Aku menatap kea rah jendela kamarku. Meski aku tak begitu jelas melihat wajah sang pagi, tapi aku bisa merasakan kelabu yang sedang dirasakannya. Ya, mendung sedang menggelayut di langit sang pagi. Entah mengapa mendung itu tak mau beranjak pergi sejak kemarin. Akibat tingkah si mendung itu, butir-butir air bening akhirnya tercipta. Kemarin, di hari ke-5 di bulan November, hujan turun begitu sering. Dan apakah sekarang hujan itu akan kembali dating mengingat mendung lagi-lagi memamerkan kelabunya? Hmm, aku sih berharap hujan tak dating hari ini. Tapi kalaupun harus dating, itu tak menjadi masalah untukku. Meski aku terganggu dengan dingin yang ditebar kala hujan turun ke bumi, tapi aku tetap menghargai para petani yang begitu mengharapkan kedatangan si hujan demi kelangsungan tanaman mereka di hamparan sawah tak jauh dari rumahku. OK, silahkan daatang kalau kau ingin dating wahai the Rain!
Aku kembali menarik pandanganku, mengembalikannya pada sebuah Laptop di hadapanku. Jemariku kesentuhkan kembali pada tombol-tombol yang berderet rapih di perut si Laptop. Ya, sedari tadi aku memang sedang mengobrol dengan si Laptop. Seperti yang sudah-sudah, aku kembali membicarakan kebun Facebook-ku bersama benda yang kini sudah renta itu. Kalau bukan membicarakan kebun Facebook ya tak jauh-jauh dari sangkar si Twitter. Ah, ada satu lagi, Resto Kartunet. Ya, ketiganya kerap kubincangkan bersama si Laptop. Ada pembicaraan seru antara aku dan si Laptop soal ketiganya, lebih-lebih soal kebun Facebook-ku. Hmm, kalau kuperhatikan, di kebun itu telah tumbuh sebuah tunas baru. Tunas apa itu? Entahlah…yang jelas tunas itu mampu mengalihkan pandanganku. Tunas itu juga mampu mengaduk-aduk berbagai perasaan dalam hatiku. Kangen, kacau, gila…itulah beberapa perasaan dari sejuta perasaan yang diaduk-aduk oleh tunas yang belum kuketahui akan tumbuh menjadi apa. Kadang aku tersenyum dibuatnya, kadang pula aku bersedih dibuatnya. Tapi aku tak keberatan dengan sedih itu, sebab sedih itu bukan tercipta dari sebuah pengkhianatan atau pun perkataan kasar, melainkan tercipta dari rinduku yang tertahan. Rindu pada siapa? Aku malu mengatakannya. Yang jelas, rindu itu kuhadiahkan untuk pemilik tunas yang baru saja tumbuh di kebun Facebook-ku. Aku telah membungkus rindu itu dengan sebuah pita merah jambu. Nampak manis, semanis kebaikan sosok itu. Tapi kado ini urung kuberikan langsung padanya. Sepertinya aku akan menyimpannya saja di dalam sebuah ruangan kosong di hatiku. Keberanian untuk memberikan kado itu padanya, sepertinya tak kupunyai. Sudahlah, biarkan tunas itu tumbuh dulu. Setelah dia tumbuh, aku bisa tahu jenis tunas itu. Aku sebenarnya berharap agar tunas itu tumbuh menjadi setangkai bunga yang cantik, yang beraroma wangi dan mampu mendatangkan kupu-kupu. Tapi kalau ternyata tunas itu tumbuh menjadi sebuah pohon, bagaimana? Hmm, taka pa. Kalau pun tunas itu kelak akan menjadi pohon, aku tetap senang. Pohon itu kuharapkan akan mampu menaungiku dari panas dan hujan, meski kusadari tak hanya aku yang bernaung di bawah kerindangannya. Yang lain, gadis lain, akan sangat mungkin dan bisa bernaung padanya. Sudahlah, taka pa. Sekali lagi, biarkan dia tumbuh dulu sesuai apa yang dia inginkan.
Dari kalimat-kalimat yang kuntai di atas, tentu Nampak jelas perasaan apa yang sedang kupelihara di hatiku. Jatuh cinta, betul kan? Ah, aku malu kalau harus benar-benar mengakui aku sedang jatuh cinta. Tapi kalau dilihat-lihat dari gejala yang ditimbulkan, sepertinya aku sedang jatuh cinta. Lihatlah wajahku, begitu merah bak tomat busuk. Ya, aku malu. Entah bagaimana rasanya mengusir malu ini. Ah, untuk apa malu, bukankah tak ada yang tahu siapa sosok di balik kekonyolanku ini?! Biarkanlah semua ini jadi rahasia sampai tunas itu tumbuh menjadi sesuatu. Hanya tunas itulah yang bisa menjawab teka-teki yang ada…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar