Rabu, 02 November 2011

Berbagi Cerita: Kisah di Kaki Bukit November :)


1 November 2011…
            Aku menutup Laptop rentaku dengan seraut wajah masam mengiringi aksiku menutup Laptop hitam itu. Laptop itu pun akhirnya tak bernyawa lagi, tertusuk satu klik-an tanganku di tombol “Turn Off”. Meski si Laptop renta itu telah binasa, tapi kemasamanku masih saja Nampak. Entah apa yang terjadi padaku. Wajahku tiba-tiba saja masam setelah berenang di kolam internet. Hmm, apakah ada sesuatu yang terjadi di kebun Facebook-ku, sampai-sampai aku berwajah masam macam itu? Salah! Wajah masamku bukan karena ada hama yang menyerang kebun Facebook-ku, tapi ada hal lain yang merusak otakku pagi ini. Virus jenuh, itulah virus yang sedang menyerangku pagi ini. Yup, aku benar-benar jenuh pagi ini. Meskipun kebun Facebook, Resto Kartunet, dan sangkar Twitter dan rumah Om Google sudah kudatangi tapi tetap saja virus itu merusak otak Pentium tiga-ku yang sudah tak layak pakai ini. Oleh karena virus jenuhku itulah akhirnya kuputuskan saja untuk menyuntik mati si Laptop hitam yang telah setia bersamaku sejak aku SMA, dengan harapan aka nada aktivitas lain yang mampu merefresh otakku dari virus jenuh itu.
            Aku menggelitik Handphone cerewet-ku agar dia mau melantunkan lagu berjudul Tear Drops on My Guitar milik Taylor Swift untukku. Si Cross putih itu pun akhirnya menurut. Mulailah suara merdu Taylor Swift mengalun di telingaku. Tapi ada yang aneh denganku pagi ini. Kalau biasanya bibirku ikut bergerak ketika mendengar lagu Tear Drops on My Guitar itu, tapi kali ini bibirku tertutup rapat. Tak ada sedikit pun celah yang Nampak dari bibir sexy ala Donal Bebek ini. Aneh, apa yang terjadi? Padahal lagu itu adalah lagu sakti yang bisa mencairkan segala macam yang beku-beku, termasuk bongkahan es yang ada di kutub utara sana. Ah, rupanya si virus jenuh itu terlalu hebat sampai-sampai lagu manis bak Lolipop itu tak mampu membinasakannya. Okay, suntik mati lagi saja si Cross cerewet itu! Dan hanya dalam waktu tiga detik saja Handphone putih itu sudah mengunci mulutnya rapat-rapat. Hmm, selesai dengan lagu yang penuh kenangan itu! Lalu sekarang apa lagi yang bisa kulakukan untuk mengusir virus yang menjangkit otak Pentium tiga tapi bukan otak second ini? Aha, kenapa tak coba menelpon seseorang atau mengirim SMS saja? Okay, nampaknya itu bisa kulakukan. Biasanya jenuhku bisa hilang kalau aku berchit-chat ria dengan yang lain. Stop! Sepertinya ada yang kulupa, tapi apa ya? Ow’ow…aku baru ingat kalau pulsaku sedang sekarat. Pulsa yang kudapat dari Kartunet sudah tak berbekas lagi di Handphone-ku. Payah…payah…payah…how poor I’m!! Usahaku untuk mengusir si virus itu ternyata gagal maning gagal maning. Lha terus piye, son?!? Masa iya Handphone ini kulempar keluar jendela. Ah, dari pada Handphone ini yang melayang menembus lubang di jendela kamarku, lebih baik aku yang melemparkan diri ke luar jendela. Yup, ide bagus tuh! Lebih baik lompat jendela dan kabur dari kamar berbau apek ini, gimana? “Jangan lakukan itu, Eka. Bagaimana orang tuamu kalau sampai tahu anak gadisnya melompat jendela? Jangan lakukan itu!” kata sesosok makhluk berjenis kelamin laki-laki dengan sebuah kain putih mirip gaun membungkus tubuhnya. Ada sebuah lingkaran putih bertengger di atas kepala makhluk yang tiba-tiba muncul entah dari mana asalnya. Tunggu dulu! Dia berjenis kelamin laki-laki kan? Kenapa dibilang memakai gaun? Hahaa…betul juga ya, kenapa pakai gaun? Hush…itu bukan gaun kali! Anggap saja itu malaikat-malaikat baik hati yang sering muncul di film-film kartun hehee *mulai ngawur nih tulisan si Eka*. “Maaf, aku terpaksa melakukan ini. Tak ada jalan lain selain melompat dari jendela. Masa depanku sudah hancur” kataku dengan berurai air mata, mirip lakon di sinetron-sinetron. Gubrak! Apa coba itu?!? Fokus, Eka! Kembali ke peranmu sebagai Eka yang sedang terjangkit virus jenuh! Okay, maaf…maaf…kembali ke jalur utama! “Udah deh lebih baik buruan lompat saja! Di luar sana banyak hal menarik lho, dijamin jenuhmu akan hilang” kini sesosok makhluk lain ikut chatting bersama aku dan si makhluk bergaun putih tadi. “Huah, dari mana lagi datangnya makhluk bergaun merah ini? Mukanya membuatku tak sanggup menahan tawa. Apa lagi tanduk merah di kepalanya, membuat dia mirip kambing” batinku pada si makhluk yang tiba-tiba ikut nimbrung itu. “Mas…Mas…maaf, Mas siapa ya? Kok tiba-tiba ikut chatting sih? Perasaan aku belum me-add ID Mas-nya deh” kataku  pada si makhluk bertanduk itu. “Alamak…bagaimana pula kau ini? Aku kan si iblis, musuhnya si peri itu. Payah kali kau ini, Non. Apa kau tak pernah melihat mukaku di layarkaca?” jawab si kambing, eh salah, maksudku si makhluk yang mengaku bernama iblis. “Oh, jadi nama Mas-nya adalah iblis ya. Keren deh Mas namanya” kataku sambil nyengir. “Tapi kalo muka Mas-nya aku gak pernah lihat di TV deh. Maaf, Mas-nya pemain sinetron apa ya? Pemain sinetron Puteri yang ditukar, bukan?” lanjutku. “Bah, macam apa pula kau ini? Aku bukan pemain sinetron Puteri yangDitukar, tapi aku pemain sinetron Rahasia Ilahi” jawabnya dengan logat bataknya. Eka, focus…dari tadi bercanda terus ya, kau. Okay, focus ah sekarang mah.
            Bimbang merajai hatiku. Apakah aku harus menurut pada si iblis untuk melompat keluar jendela. Atau kah aku harus mendengar perkataan Mas Peri bergaun putih tadi untuk tidak melompat jendela? Sebenarnya aku percaya pada perkataan si iblis yang mengatakan bahwa di luar sana banyak hal menarik yang bisa membuat virus jenuhku binasa. Tapi bagaimana kata tetangga kalau tahu aku melompat jendela? Stop bersinetron ria, Eka! Coba kau tengok jendela kamarmu, apakah lubang di jendela itu mampu meloloskan tubuh besarmu?*nengok kea rah jendela*. Hahaa…aku baru sadar kalau jendela kamarku hanya memiliki lubang kecil dan hanya mampu meloloskan semilir angin, bahkan untuk meloloskan tubuh seekor kucing pun tak bisa. Lagi pula aku tak mungkin melompat jendela, lha wong pintu saja terbuka lebar. Okay, tamat deh untuk sinetronnya, sekarang lanjut ke cerita tentang virus jenuh saja. Yuk mari…
            Setelah usahaku melepaskan diri dari virus jenuh itu tak membuahkan hasil, akhirnya kuputuskan untuk mencari cara lain. Kebetulan aku mendapat ilham dari Mas Ilham-nya langsung, dia menyarankanku untuk nge-date bersama pacar. Dia berani menjamin bahwa “Dating” adalah jurus ampuh untuk mengusir si virus bandel itu. Hmm, idenya bagus juga. Sepertinya seru juga kalau aku nge-date bersama pacarku dan berkeliling taman sambil bergandengan tangan, merasakan semilir angin yang menyatu dengan aroma wangi bunga-bunga yang tumbuh di taman. Stop mengkhayal! Mana ada taman di desaku? Hahaaa…baru ingat kalau di desaku tak ada taman bunga, yang ada hanya sawah. Okay, aku coba menghubungi pacarku dulu ya. Tet…tot…tet…*bunyi tombol yang kupencet*. “Kau yang tlah memilih aku, kau juga yang sakiti aku…kau putar cerita sehingga aku yang salah” suara Syahrini mengalun di ujung telepon sana. Aku baru tahu kalau pacarku suka dengan lagu ini hahaa. “Iya, Baby” pacarku berkata sesuatu dari ujung telepon sana. “Beb, nge-date yuk. Aku bête nih di rumah” kataku tanpa basa-basi. “Okay deh Baby, aku langsung meluncur. Kita ketemuan di depan pintu dapur ya” kata pacarku sambil menutup pembicaraan di antara kami. Wah, pacarku memang pacar siaga, siap antar jaga. Well, aku juga siap meluncur, tapi lebih enak kalau pakai parfume dulu kali ya, kan mau ketemu pacar.
            Hmm, tubuhku sekarang sudah mewangi bak bunga melati di taman Bu Megawati. Kalau sudah megang begini, sekarang saatnya meluncur ke tempat janjian. Akhirnya kaki melangkah ke tempat janjian. Tak perlu naik ojek, apalagi naik Bus, cukup jalan kaki. Ya iyalah, kan tempat janjiannya di dapur rumahku. Tinggal melangkah lima langkah dari kamar*jadi pengen nyanyi pacar lima langkah deh hhaa*. Kalau begitu, mari kita mulai saja melangkahkan kaki ke dapur. Selangkah…dua langkah…tiga langkah…empat langkah…lima langkah…nengnong…aku sudah sampai. Tapi dimana pacarku ya? Kok belum nongol. Tanya Ibu ah. Dan setelah bertanya pada Ibu, akhirnya aku pun bisa menemukan batang tanpa hidung si pacar setiaku itu. Kalau sudah ketemu, langsung nge-date saja yuk! Oiya, aku punya rahasia nih, boleh curhat kan? Tapi, ssttt…jangan bilang sama yang lain ya. Janji? Sebenarnya pacar yang akan nge-date bersamaku sekarang ini adalah selingkuhanku. What, yang bener? Begitu deh… hatiku tak mampu menahan getar-getar asmara yang disentuhkan oleh si pacar baruku. Pacarku yang sekarang ini lebih megang dari pacarku yang sebelumnya. Yang sekarang ini lebih fresh, lebih maco, lebih brondong dari yang sebelumnya. Bukan karena fisiknya saja sih, tapi karena suaranya pun mampu menggetarkan hatiku. Saat dia menyatakan cinta padaku, dia membawakan lagu “Panah Asmara” milik Afghan dan ih wow keren. Jangan bilang-bilang ya, aku mengenalnya saat mengikuti pelatihan computer bicara di Semarang beberapa waktu lalu. Sejak saat itu kami memutuskan untuk pacaran hingga detik ini. Itulah rahasiaku. Cukup kita saja ya yang tahu.
            Semilir angin berhembus menemani diriku yang sedang bergandengan mesra dengan pacarku. Dunia ini serasa milik kami berdua. Terik matahari yang nakal menggoda kami seakan tak kami hiraukan. Kami terus berjalan menyusuri jalanan kampong yang tak rata. Meski jalan yang kami injak ini tak rata tapi bagi kami jalan yang tak rata itu bagaikan red carpet yang biasa digunakan oleh para artis Hollywood ketika akan menghadiri malam penganugerahan baik dalam industry music maupun industry film. Ya, aku merasa seperti Selena Gomez dan pacarku adalah Justin Bieber*haha khayalan ini setinggi-tingginya*. Kebersamaan kami benar-benar aku nikmati. Tak peduli orang di kanan kiri yang menghela nafas panjang saat melihatku. Kalimat “Duh,kasihan banget sih, masih muda udah kayak gitu” sama sekali tak kuhiraukan. Perhatianku hanya tertuju pada pacarku yang jari jemarinya saling menyatu dengan jemariku. The Eka nuju kamana? Nah lho, aku ini mau kemana sebenarnya? Iya juga ya, aku mau nge-date kemana ya *mikir*. Aha, aku tahu!*ada lampu di atas kepalaku*. Lebih baik berkunjung ke rumah saudara plus sahabatku, Aya. Ngeng…langsung saja meluncur.
            Tik-tok-tik-tok…aku sudah cukup lama berjalan di bawah terik matahari pagi, tapi rumah yang kutuju tak kunjung kudapati. Apa aku salah jalan ya? Ah, tak mungkin. Seingatku rute yang harus kutempuh untuk sampai ke rumah Aya adalah lurus saja sampai perempatan, lalu setelah bertemu perempatan jangan belok ke kanan atau pun ke kiri apa lagi terbang ke atas, cukup melangkah terus. Setelah berjalan lurus, belok ke kanan ketika ada belokan. Nah, belokan pertama itu akan membawaku ke kediaman sahabat karibku yang kebetulan sedang pulkam setelah bekerja di Jakarta. Yup yup yup…sebentar lagi sepertinya aku akan segera menjumpai belokan itu. Dari mana aku tahu? Tenang…tenang…tenang…ka nada pacarku yang memberitahu. Dia kujadikan pacar kan untuk menuntun langkahku. Ih, jahat deh, masa pacar sendiri dimanfaatkan macam itu? Lha terus diapain? Disuruh nyetir motor gitu? Haduh, mana bisa pacarku nyetir motor. Pacarku kan memang dilahirkan untuk membantu orang-orang  kurang awas macam aku. Menuntun seorang Tunanetra macam aku ini memang sudah menjadi tugasnya.
            Tuk-tak-tuk…terdengar suara yang berasal dari tubuh alumunium pacarku yang beradu dengan pagar tembok rumah yang berjejer di sepanjang jalan menuju rumah Aya. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah pintu gerbang. Kuyakin aku sudah sampai di rumah sahabatku. Insting-ku itu ternyata di dukung oleh pacarku. Akhirnya aku melangkah memasuki pelataran rumah sahabatku. Hingga akhirnya tubuh pacarku membentur sebuah benda keras. Lantas aku pun menggerakan tanganku demi meraba si benda keras ittu. Oh, ternyata yang membentur tubuhku adalah sebuah pintu. Binggo! Ini dia yang kucari. Akhirnya kuketuk pintu rumah sahabatku ini, tentu dengan  sebuah kata bernada sama. “Assalamualikum…” begitu kataku. Aku terus mengulang kata itu, tapi tak ada yang menjawab. Yang justru menjawab adalah batinku. “Si Aya mungkin sedang pergi. Lihat aja rumahnya sepi” batinku. Hmm, nampaknya si Aya memang sedang tak ada di rumah. Baiklah, lebih baik aku kembali saja ke rumah. Dan akhirnya aku pun kembali ke rumah dengan sedikit kecewa. Meski demikian, aku tetap senang dan bangga karena aku bisa sampai ke rumah sahabatku hanya dengan ditemani Tongkat alumunium, pacar yang kutemui di Semarang. Jarak antara rumahku ke rumah Aya bisa dibilang jauh. Tapi buktinya aku bisa melaluinya. Keberhasilanku ini sepertinya bisa kujadikan alat pembuktian kepada keluargaku bahwa aku bisa melangkah sendiri. Mudah-mudahan saja setelah prestasi baruku ini, keluargaku tak lagi mengurungku di rumah.
            Aku terduduk di kursi dengan nafas ngos-ngosan. Aku kelelahan setelah menempuh perjalanan pulang pergi(rumahku-rumah Aya). Keluargaku melongo melihat butiran keringat yang menggelayut di wajahku. Mereka penasaran dan langsung menanyakan sebab musabab keringat-keringat itu bisa menghias wajah pucatku. Akhirnya kujelaskan saja bahwa aku baru saja pergi ke rumah Aya. OMG…begitu teriak keluargaku. Mereka kaget aku bisa pergi kesana sendirian. Awalnya mereka tak percaya, tapi setelah kuyakinkan akhirnya mereka percaya. Horeeee…senang rasanya melihat mereka mengakui prestasiku pagi ini. Hmm, tapi sepertinya prestasiku itu akan keluargaku uji. Yup, aku diuji untuk kembali menempuh perjalanan yang melelahkan tadi. Tapi kali ini bukan untuk menemui Aya, melainkan untuk membeli sesuatu. Okay, siapa takut!! Yuk, mulai…
            Aku akhirnya kembali berdua-duan dengan pacarku di bawah terik matahari yang begitu menyengat. Dengan sabar kususuri jalan kampong yang berdampingan dengan sebuah kali. Kupasang baik-baik daun telingaku, jangan sampai tak memperhatikan setiap suara yang berseliweran di sekitarku.Hap, daun telingaku menangkap suara motor. Itu tandanya aku harus mematung untuk beberapa saat. Dan setelah raungan mesin sepeda motor itu tak lagi kudengar, kugerakan lagi kedua kakiku. Selain suara motor, daun telingaku pun menangkap beberapa suara ibu-ibu yang menyuruhku berhati-hati melangkah. Aku hanya memamerkan lesung di pipiku untuk menjawab kalimat-kalimat para Ibu itu. Oiya, kebetulan tempat yang akan kutuju sekarang ini memiliki rute yang sama seperti rute saat hendak menuju rumah Aya. Bahkan tempat yang akan kutuju sekarang lebih mudah kuakses mengingat letaknya yang berada di pinggir jalan tanpa perlu masuk gang.
            Hufft, akhirnya sampai juga. Ada suara yang menyambutku. Kukenal suara itu. Suara itu adalah suara pamanku yang kebetulan pemilik took yang sedang kudatangi ini. Perlakuan baik pun aku terima dari pria yang sehari-hari dikenal sebagai guru mengaji itu. Tak hanya dia, sang istri pun memperlakukanku dengan baik. Maklum lah, aku kan jarang keluar rumah. Jangankan setelah jadi seorang Tunanetra, ketika masih awas pun aku jarang keluar rumah, apalagi berkunjung ke rumah saudaraku yang satu ini. Setelah barang yang kuinginkan telah kudapatkan, aku pun ijin pulang pada pasangan suami istri itu. Mereka terlihat tak tega membiarkanku pulang sendirian. Bibiku kemudian menawarkan bantuan padaku. Ya, dia akan mengantarkanku pulang menggunakan sepeda motor. Tapi buru-buru kutolak niat baik bibiku itu. Kubilang saja kalau aku ingin belajar jalan sendiri agar terbiasa. Akhirnya dia pun melepasku dengan tatapan tak tega. Tapi belum genap aku melangkah, Bibiku kembali menahanku. Kupikir ada apa, ternyata dia memberikan beberapa lembar uang untukku. Wah, mimpi apa ya aku semalam? Alhamdulillah ya hehee. Tak hanya itu, Bibiku juga memberitahuku bahwa salah seorang sepupuku yang bernama Dhea sedang berjalan ke arahku. Si Dhea yang sekarang masih duduk di bangku kelas 1 SD itu rupanya telah pulang dari sekolahnya. Akhirnya Bibiku menitipkanku pada anak kecil yang di rumah biasa dipanggil Denok alias Dede Nok. Tapi rupanya bocah mungil itu tak mau pulang bareng bersamaku. Ah, si Denok memang begitu. Bisa dibilang aku dan dia sering terlibat percekcokan, baik akibat berebut boneka atau pun akibat kejahilanku padanya. Hmm, mungkin si Denok dendam padaku hehee. Okay, taka pa…biarkan kami pulang masing-masing saja. Akhirnya aku tetap berjalan berdua saja dengan pacarku dan si Denok pun pulang sendirian.
            Singkat cerita, kini aku telah berada di rumahku. Aku telah sampai dengan selamat tanpa kurang suatu apapun, justru aku membawa sebuah oleh-oleh di kantong celanaku. Ya, beberapa money berhasil mengisi kantong celanaku. Lumayan bisa untuk menyambung nyawa Handphone-ku hehee. Nah, serentetan petualangan telah kulewati bersama pacarku, lalu bagaimana dengan nasib si virus jenuh itu? Hmm, sepertinya virus itu telah hangus terbakar terik matahari hehee. Yup, sekarang ini aku sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Rasa jenuhku hilang dan rasa semangatku kembali tumbuh. Hmm, sepertinya aku harus duduk kembali di depan Laptopku untuk bercerita pada si Laptop tentang petualanganku bersama si Tongkat.
            Kartuneters, ngantuk gak dengerin ceritaku itu? Huahhh…aku malah ngantuk lho. Udahan dulu kali ya, lagi pula ceritanya juga udah selesai kok. Punten ya kalau lagi-lagi ceritanya gak mutu hehee. Gak tahu deh kapan si Eka bisa bikin tulisan yang baik dan bermutu. Okay okay…langsung ditutup aja ya. Mari kita tutup dengan bacaan Hamdallah…hehee…
Sampai jumpa di lain waktu ya, Kartuneters! Salam Akselerasi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar