati-hati jika ada pelanggan baru yang meminta pijat di rumah. Indra akan membawa ojek pribadi yang tentu saja dapat dipercaya sehingga ketika proses pembayaran dilakukan, Indra dapat langsung mengecek kesesuaian antara uang yang diberikan dengan tarif yang ditentukan.

BAB IV          PENUTUP
A.      Kesimpulan
Setelah melakukan observasi dengan Indra Kurniawan, S.H., pemilik klinik pijat tunanetra “Budaya Sehat”, penulis menemukan beberapa hal yang dapat dijadikan pegangan di dalam berwirausaha. Peka dalam membaca peluang dan berdayakan potensi dalam diri, itulah yang penulis dapat temukan. Peka membaca peluang, kata-kata tersebut telah banyak didengungkan kepada setiap orang yang ingin berwirausaha, namun kita seharusnya tidak hanya mampu membaca peluang tanpa mau melakukan terobosan. Indra dapat membaca peluang yang dapat ia ambil meskipun sebetulnya peluang tersebut sudah banyak diambil pula oleh orang lain, namun Indra berani melakukan terobosan yaitu dengan menyediakan pelayanan yang lebih dari pelaku bisnis klinik pijat yang lainnya.

Sedangkan untuk “Berdayakan potensi dalam diri”, penulis menyimpulkan bahwa untuk berwirausaha atau untuk mendapatkan penghasilan tidak perlu menunggu orang lain yang memberdayakan. Kita harus dapat melihat potensi apa yang ada dalam diri kita, dan cobalah untuk mengembangkannya. Khususnya untuk tunanetra, tidak perlu menunggu lapangan pekerjaan yang diberikan oleh pemerintah atau masyarakat yang sebetulnya masih memiliki stigma yang kuat terhadap tunanetra. Tunanetra harus mencoba melihat potensi yang dimiliki dan kembangkanlah, sebab dengan seperti itu, tunanetra dapat memiliki penghasilan dan disardari atau tidak, stigma perlahan akan patah seiring dengan eksistensi tunanetra di dunia pekerjaan.

B.      Saran
Penulis memberikan saran terkait dengan objek observasi penulis. Berdasarkan observasi, penulis menemukan fakta bahwa objek observasi penulis belum mengurus perijinan untuk usahanya. Menurut penulis, Indra Kurniawan, S.H., selaku pemilik klinik pijat tunanetra “Budaya Sehat” perlu mengurus perijinan sebab usahanya telah berdiri cukup lama yaitu 8 tahun dan telah memiliki banyak pelanggan. Jika perijinan telah dimiliki, penulis beranggapan bahwa pemilik usaha akan lebih tenang dan mantap dalam menjalankan usahanya tanpa takut terjadi apa-apa di kemudian hari.

Saran lain yang penulis berikan yaitu untuk mata kuliah “Culture Preneurship” yang tengah penulis ikuti. Menurut penulis, para mahasiswa yang mengikuti kelas Culture Preneurship perlu mendapatkan bekal lebih terkait bagaimana mengelola suatu event. Sejauh ini dosen telah memberikan banyak bimbingan dan arahan, namun secara bekal materi yang lebih detail belum maksimal dirasakan oleh penulis. Dari sekian mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Culture Preneurship, belum tentu seluruhnya mengerti tentang kepanitian di dalam suatu acara dan bagaimana suatu acara harus berlangsung.


1 komentar: