Senin, 10 Agustus 2015

KETIKA JIWA BERTANYA, "MASIHKAH AKU MENJADI AKU YANG DAHULU?"



PERNAHKAH JIWAMU BERTANYA, “MASIHKAH AKU MENJADI AKU YANG DAHULU?”
Pernahkah dirimu berujar, "Ada kepribadianku yang mulai terkikis detik demi detik" 


Sekarang usiaku nyaris mencapai titik kedewasaan meskipun kuakui pribadiku sendiri masih sangat jauh dari ‘Dewasa’. Usiaku sekarang nyaris mencapai 24. Dalam usia yang tak bisa lagi dikatakan ‘ABG’, tentu telah banyak pengalaman hidup yang kualami. Itu pasti. Benar kan? Dan kau tahu tidak bahwa semua pengalaman itu berkembang biak hingga sekarang. Kebaikan, kecantikan, keangkuhan, kemandirian, dan berbagai kepribadian lainnya telah lahir dari pengalaman yang kudapat. Kalau boleh jujur, semua perubahan kepribadian dalam diriku terkadang membuatku sesak dan jengah. Rasa-rasanya aku ingin keluar, ingin berlari, dan ingin merengkuh kehangatan diriku sendiri yang seolah sekarang hilang. Dapatkah hal itu terjadi pada diri manusia? Kurasa ya, sebab aku sendiri pun merasakannya meskipun di otakku sama sekali tak tercatat teori-teori yang menyatakan tentang itu. Mungkin kau bisa beritahu aku bila kau menemukan teori untuk hal satu itu.

Dari sederet perasaan ‘Kangen’ akan kepribadian dalam diriku yang sempat timbul tenggelam yang pada akhirnya menggerogoti ketenangan jiwaku, sejatinya ada satu hal yang tetap bersemayam hingga sekarang. Aku tak begitu yakin akan hal itu sebetulnya, tapi rasa nyeri di dada tiap kali potongan-potongan moment datang dalam hari-hariku seolah memberi tanda bahwa ‘Sesuatu’ itu masih ada. Lantas, apakah itu?

Entahlah, aku tak tahu ini apa namanya. Cinta? Entahlah, tapi kurasa bukan. Kasih? Bisa jadi, tapi kurasa belum begitu pas. Iba? Ya, mungkin itu kata yang tepat. Iba untuk apa? Entahlah, rasanya sulit sekali aku mengurai segalanya. Lewat cerita, kurasa itu langkah yang sedikit lebih baik dari pada terus-terusan berkubang dalam genangan kapan dan bagaimana caraku megnurai smeua ini. Baiklah, silahkan kauu dengarkan ceritaku…

-          (0) -

Pagi ini langit tersenyum cerah. Dengan pancaran sinar matahari, bumi terasa hidup, apa lagi jika ditambah dengan hiruk pikuk para lakon kehidupan. Ada yang melangkahkan kaki dengan mantap ke sekolah, tertatih dengan punggung bungkuk lalu merangkak menyeret gerobak sampah, atau sekedar duduk-duduk santai di sebuah teras pertokoan dengan setumpuk pakaian kumal tapi berusaha dijajakan oleh wanita berambut putih yang usianya sungguh tua. Begitulah segilintir aktivitas yang dilakukan oleh para lakon kehidupan.

Di pagi ini pun, dengan detik yang sama, seorang ibu menenteng tas belanjaan yang terbuat dari anyaman. Wajahnya nampak cerah meski gurat lelah tak dapat ditutupi. Di samping ibu tersebut, seorang anak yang kira-kira duduk di bangku kelas 3 SD melangkah terseok-seok mengikuti langkah lebar-lebar ibunya. Gadis kecil itu berambut hitam berombak dengan gaya ekor kuda yang seolah menambah manis parasnya.

Berkali-kali si gadis mengelap keringat di wajahnya. Lelah? Tentu saja, tapi gambaran akan sebentuk boneka Barbie berambut panjang seolah menghapus segala rasa lelah yang muncul karena perjalanan kaki tak henti selama 20 menit.

Kini mereka berdua menghentikan langkah. Mereka mematung sesaat demi membiarkan dua becak yang berjalan beriringan melintas. Setelah dua becak itu menghilang, anak dan ibu itu pun melanjutkan langkahnya. Baru sekitar lima langkah, gadis kecil itu langsung disuguhi pemandangan yang sama sekali tak menarik. Deretan sepeda motor, segerombolan orang dengan tas belanjaan masing-masing dan oh, tidak, dua ekor anak kucing yang tubuhnya ringkih dengan bulu tipis sekaligus matanya…oh tidak, matanya masih setengah terpejam! Bencana bagi si gadis kecil telah melanda!

“Bu..” gadis kecil itu tiba-tiba mematung, mogok tak bergerak, dan hal itu tentu saja serta merta menahan langkah sang ibu sekaligus.

Wanita dengan tas belanjaan itu pun menoleh ke arah anaknya dan berkata, “Ada apa, Nok?”

Gadis kecil itu diam. Wajahnya pucat pasi. Butiran keeringat bercucuran di pelipisnya, dan tentu saja rambut ekor kudanya bergoyang-goyang tertiup angin pagi.

“Ada apa, Nok?” sang ibu mengulangi pertanyaannya, tapi puteri kecilnya itu masih diam. Melihat tingkah puterinya itu, sang ibu mau tak mau diperkosa oleh rasa kesal yang menjalar di antara keringatnya.

“Ayo jalan…” perintah sang ibu sambil melangkah pergi.

“Ibu…” gadis kecil itu berteriak hampir menangis. Hal itu tentu saja membuat ibunya terpaksa menghentikan langkah kakinya dan berbalik menghampiri anak pertama dan satu-satunya.

“Ada apa sih, Nok?” wanita itu merunduk menatap puteri kecilnya yang mulai berkaca-kaca.

“Mau boneka, iya?” ia masih menatap puteri kecilnya lekat-lekat. Gesekan tubuh orang-orang yang berseliweran di antara mereka sama sekali tak ia hiraukan.

“Aku mau pulang, Bu…” gadis kecil berjuluk ‘Nok’ itu akhirnya angkat bicara. Alis ibunya bertaut.

“Lho?” wanita itu bergeser ke arah lain. Dengan posisinya yang sekarang, ia dapat lebih jelas melihat mata bulat puteri kecilnya yang kini sudah digenangi air.

“Kenapa mau pulang? Gak mau boneka?” wanita itu bertanya sungguh-sungguh, tapi ekor kuda gadis kecil itu bergoyang seiring gelengan kepalanya.

“Ok, kita pulang, tapi ibu belanja dulu ya?” pinta ibunya seraya menggamit tangan sang puteri.

“Gak mau!” tolak gadis kecil itu.

“Aku gak mau nemenin ibu belanja. Aku mau pulang aja. Aku takut…”

Mendengar kata ‘Takut’ yang dilontarkanputerinya, sang ibu menjadi penasaran. Kemudian ia berjongkok demi mensejajarkan tinggi badan dirinya dengan sang puteri.

Lekat ia pandangi genangan air mata yang kini telah meleleh dan mengalir di atas pipi polos yang terkadang menampakan lesung.

“Kamu takut apa memangnya?”

“Disini gak ada orang gila kan?” wanita itu berkata setelah pandangannya di lemparkan ke segala arah.

“Iya…” suara anak itu parau.

“Terus kenapa harus takut?” jemari lembut sang ibu menyapu air mata yang terus jatuh di pipi anak yang ia besarkan dengan penuh kepahitan.

“Itu…” telunjuk gadis kecil itu bergerak ke suatu sudut dan sepasang mata sang ibu mengikuti sampai akhirnya ia tersenyum sambil memeluk puterinya.

“Itu kan Cuma anak kucing, Nok…” ada tawa di sela-sela kalimat wanita itu. Sementara itu, gadis ekor kuda itu mengernyitkan dahinya tepat ketika ibunya melontarkan kalimatnya.

“Ya sudah, kita cari jalan lain. Yuk?”

Ibu dan anak itu pun akhirnya memilih jalan lain. Kini sang anak menggamit lengan ibunya kuat-kuat seolah ia takut ia akan ditinggalkan bersama dua ekor anak kucing yang baru saja ia lihat.

Dengan pegangan erat di tangan, gadis kecil itu melangkah menerobos kerumunan. Pandangannya ia lemparkan ke seluruh penjuru. Entahlah apa yang ia harapkan. Berharap menemukan sederetan mainan nan lucu, mungkin saja. Berharap menemukan seonggok kembang api yang pasti indah jika ia nyalakan di pekarangan rumah bersama kawan-kawan, mungkin saja. Atau...tak sengaja menangkap getir kehidupan yang nyatanya ada dan kontras dengan kehidupan gadis kecil sepertinya?

Langkah kaki gadis itu semakin pelan. Terasa semakin berat. Semakin sulit melangkah, padahal kerumunan orang sedang tak menjadi penghalang langkah. Ada apa, begitu pikir si ibu yang notabene tengah menggamit erat tangan sang anak. Dengan penuh penasaran, sang ibu menoleh ke arah anakknya dan ia mendapati anaknya tengah melemparkan pandang ke salahh satu sudut. Lantas sang ibu mengikuti pandangan sang anak. Toko mainan, mungkin, begitu pikir si ibu. Namun nyatanya tak begitu. Seorang nenek tua berambut putih dengan baju khas jawa yang sudah sangat lusuh tengah duduk bersimpuh di pelataran toko dengan seonggok pakaian bekas, itulah yang rupanya tengah diperhatikan oleh sang anak. Kembali sang ibu melemparkan pandang pada anaknya. Bola mata bulat nan hitam ia lihat tak berkedip.

“Nok...” si ibu mencoba membuyarkan lamunan anaknya. Gadis kecil itu pun terkesiap. Matanya nanar dan tak satu pun kata terucap dari bibir mungilnya.

“Nok...” si ibu kembali berucap. Gadis itu menatap ibunya kini.

“Yuk, lanjut?” lanjut sang ibu yang diamini oleh ekor kuda yang bergoyang di kepala sang gadis kecil.

Di dalam pasar, deretan kios sibuk memamerkan beraneka barang jualan. Sembako, sayur-mayur, buah-buahan, pakaian dan beraneka ragam barang jualan lainnya bersolek ingin dibeli. Wanita yang menjinjing keranjang belanjaan sekaligus menggamit tangan anaknya nampak memilah dan memilih kios mana yang hendak ia datangi pertama kali. Kios sembako, rasa-rasanya tidak dulu. Kios buah-buahan, juga tidak. Ah, akhirnya kios sayur-mayurlah yang ia datangi.

“Silahkan, Bu, mau ambil yang mana? Wortelnya seger-seger, Bu. Mau berapa kilo?” ucap si penjual. Sementara itu, ibu sang gadis justru asyik memilih-milih cabe hijau.

“Cabe hijaunya saja, Bu. Satu kilo ya...” ucap si ibu.

“Terus apa lagi, Bu?” tanya si penjual.

“Kacang panjangnya ada?”

“Aduh, telat, Bu. Kebetulan sudah habis. Cuma nyetok sedikit...”

“Ya udah, cabe saja...”

Sembari menunggu sang penjual membungkus cabe, sang ibu memperhatikan ke arah puterinya yang tengah mematung di sampingnya. Murung, putrinya nampak murung. Lapar, mungkin begitu pikir si ibu.

“Kamu laper?” gadis kecil itu menggeleng.

“Terus?” sang puteri masih terdiam.

“Gak sabar beli barbie ya?” kata si ibu sambil menebar senyum.

“Bu...” gadis kecil itu menatap wajah ibunya yang menjulang tinggi di atasnya.

“Iya...”

“Nenek tua yang ada disana itu jualan ya, Bu?” tanya si gadis kecil sambil menunjuk ke arah luar.

“Nenek mana?”

“Yang di depan itu, Bu. Yang duduk di depan toko...”

“Oh...” kata si ibu.

“Memang kenapa?”

“Jualan apa, Bu?” sang ibu membuka mulutnya hendak menjawab, namun sang penjual cabe berkata sesuatu.

“Totalnya 10 ribu, Bu...”

“Ini uangnya...” kata si ibu sambil menyodorkan uang. Gadis kecil yang sedari tadi bertanya terlihat tak sabar menunggu jawaban dari ibunya.

“Uang pas ya, Bu. Haturnuhun...laris laris laris...”

Si ibu pun melenggang sambil menggamit tangan sang puteri. Ia sepertinya lupa dengan pertanyaan puterinya. Tanpa berdosa ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari barang belian yang lainnya.

“Ibu...” gadis itu berucap kesal.

“Iya, Nok...” timpal si ibu tanpa menoleh.

“Ibu...” ucap gadis kecil itu lebih keras.

“Iya. Ada apa sih, Nok?” timpal si ibu lagi-lagi tanpa menoleh ke arah puterinya.

“Nenek yang tadi jual apa sih, Bu?” kali ini suara si gadis kecil terdengar parau. Nampaknya ia tengah kesal pada ibunya yang tak mempedulikan pertanyaannya. Kemudian sang ibu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap puterinya.

“Kenapa sih kamu tanya soal nenek itu terus?”

“Nenek itu jual apa!!??!!” gadis itu kesal dan merengek.

“Jual pakaian bekas..” jawab si ibu dengan harapan puterinya akan berhenti merengek.

“Jual apa lagi?”

“Jual ke-es” jawab si ibu lagi.

“Udah yuk, kita lanjut?” lanjut si ibu yang ditutup dengan gelengan kepala puterinya. Dahi si ibu pun berkerut melihat gelengan kepala puterinya.

“Aku pengen beli, Bu...pengen beli...” Kerutan di dahi si ibu semakin nyata tepat ketika puterinya melontarkan kata-kata itu.

“Beli apa sih, Nok? Jangan rewel ah. Yuk lanjut biar cepet pulang...” pinta si ibu, namun puterinya malah mogok tak mau melangkahkan kaki.

“Aku pengen beli ke nenek itu, Bu. Pengen beli...”

Gadis kecil itu merengek sambil menunjuk ke arah luar. Si ibu jadi tak mengerti apa yang sedang terjadi pada puterinya. Puterinya memang memiliki rasa penasaran yang besar, tapi apa yang tengah terjadi sekarang ini cukup membuat dirinya tak mengerti.

“Mau beli apa di nenek itu? Nenek itu Cuma jual pakaian bekas dan ke-es, Nok..” kata si ibu sedikit tegas.

“Udah ya, kita lanjut aja. Ok?” bujuk si ibu sambil menggamit tangan puterinya.

“Bu, aku pengen beli di nenek itu...” gadis itu terus merengek.

“Bu...” ia merengek lagi. Mendengar rengekan puterinya itu, si ibu menjadi tak sabar.

“Ok kita beli, tapi gak sekarang ya. Nanti ya kalau pulang. Ok?” si ibu memberikan tawaran. Dan puterinya nampak menimbang-nimbang.

“Ok ya?” tanya si ibu lagi.

“Tapi janji ya nanti beli?” puterinya menagih jaminan dan si ibu pun mengangguk. Akhirnya mereka meneruskan langkah.

20 menit telah berlalu. Kini keranjang belanjaan si ibu sudah nampak penuh oleh barang belanjaan. Keringat pun tak kalah penuh membasahi dahi wanita bongsor itu. Sementara puterinya, terlihat celingukan ke sela-sela tumpukan kardus dan karung, berjaga-jaga siapa tahu ada anak kucing yang mengintai dirinya.

“Capek ya, Nok?” tanya si ibu. Gadis kecil itu pun menoleh ke arahnya.

“Iya nih, Bu, aku capek. Pulang yuk...” pinta si gadis kecil.

“Tapi beli barbie dulu ya?” pinta si gadis kecil untuk kedua kalinya. Si ibu pun tersenyum dan melangkah pergi dengan tangan yang hangat menggamit tangan kecil puterinya.

Seperti pemandangan pada hari-hari biasa, pasar tentulah sesak oleh pembeli dan tentu saja suara-suara bising orang-orang yang saling menawar sama sekali tak dapat dielakkan. Namun di tengah kebisingan itu, telinga mungil si gadis kecil menangkap suara yang membuat hatinya bergejolak tak menentu. Apa itu, pikir si gadis kecil. Semakin lama kakinya melangkah, suara itu semakin jelas terdengar. Dan, detik ini, suara itu benar-benar nyata di telinganya. Langkahnya terhenti karena sang ibu menghentikan langkahnya juga. Gadis kecil itu menoleh ke sumber suara yang tepat berada di sebelah kirinya. Dan pada detik itu pulalah hati gadis kecil itu bergetar. Air matanya terasa ingin jatuh. Berlebihan sepertinya, namun itulah yang dirasakan oleh gadis kecil itu.

“Ini ya, Pak. Semoga bermanfaat...” kata si ibu sambil menggelontorkan sesuatu yang ia ambil dari dompet ke atas tangan yang menengadah.

“Makasih, Bu. Semoga lancar rezekinya...” timpal si bapak yang sedari tadi tak luput dari pandangan gadis kecil yang membuntut di belakang ibunya.

“Permisi ya, Pak...” ucap si ibu sambil berlalu.

Langkah demi langkah terus bergulir, namun pandangan mata gadis kecil itu terus tertuju pada sosok yang baru saja ia lihat. Hati gadis kecil itu masih bergetar dan rasanya semakin bergetar tak menentu. Matanya panas dan butiran air bening seolah ingin jatuh.

“Ibu...” ucap si gadis kecil.

“Iya, apa lagi, Nok?” jawab si ibu tanpa menghentikan langkahnya.

“Ibu tadi kasih uang berapa ke bapak tadi?”

“Udah ibu kasih kok...” jawab si ibu sekenanya.

“Iya, tapi berapa, Bu?”

“Ibu kasih seribu...” jawab si ibu enteng.

“Kok dikasih segitu, Bu?” jawab gadis kecil itu seolah memendam rasa kesal.

“Segitu kan sudah Alhamdulillah kan, Nok. Biasanya juga kan segitu, Nok...”

“Kan kasihan, Bu. Kenapa sih ibu kasih segitu?” suara gadis kecil itu terdengar parau.

“Ibu kan punya uang lebih, kenapa kasihnya segitu?”

“Udah, ayo kita beli barbie. Kamu makin ngelantur aja...” ucap si ibu mulai kesal dengan tingkah puterinya.

“Aku gak mau pulang!!” bentak sang puteri. Sontak langkah kaki si ibu pun terhenti. Lantas ia berbalik dan menatap wajah puterinya lekat-lekat. Kesal, wanita itu sepertinya kesal dengan tingkah puterinya yang terus merengek tak jelas.

“Mau apa sih? Kok bandel gitu...”

“Aku pengen kasih uang sama bapak tadi, Bu..” ucap si gadis kecil dengan mata yang mulai basah.

“Kasih uang? Buat apa?”

“Kasihan, Bu. Aku kasihan...”

“Nok...kan tadi ibu udah kasih uang. Kenapa harus dikasih lagi?”

“Pokoknya kasiih lagi. Jangan seribu, Bu. Kasihan..” rengek si gadis kecil.

“Uang yang buat beli barbie kasihkan bapak itu aja, Bu...”

“Kenapa begitu, Nok? Itu kebanyakan...” sanggah si ibu.

“Pokoknya kasihkan semua!” rengek gadis kecil itu lagi.

“Terus beli barbie-nya gimana?”

“Aku gak mau beli barbie. Kasihkan aja, Bu...kasihkan...”

“Serius?”

“Iya. Kasihkan. Kasihan dia, Bu...” wanita itu menatap wajah puterinya lekat-lekat lalu berbalik ke arah yang baru saja ia lewati.

Gadis kecil itu menggamit lengan ibunya erat-erat. Dari balik tubuh besar ibunya ia mengintip bapak tua yang wajahnya nampak lusuh. Dengan seksama ia amati penampakan bapak tua itu. Getir, hatinya terasa getir. Ya, ia memang gadis kecil yang mungkin tak tahu bagaimana rupa kehidupan yang sebenarnya, tapi dua buah lutut tanpa kaki yang beradu dengan lantai ditambah rambut beruban dan pakaian lusuh tentu membuat gadis itu sesak oleh realita yang berkata, “Lihatlah! Ada orang-orang yang tak seberuntung dirimu! Lihatlah, kau elok dengan segala yang menempel dan tertimbun di perutmu, sedang bapak tua ini? Ringkih dengan beban hidup yang terasa menghimpit!”

“Permisi, Pak...” sang ibu berkata. Bapak tua itu pun menoleh ke arah sumber suara.

“Mangga, Bu...” jawab sang bapak tua dengan Bahasa Sundanya.

“Pak, ini anak saya mau memberikan sedikit rezeki untuk bapak..” kata si ibu sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya.

“Hatrunuhun, Bu. Alhamdulillah...alhamdulillah...” timpal si bapak tua seraya mengangguk-angguk penuh syukur, sedang sang gadis kecil masih bersembunyi di balik tubuh ibunya.

“Ini, Pak, sedikit rezeki. Ini uang tabungan anak saya katanya suruh diberikan ke bapak...” si ibu pun menyerahkan beberapa uangnya pada sang bapak tua yang kakinya buntung itu.

“Terima kasih, Neng. Haturnuhun...Alhamdulillah...Alhamdulillah...” ucap sang bapak sembari menerima uang yang diberikan. Bapak tua itu pun memperhatikan seonggok uang pecahan lima puluh ribu dan sepuluh ribu di tangannya lalu berkata, “Gusti...ini terlalu banyak, Neng. Ini terlalu banyak untuk saya...”

“Gak apa-apa, Pak. Ini tabungan anak saya memang katanya ingin diberikan ke bapak. Mohon doanya saja ya, Pak, semoga anak saya bisa jadi anak yang berbakti...” ujar sang ibu.

“Haturnuhun, Neng. Haturnuhun...” timpal si bapak tua masih menunjukkan rasa terima kasihnya.

Bapak tua itu pun kemudian melirik ke arah puteri sang ibu yang pagi itu telah menyampaikan rezeki dari Tuhan untuknya.

“Neng, bapak terima kasih sekali sama eneng. Semoga eneng jadi anak yang pinter, sehat, berbakti kepada orang tua, banyak rezeki juga ya, Neng...” bapak tua itu berupaya menggapai tubuh si gadis kecil. Merasa diperlakukan semacam itu, gadis kecil itu pun mendekat ke arah bapak tua yang kondisinya cukup mengenaskan menurut sang gadis kecil.

“Ya, Neng, haturnuhun pisan...”

“Iya, Pak...” jawab gadis kecil itu malu-malu.

Ibu dan anak itu pun telah melanjutkan perjalanannya dan meninggalkan bapak tua yang hidup karena belas kasihan orang-orang yang lewat di pasar. Wajah gadis itu nampak cerah ceria. Ia merasa tak ada yang mengganjal lagi di hatinya, sedang ibunya, ia masih menyimpan tanda tanya besar di kepalanya, mengapa puterinya mau merelakan uanggnya untuk orang lain, padahal keelokan boneka Barbie tentulah lebih menarik untuk anak kecil seusianya. Meski demikian, sang ibu itu tetap bersyukur karena ia memiliki puteri kecil yang memiliki rasa empati cukup besar terhadap orang lain. Sang ibu tetap berharap rasa empati yang puterinya miliki tetap tumbuh hingga puterinya dewasa.

“Udah ya, Nok, Barbie nya gak jadi beli. Itu kan uangnya sudah dikasihkan ke bapak tadi...” ucap sang ibu.

“Gak apa-apa. Aku juga gak mau beli Barbie. Nanti aja minta uang ke bapak buat beli Barbie. Iya gak, Bu?” ucap gadis kecil itu polos dan sang ibu akhirnya terkekeh mendengar ucapan  puteri kecilnya itu.

“Oh iya, Bu...ibu kan udah janji mau beli ke nenek yang di depan sana...” ujar sang gadis kecil sambil menunjuk ke arah salah satu emperan toko.

“Masih mau beli?”  kata sang ibu yang diamini oleh anggukan sang anak. Akhirnya mereka pun menuju ke arah sang nenek penjual pakaian bekas.

Ibu dan anak itu berdiri di depan dagangan sang nenek. Tak ada meja, tak ada kursi dan yang terlihat hanya kardus-kardus yang dijadikan alas untuk pakaian-pakaian bekas dan beberapa sisir ke-es. Sang ibu mengamati setiap barang dagangan yang ada. Jujur dalam hati sang ibu berkata, “Ya Tuhan, siapa yang mau membeli barang dagangan semacam ini? Sungguh kasihan nenek ini...”

“Punten, Nek...” kata sang ibu pada sang nenek yang bersimpuh tak bergeming seolah tengah mengurai berjuta kenangan yang telah ia lewati semasa hidup.

“Mangga, Neng...” ucap sang nenek lirih. Dari ucapan nenek itu, kentara betul bahwa sang nenek sudah teramat tua hingga suaranya pun begitu lirih.

“Nek, saya mau beli ke-es. Saya beli segini ya, Nek...” ucap sang ibu langsung menunjukkan satu sisir ke-es. Sang ibu sengaja tak memberikan penawaran terkait barang apa yang hendak dibeli sebab ia tahu bahwa tak ada satupun benda yang dapat puterinya manfaatkan. Pakaian bekas yang terdiri dari seragam SMP dan kaus-kaus lusuh, tentulah tak bisa digunakan oleh puterinya. Maka dari itulah, ke-es yang langsung ia tuju.

“Mangga, Neng. Berapa saja harganya, Neng. Terserah eneng mau ngasih berapa...” ujar sang nenek yang kontan membuat ibu sang gadis terheran-heran.

“Nenek gak pasang harga ini buat ke-es nya?”

“Tos wae terserah eneng bade masihkeun artos sabaraha. Nenek mah Alhamdulillah wae, Neng. Nu penting mah nenek tiasa dahar...”

Mendengar ucapan sang nenek, ibu itu pun merasa hatinya teriris. Ia merasa iba pada nenek ini.

“Hatur nuhun, Nek. Ini saya kasih segini ya, Nek. Mugi-mmugi bermanfaat...” ucap sang ibu sambil memberikan uang pecahan sepuluh ribu sebanyak dua lembar.

Pagi itu pun ditutup dengan senyum yang merekah dari kedua kaum hawa yang terpaut usia begitu jauh itu. Gadis kecil itu sejatinya belum mengerti apa kehidupan itu dan bagaimana cara bersikap terhadap kehidupan, tapi ‘Melihat orang lain dapat melanjutkan hidup’ sejatinya telah membuat senyum sang gadis kecil itu terkembang. Gadis kecil itu tetaplah gadis kecil. Rengekan pasti akan tetap ada. Pembangkangan terhadap orang tua pasti ada. Tapi...di lubuk hati yang paling dalam, sang ibu berdoa, “Ya Tuhan, jadikanlah puteriku sebagai puteri yang memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap sesama hingga ia tumbuh, hingga ia dewasa dan hingga ia mengerti bagaimana rupa kehidupan yang sebenarnya...”

Sekian tahun kemudian, di tahun 2015. Seorang gadis muda berstatus mahasiswa tengah berbincang di telpon dengan ayahnya. Siang itu mereka tengah membicarakan banyak hal tentang kehidupan, tentang kepeduliaan dan tentang berbagi terhadap sesama. Gadis itu terdiam sesaa, ia menimbang hendak bercerita atau tidak tentang kegalauan dirinya, tentang ‘Dirinya’ yang seolah kini setelah ia dewasa menjadi ‘Bukan dirinya’. Tapi kemudian ia mengurungkan niatnya dan sedikit membelok pada perbincangan lainnya.

“Pak, di sekitar kos aku kan suka ada yang jual kue tradisional. Dia itu bapak-bapak. Kasihan...aku sering ngerasa kasihan...” kata gadis itu kepada ayahnya.

“Selain itu, ada juga yang jual buah-buahan seperti pepaya, pisang dan buah-buahan lainnya yang kurang menarik untuk orang perkotaan. Dia juga sudah tua dan dia harus mendorong gerobaknya siang bolong demi menjajakan dagangannya. Aku ngerasa kasihan dan rasa itu membuat hatiku terasa mengganjal...”

“Iya, bapak tahu kok. Gak apa-apa, biarkan rasa itu tumbuh. Berempati terhadap orang lain gak ada salahnya. Kalau Nok bisa bantu, usahakan bantu orang yang membutuhkan, tapi kalau Nok memang gak bisa, bantulah dengan doa...” kata sang ayah.

“Bapak udah tahu sejak kamu kecil. Rasa empatimu sudah terlihat. Nok ingat pas masih kecil memberikan uang cukup banyak kepada pengemis?”

Gadis itu pun tak menjawab dan justru melarung ingatannya ke masa lalu, ke masa dimana ia belum mengerti apa empati itu dan betapa empati itu masih tumbuh di hatinya hingga detik ini.

Rasa ‘Kangen’ pada diriku yang dulu, setidaknya terobati dengan kenyataan bahwa “Jiwa empati yang sedari dulu kau punya, detik ini masih ada”. Kini aku menyadari bahwa diriku tak sepenuhnya bukan diriku. Aku masih menjadi aku yang dulu. Sifat dasarku masih ada dan belum terkikis, setidaknya hingga detik ini, detik dimana usiaku hendak menginjak 24. Dengan menyadari apa yang aku rasakan, setidaknya aku tidak begitu membenci diriku; aku tetap aku yang hanya saja mungkin ada sifat lain yang kudapat seiring bertambahnya usiaku. Ya, sifat-sifat yang terkadang membuatku jengah. Tapi itulah manusia, itulah kita yang menurut para pemikir, “Kita terlahir bagai selembar kertas putih”. Tuhan, jadikanlah aku pribadi yang indah yang mau peduli dengan sesama dan bisa bermanfaat untuk sesama...

Diposting juga di Facebook pribadi : ranpyongalz@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar