Ditulis di kos Nakula Raya, tahun 2014...
Sekitar tanggal
13 Februari lalu, kosku dikagetkan dengan kedatangan seorang lelaki berseragam
dosen kampusku. Lelaki itu datang seorang diri dan langsung menaiki anak tangga
menuju lantai dua dimana kamarku dan ebberapa kamar lainnya berada. Aneh
sekali, bagaimana bisa seorang lelaki masuk ke kosku yang notabene terlarang
untuk kaum adam??? Setelah dipergoki oleh salah seorang teman, lelaki itu
mengaku sedang mencari kamar no. 14. Alamak, kamar itu kan kamarku. Namun an
anehnya, setelah mengetahui kamarku, dia langsung cabut tanpa jelas apa
tujuannya.
Hal tersebut
tentu saja mengusik ketenangan seisi kos, lebih-lebih aku yang notabene mudah
paranoid dengan hal-hal semacam itu. Maklum saja, sebagai seorang Tunaentra
tentu aku tak dapat melihat situasi di sekelilingku, dan itu membuatku takut
akan ada tindak kriminalitas di kosku.
Menurut cerita
dari bebrapa teman, kejadian seperti itu sudah kerap terjadi. Biasanya orang
yang kepergok langsung pura-pura cari kamar, setelah itu langsung cabut lagi.
Hal semacam itu pun terjadi belum lama ini di kos-kosan tak jauh dari rumahku.
Pasalnya, ada seorang lelaki kepergok masuk kos-kosan dengan membawa parang dan
benda tajam sejenisnya. Dan ketika kepergok, dia mengaku sedang mencari
seseorang, padahal orang yang dia cari tak ada di kos tersebut.
Ah, kalau bicara
soal kriminalitas yang mengancam keselamatan perempuan, aku jadi teringat
diriku sendiri yang notabene perempuan sekaligus tunanetra. Kenapa aku jadi
teringat diriku sndiri?? Ya, tentu karena aku pernah menjadi korban, korban
pelecehan lebih tepatnya.
Siapa pun
orangnya, entah Tunanetra atau pun orang awas, memiliki kemungkinan menjadi
korban kriminalitas atau pun pelecehan. Fakta di lapangan pun ternyata berkata
demikian. Selain aku yang pernah mengalami pelecehan, ternyata teman-teman
peremppuan lainnya pun mengalami hal serupa. Dari pengalamanku itu, akhirnya
aku tergelitik untuk bertanya pada teman-teman Tunaentra perempuan Tunanetra
baik yang ada di sekitarku atau pun yang ada di luar kota. Ternyata pengalaman
teman-teman lain juga cukup variatif dan cukup mengerikan. Aku sempat bergidik
ketika mendengar curahan dari teman-teman yang mengatakan “Ada yang sampai
hamil lho!”
Astaghfirullah…aku
langsung istighfar dan mengelus dada. Kenapa para pelaku itu tega berbuat
demikian pada perempuan, apa lagi Tunanetra. Dimana kah hati dan nurani mereka?
Apakah karena perempuan Tunaentra dianggap lemah???
Yuk gimana kalo
coba menyimak pengalamanku kaitannya dengan keselamatan sebagai seorang
perempuan yang juga Tunanetra?!? Tapi sebelumnya aku informasikan bahwa tulisan
ini tak bermaksud menakut-nakuti atau mengecilkan hati para perempuan Tunaentra
ya. Aku sekedar sharing informasi yang aku harap dapat menjadi kaca agar ke depannya
perempuan Tunanetra lebih berhati-hati lagi dalam melakukan aktivitas.
Pengalamanku ini
terjadi pas aku semester 1 dulu. Ketika itu aku belum tinggal di rumah kos,
melainkan tinggal di rumah orang tua angkatku di daerah Semarang selatan, di
kabupaten Semarang sih lebih tepatnya. Bila sudah mepet jam masuk kuliah,
biasanya aku memakai jasa ojek agar tak perlu lama menunggu Bis yang hobinya
ngetem. Dan kebetulan di sekitar tempat tinggalku itu ada ojek yang beberapa
kali kumintai jasanya mengantarku ke kampus. Abang ojek itu berusia tak jauh
beda denganku, tapi dia sudah memiliki seorang istri.
Beberapa kali
aku menumpang motornya, tak ada gelagat aneh; tak lebih dari SMS ‘gak jelas’
yang melayang tiap malam menjelang tidur. Kupikir SMS dia itu hanya iseng,
pasalnya dia sudah memiliki seorang istri, tak mungkin dia benar-benar
menyukaiku. Kebetulan waktu itu dia mengirim SMS layaknya pengemar kepada
idolanya. Sebetulnya aku risih dengan SMS itu, tapi aku hanya menyikapinya
dengan tak bereaksi alias diam tak membalas SMS-nya.
Hari demi hari
berlanjut. SMS ‘gaje’ alias ‘gak jelas’ itu terus mampir ke Handphone-ku. Tak
hanya itu, semakin hari dia semakin berani memintaku duduk ‘mepet’ dengannya
ketika berada di motor. Kesal! Tentu aku kesal mendengar permintaannya itu,
tapi aku Cuma diam tak peduli dengan alasan dia yang menyatakan bahwa
permintaannya itu semata-mata karena menjaga keseimbangan laju kendaraannya.
Tapi, ada suatu hari dimana kesabaranku telah mencapai puncaknya.
Suatu sore
ketika aku hendak ‘pindah rumah’ dari rumah orang tua angkatku menuju rumah
kos, insiden tidak menyenangkan itu terjadi. Ketika itu aku memang memutuskan
untuk kos karena Alhamdulillah kondisi ekonomi keluargaku sudah agak mendingan
shingga orang tua kandungku yang bekerja berjualan nasi di luar jawa mampu
membiayai kosku. Dalam proses memindahkan barang dari rumah orang tua angkatku
menuju kos, aku memakai jasa abang ojek itu karena memang tak ada yang
mengantar dan membawakan barang. Akhirnya, dengan cuaca yang mendung dan kurang
bersahabat, aku pun melaju di atas sepeda motor si ojek tersebut.
Di perjalanan,
hujan pun turun cukup deras. Alhasil motor yang kutumpangi pun berhenti di
suatu tempat. Aku tak menaruh curiga ketika motor ojek itu terhenti karena
kupikir paling-paling berhenti di pinggir jalan di depan toko atau bengkel
karena umumnya orang yang berteduh melakukan hal tersebut. Tapi siapa sangka
aku berada di tempat asing berupa rumah huni???
Ketika motor
terhenti, aku hanya terpaku dengan helm yang masih terpasang di kepalaku. Aku
tak melakukan apa pun kecuali mengotak-atik Handphone-ku. Lalu si abang ojek
memintaku beralih dari pinggir motor menuju tempat lain yang lebih nyaman. Aku
menolak, karena kupikir tempatku sudah cukup nyaman. Tapi dia terus meminta. Akhirnya
aku pun bergerak.
Tak lama setelah
berjalan, aku didudukan pada sebuah kursi. Lagi-lagi aku tak menaruh curiga.
Kupikir tempat yang kudiami itu adalah emperan toko atau apa. Sambil menunggu
hujan reda, kumainkan jemariku di atas keypad Handphone-ku. Tapi betapa
terkejutnya aku ketika kudengar suara kurang pantas terdengar dari Handphone si
abang tukang ojek itu. Usut punya usut si abang ojek sedang memutar video
kurang pantas! Kontan aku langsung istighfar. Aku berusaha tenang, lebih-lebih
ketika tangannya mencoba menyentuh salah satu pahaku. Langsung aku bergeser
menjauh, tapi tak bereaksi marah. Ketika aku bergeser, dia ikut bergeser ke
arahku, tapi video di Handphone-nya tersebut telah ia matikan.
Dimana aku
sekarang ini??? Pikirku ketika itu. Segala macam perasaan campur aduk. Marah,
kesal, jengkel, takut, dan tangan gatal ingin menampar orang itu pun berkecamuk
dalam hati dan pikiran. Tapi aku berusaha menguasai keadaanku dengan tidak
bereaksi marah atau memukulnya, karena aku berpikiran bahwa jika aku melakukan
itu, aku takut dia akan lebih nekad kepadaku. Akhirnya, dengan dada yang
berdegup kencang, aku berpura-pura menelpon temanku. Aku benar-benar
berpura-pura ketika itu! Di dalam percakapan telepon itu, aku berpura-pura
mendapat informasi dari temanku bahwa teman yang mengetahui alamat kosku akan
segera pergi, sehingga aku harus segera datang. Alhasil dengan alasan yang
kubuat itu, kupaksa si abang ojek untuk segera mengantarku.
“Mas, ayo kita langsung ke kos aja. Temenku mau pergi soalnya!” kataku
dengan berpura-pura tetap tenang, padahal jantungku berdegup kencang sekali.
“Ini kan masih hujan, Mbak!” timpal si abang tukang ojek dengan video
‘Kurang pantas’ yang sudah dimatikan.
“Gak apa-apa, Mas, soalnya kalau temenku udah pergi, nanti siapa yang
nunjukin kosku?” sanggahku masih tetap pura-pura.
“Ya udah deh kalau Mbak Eka maksa...”
Kami pun beranjak dari tempat duduk. Akhirnya aku
pun berjalan menuju motor dengan upaya dia menuntunku, tapi tanpa pikir panjang
aku langsung menolak niatnya itu dengan berjalan sendiri menuju motor. Dan
ketika itu aku kaget karena kudapati dia mengunci pintu sebelum menghampiriku
yang sudah berdiri di pinggir motor. Astaghfirullah, ternyata tadi aku berada
di sebuah ruangan dan bukan berada di emperan toko atau apa.
Ternyata
tindakan kurang senonohnya itu tak berhenti sampai disitu. Ketika sampai di
kampus dan menungu temanku datang, dia berani bertindak kurang ajar! Dia
berusaha menyentuh bagian terlarang. Untung saja niatnya itu tak berhasil karena
aku langsung menangkis tangannya. Berbeda dengan sebelumnya, kali itu aku
berani memarahi dia dan mengumpatnya karena di tempat aku berdiri adalah
kawasan kampusku.
Ya kurang lebih
begitu pengalamanku. Biasa saja memang, tapi buatku pribadi hal itu cukup
mengguncang jiwaku. Betapa orang yang sebelumnya ‘sok alim’ dan ‘sok ngajarin
agam’ kepadaku ternyata berkelakuan seperti itu! Apa yang ada dipikiran dia
sebetulnya? Apa dia berpikir bahwa aku lemah? Bahwa aku Tunanetra?? Bahwa aku
bisa dimanfaatkan??? Kesal, benar-benar kesal! Sejak saat itu aku tak lagi
menggunakan jasa ojeknya, termasuk menggubris SMS dan telpon darinya. Cukup
sudah cukup pelecehan yang dia lakukan!! Harga diriku terasa diinjak-injak!!
Dari
pengalamanku itu, aku bisa mengambil hikmah yang bisa juga dijadikan tips untuk
teman-teman. Mungkin jika nanti teman-teman ada yang mengalami hal serupa,
kalau bisa jangan bereaksi marah atau bagaimana, pura-pura tidak tahu, karena
jika kita bereaksi marah, dia bisa semakin nekad kepada kita. Selanjutnya,
mungkin kita bisa mengirim SMS kepada teman tentang kondisi kita agar jika
terjadi apa-apa dapat segera dilacak. Jika perlu, lakukan sedikit akting
menelpon kepada teman hehehhee agar dapat terhindar dari tempat kita berada.
Tips lainnya mungkin lebih aware dengan lingkungan ya karena aku akui bahwa aku
kurang aware dengan lingkungan sampai-sampai aku tak tahu dibawa kemana! Tips
lainnya mungkin bisa ditambahkan oleh kartuneters lainnya!
Oiya, untuk
pengalaman dan cerita tentang perempuan tunanetra dan keselamatan bisa aku bagi
di part selanjutnya ya! Thank you for reading!
-
Eka Pratiwi
Taufanty –
Diposting pertama kali di web-nya Kartunet
Diposting juga di blog pribadi tulipe-imajiner.blogspot.com
Diposting juga di Facebook pribadi-ku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar