Senin, 10 Agustus 2015

ON CAMPUZ : MEMBANGUN INDONESIA LEWAT HARMONISASI ALAM DAN KEHIDUPAN

Indonesia adalah bangsa yang penuh pesona. Telah menjadi garis dari sang kuasa bahwa Indonesia terlahir dengan beranekaragam corak warna. Dari Sabang hingga Merauke, terhampar berbagai corak warna bangsa kita yang tergambar pada penduduk juga alam nusantara. Namun beruntunglah Indonesia karena warna-warni yang ada, tak membuat perpecahan di antara kita, sebab Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan yang rekatkan penduduk bangsa. Dengan kata lain, “Unity in Diversity” itu nyata menjadi wajah bangsa dan tak jarang menarik perhatian penduduk dunia.

‘Menarik perhatian penduduk dunia’, tentu itu bukan hanya isapan jempol belaka. Sudah banyak mereka yang bukan warga negara Indonesia, mampir bahkan numpang ‘menanam’ pohon uang di tanah Indonesia. Dari sekian penduduk dunia yang tiba di Indonesia, sebagian besar adalah orang-orang yang menaruh minat pada pariwisata. Tentu hal itu tak menjadi heran bagi kita, sebab kembali kita ingat bahwa kekayaan alam menjadi salah satu warna nusantara.

Dari adanya minat serta perhatian penduduk dunia terhadap Indonesia, sejatinya dapat dijadikan kesempatan untuk membangun bangsa, dan justru bukan untuk menjadikan perkara. Coba kita lihat betapa banyak kekayaan alam seperti pantai, barisan pegunungan, bukit dan danau-danau tersebar di setiap penjuru nusantara. Sebagian dari kekayaan alam itu memang telah ‘go public’ atau dikenal secara meluas baik oleh penduduk Indonesia, atau bahkan penduduk dunia. Namun, tak sedikit pula dari serentetan kekayaan alam yang ada, masih perawan dan belum terjamah oleh manusia.

Sebagai contoh, Bali dengan deretan pantai terkenal seperti Kuta dan Tanah Lot, serta bukit-bukit menawan seperti Bedugul, telah sejak dulu menjadi icon pariwisata bangsa Indonesia. Hampir seluruh penduduk dunia mengenal Bali, bahkan kepopuleran Bali melebihi nama Indonesia sendiri. Banyak wisatawan dalam maupun luar negeri datang ke Pulau yang dikenal dengan pulau seribu candi. Hal itu tentu membawa keuntungan bagi negeri. Devisa negara tentu akan meningkat, nama Indonesia pun akan terangkat di mata dunia, dan tentu saja pengangguran menurun karena adanya lapangan pekerjaan pada objek pariwisata. Bila sudah demikian, perlukah berkata, “Sulit membangun bangsa” bila alternatif lewat pariwisata telah ada di depan mata?

Contoh lain atas kekayaan alam nusantara yaitu berada di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Kawasan Puncak memang telah dikenal oleh penduduk Indonesia, khususnya penduduk di sekitar Bogor. Penduduk Kota Jakarta merupakan salah satu ‘pelanggan’ dari kawasan yang telah menjadi objek wisata tersebut. Tentu Puncak menjadi alternatif paling tepat bagi mereka yang penat dengan udara serta kemacetan ibu kota. Jika sudah demikian, apa yang terjadi di Bali pun terjadi di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Lapangan pekerjaan tersedia di kawasan tersebut, begitu pun dengan pemasukan untuk pemerintah daerah mengalir bagai air.

Meski demikian, masih banyak kawasan nusantara yang belum dikenal oleh wisatawan. Contohnya adalah kawasan yang terdapat tak jauh dari Pulau Bali, tepatnya di Pulau Penida. ‘Pasih Uug’, itulah nama dari pantai unik nan indah yang belum populer seperti pantai-pantai lainnya di Indonesia. Pantai Pasih Uug menjadi unik karena laguna dengan air jernih serta deretan tebing karang yang dimilikinya. Keunikan serta kacantikan Pantai Pasih Uug itu hendaknya dijadikan pula sebagai bahan pembangun bangsa. Seluruh elemen bangsa, khususnya instansi yang punya peran dalam hal pengembangan kekayaan alam nusantara, hendaknya berani merumuskan langkah demi mempopulerkan Pasih Uug menjadi bagian dari katalog wisata di Indonesia. Tak hanya Pasih Uug tentunya, melainkan tempat-tempat yang belum terekspolrasi pun diharap akan menyusul menjadi bagian dari pengokoh bangsa.

Pasih Uug di Pulau Penida dan kekayaan alam lainnya tentu lahir dari alam yang mutlak dicipta oleh Tuhan, sehingga kuasa penuh tentu ada di tangan Tuhan. Oleh karena itu, dalam mempopulerkan serta mendirikan pariwisata haruslah patuh pada alam. Jangan sampai si pembuat kebijakan atas Pasih Uug dan tempat-tempat lainnya mendasarkan aturan dan kebijakan pada pemikiran berbumbu ambisi manusia semata. Dialog dengan alam haruslah dilakukan. Apa-apa saja yang dapat melukai alam, tentu harus ditanggalkan, sebab segalanya akan sia-sia bila wisata yang lahir dari alam justru merusak alam itu sendiri.

Mandulnya alam atas kepongahan serta ambisi manusia sejatinya nampak pada berbagai destinasi pariwasata di nusantara. Kawasan Bali dan Puncak Bogor, keduanya dapat dijadikan contoh atas kemandulan alam akibat ambisi manusia. Keduanya tak hanya populer dan punya pesona luar biasa, melainkan ada sebuah kemandulan yang bersembunyi di balik pesonanya. Misalkan saja di Pulau Dewata Bali dimana belakangan ini pencemaran dan pengalihan lahan menjadi isu yang resahkan pemilik pulau para dewa tersebut. Subak, yang merupakan sistem perairan warga Bali sekaligus penanda budaya asli disana, rupa-rupanya jadi korban pula. Akibat adanya pendirian lahan bisnis seperti hotel, restoran, maupun bangunan yang ditanam investor. Jika hal itu terus dibiarkan, cepat atau lambat ternyata mengganggu dan merusak sistem perairan yang notabene menjadi nadi dari sistem pertanian di Bali. Bila sudah seperti itu, tentu tak ada lagi keselarasan di antara alam dan manusia. Manusia tak patuh pada alam, maka alam pun pasti tak akan peduli pada manusia. Dan benar saja, alam pun kemudian murka lewat polusi udara yang menjadikan Bali sebagai penyumbang polusi di dunia. Pencapaian itu tentu tak berbadning lurus dengan prestasi Bali sebagai tempat wisata termashur di dunia.

Hal serupa juga ditunjukkan oleh kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Keindahan, keelokan serta harmonisasi yang dicipta oleh alam di sana ternyata tak diimbangi oleh kearifan penikmatnya. Lihat saja di Puncak telah bercokol banyak villa liar yang berdiri dengan pongah tanpa peduli akan alam sekitar. Bangunan-bangunan permanen tegak berdiri, tata ruang kota jadi carut-marut, dan lantas apa yang terjadi??? Tentu peresapan air berkurang, akibatnya banjir pasti datang. Hal itu tentu menjadi problematika sebab Bogor adalah kota hujan. Bila sedikit saja hujan turun dapat mengakibatkan banjir, maka dapat dibayangkan banjir macam apa yang akan terjadi. Murkanya alam ternyata tak hanya akan menghantui mereka yang hidup di sekitar kawasan, namun titik lain pun akan ikut terkena imbasnya. Seperti pencemaran yang terjadi di Bali yang pada akhirnya menghantui seluruh dunia, pun terjadi pada kasus Puncak Bogor. Dari adanya bangunan liar serta tata letak kota yang carut marut itu, kemudian memberi imbas pada Kota Jakarta. Kita tentu tahu bahwa Jakarta tak dapat lepas dari banjir. Dan ternyata salah satu faktor penyumbang banjir di Jakarta adalah carut marutnya kawasan Puncak. Jika hujan datang, dataran tinggi Puncak tak dapat menampung atau meresap air, akibatnya air akan turun ke hilir dan menggenangi Kota Jakarta.

Tentu miris bila suatu kawasan yang salah urus pada akhirnya harus membawa bencana ke kawasan lainnya, apa lagi Kota Jakarta yang notabene ibu kota negara Indonesia. Jika banjir yang juga bersumber dari carut marutnya kawasan Puncak terus menghantui Kota Jakarta, tak pelak suatu saat nanti destinasi wisata di Jakarta pun ditinggalkan. Coba kita bayangkan, apa yang akan terjadi bila ibu kota suatu negara saja tak memiliki daya tarik wisata? Apa jadinya bila wajah ibu kota negara carut marut karena banjir? Tentu bad mark akan diberikan oleh penduduk dunia atas bangsa kita. Jangan sampai hal semacam itu terjadi pada bangsa kita. Oleh karena itu, dalam menciptakan suatu kawasan wisata dalam upaya pembangunan bangsa, perlu adanya langkah yang arif dan ramah terhadap lingkungan dan alam.

Alam harus selaras dengan kehidupan. Pembangunan bangsa lewat jalur wisata pun harus diciptakan. Namun pembangunan yang arif dan ramah pun harus menjadi pertimbangan pembuat kebijakan. Jangan sampai mengedepankan pendapatan suatu kawasan, namun mengesampingkan keselamatan dari bencana alam yang kerap datang karena tindakan yang manusia lakukan. Bangunan permanen yang berlebihan, hendaknya tak perlu menjadi pemanis pada objek wisata yang tengah dipopulerkan. Biarkan bangunan berdiri ala kadarnya sesuai kemampuan kawasan tersebut, dan jangan selalu turuti keinginan dan kebutuhan pasar yang sudah jelas-jelas akan membawa dampak pencemaran dan rusaknya lahan alam. Rancangan tata letak kawasan objek wisata patut ada. Batasan-batasan tentang ruang untuk bangunan, kiranya harus ditaati jangan sampai melebihi batas. Bila kawasan hutan seperti Puncak memiliki fungsi utama sebagai lahan penyerapan air, maka biarkan fungsinya berjalan sebagaimana mestinya.

Kemajuan suatu bangsa sejatinya tak hanya terlihat dari megah dan canggihnya bangunan yang ada di dalamnya. ‘Politik Mercusuar’ hendaknya tak perlu dikedepankan. Coba dekati alam, coba berdialog dengan alam, coba ajak alam membangun Indonesia lewat keelokan dan kecantikannya. Apa yang alam punya sejatinya lebih menjanjikan dari pada mall yang menjulang atau bangunan-bangunan industri yang tegak mengepulkan asap pembuat berbagai penyakit mematikan. Lewat kekayaan alam nusantara, mari ciptakan dan bangun bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang besar bukan karena kecanggihan peralatannya, melainkan karena keanekaragaman alam yang diola dengan ramah dan selaras dengan alam!


Note : Tulisan ini aku buat ketika aku diminta untuk menjadi salah satu perwakilan Pers Kampus “Warta Dinus” untuk mengikuti kompetisi menulis yang diadakan oleh Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia di lombok. Tulisan ini kubuat ketika semester 4 lalu kalau tidak salah. Sayang sekali aku kalah di kompetisi itu ehhehe..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar