Rabu, 29 Juli 2015

2NET CORNER : TANDA TANGAN KOK CENTANG?



Taylor Swift sedang melantunkan lagu ‘Forever and Always’ ketika Eka tengah mengerucutkan bibirnya seraya menatap langit-langit kamar yang entah apa warnanya. Dahinya berkerut dan bibirnya masih saja mengerucut. Hal itu benar-benar kontras dengan lagu yang mengalun dari laptop di sebelahnya. Entah apa yang sedang terjadi padanya, tak ada yang tahu, bahkan akun Facebook yang biasa menjadi tempat pelampiasan isi hati pun menggeleng bila kita bertanya perihal bibir Eka yang mengerucut.

“Rese deh!”

Eka tiba-tiba berteriak, mengagetkan boneka yang tadi dipeluknya sehingga boneka itu melonjak dan terjatuh di lantai. Tidak, sebetulnya boneka itu tidak melonjak kaget, melainkan terlempar jatuh karena Eka sengaja melemparnya begitu saja tanpa dosa dan tanpa peduli kesakitan yang dirasakan oleh boneka koala yang selalu menemaninya tidur itu.

Sepertinya gadis penderita Glaukoma itu sedang galau karena cinta, atau mungkin datang bulan? Kemungkinan paling besar sepertinya yang kedua. Gadis itu biasa uring-uringan tak jelas bila ia sedang datang bulan. Jangan berani-berani mendekati gadis itu bila ia sedang kedatangan tamu, salah-salah bisa digigit dan dilempar macam boneka koala yang kini tersungkur di lantai.

Eka membalikkan tubuhnya. Langit-lagnit kamar kini tak lagi ia pelototi. Wajahnya kini terbenam di bantal. Nafasnya naik turun cepat sekali. Ia tak bisa bernafas sepertinya, tapi lihatlah, ia tak bergeming. Ia masih bertahan menenggelamkan wajah kusutnya pada bantal yang beruntung baru kemarin dibersihkan.

“Aaahhh…” suranya tertahan oleh bantal. Coba bila tak ada bantal, suaranya pasti sudah menggema di seluruh sudut kos, bahkan bisa meruntuhkan Tugu Muda yang tak jauh dari tempat tinggalnya itu.

Ia kesal sepertinya. Kesal sekali. Belum pernah ia kesal semacam itu, setidaknya empat minggu lalu ketika dadanya dihentak oleh pernyataan yang membuat tanduk di kepalanya muncul. Pernyataan yang tak pernah ia bayankan akan meluncur dari mulut sosok itu; sosok yang ia anggap berwibawa dan patut dihormati.

Star star star

Kelas telah ramai ketika tubuh jangkung berbalut bisana serba biru melangkah terbata menuju kursi kosong. Ruangan itu benar-benar sesak oleh suara-suara yang saling bersahutan dan tawa yang saling beradu satu sama lain. Sosok berbusana biru itu mengerutkan keningnya seraya berjalan mengikuti lengan yang memapahnya, hingga akhirnya ia tiba di sebuah kursi kosong yang posisinya berada di deretan paling belakang. Ia asing dengan posisi itu, sebab biasanya ia menempati kursi deretan paling depan, atau setidaknya nomer dua dan tiga.

“Baik, sudah jelas kan dengan tugasnya?”

Pria di depan sana bertanya pada seisi kelas. Suaranya berat tapi terdngar masih fresh dan maco. Gadis itu tahu betul siapa orang di depan sana tanpa perlu dikenalkan oleh teman atau bahkan pria itu sendiri.

“Ada yang belum jelas?” pria itu bertanya sekali lagi dan hal itu membuat gadis berbusana biru itu berteriak-teriak dalam hati dan rasanya ingin sekali mengatakan bahwa ia belum mengerti dengan tugas yang sedari tadi pria itu lontarkan. Tapi ia urung melakukannya. Ia sadar diri kalau ia datang terlambat ke kelas, jadi sudah barang tentu ketidaktahuannya menjadi konsekuensi telak baginya.

“Nanti tanya temen aja deh!” seru gadis itu dalam hati.

“Baiklah kalau sudah mengerti…” ucap pria itu masih dengan suara maconya.

“Siapa yang absen hari ini?” pria itu lagi-lagi bertanya, tapi pertanyaannaya kali ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang pria itu bicarakan sejak tadi.

Kelas masih riuh. Tawa masih menggema disana-sini. Pria itu memang terkenal santai bila sedang di kelas, sampai-sampai tak pernah meperdulikan anak-anak yang gaduh.

“Eka Pratiwi Taufanti!”

Gadis itu terperanjat. Lamunanya seketika buyar ketika pria itu menyebut namanya dengan lantang, lantang sekali. Refleks gadis pemilik nama itu mengangkat tngannya tinggi-tinggi, seolah bila ia tidak melakukannya, pria di depan sana tak bisa melihat tubuh jangkungnya yang terbenam di kursi belakang.

“Tanda tangan kok centang!”

Deg! Eka tertegun. Wajahnya merah padam mirip wajah yang baru saja terpapar sinar matahari berskala tinggi. Dadanya berdegup kencang. Ingin marah, ia ingin marah pada pria di depan sana, tapi ia tahu bila ia marah, hal itu hanya akan membuat harga dirinya runtuh karena dianggap berbuat hal konyol. Tapi…tapi…rasa di dadanya, rasa yang entah apa namanya, terlalu tak mengenakan baginya. Ia ingin lari, keluar dari ruangan itu, kemudian bersembunyi di kamarnya sambil memeluk boneka koalanya.

Tegakah pria itu? Ia berkali-kali berpikir dan hampir bahkan telah berpikir negatif pada pria di depan sana. Tahukah ia akan kondisiku? Pertanyaan itu berkelebat di benak Eka dan ia lebih suka pertanyaan itu dari pada pertanyaan yang pertama yaitu tentang ‘tega’.

Eka tak sadar ternyata ia sedari tadi terlalu sibuk dengan pikiran dan rasa tak enak di dadanya. Kelas telah hampir kosong, dan Eka baru menyadari itu ketika salah seorang temannya menempuk bahunya seraya berkata, “Gimana Mbak Eka, tanda tangan kok centang?”

Pemuda itu terkekeh. Eka tahu betul ia sedang bergurau, mengulangi perkataan pria bersuara maco yang sempat membuat dadanya sesak. Eka hanya melempar senyum terpaksa pada mahasiswa itu. Sudah jelas detik itu Eka masih memendam rasa tak enak akibat insiden biasa tapi luar biasa baginya.
Star star star

“Kok pak dosen yang tadi bilang gitu ya samasi tante? Tega bener!”

Salah seorang pemuda dari segerombolan mahasisswa yang tengah menuruni tangga menuju lobi itu bertanya entah pada siapa. Ia sebetulnya tak ambil pusing perihal siapa yang menjawab pertanyaannya, yang penting baginya adalah tak kehabisan bahan pembicaraan selama perjalanan menuruni tangga yang tak ia ketahui berapa jumlahnya meski setiap Senin hingga Jum’at ia selalu menjejakkan kakinya disana.

“Tahu tuh!” Eka berseru, seolah tak terjadi apa-apa di dadanya. Ia berpura-pura santai, seolah-olah wajahnya tak merah padam ketika berada di kelas tadi.

“Tega nian…tanda tangan kok centang!” kini pemuda lainnya ikut mengulangi kalimat yang sebetulnya tak ingin lagi Eka dengar. Tapi ia tak mampu berbuat apa-apa, apa lagi melarang sahabat-sahabatnya melontarkan kalimat itu, salah-salah ia bisa dikira orang tersinggungan meski bisa jadi tuduhan itu betul.

“Sabar ya, tante!” kini ada kalimat yang berusaha membuat Eka tenang. Eka terlonjak mendengar kalimat itu. Wajahnya memancarkan semburat kemerahan. Cepat-cepat ia menundukkan wajah, berusaha menyembunyikan ekspresinya. Ia sebetulnya heran, mengapa sahabatnya melontarkan kalimat yang seolah-olah Eka sedang menderita tingkat akut meski malu-malu ia akui, ia tengah menderita sekali mendengar ucapan pria tadi, pria yang sebetulnya adlah salah satu dosen yang mengajarnya selama semester dua ini.

“Mungkin dia gak tahu aku tunanetra, makanya pak dosen satu itu mempermasalahkan tanda tangan centang di daftar kehadiran mahasiswa!” Tepat pada anak tangga terakhir Eka mengucapkan kalimat itu; kalimat yang ia harap dapat menentramkan hatinya sekaligus tak membuat sahabat-sahabatnya kembali mengulangi kalimat yang menyesakkan itu.

Star star star

Wajah Eka masih tertelungkup di atas bantal. Nafasnya kini semakin cepat naik turun. Hembusan-hembusan nafas bernada ‘huh huh huh’ mirip seseorang yang mencoba memberi nafas buatan pada korban tenggelam nampak jelas. Tapi sayangnya kondisinya terbalik; bukan Eka yang sedang memberikan nafas buatan, melainkan ia sendiri butuh diberi nafas buatan akibat hidung dan mulut yang tersumpal oleh bantal tidurnya!

“Ahhhh…” Eka kembali berteriak. Suaranya lantang sekali, nyaris memecahkan kaca jendela kamarnya. Beruntung Tugu Muda tak hancur karenanya meski dapat diakui suaranya keras dan lantang.

Eka meniup-niupkan udara ke langit-langit kamar. Dadanya naik turun cepat sekali. Nafasnya tersengal. Ia kehabisan nafas. Ia tak tahan bila harus berlama-lama membenamkan wajahnya di atas bantal meski faktanya ia baru lima menit melakukan tindakan konyol itu. Mau apa sebtulnya gadis itu? Ingin bunuh diri? Ah, sepertinya tidak. Lantas? Mungkin ia ingin menghilangkan galau yang melayang-layang di benaknya, mondar-mandir tak jelas, dan hanya membuatnya pusing kepala. Ya, sepertinya ia ingin melakukan itu. Tapi, apa sebetulnya kegalauan yang ia miliki? Adakah kaitannya dengan ingatan yang beberapa saat tadi melintas di pikirannya? Ya, adakah kaitannya dengan pria bersuara maco, tanda tangan centang, dan…ah, Eka tak ingin mengingatnya lagi! Sungguh mengingatnya membuat dada Eka sesak dan stres berkepanjangan!

“Kenapa sih urusannya jadi panjang gini?” Eka menggerutu dengan nafas yang belum sepenuhnya teratur.

“Jangan-jangan dosen satu itu emang pengen bikin aku susah…” ekspresi kebencian kentara sekali pada wajah Eka, meski sebetulnya ia tak sungguh-sungguh mengeluarkan ekspresi semacam itu.

“Seorang pendidik seharusnya memberikan solusi buat mahasiswanya yang kesulitan, apa lagi Tunanetra macam aku…” Eka masih menggerutu. Poni di keningnya melambai-lambai tertiup kipas angin yang menempel di tembok. Sementara itu, Taylor Swift tak lagi bersuara. Kini suaranya digantikan oleh Lenka yang riang melantunkan lagu kesukaan Eka, ‘We will not grow old’, tapi nampaknya Eka tak sedang bernafsu dengan lagu itu. Lihat saja mulutnya yang bukannya berkomat-kamit melantunkan lagu kesuakaannya, tapi ia justru manyun jelek sekali.

“Cari gara-gara…itu dosen kayaknya cari gara-gara deh!” Eka masih sewot. Lenka sama sekali tak dihiraukannya. Musik di sampingnya, dan pikiran yang menggelayut di atas kepalanya, seolah berjalan berlawanan, tak ada benang merah, sama sekali tak sinkron!

Penuh amarah gadis yang memiliki seorang adik laki-laki itu membalikkan tubuhnya. Wajah kesalnya kembali ia benamkan di atas bantal. Tapi sepertinya ia teringat penderitaannya beberapa saat lalu ketika ia kehabisan nafas akibat tingkah konyolnya, alhasil ia pun urung menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Kini kepalanya miring. Bola matanya tepat menghujam Kola yang tersungkur di lantai. Tatapan Eka berapi-api. Amarah betul-betul sedang menguasai dirinya sampai-sampai Koala kesayangannya mengkerut ketakutandan diam. Koala itu tak punya banyak keberanian untuk bergerak, atau bahkan untuk menelan ludah sekalipun, sebab salah-salah ia bisa dilempar dari lantai dua oleh tuannya itu.
 “Apa lagi sih yang harus dilakukan? Tugas…tugas…tugas…menyebalkan! Gak ngasih jalan keluar sama sekali!”

Dalam amarah yang tengah meraung-raung berlomba-lomba dengan hawa panas Kota Semarang, Eka tiba-tiba teringat wejangan dari salah seorang lelaki yang bisa dibilang berjasa dalam Perjalanan pendidikan Eka. Wejangan itu melayang dari masa lampau, terbang berayun tertiup semilir angin gersang, bagai layang-layang di musim kemarau, dan jatuh begitu saja di atas piringan hitam di otak gadis yang sempat ditinggal kekasihnya karena ketunanetraannya itu.

Eka mengerjap-ngerjapkan matanya. Bola mata itu terasa keras bagai batu tepat ketika kelopak matanya berkedip-kedip, mirip seperti nyala lampu kota Tegal ketika dulu ia masih menjadi mahasiswa di salah satu universitas swasta disana. Dulu, ya, dulu sekali, ketika Glaukoma itu belum sampai hati mempersuntingnya dan merampas obor di bola matanya. Sejurus dengan kelopak mata yang berkedip-kedip, piringan hitam di otak Eka berputar. Syahdu dan agak sedikit cacat disana-sini, memori itu terus terputar, menampilkan untaian kata. Meski agak sedikit cacat, agak tak utuh piringan hitam itu terputar, tapi Eka bisa menangkap maksud dari apa yang tengah ia ‘ingat-ingat’.

“Saya pesan kepada kalian, tolong kalau ada kendala kaitannya dengan perkuliahan, sampaikan saja ke dosen masing-masing. Yang terpenting adalah komunikasi dengan dosen. Tidak boleh pasif karena yang tahu apa yang kalian butuhkan ya diri kalian sendiri. Jadi, komunikasikan kepada mereka, apa kendala yang kalian hadapi selama mengakses perkuliahan sebagai mahasiswa Tunanetra…” kata-kata itu meluncur deras dari bibir Suryandaru, seorang bapak satu anak yang menjabat sebagai ketua pada organisasi yang Eka ikuti bersama Ari, teman sekelasnya yang juga tak memiliki obor di bola matanya.

Piringan hitam itu terhenti, tepat berbarengan dengan Lenka yang tak lagi bersuara. Sejurus dengan itu, Eka kembali ke alam sadarnya. Ia kembali dikuasai oleh amarahnya meski beberapa detik berlalu, ia sempat melupakan amarahnya dan tenggelam bersama ingatan masa lalunya. Nafasnya memburu, persis seekor banteng yang tengah bersiap menghujamkan tanduknya pada kain merah yang dibawa sang matador.

“Komunikasi…seharusnya ampuh, tapi buat dosen satu itu, sama sekali gak ampuh!” Eka menyemburkan kata-kata itu ke udara. Percikan kata-kata bernada amarah itu mengenai benda-benda mati yang dulu sempat jadi saksi bisu percakapan di antara dua anak adam dan hawa yang nyatanya kini percakapan itu menyulut amarah gadis berlesung pipi bernama Eka.

Star star star

“Gimana, mas, kamu udah ngehubungi beliau? Terus gimana hasilnya? Ada jalan keluar buat tugas kita ini kan? Kamu dapet soft file nya kan? Atau kita dikasih tugas pengganti? Apa…apa…apa mas hasilnya?” Eka memborbardir sahabatnya di telepon.

“Sabar dong! Nyerocos aja nih. Kalau ngomong tuh pelan-pelan dong!” pemuda bernama Ari yang kerap disapa ‘Mas’ oleh Eka itu berkomentar. Eka mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Bukan…bukan untuk bungkam dan menuruti apa yang Ari katakan, tapi ia begitu karena sebal sebab disuruh diam padahal berjuta pertanyaan dan rasa penasaran bergelayut di pikiran Eka.

Ari diam, Eka pun diam. Bibir Eka benar-benar terkatup, sama sekali tak ada celah disana. Meski begitu, meski tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir Eka, meski udara sekali pun tak berani menyelusup mencari celah untuk keluar lewat celah di bibir Eka, tapi sebetulnya gadis itu berteriak-teriak dalam hatinya; berteriak agar Ari cepat menjelentrehkan segala jawaban atas rasa penasaran Eka. Tapi ternyata? Ari diam, tak ada suara yang keluar. Nampaknya pemuda itu kesal pada gadis yang sudah lama dekat dengannya itu. Sejak mengenal Eka lebih dalam, Ari memang tak begitu menyukai tabiat Eka yang cerewet yang suaranya mengalir deras dan cepat seolah tak ada tanda titik atau pun koma saat Eka mengucapkannya.

“Ehem…” Eka berdehem meski tenggorokannya sebetulnya sama sekali tak gatal. Hanya saja, ribuan pertanyaan di otaknya melonjak-lonjak tak karuan, menuntut jawaban, dan ujung-ujungnya membuat kulit kepala Eka gatal. Tapi entahlah, gatal di kulit kepala mengapa Eka justru berdehem seolah tenggorokannya lah yang sedang gatal.

“Hey, buruan jawab! Buruan! Buruan!” Eka mengomel dalam hati. Sampai detik kesekian, Eka masih belum berani mengeluarkan kecerewetannya.

“Ehem…” Eka berdehem sekali lagi. Kini batuk yang dibuat-buat itu terdengagr lebih keras. Sekali lagi kita harus tahu, gadis itu sedang tidak gatal di tenggorokan, tapi ia sedang penasaran, dan batuk itu, batuk yang dibuat-buat itu sebetulnya sinyal yang ia lemparkan pada pemuda di ujung telepon yang sepertinya tak terlalu sensitif untuk permasalahan urgent bagi Eka ini.

Eka benar-benar tak sabar. Ada apa dengan pemuda di ujung telepon itu? Eka terus bertanya-tanya, dan itu membuat kulit kepalanya semakin gatal!

“Mas! Buruan dong jawab! Apa yang kamu dapet!?!”

Pecah sudah kebungkaman Eka. Pertahaanannya jebol. Ia tak sanggup, sungguh tak sanggup lagi bila harus berlama-lama mengunci mulutnya. Ia tak lagi peduli dengan amarah yang mungkin saja ia dapat dari Ari, pemuda yang memang tak menyukai suara Eka. Bukan, bukan suara, tapi gaya bicara Eka yang cerewet yang sama sekali jauh dari kata ‘kalem’ dan kerap membuat gendang telinga Ari serasa mau pecah!

“Bisa gak sih ngomongnya pelan dikit?” bukannya menjelentrehkan jawaban atas pertanyaan yang melonjak-lonjak di balik tempurung kepala Eka, Ari justru menyuruh gadis itu menurunkan volume suaranya. Mendengar hal itu, Eka kembali manyun, sementara tangan kirinya yang kosong tak menggenggam apa pun ia gunakan untuk meremas-remas seprai kasurnya. Dari remasan tangan Eka, nampaknya ia sedang jengkel karena Ari tak kunjung memberitahunya perihal kabar yang telah ia nanti-nanti sejak semalam.

“Ehem…” kini gantian Ari yang berdehem, tapi deheman Ari tidaklah dibuat-buat. Tenggorokannya memang tengah gatal.

“Begini…” Ari mulai melontarkan satu kata yang Eka tahu betul kata itu akan mengantarnya pada jawaban yang ia tunggu-tunggu. Tubuh Eka seketika terpelanjat dan tegak berdiri. Ia benar-benar antusias menunggu kata-kata Ari selanjutnya. Dari ekspresinya, gadis itu tengah mengharap kabar baik, meski terkadang di dunia ini harapan tak selalu berjalan beriringan dengan kenyataan. Dan Eka lupa akan hal itu!

“Semalem aku udah ketemu beliau…” suara Ari tertahan. Tak ada kata-kata selanjutnya, dan yang terdengar hanya bunyi kasak-kusuk. Eka kesal dan bertanya-tanya perihal apa yang tengah pemuda itu lakukan di tengah-tengah pembicaraan yang Eka anggap serius meski bagi Ari sama sekali tak serius.

“Terus? Terus gimana? Terus beliau bilang apa? Terus terus?” penyakit cerewet Eka kambuh lagi. Ia kembali tak sabar menunggu Ari yang entah sedang apa. Eka tak sama sekali tak kuasa menahan mulutnya untuk tidak berkata-kata meski hanya satu atau dua menit.

“Kita disuruh cari e-book nya. Gak ada jalan keluar lain selain cari e-book nya..”

“Apa? Cari e-book? Ah, kan udah dicari, dan hasilnya nihil!” Eka nyerocos tidak puas dengan apa yang dilontarkan Ari.

“Mau gimana lagi, orang disuruhnya begitu...”

“Masa iya sih kita harus beli trus scan itu buku. Parah!” gerutu Eka.

“Tau deh! Pasrah aja lah!”

Kata-kata Ari mengakhiri pembicaraan singkat lewat telpon. Eka kembali bersungut-sungut. Nampaknya amarah yang ia miliki terhadap dosen itu pun masih membara. Benci kah dia? Tidak nampaknya, hanya saja ia kesal dengan apa yang ia dapat. Namun ia kembali merenung bahwa menjalani hari-hari sebagai mahasiswa tunanetra tidaklah semudah membalikan telapak tangan, maka wajar saja jika sekarang ini ia menjumpai kerikil yang menusuk kakinya.

“Jangan emosi, Eka. Jangan emosi. Baru segini doang...” kata gadis berlesung pipi itu mencoba menghibur diri sendiri.

“Jangan selalu berharap orang lain mengerti kamu, Eka. Cobalah memahami mereka juga...”

“Gak mungkin ada dosen yang benci atau mencoba bikin kamu kesusahan, Eka..”

“Semangat...jangan menyerah hanya karena tugas ini...”


Diposting juga di Facebook pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar