Alohaaaaa…Eka balik lagi nih. Seperti biasa, aku mau corat-coret di forum curhat nih. Coretanku kali ini gak jauh beda sama coretanku yang sebleumnya kok. Coretanku kali ini masih bercerita soal “Petualangan” bareng Tongkat-ku. Jujur, petualangan kali ini lebih mendebarkan lho. Wah, di petualangan kali ini aku bener-bener dituntut untuk memecahkan masalah yang muncul menghimpitku. Nah, kira-kira aku bisa gak ya memecahkan masalah-masalah yang muncul dalam petualanganku? Demi menjawab pertanyaan itu, lebih baik simak aja ya ceritaku.
Oiya, sebenernya ceritaku ini udah berlangsung agak lama, tepatnya pada bulan November lalu. Tapi maaf baru sempet aku certain sekarang heheheh. Basi gak ya kira-kira? Ya mudah-mudahan aja gak basi ya. Oiya, sebenernya ada sedikit musibah yang kualami ketika menulis cerita petualangan ini. Beberapa waktu lalu aku udah bikin ceritanya, lumayan panjang deh. Tapi tiba-tiba aja ada sebuah musibah, tulisanku itu kehapus. Aduh, menyebalkan banget. Jujur, karena musibah itu aku jadi males nulis hehehhe. Kecewa berat lah pokoknya. Nah karena itulah akhirnya tulisan itu baru kuselesaikan sekarang, itu pun baru sampai part 1 hehehhe. Gak apa-apa kan ya, gak basi kan? Hehehhe. OK, kalau gitu kita simak aja yuk petualanganku yang terangkum dalam 3 hari tak terlupakan dalam Workshop Kewirausahaan di kota Semarang. Yuk mari…
Jum’at, 25 November 2011…
“Sayang, ini aku berikan setangkai mawar ini untukmu. Mawar indah ini hanya cocok jika kuberikan pada sosok yang juga indah sepertimu” kata seorang cowok tinggi yang begitu kukenal meski mukanya mirip layar kaca penuh semut alias tak jelas hehehe. “Iya, saying. Makasih ya” kataku sambil menerima setangkai bunga yang diberikan oleh si cowok yang selama ini kurindukan itu. Situasi yang mengiringi drama antara aku dan cowok itu benar-benar romantis. Di kanan-kiriku terhampar berbagai jenis bunga dengan beraneka ragam warna dan aroma. Selain itu, semilir angin menyapu kulit kami, membelai mesra rambut sebahuku dan berbisik penuh gelora di telingaku. Sementara itu, di salah satu ranting pohon Jengkol tak jauh dari tempatku, ada dua ekor burung nuri yang tengah membawa kamera di tanganya. Mereka sibuk mengabadikan moment-moment indah yang kutunjukkan brsama si cowok yang mukanya tetap blur meskipun dia hanya berjarak beberapa senti dari mukaku. Lengkap sudah drama romantic kali ini. Ah, tunggu dulu, masih ada satu lagi yang terlupa. Sebuah lagu berjudul “I Heart You” milik Boyband “Smash” tak lupa distel sebagai soundtrack drama dua anak manusia yang sedang dimabuk asmara. Sesuai lagunya, hatiku pun cenat-cenut ketika berada di dekat si cowok. Tapi sebuah sentuhan lembut di atas jari-jemariku membuat “cenat-cenut” itu hilang entah kemana. Sentuhan itu seakan meyakinkanku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Aku pun menyambutnya dengan sebuah senyuman. Aku terbang tinggi, melayang bersama cowok pujaanku itu. Tapi lama kelamaan ada sebuah ketidaknyamanan yang kurasakan. Semilir angin yang semula membelaiku penuh rasa, kini berubah menjadi Tornado yang setiap detiknya terasa makin kencang bergemuruh. Kemudian, nasib si Bunga-bunga yang semula semampai di kanan dan kiriku, kini terlihat sempoyongan seperti habis terkena pegal linu dan asam urat. Dan lagu “Cenat-cenut” itu, perlahan menghilang. Yang terdengar sekarang hanyalah sebuah alunan music “Rock” yang merangsek masuk ke dalam lubang telingaku. Dan tahukah kamu siapa Rocker di balik semua itu??? Tak lain dan tak bukan dia adalah Ibuku, si wanita beranak dua yang gagah perkasa hehehe *emangnya Samsons*. “Bangun!! Udah mau jam tiga, buruan bangun!!” begitu kurang lebih nyanyian Rock Ibuku. Ah, drama romantis itu hilang entah kemana gara-gara nyanyian Ibu yang memekakan telinga. Kenapa tiba-tiba si Ibu nongol di tengah-tengah drama yang sedang kupentaskan? Bukannya dramaku itu hanya menyertakan dua tokoh yaitu aku dan si cowok pujaanku, lantas kenapa Ibu nongol??
Aku mengucek kedua mataku sambil diselingi sebuah aktivitas menguap. Perlahan kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru. Dimana setting drama itu? Tak ada taman bunga, yang ada hanya tumpukan bantal dan gulungan selimut berbau apek. Where is My Prince?? Alamak, kenapa yang nongol justru tubuh besar Ibuku?? “Ayo Bangun!! Jangan molor terus!!” teriakan Ibu tiba-tiba disemprotkan padaku yang sejatinya masih belum “hidup” seutuhnya. Sejenak aku mengaduk-aduk pringan hitam dalam otakku, mencari file yang terekam beberapa saat lalu sebelum si Ibu nongol di hadapanku. “My Prince…My Prince…My Prince…” kataku dalam hati, berharap rekaman peristiwa beberapa saat lalu kembali terputar hanya dengan menyebut kata “My Prince” berulang kali. Ah, berhasil!! Jurus mengulang kata “My Prince” yang kulakukan tadi ternyata membuahkan hasil. Aku mengingat drama romantis itu. Semuanya kembali tersaji dalam ingatanku. Tapi saying sungguh saying, drama romantis itu ternyata hanya sebuah mimpi di pagi buta. Ya, semua itu hanya mimpi, lagi-lagi mimpi. Oh My Prince, you’re still in My dream. Kupikir aku telah benar-benar bertatap muka dengan My Prince.
Aku menghela nafas panjang. Belum sempat nafasku sampai ke ubun-ubun, tiba-tiba sebuah teriakan kembali menghentak, memutuskan nafasku dan memotongnya pas di tenggorokkan. Aku tersentak, dadaku sesak. Buru-buru kutegakkan tubuhku dan membiarkan serpihan-serpihan ingatan tentang mimpi indah bersama My Prince tertinggal di atas bantal, melekat dengan cairan berbau yang sempat kukeluarkan dari mulutku saat tertidur selama kurang lebih lima jam itu hehehehe. Melihat anak gadisnya yang Nampak cantik dengan piyama ungu plus rambut mobat-mabit bak sampah di kali Ciliwung telah tegak di hadapannya, ia pun akhirnya menghentikan nyanyian Rock-nya. Bagus…bagus…bagus…begitu baru bagus!! Kasihan kan ayam tetangga pada mati gara-gara teriakan Ibuku hehehehe. “Kamu mau berangkat jam berapa? Ini udah mau jam tiga” kata Ibu dengan suara yang tak meledak-ledak lagi. “Hmm, apa tadi Ibu bilang?? Berangkat?? Berangkat kemana??” tanyaku dalam hati sambil kedap-kedip. “Ngapain kedap-kedip, Ka? Lagi godain Pak Hansip di pos ronda ya?” Tanya sebuah guling yang kuhimpit dengan kedua kakiku. “Bukan lagi godain Pak Hansip, tapi lagi ngeluarin kotoran di mataku hehehe. Mau?? Gratis deh buat kamu…” jawabku sambil nyengir. “Ogah!! Dasar cewek jorok!!” teriak si Guling. “Biarpun jorok yang penting manis hahahah” kataku penuh kenarsisan. Ya, hari gini gak narsis ya gak hidup, betul kan? *Teori dari mana tuh? Hahaha*. Back to the question!!! Ada yang tahu jawaban di balik kata “berangkat” itu? “Keretamu berangkat jam berapa, hah? Pak Tito nyuruh kamu berangkat jam berapa? Kamu mau naik Kaligung yang jam berapa?” suara Ibu tiba-tiba menyembul di antara Tanya yang kulontarkan pada seisi penghuni kamar. Selain memangku jabatan sebagai seorang Ibu dari dua orang putra-putri, Ibuku sepertinya merangkap juga sebagai seorang cenayang. Buktinya dia bisa melontarkan jawaban dari pertanyaan yang kulontarkan dalam hati. Si Ibu rupanya memiliki bakat terpendam sebagai seorang cenayang, dia bisa tahu apa-apa yang sebenarnya tak bisa diketahui oleh nalar manusia hehehe *Lebay…ngomong apa kau ini, Ka?*. OK, kembali ke track!! Aku tersentak mendengar serentetan kalimat yang dilontarkan Ibu. Kesadaranku akhirnya pulih setelah mendengar kata “Kereta” dan “Kalligung” plus sebuah nama yang taka sing lagi di jagat perpijatan Kabupaten Brebes yaitu nama “Tito”. Aku familiar betul dengan ketiga clue itu. Kalau dijadikan satu, ketiga clue itu membentuk sebuah kesimpulan, yaitu “Workshop”. Ya, Workshop Kewirausahaan, itulah alas an dibalik teriakan Ibu plus kesimpulan di balik ketiga clue itu. Hari ini aku memang berencana bertolak ke Semarang untuk mengikuti Workshop Kewirausahaan. Dan menurut perintah dari Pak Tito selaku ketua Pertuni Brebes, aku dimandatkan untuk meluncur ke stasiun Kabupaten Brebes pada pukul 3 pagi. Wah, pagi sekali ya. Tapi memang harus begitu, sebab si Kaligung akan meluncur ke Semarang pagi-pagi benar.
Akhirnya aku langsung meloncat dari tempat tidur. Hap hap hap…terus meloncat melewati lemari dua pintu, melewati sebuah meja berisi tetek bengek kewanitaan, plus melewati sebuah pintu kamar yang sudah terbuka. Aku ngebut ke kamar mandi. Tentu semua itu demi efisiensi waktuku pagi ini agar tak telat dating ke Stasiun. Dan sesampainya di kamar mandi, tubuhku gemetaran. Tanganku rasanya tak sanggup menyentuh air yang menghuni kolam di kamar mandi miniku ini. Tubuhku masih gemetaran, bibirku pun tak kalah keras bergetar. Udara pagi ini memang sangat dingin. Ah, tapi mau sampai kapan ya aku brdiri di samping kolam?? “Ayo Eka ayo Eka, kamu pasti bisa!! Ayo sentuhkan tanganmu pada air itu!! Ayo ayo ayo!” teriak botol shampoo, pasta gigi dan sikat gigi. Mereka bertepuk tangan sambil berteriak, mirip supporter Indonesia saat menonton para Atlet Indonesia berlaga di ajang Sea Games beberapa waktu lalu. Mendengar support dari para fans-ku itu, semangatku jdi memuncak. Akhirnya aku langsung menceburkan tanganku ke dalam kolam, menciduk air dengan gayung berwarna merah, kemudian mengguyurkannya pada tubuh jangkungku. Kecipak…kecipuk…kecipak…kecipuk…gemericik air yang beradu dengan lantai kamar mandi terdengar istimewa di pagi yang masih sangat buta ini. Rasa dingin sebenarnya menusuk tulangku tapi semua itu harus bisa kutahan demi binasanya bau yang menempel di tubuhku. Maklum saja, aku akan berkencan dengan si Tongkat, jadi harus wangi dong heheheh.
Sebuah medali emas telah kuraih setelah berhasil mengalahkan rasa dingin di kamar mandi beberapa saat lalu. Kini aku tengah mematut di hadapan cermin dengan sebuah medali tergantung di leherku. Sebuah baju berwarna abu-abu yang cicilan kreditnya baru saja lunas sebulan yang lalu plus sebuah jeans berwarna abu-abu pula, telah menempel di tubuhku. Aku sebenarnya kurang PD dengan baju ini. Jujur, aku baru dua kali ini memakai baju ini meskipun baju ini telah lama kumiliki. Selama ini baju berlengan panjang ini hanya menghuni lemari pakaianku. Nah, kenapa sekarang aku mau memakai baju ini?? Alasannya Cuma satu, yaitu “paksaan dari Ibu”. Ya, itu dia alasanku memakai baju ini. Kalau bukan karena paksaan dari Ibu, mungkin sekarang ini si baju abu-abu ini masih menjomblo di lemari pakaianku. Menurut beberapa pendapat orang, aku keliatan OK menggunakan baju ini. Hehehehe…GR nih. Tapi tetap saja aku kurang PD. Aku merasa seperti emak-emak beranak tiga hehehe. “Norak!!! Gak tau mode!! Anak muda di luar sana banyak yang pada pake baju itu, nah kamu sendiri malah gak mau. Dasar anak norak!!” begitulah teriakan si Ibu ketika diriku menunjukkan penolakan terhadap baju abu-abu itu. Hmm, kalau dipikir-pikir yang norak itu aku atau Ibuku ya?? “Kamu yang norak, Eka. Kamu cocok kok pakai baju itu. Terlihat anggun dan matang. Apa lagi kalau jilbabmu sudah kau pasang, bweh pasti mantap semantap buah Durian” sebuah cermin yang berdiri di hadapanku tiba-tiba angkat bicara mengomentari penampilanku pagi ini. Biasanya sebuah cermin tak pernah bohong, betul tidak? Nah, kalau si cermin melontarkan pujian padaku, itu tandanya aku memang layak dipuji hehehe *narsis banget*. OK lah, PD aja!! Sip, biarkan baju ini menemaniku berpetualang bersama si Tongkat hari ini. Dan setelah siap dengan busana, kini tiba saatnya untuk menyantap sarapan. Sedari kemarin aku memang hanya menyantap sepiring nasi goring, setelah itu tak ada lagi yang kusantap. Wajar saja kalau sekarang aku minta dibuatkan sarapan oleh Ibu. Selain itu, perjalanan yang akan kutempuh terhitung panjang, jadi aku memerlukan energy lebih dan sarapan tentulah bagus untuk menambah energiku. Tara…sepiring nasi plus Sarden hangat kini siap kusantap. Yuk, mari makan!!! Sementara aku asyik dengan makananku, di sudut lain rumahku, teriakan Ibu kembali menggema. Kali ini Bapak lah yang menjadi sasaran. Ibu terdengar sibuk membangunkan Bapak yang sebetulnya baru dua jam tertidur. Sebenarnya aku merasa kasihan pada Bapak, dia pasti kelelahan, tapi apa boleh buat, kalau bukan Bapak yang mengantarku lalu siapa lagi?!?
Kreteeeekkkk…pintu gerbang dibuka oleh Ibu. Sementara itu, aku dan Bapak telah siap di atas sepeda motor pinjaman. Ya, aku memang tak memiliki sepeda motor, jadi sepeda motor milik sepupuku lah yang kupinjam. Perlahan roda sepeda motor yang kutumpangi pun berputar melewati pintu gerbang tua yang telah menganga. Aku melambai pada Ibu setelah ssebelumnya mencium tangannya. Angin pagi yang masih perkasa dengan kekuatan sang malam nakal menggerogoti tubuhku yang sebenarnya telah dilindungi oleh sebuah sweater berwarna hitam. Muka, telapak tangan, dan kaki terasa membeku. Aku kedinginan plus ketakutan. Kok bisa? “Kamu ngelihat kuntilanak ya, Ka?” Tanya Bintang-bintang kecil berwarna-warni yang melingkar manis di pergelangan tanganku. “Kuntilanak dari Hongkong!! Gimana bisa ngelihat Kuntilanak, ngeliat muka sendiri aja kesusahan” jawabku sambil menahan dingin. Rasa takutku muncul karena udara dingin ini. Aku takut Rematikku kambuh, aku takut alergiku kambuh, dan aku takut perutku kembung. “Manja banget!!” kata Helm putih yang menempel di kepala Bapak. Bukan manja, tapi memang begitu. Kalau terkena udara dingin pasti Rematikku kambuh. Selain itu, alergi yang kuderita pasti akan menghadiahiku tat arias “bentol-bentol” plus gatal-gatal di sekujur tubuh tatkala dingin membelaiku. Dan ada satu lagi, perut buncitku. Ya, perut ini kerap rewel tiap kali desir angin bercampur dingin menyapa tubuhku. Benar-benar merepotkan!! Nah, atas dasar itulah sekarang ini aku ketakutan. Tentu aku tak ingin mukaku yang sudah kinclong macam kaca mobil Pak SBY ini berubah bengkak oleh alergi yang kumiliki. Oiya, tahukah kamu sesuatu yang special di dalam tas miniku? Tentulah yang special itu bukan sebuah mesin cuci apa lagi seperangkat computer heheheh. Yang special di dalam tasku adalah beberapa bungkus “Tolak Angin Cir”. “Hush hush hush…jangan nyebutin merk disini dong! Promosi tuh namanya” teriak Mickey Mouse berwarna coklat yang sedang nongkrong di jilbab putihku. “Ups, maaf keceplosan! OK, kalo gitu disensor aja ya” kataku sambil nyengir. Ya, beberapa bungkus “Teeetttt” *disensor* sengaja kubawa untuk mengantisipasi kerewalan perutku. Dari pada di Semarang nanti aku tergeletak tak berdaya akibat perut kembung, lebih baik sedia paying sebelum hujan alias sedia obat sebelum kembung itu dating.
Deru angin yang bercampur dengan deru knalpot kendaraan yang berlari di jalan pantura, keras menghantam tubuhku dan tubuh Bapak. Dingin masih merajai sekujur tubuhku. Dan kini tak hanya rasa dingin dan takut saja yang bergejolak di dadaku, tapi ada sebuah perasaan baru yang tergambar dari muka bulatku. “Cemas”…itulah perasaan baru yang hadir menemani dua rasa sebelumnya. Perasaan cemasku hadir seiring pagi yang mulai melek. Ya, binasanya kebutaan sang pagi tentulah akan berdampak pada kereta Kaligung yang akan membawaku berpetualang ke Semarang. Aku cemas si Kaligung akan kabur tunggang langgang ketika sang pagi tak lagi buta. Dan kalau si Kaligung sudah tancap gas, lalu bagaimana nasibku? Aku sadar bahwa Bapakku mengemudikan sepeda motor tak seperti biasanya. Kalau biasanya dia mengemudikan Speda Motor dengan gaya Pedrosa, tapi yang Nampak sekarang malah gaya kura-kura naik motor. Pelan, meski tak sepelan Ibuku ketika berkendara. Oh ternyata lubang-lubang yang menganga di sepanjang jalan lah yang membuat Bapak meninggalkan gaya Bang Pedrosa. OK lah, it’s good but It’s not a good choice!! Kalau melaju dengan kecepatan seperti ini, sudah bisa dipastikan diriku tak akan menjumpai tubuh panjang si Kaligung. Hmm, lebih baik berdoa saja, mudah-mudahan si Kaligung tak buru-buru kabur meskipun sang pagi mulai menanggalkan kebutaannya.
Cekiittt…Bapak menghentikan laju Speda Motornya tepat di sebuah tempat yang sudah bisa kutebak tempat apa ini. Stasiun, kurasa itulah nama tempat yang terasa sepi ini. Meskipun kedua mata bulatku yang bersembunyi di balik kacamata berlensa bening ini tak mampu menangkap setiap lekuk tempat yang sedang kuinjak ini, tapi suara khas petugas Stasiun yang mengalun pada pengeras suara yang terpasang di setiap sudut Stasiun cukup membuatku yakin bahwa tempat ini adalah Stasiun. Akhirnya sampai juga!! “Mau ke Semarang ya, Pak?” tiba-tiba ada seberkas suara yang menyembul di sisi kananku. Buru-buru aku menoleh kea rah sumber suara. Tak kudapati apa-apa disana, yang kudapati justru kalimat lanjutan dari kalimat sebelumnya. “Keretanya baru aja berangkat, Pak!” lanjut orang asing itu tanpa memberi kesempatan pada Bapak untuk menimpali kalimatnya. “Ini orang kok bisa tahu ya kalau aku mau ke Semarang?! Apa di punggungku ada sebuah tulisan yang berbunyi ‘aku mau ke Semarang’ ? hehehe” kataku dalam hati. “Gak usah ketawa, Eka. Lebih baik urusi aja nasibmu! Kamu ketinggalan kereta lho” ledek Helm putih yang menempel di kepala Bapak. OK, mari pasang muka cemas plus ketakutan, kata Pak Sutradara ekspresinya harus bgitu!! “Oh, keretanya udah berangkat ya. Udah lama, Pak?” kata Bapak kepada orang asing tadi. “Belum lama kok, Pak. Baru aja jalan. Coba dikejar aja ke Tegal!” kata si orang asing memberi saran. “Kalau gitu ke Tegal aja, Pak!” kataku pada Bapak dengan muka cemas, mirip seorang nenek yang sedang menanti kelahiran cucunya. “Coba ditelpon dulu temennya, Nok!” kata Bapak menyuruhku menelpon Pak Tito yang tak kujumpai batang hidungnya di tempat ini. “Bapak ada dimana? Eka ada di stasiun, Pak. Tapi keretanya udah berangkat…” kataku pada lelaki yang ada di ujung telpon sana. “Saya udah di kereta sama Pak Walim, Mbak. Coba Mbak Eka ke Tegal aja, siapa tahu keretanya kekejar” kata Pak Tito yang suaranya tak begitu jelas tertutup gemuruh kereta yang ditumpanginya. “Ya udah Eka kesitu ya, Pak. Biar Eka berangkat ke Semarang sendirian aja. Nanti kita ketemu di Poncol aja ya, Pak” tegasku pada Pak Tito. Dan pembicaraan pun berakhir seiring pulsaku yang ludes sebesar Rp 1000,-. “Ayo Pak, kita ke Tegal aja!” kataku pada Bapak. Kemudian kami pun beranjak pergi meninggalkan stasiun Kabupaten Brebes yang Nampak lengang setelah sebelumnya berpamitan pada orang asing yang kutemui tadi. Kecemasanku ternyata terbukti. Si Kaligung membawa kabur kedua teman seperjuanganku yaitu Pak Tito dan Pak Walim dan meninggalkan gadis semanis diriku seorang diri *narsis*. Kalau sudah begini, terpaksa aku terbang ke Semarang sorang diri. Aku bisa bilang begitu sebab aku bisa memprediksi bahwa kereta yang ditumpangi dua teman seperjuanganku tak akan mampu kukejar. Kami akan terpisah. Bagaimana nasibku kelak ya? Atau aku pulang lagi saja? Ah, jangan Eka! Kalau aku pulang, sosok yang ada dalam mimpiku malam tadi tak akan kujumpai. Ayo semangat Eka!
Kini aku dan Bapak telah sampai di kota yang penuh kenangan setelah menmpuh perjalanan kurang lebih 20 menit. Tegal Keminclong Muncer Kotane, itulah jargon yang didengungkan oleh kota yang Stasiun Kereta Apinya sedang kuinjak ini. Sepeda Motor pun telah diparkir dan tas hitam buncitku pun sudah diturunkan. Kini saatnya melangkah masuk ked alam Stasiun. “Pak…” kataku pada Bapak ketika pluit tanda dimulainya langkah ditiupkan oleh sang waktu. Lelaki pensiunan yang tadi memboncengku sepertinya lupa kalau anak pertamanya adalah seorang Tunanetra. Dia melengggang begitu saja tanpa menggandeng anak gadisnya ini. Akhirnya setelah kata “Pak” aku hadiahkan padanya, ia pun mengaitkan tanganku pada lengannya. Aku melangkah mengikuti derapnya. Jujur, ada rasa canggung yang merambat di sekujur tubuhku. Rasa canggung ini sepertinya lebih besar dari rasa canggungku ketika harus berpegangan tangan dengan seorang cowok saat mementaskan drama “Cinderella” sewaktu SMA dulu heheheh. Memang aneh, terhadap Bapak sendiri kok canggung. Tapi itulah aku. Bisa dibilang sikapku pada Bapak lebih mirip seorang murid terhadap gurunya dari pada seorang anak pada Bapaknya. Aku pun tak tahu mengapa sikapku jadi kaku padanya, padahal sewaktu kecil sampai SD aku tak pernah absen mendapatkan pelukan dan ciuman dari lelaki yang di lututnya terdapat bekas operasi akibat tersenggol timah panas itu. Tiap kali Bapak pulang kerja, dia selalu menggendongku dan menghadiahiku berjuta mimpi indah. Tapi entah mengapa sekarang tak Nampak lagi aksi-aksi semacam itu. Untuk sekedar bertegur sapa pun sangat jarang kami lakukan, padahal kami tinggal di satu atap. Mungkin semua itu karena sekarang usiaku telah bertambah, sudah 20 tahun, jadi sepertinya tak pantas lagi kalau Bapak menggendongku hehehe. Bisa jadi tubuhnya ambruk saat menggendongku.
“Mau yang Eksekutif atau yang Bisnis, Pak? Tanya seorang petugas penjual Tiket yang sosoknya tak Nampak di pelupuk mataku. “Mau yang Eksekutif atau yang Bisnis, Nok?” Tanya Bapak padaku. “emangnya yang Bisnis masih ada ya, Pak?” aku malah berbalik Tanya pada Bapak. “Masih ada, Mbak. Kereta Bisnis nyambung sama Eksekutif…” bukannya Bapak yang menjawab, tapi malah si petugas yang berada di balik loket lah yang menjawab. Akhirnya kupesan kereta Bisnis. Maklum lah, uangnya pas-pasan hehehe. Intermezzo sebentar ya, kemarin tapatnya pada tanggal 24 November, aku bergerilya dari satu rumah ke rumah lainnya. Bukan untuk meminta sumbangan, tapi untuk meminjam uang hehehe. Ya, untuk memperoleh perbekalan guna melanglang buana ke Semarang, aku harus meminta pinjaman pada saudara-saudaraku, dan kali ini kulakukan seorang diri tanpa campur tangan Bapak atau Ibu. Kok bisa sih? Memangnya tak ada dana dari Pertuni ya? Kebetulan kas Pertuni Brebes sedang cekak jadi aku dan dua orang lainnya yaitu Pak Tito dan Pak Walim terpaksa harus merogoh kocek pribadi untuk mengikuti Workhsop Kiwarusahaan itu. Ya sudah, akhirnya aku montang-manting kesana-kemari demi mendapat suntikan dana hehehe.
Sebuah tiket perjalanan pun telah berada di genggamanku. Dan pacar alumuniumku pun tak lagi menghuni tas buncitku. Dia telah kukeluarkan dari persembunyiaannya. Kini aku terduduk manis di atas sebuah kursi sambil memangku tongkat alumuniumku. Aku menyandarkan tubuhku pada kursi yang sedang kududuki. Aku menghela nafas panjang. Perlahan kuusap keningku meski disana tak ada sebutir pun keringat. Kemudian, kubuka tas miniku, kuaduk-aduk isi tas itu demi mendapati sebutir permen yang telah kubawa dari rumah. Setelah melucuti pakaian si permen, tanpa ragu kumasukkan permen itu ke dalam mulutku. Aku menggoyang lidahku, merasakan setiap sensasi yang diciptakan oleh permen dengan rasa mint itu. Seiring dengan sensasi si permen yang mulai menjangkit sekujur tubuhku, moment-moment kurang mengenakan yang sempat kualami saat di stasiun tadi pun mencuat dalam benakku. “Aku ketinggalan kereta, ketinggalan temen, dan harus pergi ke Semarang sendirian” batinku sambil mengamati serentetan adegan yang terjadi menimpaku sebelum akhirnya aku terduduk disini. Aku mengucek-ucek bungkus permen yang masih menghuni tanganku. Dari sorot mataku Nampak sebuah rasa kesal yang teramat sangat. Ya, aku memang sedang kesal pada nasib malang yang menimpaku. Seandainya tadi pagi Ibu tak terlambat membangunkanku, seandainya jalan pantura yang kulalui tak dipenuhi oleh lubang-lubang menganga, seandainya aku tak tertahan oleh para pelaku kehidupan di Pasar tak jauh dari Stasiun Kabupaten Brebes, pastilah aku tak akan ditinggal pergi oleh Kaligung yang ditumpangi oleh teman seperjuanganku yaitu Pak Tito dan Pak Walim. “Sudahlah Ekka, tak usah diratapi. Yang penting kamu bisa tetep berangkat ke Semarang. Kamu pasti bisa!” kata pacar alumuniumku. “Ya, aku pasti bisa! Aku kan bukan penakut. Lagi pula aku kan ditemani pacar alumuniumku, jadi buat apa takut!” kataku menyemangati diri sendiri.
Jujur, ada sedikit ketakutan yang kurasakan saat ini. Bayangkan saja, beberapa saat lagi aku akan melangkah ke kota Semarang seorang diri. Bagaimana nasibku di kereta kelak, lalu bagaimana nasibku saat turun dari kereta kelak? Tapi semua perasaan takut itu langsung kusingkirkan ketika baying-bayang “Workshop” dan “Pangeran Impianku” berseliweran dalam benakku. Semua ini pasti bisa kutaklukan semudah aku menaklukan petualangan-petualangan lainnya. Ya, kurasa petualangan kali ini akan lebih mudah dari petualangan si kelinci imut “Tinny Toon” ketika berada pada level gua es dalam permainan “SEGA”. “Hayoo, pada inget jenis permainan itu gak? Itu lho game jaman dulu hehehhe” tanyaku. “Aku tahunya permainan congklak, Ka…” jawab tas miniku.
Setelah rasa takut bisa kusingkirkan, kini aku menyibukkan diri untuk mengamati setiap jeeritan alat transportasi massa bernama “Kereta” yang Nampak heboh berlarian di atas track-nya. Sembari mendengar jeritan kereta-kereta itu, daun telingaku pun kupasang untuk menangkap informasi yang mengalun dari pengeras suara yang terpasang di setiap sudut stasiun. Tentu semua itu kulakukan demi mengetahui apakah kereta yang kunanti telah tiba atau justru terlambat dating. “Bagi penumpang Kaligung Emas jurusan Semarang, mohon bersabar sebentar karena Kaligung Emas sedang mengalami trouble. Mohon maaf atas ketidak-nyamanan ini. Terimakasih…” sebuah pengumuman tiba-tiba meluncur dari pengeras suara yang sedari tadi kuperhatikan. Seiring dengan meluncurnya pengumuman itu, beberapa orang pun terdengar bersorak penuh kesal. Kuyakin orang-orang itu adalah para penggemar si Kaligung yang merasa kecewa karena tak bisa segera bertemu si Kaligung. Tak jauh beda dengan mereka, aku yang juga tengah menanti kedatangan si Kaligung, turut melemparkan rasa kecewaku. Tapi ekspresi kecewaku tak kutunjukan dengan sorak-sorai apa lagi dengan mengobrak-abrik stasiun, melainkan cukup dengan menendang tas buncit berwarna hitam yang berdiri tak jauh dari kakiku. Aku sadar perbuatanku itu adalah perbuatan biadab karena telah menyakiti benda tak berdosa, tapi apa boleh buat. Sebenarnya aku ingin menendang bola tapi di stasiun ini tak ada bola jadi kutendang saja tas buncitku heheheh. Semua aksiku itu semata-mata karena ingin mengobati rasa kecewaku dan sebagai penebus rasa jenuhku karena sudah menanti si Kaligung sejak tadi. Kemudian, di tengah-tengah rasa kecewaku, kudapati Handphone-ku menjerit. Buru-buru kurogoh tas miniku demi mengetahui apa yang telah menimpa Hanphone jomblowati itu. Ternyata jeritan si Handphone bukan karena tubuhnya terjepit rongsokan di dalam tas miniku, melainkan karena ada sebuah SMS yang mampir padanya. Senyumku tiba-tiba saja terkembang, melunturkan rasa kecewa yang semula mendominasi muka bulatku. Senyumku tambah lebar dan memaksa lubang di pipi sebelah kananku menyembul di antara padatnya lemak di pipiku ketika kudengar isi dari SMs itu. Seketika saja stasiun yang sedang kuinjak ini berubah menjadi taman bunga yang dipenuhi warna-warni kembang. Jeritan kereta-kereta yang berlalu-lalang seketika berubah menjadi gemericik anak sungai yang menyejukkan jiwa. Sementara itu, teriakan para pedagang asongan, terdengar merdu bak kicau burung gereja di ranting pohon. “Siapa yang mengirim SMS itu?” Tanya pacar alumuniumku. Bukannya menjawab, aku malah geleng-geleng sambil melempar senyum padanya. Kurasa dia kesal padaku dan penasaran juga tentunya. Bagaimana dengan kalian? Penasaran kah? Hmm, kurasa biar aku saja yang tahu siapa pengirim SMS tadi. Dan, akhirnya sebuah SMs balasan pun kukirim pada si sosok rahasia itu hehehe.
Ngung jegjeg ngung jegjeg…sebuah kereta berlari perlahan menuju kea rah stasiun sambil berkata, “I’m coming…Let’s go to Semarang!!”. Mendengar kalimat si kereta, aku jadi gelisah. Apa mungkin kereta itu adalah si Kaligung? Kalau memang benar, itu artinya aku akan segera dibawa pergi oleh kereta itu. Ah, tapi dimana Bapakku?? Benarkah dia si Kaligung? Demi menjawab semua pertanyaanku, akhirnya kuputuskan untuk bertanya pada siapa saja yang bisa menjawab, tak terkecuali Pak Albert Einstein *ngawur!*. Aku mengarahkan tubuhku ke sisi kanan. Dari aura yang kurasakan, sepertinya di sisi kananku ada seseorang yang tengah duduk. Baiklah, mari kita coba Tanya padanya tentang si kereta yang baru dating tadi. “Permisi, mau kemana ya?” tanyaku tanpa menyematkan kata sapaan seperti “Pak”, “Bu”, “Mbak”, “Mas” apa lagi “Brother”. Maklum saja, aku memang tak mengetahui jenis kelamin seseorang yang sedang kutanyai. “Iya, aku mau ke Semarang. Kalau Mbak mau kemana?” kata orang yang tadi kutanyai dengan penuh keramahan. Ah, aku baru tahu, ternyata dia seorang perempuan muda. “Oh, Mbak mau ke Semarang juga ya, sama dong. Oiya, itu keretanya ya Mbak?” tanyaku sambil melempar senyum. “Iya, itu keretanya…” jawabnya lagi-lagi dengan penuh keramahan. “Kalau gitu naik sekarang ya, Mbak? Mbak naik yang Eksekutive atau yang Bisnis ya? Nanti aku boleh bareng kan, Mbak?” ungkapku sambil melempar Tanya padanya. “Naiknya nanti aja, masih lama kok. Aku naik yang Eksekutive. Iya, nanti kita naik bareng” jawabnya. “Oh, kita beda gerbong. Kalau aku yang Bisnis,” kataku dengan sedikit kecewa. “Gak apa-apa kok. Nanti aku bantu…” perempuan muda itu menawarkan bantuannya padaku. Mendengar kalimatnya itu hatiku sedikit lega. “Mau naik kapan, Mbak?” tanyaku pada perempuan muda di sebelahku setelah kami terdiam kurang lebih 15 menit. “Hmm, nunggu Bapaknya dulu aja. Emang tadi Bapaknya kemana, Mbak?” kata perempuan muda itu sambil berbalik Tanya padaku. “Bapak lagi di Musholla, Mbak. Gak usah nunggu Bapak kalau emang kita harus naik sekarang, Mbak” jawabku sambil menaarik tas hitamku. “Emangnya Bapak gak ikut ke Semarang, Mbak?” tanyanya lagi. Aku menggeleng padanya. “Ya udah kalau gitu kita naik sekarang…” ajaknya sambil memegang lenganku. Aku pun akhirnya bangkit lalu melangkah mengikuti si perempuan muda yang tubuhnya beraroma bunga itu. Sambil menjinjing tas hitamku, aku berusaha melangkah dengan sebaik-baiknya agar tak mengecawakan perempuan muda yang telah begitu perhatian membimbingku berjalan. Dan, tiba-tiba saja langkah kami terhenti. “Tunggu sebentar ya!” kata perempuan itu sambil menyentuh jemariku. Aku pun mengangguk sambil tersenyum. Tepat setelah sebuah senyuman kulemparkan padanya, suara merdu perempuan yang baru kukenal itu tak lagi terdengar di telingaku.
Tak sampai lima menit aku ditinggalkan oleh perempuan muda tadi, kini suaranya telah kembali mengalun di telingaku, tapi kali ini ada suara baru yang menyembul. Suara lelaki siapa itu? “Mbak, aku minta maaf ya gak bisa nganter sampai ke gerbong Mbak. Ini ada petugas yang bisa nganter Mbak sampai ke tempat duduk Mbak. Gak apa-apa kan, Mbak? Maafin aku ya, Mbak…” kata perempuan muda tadi sambil meminta maaf padaku. Tangannya tak lupa ia sentuhkan pada jemariku ketika melontarkan kalimatnya. “Oh, iya gak apa-apa kok, Mbak. Aku yang seharusnya minta maaf soalnya udah ngerepotin Mbak” kataku pada si perempuan muda. “Gak ngerepotin kok, Mbak. Ya udah kalau gitu Mbak sama petugas ini ya” katanya. “Tolong dianter ya, Mas!” lanjut perempuan muda itu, tapi kali ini ia hadiahkan kalimatnya itu kepada petugas stasiun yang hendak mengantarku. Akhirnya aku dan perempuan itu benar-benar berpisah. Kini aku tak lagi dibimbing oleh perempuan ramah yang baru kutemui pagi ini. Yang kali ini membimbingku adalah Mas petugas stasiun yang tadi dimintai tolong oleh si Mbak. Kugerakan tongkatku. Aku terlihat ringan berjalan. Tentu saja, sebab tangan kiriku tak lagi menjinjing tas hitam buncit yang kubawa dari rumah. Sang petugas rupanya menawarkan bantuan padaku dengan membawakan tas buncitku. Wah, lumayan mengirit tenaga heheheh. Langkah demi langkah kubuang demi mencapai gerbong yang kutuju. Tapi tiba-tiba saja ada yang menarik lenganku dari arah belakang, persis di film-film India. Aku pun menoleh kea rah si penarik lengan dengan gaya slow motion, pokoknya persis di film-film India. Bedanya, yang kukibaskan bukanlah rambut hitam menjuntai, melainkan sebuah jilbab berwarna putih dengan motif bunga berwarna biru hehehhe. “Maaf, Mas. Ini anak saya…” mendengar kalimat itu aku langsung sadar bahwa yang menarik lenganku bukanlah Sharur Khan apa lagi Amitha Bachan, melainkan Bapakku sendiri hehehe. Ternyata Bapakku telah kembali dari Musholla. Akhirnya aku dibimbing oleh dua orang kaum Adam yaitu petugas stasiun dan Bapakku.
Akhirnya sampai juga aku di atas stasiun. Aku disuruh duduk di sebuah kursi yang di-desain untuk dua orang penumpang. Tanpa ragu aku pun langsung menghuni sebuah tempat duduk tepat di samping jendela. “Makasih ya, Mas…” ungkapku pada sang petugas stasiun. “Iya Mbak, sama-sama. Ati-ati ya…” kata sang petugas stasiun itu. “Setelah mengucapkan terimakasih pada sang petugas, kini giliran Bapakku yang kuhadiahi ucapan terima kasih sambil mencium tangannya. “Nanti kamu turunnya gimana, Nok?” Tanya Bapak sebelum melangkah pergi meninggalkanku. “Tenang Pak, banyak yang bantu Eka kok…” kataku sambil melempar senyum agar Bapakku itu merasa tenang melepasku pergi seorang diri. “Ya udah, ati-ati ya, Nok!” kata Bapak dengan tak lupa menyertakan kata “Nok” sebagai julukan saying untukku. “Iya, Pak…” kataku sekaligus menutup dialog di antara aku dan Bapak. Kini tinggalah aku seorang diri di atas kereta tanpa orang-orang yang kukenal. Aku melemparkan pandanganku ke luar jendela. Disana yang kudapati hanyalah kabut putih. “Aku pasti bisa menaklukan petualangan ini!” kataku dalam hati. Tak lama kemudian kereta pun melangkah perlahan meninggalkan stasiun kota Tegal.
Finish untuk Part 1. Nanti dilanjut di part selanjutnya ya. Kita lihat apakah aku bisa menaklukan petualangan ini atau aku akan kalah dan menyerah?!!? Mohon ditunggu aja ya, tapi nunggunya gak usah sambil penasaran ya heheheh. OK, udahan dulu ya! Makasih lho buat yang udah mau nyempetin baca tulisan gak penting itu heheheh. See ya, sobat!! Salam Akselerasi!
Dipostkan juga di www.kartunet.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar