Hap! Aku melompat dari sebuah kursi setelah berhasil menempel secarik kertas di Forum Curhat Kartunet.com. Kertas yang kutempel itu tentu tak jauh-jauh dari kisah pengembaraanku ke Semarang yang kemarin sempat terhenti di Part 4. Tapi kali ini aku telah menempel satu part lanjutan yang kebetulan episode terakhir dari pengembaraanku ke Semarang. Gak usah sedih apa lagi sampai bunuh diri, bagi para fans-ku, kalian bisa mendapatkan bukuku di Apotek terdekat di kotamu! *obsesi jadi terkenal hahahha*. Kertas udah aku temple di forum ini, kalau gitu silahkan yang bersedia baca, gratis kok heheheh. Tolong kertas yang kutempel dengan susah payah sampai naik ke atas kursi ini jangan dicorat-coret apa lagi dibakar seandainya tulisanku membuat telinga dan mata Kartuneters semua jadi rusak hehehehe. Kalau mau protes terhadap tulisanku, silahkan di kolom komentar aja ya. OK, mangga dibaca!! Jangan lupa makan mangganya juga ya, kan enak tuh baca sambil makan mangga hahahaha…
Rabu, 19 Oktober 2011…
Aku manggut-manggut sambil menggoyangkan jemariku di atas papan Keyboard seiring dengan serentetan kalimat yang terlontar dari bibir seorang cowok di sampingku. Tentu aku manggut-manggut plus menggoyangkan jemariku bukan karena sedang “Dangdutan”, melainkan sedang mendengarkan arahan dari Mas Ari, sang Instruktur Pelatihan Komputer Bicara, perihal materi baru yang dia berikan kepadaku menjelang detik-detik kepergianku dari Padepokan ini. Kalau sebelum lunch tadi aku diajari soal berselancar di dunia maya, tapi kali ini aku diajari bagaimana cara mengoperasikan JAWS untuk program pengolah kata Microsoft Word 2007. Perlahan kuikuti setiap kalimat milik cowok itu. Rasa nervous sepertinya tak lagi Nampak dariku, tak seperti moment-moment kebersamaan kami sebelumnya. Rasa canggung yang semula menggunung, kini telah mencair seiring dengan tetesan keringat yang membanjiri sekujur tubuhku siang ini. Kini aku tak lagi malu-malu kucing saat hendak melontarkan pertanyaan pada cowok yang Ibuku bilang memiliki muka “kasep” alias “ganteng” itu. Mencairnya rasa canggungku pada Mas Ari, memberikan manfaat tersendiri bagi kerja otakku dalam memproses materi yang sedang kupelajari ini. Ya, aku semakin rileks dan hal itu tentu membuatku sedikit lebih mudah menangkap setiap materi yang diberikan. Dan setali tiga uang denganku, Pak Mahendra yang duduk di samping kanan Mas Ari, nampaknya tak mengalami kesulitan dalam mencerna materi kali ini. Baguslah kalau begitu, itu tandanya sang Instruktur berhasil mendidik kedua muridnya, yaitu aku dan Pak Mahendra.
Udara panas kota Semarang terus meraung-raung di dalam ruangan yang sedang kudiami bersama beberapa kaum adam. Sedangkan Ibuku, dimana dia? Hmm, entahlah! Mungkin dia sedang mendinginkan kepalanya dari kobaran masalah yang menggumpal di dalam tubuh keluargaku. Ya, Ibu memang sempat mencuri-curi pembicaraan denganku saat pelatihan sedang berlangsung sebelum waktu Dzuhur tiba beberapa waktu lalu. Kepadaku Ibu mengatakan bahwa dia ditelpon oleh orang rumah, yaitu oleh Bapak, nenek, dan juga Bibiku. Ketiga orang itu mengutarakan hal yang sama pada Ibu, yaitu perihal kekacauan yang telah terjadi di rumahku. Mereka bilang, ada seorang tamu yang mengamuk di rumahku. Tentu tamu itu tidak sedang mabuk atau pun kerasukan setan. Ah, tunggu! Tamu itu memang tidak sedang mabuk, tapi kata “kerasukan setan” sepertinya tepat disandang oleh tamu itu. Hmm, sebenarnya apa yang terjadi? Menurut cerita yang kudapat dari Ibu, tamu itu adalah salah seorang sahabat Bapak sewaktu masih bertugas di kemiliteran dulu. Sepengatuhanku, seseorang berinisial “S” itu memang sahabat karib Bapak. Tapi kini semua itu berubah. Dan perubahan itu terjadi karena perkara hutang piutang. Bapak memiliki hutang pada sahabatnya itu. Tapi bocornya lumbung perekonomian keluargaku sepertinya memaksa kedua orang tuaku untuk masuk ke dalam masa tenggang pengembalian sejumlah uang milik seseorang yang dulu sempat menjadi bawahan Bapak itu. Tapi rupanya seorang pensiunan Tentara berinisial “S” itu tak mau mengampuni keterbatasan yang sedang dialami oleh kedua orang tuaku. Dia mengamuk sejadi-jadinya di rumahku, menerobos ke dalam rumahku, memanggil-manggil Bapakku, persis seperti seseorang yang kerasukan setan. Padahal nenekku sudah mengatakan pada orang itu kalau Bapakku sedang mengaji dan akan segera menemuinya di ruang tamu. Tapi sepertinya setan memang sedang merasuk pada diri pensiunan itu. Ya, menurut cerita, orang itu menghadiahkan beberapa kata kasar pada keluargaku. Dan pada saat itu, Bapak, nenek, dan Bibiku lah yang mendapat kado berupa perkataan kasar itu. Hmm, sungguh aku tak tahu harus berbuat apa bila berada di posisi keluargaku. Di tengah-tengah keterbatasan ekonomi keluarga, kami dituntut untuk memenuhi setiap lubang yang bocor. Sungguh aku tak kuasa menahan kesedihan, juga amarah atas semua perlakuan kasar yang diterima oleh keluargaku. Tentu sekarang ini aku bisa merasakan kegundahan serta kesedihan yang teramat sangat yang dirasakan oleh IBu.
Kabar kurang mengenakan yang diterima Ibu dari rumah, tentu berpengaruh jugaterhadapku . Kekacauan tentu sedang terjadi di otakku. Wajah kusut rumahku tak henti-hentinya berseliweran dalam pandanganku. Hal itu tentu membuat jantungku berdetak kencang, membuat perutku mulas, dan membuat tubuhku lemas. Sungguh aku tak ingin menjumpai segudang masalah yang menanti di rumah. Rasanya aku ingin tetap berada disini agar tak kudengar keluh kesah keluargaku. Saat kembali ke rumah, tak hanya kesunyian yang kudapat, badai yang bertiup di dalam keluargaku pun tak mampu kuelak lagi. Semuanya akan menghampar di pelupuk mataku. Semuanya akan menghimpitku, membuat sesak nafas sang Takdir. Tapia pa boleh buat, semua itu adalah jalan yang Tuhan berikan. Aku dan keluargaku hanyalah lakon yang cukup berperan tanpa memiliki hak untuk menawar segala pemberian Tuhan.
Pelatihan terus berjalan, gerak bibir, langkah jari-jemariku di atas papan Keyboard, serta anggukan kepalaku masih menjadi suguhan utama di episode terakhir lakonku sebagai peserta Pelatihan Komputer Bicara di padepokan ini. Semua itu terus menggeliat tanpa peduli gundah yang ada di lubuk hati Ibu dan juga diriku. Sebisa mungkin kusingkirkan awan mendung yang menggelayut di atas langitku, semua itu demi kelangsungan konsentrasiku pada Pelatihan Komputer Bicara yang sedang kujalani. Dan kali ini Mas Ari sedang mengajarkan materi tentang penggunaan “e-mail” setelah sebelumnya mempelajari tentang program pengolah kata Microsoft Word 2007. Aku tak begitu takjub dengan materi kali ini, pasalnya aku memang sudah mengenal si “e-mail” itu. Meski demikian, rasa senang dan antusiasme tetap kutunjukkan di tengah ruangan ini. Tentu itu tak sekedar basa-basi. Aku memang begitu berantusias, sebab ada sebuah trik baru alias ilmu baru yang kutangkap dari Mas Ari. Kalau sebelumnya aku tak bisa membaca e-mail menggunakan JAWS, tapi kali ini sepertinya aku tak akan menemui kesulitan itu lagi. Semua itu berkat sang Instruktur. Hmm, tapi nampaknya Pak Mahendra, pengembara dari Kendal itu tak berlanjut ke materi ini. Tentu alasannya bukan karena si “e-mail” itu mantan pacarnya, apa lagi kalau dibilang si “e-mail” itu adalah tukang kredit kompor yang dihutangi oleh Pak Mahendra hehehe. “Hush! Kalau ngomong jangan sembarangan! Ini “e-mail” alias “surat elektronik”, bukan “Imel” anaknya Mang Dadang, apa lagi dibilang mantan pacar dan tukang kredit! Kalau tukang kredit itu mah namanya ce Mumun, bukan “Imel” apa lagi “e-mail”…” teriak sebuah benda kecil berbentuk Mickey Mouse yang nemplok di jilbab coklatku. Hahaha…betul betul betul! Yang menjadi alas an ketidak-ikutsertaan Pak Mahendra di materi kali ini memang bukan dikarenakan oleh nama “e-mail”, mantan pacar, apa lagi tukang kredit, melainkan karena Pak Mahendra belumlah memiliki sebuah alamat e-mail. Berhubung waktu yang kami miliki di Padepokan ini tak begitu banyak lagi, jadi para Instruktur di padepokan ini terpaksa membebas tugaskan Pak Mahendra dari materi “e-mail” ini. Alhasil salah seorang guru di sebuah Sekolah Luar Biasa(SLB) di kota Kendal itu pun menghabiskan waktunya untuk mengaduk-aduk perut Om Google. Nah, sementara itu, aku dan Mas Ari sibuk berkencan. Eits, jangan menggosip dulu ya! Kencan disini maksudnya adalah aku dan Mas Ari sedang asyik menjelajah “Gmail”. Ya bisa dibilang kami ini mirip dua sejoli yang sedang berkencan hehehe. Lihat saja, kami Cuma asyik berdua tanpa diganggu oleh yang lain, Mas Ari sepenuhnya menjadi Instruktur pribadiku kali ini hehehhe.
Setelah aku diajak berkeliling di rumah si “Gmail”, kini tiba saatnya aku berkirim surat. Mas Ari memerintahkanku untuk mengirimkan sebuah file kepada seseorang. Dan dia pun menyuruhku mengirimkan file berisi hasil belajarku sejak kemarin kepada sebuah alamat rajadewanata@gmail.com. Aku menurut saja. Tak ada rasa curiga, apa lagi rasa mentega hehehe. Ya iya lah, untuk apa curiga, kan tak ada yang perlu dicurigai dari sebuah perkara mengirim e-mail ke sebuah alamat e-mail. “Kalau situasinya kau sedang nongkrong dikamar mandi, kemudian ada seseorang yang menempelkan telinganya pada pintu kamar mandi, barulah kau boleh curiga. Mungkin aja orang itu akan mengintipmu hehehe” sebuah kipas angin yang berdiri tak jauh dariku tiba-tiba melemparkan kalimatnya untukku. Aku yang dihadiahi kalimat oleh si Kipas Angin, hanya tertawa dalam hati, menertawakan kekonyolanku itu.
Sebuah e-mail pun telah berhasil kukirim. Sebuah Medali Emas pun dikalungkan di leherku oleh Mas Ari. Tentu itu sekedar ungkapanku saja dalam menggambarkan keberhasilanku kali ini. Tetapi setelah prosesi pengalungan Medali itu usai, ada sebuah Tanya mencuat di pikiranku. rajadewanata@gmail.com, alamat e-mail milik siapa ya itu? Jangan-jangan si pemilik e-mail itu akan memarahiku gara-gara mengiriminya sebuah e-mail tak jelas hehehe. Ternyata eh ternyata, itu adalah alamat e-mail milik Mas Ari. Baguslah kalau begitu, sekarang aku bisa lega tanpa perlu takut dimarahi oleh seseorang gara-gara e-mail tak jelasku heheh. Kupikir Mas Ari akan menyesatkanku ke alamat e-mail yang semula tak kuketahui siapa pemiliknya itu, tapi ternyata dugaanku itu salah hehehe.
Ruangan semakin memanas! Memanasnya ruangan ini bukan karena goyang gergaji Dewi Persik, melainkan karena udara kota Semarang detik ini begitu panas. Tubuhku telah basah oleh keringat. Dan mukaku…oh no! Aku sudah bisa menebak kalau mukaku sekarang ini sudah tak berbentuk alias carut-marut hehehe. Aku bisa merasakan mukaku sekarang ini begitu lengket oleh keringat, pokoknya sudah tak sedap dipandang mata. Parah! Muka sudah butek, eh ditambah butek oleh keringat maha subur yang dicipta oleh udara panas Semarang kota kembang ini. “Eka! Apa tadi kau bilang? Sepertinya kau bersekolah selama tujuh tahun ya saat Sekolah Dasar dulu?!? Bagaimana bisa kota Semarang kau juluki sebagai kota kembang, jelas-jelas kota kembang itu sudah ada yang punya, si Bandung itu lho,” kata si Kipas Angin lagi-lagi mengomentari kalimatku. “Wah, kau ketinggalan gossip ya, Pas? Si kembang kan sudah putus dengan si Bandung, sekarang dia menjalin hubungan dengan si Semarang ini! Makanya lihat “SILAT” dong, jangan liatnya “Upin Ipin” mulu!” timpalku pada si Kipas Angin. “Mbak, Mbak, bukan “SILAT” tapi “SILET”, Mbak Eka salah ngomong tuh! Malu dong Mbak sama orang se-Indonesia, ini kan website terkenal, bukan Blog kacanganmu itu hehehe” tiba-tiba si Mickey Mouse yang tengah mejeng di jilbab coklatku angkat bicara. “Oh iya iya, aku lupa! Yang bener kan “SILET” ya hehehe. Pembawa acaranya kan aku kenal banget, namanya kan Mbak Peniti Bros!” katakusok tahu. “Tuh kan salah lagi! Bukan Peniti Bros, tapi Feni Rose! Wah, malu-maluin jagat per-curhatan Kartunet nih si Mbak,” lagi-lagi aku diprotes oleh si Mickey Mouse. Hmm, sepertinya si Mickey Mouse adalah fans berat acara gossip yang satu itu, terbukti dari protes yang dilemparkannya tiap kali aku mengatakan hal yang kurang tepat tentang acara TV yang satu itu hehehe. OK, focus ke cerita! Di tengah-tengah raungan hawa panas yang menderaku, sebisa mungkin aku tetap mendengarkan setiap arahan dari Mas Ari. Meski tanganku kerap kusibukkan untuk mengibas-ibaskan jilbabku demi mendatangkan angin yang ala kadarnya, tapi keseriusanku dalam mengikuti pelatihan bisa dibilang tak berkurang secuil pun. Aku sebetulnya gelisah mendengar detak jarum jam. Kutahu tumpukan detak sang jam itu akan segera menghanyutkanku ke rumah. Aku pun sadar kalau geliatku di padepokan ini sudah hamper binasa tergerus waktu yang mulai meninggalkan siang menuju petang. Oh semua itu sungguh tak ingin kulalui! Aku ingin berada disini, jauh dari rumah, jauh dari keluh kesah, jauh dari tekanan, dan jauh dari kesunyian! Tapi nampaknya semua itu memang tak bisa kuhindari, semua itu harus kuhadapi sebagaimana sang Takdir yang telah kuhadapi meski dengan tangis yang sempat mengiringiku.
Aku tersenyum ketika Mas Ari mengatakan kalau Pelatihan telah usai. Meski sebuah senyuman telah kuberikan pada cowok itu, tapi semburat kesedihan sungguh tak bisa kuhapuskan dari kedua bola mataku. Mungkin kalau Mas Ari bukan seorang Tunanetra, sekarang ini dia pasti sudah melihat mendung yang menggelayut di kedua mataku. Kesedihan tentu menghampiriku seiring kalimat Mas Ari yang menyatakan bahwa pelatihan telah usai. Hmm, waktunya telah tiba! Aku sepertinya harus mengakhiri kehangatan di ruangan ini. Sungguh aku tak mau! Tapi sebelum kuakhiri pelatihan ini, tak lupa aku meminta ijin kepada Mas Ari untuk me-copy dua buah lagu milik Taylor Swift. Dia pun mempersilahkanku me-copy dua buah lagu itu dari sebuah computer di hadapanku. Sebuah FD milik kakak Mas Ari lagi-lagi kupinjam sebagai media pemindah file dari computer milik DPD Pertuni ke Laptop-ku. Setelah selesai dicopy, kini tiba saatnya untuk meletakannya di Laptop-ku. Kali ini giliran Mas Ari yang melakukannya. Aku mengamati Mas Ari yang tengah menggoyangkan jari-jemarinya di atas Keyboard Laptop rentaku. Di sela-sela aktivitas me-copy yang dilakukan Mas Ari, sebuah perbincangan turut disertakan di antara kami. “Berarti ketemu lagi nanti tanggal 25 ya?” kata Mas Ari. Aku buru-buru mengangkat kepalaku, lalu mengarahkannya pada sosok yang sedang mengajakku bicara. Aku sedikit terkejut dengan kalimatnya itu. “Workshop itu ya? Emangnya Mas Ari ikut juga ya?” tanyaku sambil melempar senyum padanya. Ia pun menjawab “iya”. Hmm, entah mengapa ada sedikit rasa bahagia ketika kudengar pernyataannya itu. Berarti aku akan bertemu kembali dengannya pada tanggal 25 November yang akan dating. Entahlah rasa bahagiaku itu hadir karena alas an apa, yang jelas senyumku terkembang ketika kutahu aku dan dia akan kembali bertemu.
Kini semuanya sudah beres. Aku tak lagi mendengar arahan Mas Ari, juga tak lagi mendengar suara Om JAWS. Yang kudengar sekarang ini hanyalah kalimat “ini saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada padepokan ini, Eka!” yang dibisikan oleh kalbuku. Dan setelah berdiskusi tentang kepulanganku, akhirnya diputuskan bahwa aku dan Ibu akan pulang saat ini juga. Ibu langsung mengajakku berkemas. Keringat yang masih membasahiku, serta pakaian yang tak lagi segar, seolah tak dihiraukan oleh Ibu. Ya, dia tak memberiku kesempatan untuk mandi. Really?!? Oh no! Jangan bilang kalau aku akan pulang dengan badan penuh keringat plus pakaian compang-camping macam ini! Tapi rupanya Ibu telah berubah menjadi Ratu Tega. Aku disemprotnya dengan serentetan hardikan ketika aku merengek minta mandi. Aku tahu sikap Ibu itu semata-mata karena ia takut kalau kami akan ketinggalan kereta. Ya sudah, akhirnya aku menyerah. Kubiarkan tubuhku bau kecut. Eits, tunggu dulu! Kurasa aku punya trik yang bisa sedikit menyemarkan kecut tubuhku. Lalu kuaduk-aduk tas punggungku demi mencari sebotol benda ajaib. Toreng…toreng…toreng…ini dia benda ajaibnya! Parfume seharga sepuluh ribuan telah siap kusemprotkan ke pakaianku. Tak peduli sesosok cowok yang tengah duduk tak jauh dariku, si Parfume itu kusemprotkan beberapa kali ke pakaianku. Seketika aroma si Parfume menyeruak ke seisi ruangan. Nah, finish! Langsung saja gendong tas yang tubuhnya Nampak lebih buncit dari sebelumnya!
Aku berpamitan pada Mas Ari dan Pak Mahendra, sedangkan kepada Mas Sigit dan Mas Fadzirin hal itu tak kulakukan, sebab kedua Mitra Bakti itu akan mengantarku ke stasiun. Akhirnya aku menyalami tangan Mas Ari dan Pak Mahendra, tentu dengan diarahkan oleh Ibu. Tak begitu banyak ucapan terimakasih yang kuontarkan padanya. Sebenarnya perpisahan semacam ini bukanlah yang kuharapkan. Yang terlihat di moment perpisahan ini adalah ketergesa-gesaan yang teramat sangat. Setiap gerak yang kulakukan bersama Ibu benar-benar seperti sedang dikejar hantu. Maklum saja, kami memang sedang diburu waktu. Terpaksa sebuah ucapan ala kadarnya lah yang kuucapkan pada Mas Ari dan Pak Mahendra. Aku tahu ucapan ala kadarnya itu tak cukup untuk membalas segala kebaikan dan ilmu yang telah kuterima disini. Tapia pa boleh buat, hanya itu yang bisa kuberikan. Mudah-mudahan suatu saat nanti aku bisa kembali bertemu dengan keduanya dan bisa membalas segala kebaikannya.
Sebuah sepeda motor dengan dua orang penumpang di atasnya tengah melenggak-lenggok di sebuah jalan aspal kota Semarang. Sang pengemudi sepertinya tak menghiraukan kemacetan yang sedang terjadi sekarang ini. Sepeda motornya terus dipacu demi memenangkan perlombaan yang sedang diikutinya bersama sang waktu. Sementara itu, seorang gadis berjilbab coklat, berkacamata bening, serta sebuah tas menempel di punggungnya, tengah ketakutan dengan aksi sang pengemudi. Ya, gadis berjilbab itu adalah aku. Aku benar-benar ketakutan dengan aksi Mas Fadzirin yang mirip Valentino Rossi. Rasanya aku ingin menyuruh Mas Fadzirin untuk menghentikan laju sepeda motornya dan memintanya untuk mengijinkanku jalan kaki ke stasiun. Sungguh aku takut bila harus diajak kebut-kebutan di atas sepeda motor. Hmm, tapi sepertinya aku harus menelan rasa takutku dan membiarkan Mas Fadzirin membelah jalanan kota Semarang yang padat oleh kendaraan penghuninya.
Alhamdulillah! Kurasa aku telah sampai di stasiun Poncol yang kelak akan menyediakan sebuah kereta untuk kunaiki menuju kota Tegal. Mas Fadzirin memarkir sepeda motornya, begitu pun dengan Mas Sigit yang tadi memboncengkan Ibu di atas sepeda motornya. Kami berdiskusi sejenak sebelum akhirnya aku berjalan sambil berpegangan pada lengan Mas Fadzirin.
Kini aku, Ibu dan Mas Fadzirin telah berada di depan sebuah loket pembelian tiket. Mas Fadzirin membantu kami untuk memesan tiket pada sang penjual tiket. Tiket yang kami pesan adalah tiket Kereta Api Bisnis, tapi lagi-lagi kami kurang beruntung. Tiket Kereta Api Kaligung Bisnis telah sold out. Akhirnya lagi-lagi kami relakan uang seratus ribu beralih tangan kepada sang penjual tiket. Taka pa lah, yang penting bisa pulang. Akhirnya setelah tiket berhasil digenggam, aku dan Ibu pun berpamitan kepada Mas Fadzirin yang telah begitu baik kepada aku dan Ibu. Perpisahan pun telah benar-benar terjadi seiring dengan tubuhku yang tenggelam di peron stasiun. Aku dan Ibu berlari cukup kencang, mencari gerbong yang kelak akan kuhuni bersama Ibu. Penglihatanku yang terbatas sangat terasa mengganggu. Beberapa kali tubuhku menabrak tubuh lain ketika Ibu menyeretku menuju si Kaligung Emas. Dari tingkah Ibu yang beringasan mencari keberadaan tubuh si Kaligung, aku bisa tahu kalau sekarang ini Ibu sedang cemas. Tentu saja dia cemas bila mengingat jarum jam telah memberitahukan kepada kami bahwa kereta asekutiv Kaligung Emas akan segera bertolak ke kota Tegal. Langkah kami akhirnya terhenti ketika ada seorang petugas kereta api yang membantu kami menemukan kereta yang kami cari.
Kini tubuhku tak lagi berlarian di peron. Kini aku dan Ibu telah berada
di dalam sebuah gerbong kereta api yang begitu sejuk dengan tiupan sang AC. Aku masih setia mencengkram lengan IBu, sementara itu Ibu Nampak kebingungan. Ibu yang kedua matanya sudah tak begitu awas lagi akibat usianya yang bertambah, terlihat kesusahan membaca dan mencocokan nomor yang ada di tiket dengan nomor tempat duduk di gerbong ini. Kurasa saat ini beberapa pasang mata sedang memperhatikan kami. Bisa dibilang kami ini benar-benar kebingungan mencari tempat duduk. Tapi untungnya ada seorang cowok yang jika diperhatikan dari suaranya, dia berumur tak jauh dariku. Dia membacakan nomor yang tertera di tiket yang Ibu pegang, kemudian mengarahkan tempat duduk yang kami cari. Alhamdulillah ada orang baik di kereta ini.
Peluh kuusap dari muka dan jiwaku. Aku bersandar pada kursi empuk yang sedang kududuki. Kuperhatikan Ibuku lebih banyak diam. Terasa sebuah kesedihan serta kegundahan sedang dihadapinya. Aku tahu sekarang ini dia sedang memikirkan kondisi rumahku. “Ya Allah, gimana kita melunasi semua hutang-hutang kita, Ka?” Ibu tiba-tiba berbicara padaku. Suaranya lirih, nyaris tertutupi oleh teriakan si Kaligung. Ya, saat ini kereta memang sudah melaju meninggalkan Semarang. “Saba raja, Mah! Nanti juga pasti ada jalan keluarnya. Gak usah dipikirin terus, Mah!” kataku mencoba menenangkan Ibu yang terlihat murung. Mendengar kalimatku, Ibu seperti tak punya kekuatan untuk membalas kalimatku. Lagi-lagi dia terdiam dan hanyut dalam lamunannya. Melihat Ibuku seperti itu, aku jadi tak tega untuk mengajaknya bicara perihal pengembaraan kami yang telah usai. Akhirnya kuputuskan saja untuk mengirim SMS kepada Pak Ndaru. Kebetulan aku belum berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada beliau. Sebuah SMS berisi ucapan terima kasih pun akhirnya kukirim kepada beliau. Tak lama setelah itu, sebuah SMS balasan kudapatkan dari Pak Ndaru. Oiya, tak lupa kuminta nomor Mas Fadzirin kepada Pak Ndaru. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Mas Fadzirin atas bantuannya. Pak Ndaru pun memberikannya untukku. Tanpa menunggu lama, langsung saja kukirim SMS pada cowok yang berstatus sebagai Mahasiswa itu. Ah, ada satu hal lagi. Kepada Mas Fadzirin aku mengutarakan keinginanku untuk memiliki nomor Handphone Mas Ari dan Mas Sigit. Tentu keinginanku itu tak jauh-jauh dari niatku mengucapkan terima kasih. Alhamdulillah, akhirnya kudapatkan juga nomor Handphone kedua cowok itu.
Pemalang…kini kereta yang kutumpangi sudah sampai di kota Pemalang. Benarkah? Wah, tak terasa sudah sampai Pemalang. Kurasa si Kaligung berlari begitu cepat, secepat si Sonic hehehe. Benar-benar tak kupercaya, belum sampai satu jam aku duduk di kereta tapi kini sudah sampai di Pemalang. Kalau begitu baguslah, aku tak perlu berlama-lama di dalam kereta. Sebentar lagi aku akan tiba di kota Tegal, dan Semarang akan benar-benar menghilang dari pandanganku. Entah mengapa ada desir di dalam hatiku yang terasa sakit kala kuingat sosok-sosok yang kukenal di Semarang. Entah mengapa aku kangen kepada mereka. Aku ingin kembali kepada mereka dan berkumpul lagi bersama mereka. Ya mudah-mudahan saja bisa bertemu mereka lagi!
Aku meringkuk di atas ranjang kayu di kamarku. Tak ada lagi keriuhan kota Semarang maupun kota-kota lainnya. Yang kini Nampak hanyalah kesunyian kamarku. Ya, aku memang telah sampai di rumah tanpa kurang suatu apapun. Kumainkan Handphone-ku, kubaca lagi beberapa SMS yang telah masuk. SMS dari Mas Sigit dan Mas Ari lah yang kubaca sekarang ini. SMS dari mereka berdua memang mampir di Handphone-ku pada detik-detik terakhir kedatanganku di rumah. Hmm, hatiku kok rasanya berbeda ya saat mendengar nama “Mas Ari” dibacakan oleh Cross putih milikku. Kok ada sebuah rasa yang timbul ya? Rasa apa ya itu? Hmm, entah mengapa otakku kembali memutar moment-moment kebersamaanku dengan Mas Ari. Dan, sebuah lagu berjudul “Tear Drops on My Guitar” mengingatkanku pada Mas Ari. Setiap nada yang terdengar dari lagu itu seolah jadi mantra tersendiri yang mampu membuat dadaku berdegup kencang sekaligus membuat mataku berkaca-kaca. Apa yang sedang terjadi padaku sekarang ini?
Selesai sudah kisah pengembaraanku ke Semarang! Ini adalah episode terakhir kisah pengembaraanku. Tapi sebenarnya aku masih punya kisah lain yang masih menjadi bagian dari kisah pengembaraan ini. Hmm, Insya Allah akan kubagi disini, tapi mungkin kisahnya agak anak muda gitu hehehe. Pokoknya ditunggu aja ya, tapi kalau gak mau nunggu juga gak apa-apa hehehe. OK deh Kartuneters, makasih banyak atas kesediannya mengikuti kisahku dari part 1 sampai 5 ini. Aku benar-benar terharu, tulisan jelek begini tapi masih ada juga yang bersedia baca. Terima kasih Kartuneters! Sampai jumpa di kisah-kisah selanjutnya! Salam Akselerasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar