Indonesia adalah bangsa yang penuh pesona. Telah menjadi garis dari
sang kuasa bahwa Indonesia terlahir dengan beranekaragam corak warna. Dari
Sabang hingga Merauke, terhampar berbagai corak warna bangsa kita yang tergambar
pada penduduk juga alam nusantara. Namun beruntunglah Indonesia karena
warna-warni yang ada, tak membuat perpecahan di antara kita, sebab Bhineka
Tunggal Ika menjadi semboyan yang rekatkan penduduk bangsa. Dengan kata lain, “Unity
in Diversity” itu nyata menjadi wajah bangsa dan tak jarang menarik perhatian
penduduk dunia.
‘Menarik perhatian penduduk dunia’, tentu itu bukan hanya isapan
jempol belaka. Sudah banyak mereka yang bukan warga negara Indonesia, mampir
bahkan numpang ‘menanam’ pohon uang di tanah Indonesia. Dari sekian penduduk
dunia yang tiba di Indonesia, sebagian besar adalah orang-orang yang menaruh
minat pada pariwisata. Tentu hal itu tak menjadi heran bagi kita, sebab kembali
kita ingat bahwa kekayaan alam menjadi salah satu warna nusantara.
Dari adanya minat serta perhatian penduduk dunia terhadap
Indonesia, sejatinya dapat dijadikan kesempatan untuk membangun bangsa, dan
justru bukan untuk menjadikan perkara. Coba kita lihat betapa banyak kekayaan
alam seperti pantai, barisan pegunungan, bukit dan danau-danau tersebar di
setiap penjuru nusantara. Sebagian dari kekayaan alam itu memang telah ‘go
public’ atau dikenal secara meluas baik oleh penduduk Indonesia, atau bahkan
penduduk dunia. Namun, tak sedikit pula dari serentetan kekayaan alam yang ada,
masih perawan dan belum terjamah oleh manusia.
Sebagai contoh, Bali dengan deretan pantai terkenal seperti Kuta
dan Tanah Lot, serta bukit-bukit menawan seperti Bedugul, telah sejak dulu
menjadi icon pariwisata bangsa Indonesia. Hampir seluruh penduduk dunia
mengenal Bali, bahkan kepopuleran Bali melebihi nama Indonesia sendiri. Banyak
wisatawan dalam maupun luar negeri datang ke Pulau yang dikenal dengan pulau seribu
candi. Hal itu tentu membawa keuntungan bagi negeri. Devisa negara tentu akan
meningkat, nama Indonesia pun akan terangkat di mata dunia, dan tentu saja
pengangguran menurun karena adanya lapangan pekerjaan pada objek pariwisata. Bila
sudah demikian, perlukah berkata, “Sulit membangun bangsa” bila alternatif
lewat pariwisata telah ada di depan mata?
Contoh lain atas kekayaan alam nusantara yaitu berada di kawasan
Puncak, Bogor, Jawa Barat. Kawasan Puncak memang telah dikenal oleh penduduk
Indonesia, khususnya penduduk di sekitar Bogor. Penduduk Kota Jakarta merupakan
salah satu ‘pelanggan’ dari kawasan yang telah menjadi objek wisata tersebut.
Tentu Puncak menjadi alternatif paling tepat bagi mereka yang penat dengan
udara serta kemacetan ibu kota. Jika sudah demikian, apa yang terjadi di Bali
pun terjadi di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Lapangan pekerjaan tersedia
di kawasan tersebut, begitu pun dengan pemasukan untuk pemerintah daerah
mengalir bagai air.
Meski demikian, masih banyak kawasan nusantara yang belum dikenal
oleh wisatawan. Contohnya adalah kawasan yang terdapat tak jauh dari Pulau
Bali, tepatnya di Pulau Penida. ‘Pasih Uug’, itulah nama dari pantai unik nan
indah yang belum populer seperti pantai-pantai lainnya di Indonesia. Pantai
Pasih Uug menjadi unik karena laguna dengan air jernih serta deretan tebing
karang yang dimilikinya. Keunikan serta kacantikan Pantai Pasih Uug itu
hendaknya dijadikan pula sebagai bahan pembangun bangsa. Seluruh elemen bangsa,
khususnya instansi yang punya peran dalam hal pengembangan kekayaan alam
nusantara, hendaknya berani merumuskan langkah demi mempopulerkan Pasih Uug
menjadi bagian dari katalog wisata di Indonesia. Tak hanya Pasih Uug tentunya,
melainkan tempat-tempat yang belum terekspolrasi pun diharap akan menyusul
menjadi bagian dari pengokoh bangsa.
Pasih Uug di Pulau Penida dan kekayaan alam lainnya tentu lahir
dari alam yang mutlak dicipta oleh Tuhan, sehingga kuasa penuh tentu ada di
tangan Tuhan. Oleh karena itu, dalam mempopulerkan serta mendirikan pariwisata
haruslah patuh pada alam. Jangan sampai si pembuat kebijakan atas Pasih Uug dan
tempat-tempat lainnya mendasarkan aturan dan kebijakan pada pemikiran berbumbu
ambisi manusia semata. Dialog dengan alam haruslah dilakukan. Apa-apa saja yang
dapat melukai alam, tentu harus ditanggalkan, sebab segalanya akan sia-sia bila
wisata yang lahir dari alam justru merusak alam itu sendiri.
Mandulnya alam atas kepongahan serta ambisi manusia sejatinya
nampak pada berbagai destinasi pariwasata di nusantara. Kawasan Bali dan Puncak
Bogor, keduanya dapat dijadikan contoh atas kemandulan alam akibat ambisi
manusia. Keduanya tak hanya populer dan punya pesona luar biasa, melainkan ada
sebuah kemandulan yang bersembunyi di balik pesonanya. Misalkan saja di Pulau
Dewata Bali dimana belakangan ini pencemaran dan pengalihan lahan menjadi isu
yang resahkan pemilik pulau para dewa tersebut. Subak, yang merupakan sistem
perairan warga Bali sekaligus penanda budaya asli disana, rupa-rupanya jadi
korban pula. Akibat adanya pendirian lahan bisnis seperti hotel, restoran,
maupun bangunan yang ditanam investor. Jika hal itu terus dibiarkan, cepat atau
lambat ternyata mengganggu dan merusak sistem perairan yang notabene menjadi
nadi dari sistem pertanian di Bali. Bila sudah seperti itu, tentu tak ada lagi
keselarasan di antara alam dan manusia. Manusia tak patuh pada alam, maka alam
pun pasti tak akan peduli pada manusia. Dan benar saja, alam pun kemudian murka
lewat polusi udara yang menjadikan Bali sebagai penyumbang polusi di dunia.
Pencapaian itu tentu tak berbadning lurus dengan prestasi Bali sebagai tempat
wisata termashur di dunia.
Hal serupa juga ditunjukkan oleh kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat.
Keindahan, keelokan serta harmonisasi yang dicipta oleh alam di sana ternyata
tak diimbangi oleh kearifan penikmatnya. Lihat saja di Puncak telah bercokol
banyak villa liar yang berdiri dengan pongah tanpa peduli akan alam sekitar.
Bangunan-bangunan permanen tegak berdiri, tata ruang kota jadi carut-marut, dan
lantas apa yang terjadi??? Tentu peresapan air berkurang, akibatnya banjir
pasti datang. Hal itu tentu menjadi problematika sebab Bogor adalah kota hujan.
Bila sedikit saja hujan turun dapat mengakibatkan banjir, maka dapat
dibayangkan banjir macam apa yang akan terjadi. Murkanya alam ternyata tak
hanya akan menghantui mereka yang hidup di sekitar kawasan, namun titik lain
pun akan ikut terkena imbasnya. Seperti pencemaran yang terjadi di Bali yang
pada akhirnya menghantui seluruh dunia, pun terjadi pada kasus Puncak Bogor.
Dari adanya bangunan liar serta tata letak kota yang carut marut itu, kemudian
memberi imbas pada Kota Jakarta. Kita tentu tahu bahwa Jakarta tak dapat lepas
dari banjir. Dan ternyata salah satu faktor penyumbang banjir di Jakarta adalah
carut marutnya kawasan Puncak. Jika hujan datang, dataran tinggi Puncak tak
dapat menampung atau meresap air, akibatnya air akan turun ke hilir dan
menggenangi Kota Jakarta.
Tentu miris bila suatu kawasan yang salah urus pada akhirnya harus
membawa bencana ke kawasan lainnya, apa lagi Kota Jakarta yang notabene ibu
kota negara Indonesia. Jika banjir yang juga bersumber dari carut marutnya
kawasan Puncak terus menghantui Kota Jakarta, tak pelak suatu saat nanti
destinasi wisata di Jakarta pun ditinggalkan. Coba kita bayangkan, apa yang
akan terjadi bila ibu kota suatu negara saja tak memiliki daya tarik wisata?
Apa jadinya bila wajah ibu kota negara carut marut karena banjir? Tentu bad mark akan diberikan oleh penduduk
dunia atas bangsa kita. Jangan sampai hal semacam itu terjadi pada bangsa kita.
Oleh karena itu, dalam menciptakan suatu kawasan wisata dalam upaya pembangunan
bangsa, perlu adanya langkah yang arif dan ramah terhadap lingkungan dan alam.
Alam harus selaras dengan kehidupan. Pembangunan bangsa lewat jalur
wisata pun harus diciptakan. Namun pembangunan yang arif dan ramah pun harus
menjadi pertimbangan pembuat kebijakan. Jangan sampai mengedepankan pendapatan
suatu kawasan, namun mengesampingkan keselamatan dari bencana alam yang kerap
datang karena tindakan yang manusia lakukan. Bangunan permanen yang berlebihan,
hendaknya tak perlu menjadi pemanis pada objek wisata yang tengah dipopulerkan.
Biarkan bangunan berdiri ala kadarnya sesuai kemampuan kawasan tersebut, dan
jangan selalu turuti keinginan dan kebutuhan pasar yang sudah jelas-jelas akan
membawa dampak pencemaran dan rusaknya lahan alam. Rancangan tata letak kawasan
objek wisata patut ada. Batasan-batasan tentang ruang untuk bangunan, kiranya harus
ditaati jangan sampai melebihi batas. Bila kawasan hutan seperti Puncak
memiliki fungsi utama sebagai lahan penyerapan air, maka biarkan fungsinya berjalan
sebagaimana mestinya.
Kemajuan suatu bangsa sejatinya tak hanya terlihat dari megah dan
canggihnya bangunan yang ada di dalamnya. ‘Politik Mercusuar’ hendaknya tak
perlu dikedepankan. Coba dekati alam, coba berdialog dengan alam, coba ajak
alam membangun Indonesia lewat keelokan dan kecantikannya. Apa yang alam punya
sejatinya lebih menjanjikan dari pada mall yang menjulang atau
bangunan-bangunan industri yang tegak mengepulkan asap pembuat berbagai
penyakit mematikan. Lewat kekayaan alam nusantara, mari ciptakan dan bangun
bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang besar bukan karena kecanggihan
peralatannya, melainkan karena keanekaragaman alam yang diola dengan ramah dan
selaras dengan alam!
Note : Tulisan ini aku buat ketika aku diminta untuk
menjadi salah satu perwakilan Pers Kampus “Warta Dinus” untuk mengikuti
kompetisi menulis yang diadakan oleh Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia di lombok.
Tulisan ini kubuat ketika semester 4 lalu kalau tidak salah. Sayang sekali aku
kalah di kompetisi itu ehhehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar