I’m coming….!!! Begitulah kalimat yang kuteriakan ketika kedua kakiku menginjak pelataran rumahku pada Rabu malam kemarin. Akhirnya aku kembali ke habitatku yang membosankan setelah berkelana selama dua hari di kota Semarang. Senang kah aku karena bisa kembali menginjakkan kaki di kampong halaman tercinta? Ya, tentu senang. Tapi kalau boleh memilih, aku lebih memilih berdiam di kota Semarang dari pada harus berdiam di rumahku yang sudah penuh sesak dijejali limpahan rasa jenuh dan kesunyian. Atmosfer yang kurasakan di Semarang benar-benar berbeda dengan yang kurasakan di rumah. Disana aku merasa tak sendirian. Disana aku merasa kesunyian yang selama ini memelukku telah binasa tergerus roda kereta Kaligung Emas yang mengantarkanku ke depan pintu gerbang yang akan kumasuki untuk menemui masa depan yang lebih cerah. Betapa tidak, disana ada sosok-sosok mengagumkan yang seakan membagi cahaya untukku melangkah mengarungi kehidupan. Selain sosok-sosok mengagumkan itu, ada pula seberkas ilmu yang dihadiahkan kepadaku lewat Pelatihan Komputer Bicara yang diadakan DPD Pertuni Jawa Tengah itu. Kedua hal itu rasanya merayuku untuk kembali kesana. Pelatihan Komputer Bicara itu benar-benar pas kusebut pintu gerbang memasuki dunia yang lebih bercahaya. Betapa tidak, disana aku bisa berinteraksi dengan sosok-sosok baru setelah menyepi kurang lebih dua tahun di dalam kamar miniku. Dari Pelatihan Komputer Bicara itu aroma dunia ini mulai kurasakan di sekujur jiwa dan ragaku. Meskipun aromanya belum begitu menusuk, tapi aku sudah bisa mencium aroma itu. Benar-benar aroma yang menggugah selera. Aroma itu membuatku ingin mencicipi dunia luar yang telah lama kutinggalkan. Rasanya kedua kakiku sudah tak sabar untuk melangkah terus dari pintu gerbang yang sudah kumasuki meski baru di step awal. Rasanya aku ingin segera meraih mimpiku yang berterbangan di luar sana. Ya, aku memang harus terus melangkah. Kedua mataku memang tak mampu melihat pintu-pintu yang terbuka yang bisa membawaku ke tempat sang mimpi, tapi aku masih memiliki tangan, aku bisa meraba setiap dinding kehidupan ini untuk menemukan pintu yang terbuka itu. Selain itu aku masih memiliki pendengaran, dengan kedua daun telingaku aku bisa mendengar riuh rendah sang angin yang berbisik di balik pintu-pintu itu. Dan tentunya masih banyak gift yang Tuhan hadiahkan padaku dan bisa kujadikan alat untuk meraih pintu-pintu yang terbuka itu meski tanpa penglihatan yang kumiliki. Dan yang paling penting adalah aku memiliki teman-teman yang kuyakin dengan senang hati akan menuntunku menuju pintu-pintu yang terbuka itu.
Oiya kawan, aku boleh kan membagi pengalamanku saat mengembara ke kota Semarang pada Selasa dan Rabu kemarin? Okay okay, sebelum aku cerita, silahkan ambil posisi masing-masing dulu. Duduk yang rapih ya dan jangan lupa bawa popcorn sekalian hehe. Well, kalau sudah duduk manis, mari kita mulai cerita ini dengan bacaan Basmallah *udah kaya mau syukuran aja hehe*.
Senin, 17 Oktober 2011…
Matahari sudah mulai melewati angka 12 di jam dinding berwarna putih di kamarku. Itu tandanya hari Senin sudah berlalu separuh, dan Selasa akan segera kutemui. Selasa, ada sesuatu di hari itu kan? Iya, di hari itu aku akan bertolak ke Semarang. Lalu ada kendala yang kuhadapai untuk merealisasikan semua itu kan? Iya, dana belum kupegan hehe. Nah, sampai matahari bergulir melewati angka 12 itu, dana yang akan kugunakan untuk memutar roda kerata api belum menghuni tanganku. Rasa cemas menggelayut di hatiku dan di hati Ibu. Betapa tidak, sore ini aku harus bertolak ke Tegal sebelum akhirnya ke Semarang, tapi si “money” itu belum juga nongol. Sempat terpikir di benakku bahwa Semarang tak akan jadi kudatangi. Packing-packing pun belum kulakukan. Aku tak ingin terburu-buru mengepak barang-barangku karena takut rencanaku pergi ke Semarang gagal. Tapi kulihat Ibuku sibuk bereksperimen di dapur. Mengolah berbagai bahan sehingga tercipta sebuah kue kering yang gurih. Hmm, pasti kue itu akan dijadikan oleh-oleh untuk dibawa ke Semarang. Maklum saja, keluargaku tak memiliki uang untuk membeli oleh-oleh lain, jadi oleh-olehnya dibuat sendiri saja hehe. Ibuku sudah membuat oleh-oleh, itu tandanya Semarang akan kudatangi. Tapi soal si “money” bagaimana? Ah, tak perlu kuurusi. Mungkin Ibu sudah punya strategi untuk membuat si “money” hinggap di dompet Ibuku.
Ternyata benar, Semarang akan kudatangi. Terbukti dari Ibu yang menyuruhku meminta izin secara resmi pada Bapak. Akhirnya aku, Bapak dan Ibu duduk bersama di ruang tamu. Momen ini jarang terjadi lho. Aku memang tak akrab dengan Bapak. Jangankan untuk duduk bersama, untuk sekedar melontarkan kalimat pun sangat jarang kulakukan. Nah, kini mulailah aku berkicau, melontarkan serangkaian rencana yang telah kususun untuk meraih mimpiku. Bapak mendengarkan kicauanku dengan seksama. Setelah aku selesai dengan “Tweets-ku”, kini gentian Bapak me-ReTweet kicauanku. RT yang Bapak posting benar-benar panjang. Bapak tak hanya mengomentari rencanaku pergi ke Semarang, tapi ia juga menyampaikan serangkaian ilmu yang ia dapat dari sahabat-sahabatnya yang selama ini menghuni rak buku di kamarnya, apa lagi kalau bukan si “Buku”. Ada satu ceramahnya yang terngiang di telingaku, yaitu tentang janji Allah untuk hambanya yang diuji dengan sebuah penglihatan. Kata Bapak, Allah telah menjanjikan syurga untuk hambanya yang diuji dengan sebuah kebutaan. “Sebetulnya Eka beruntung, Allah sudah menghadiahkan syurga untuk Eka. Allah mengambil kembali penglihatan yang dipinjamkan kepada Eka, tapi Allah menggantinya dengan syurga. Tapi tak serta merta Allah memberikannya untuk Eka. Kalau Eka putus asa dan tidak menjalankan perintah Allah tentu syurga itu tidak akan Eka dapatkan. Jadi Eka tidak boleh putus asa. Allah sudah menjanjikan syurga untuk Eka dan hamba Allah lainnya yang juga diambil penglihatannya setelah terlebih dulu hamba itu menikmati keindahan ciptaan Allah dengan kedua matanya. Ini bukan kata Bapak, tapi ini benar-benar janji dari Allah. Inget Eka, syurga sudah menanti Eka, asalkan Eka taat kepada Allah dan tidak putus asa” begitu kurang lebih kalimat Bapak yang masih terngiang di telingaku. Wah, mendengar kalimat itu aku semakin bersemangat dan rasanya enggan untuk meratapi perubahan hidupku.
Cukup lama aku ber-tweet ria dengan Bapak. Tapi sampai waktu Ashar tiba, si “money” belum juga hinggap di dompet Ibu. Akhirnya Ibu menjelajah ke tetangga dan paman-bibiku. Hufft, akhirnya Ibu berhasil menangkap si “money”. Ibu mendapatkannya dari adiknya dan dari kerabatku yang rumahnya tak jauh dari rumahku. Memang tak seberapa uang yang didapat, tapi kurasa sudah cukup untuk transportasi ke Semarang. Hmm, ceritaku ini mirip cerita sinetron ya. Kekurangan uang dan mondar-mandir mencari uang, tapi memang begitulah adanya. Keadaan ekonomi keluargaku memang sedang kurang baik.
Si “money” sudah berhasil dikerangkeng di dalam dompet Ibuku, pakaian pun sudah menghuni tas punggungku, oleh-oleh pun sudah dimasukkan ke dalam kantong. Yup, aku dan Ibu siap mengembara ke kota Semarang yang terkenal panas. Akhirnya setelah Ibu menunaikan sholat ashar, kami pun meninggalkan rumah. Dengan menumpang mini bus, kami pergi ke kota Tegal demi menginap semalam di rumah Mbah-ku.
Akhirnya tiba juga di kota Tegal setelah diombang-ambing di atas mini bus yang begitu sesak oleh penumpang. Mala mini aku menginap di kota yang memiliki begitu banyak kenangan untukku. Kota ini mengingatkanku pada masa-masa dulu saat aku masih tertawa riang dan ber-cas-cis-cus ria di kampus bersama teman-temanku. Kampusku memang dekat dengan rumah Mbah-ku. Selain memori akan teman-teman kampus, memori akan sosok anak laki-laki itu pun menyeruak di tengah-tengah jutaan asa yang sedang bergejolak di hatiku. Ya, aku kembali mengingat mantanku. Selain karena dia berdomisili di kota ini, kenangan-kenangan yang telah terukir di kota ini sejak aku masih duduk di bangku kelas 2 SMA pun seakan begitu tajam menusuk ingatanku. Ah, terasa sakit kala mengingat sosok itu. Luka yang telah ditorehkannya kembali menganga kala kuingat sosoknya. Lupakanlah soal sosoknya yang telah lebih dulu melupakanku !! Sekarang lebih baik focus untuk perjalanan esok pagi. Pagi-pagi benar aku harus sudah ada di stasiun yang hanya membutuhkan waktu tak lebih dari 10 menit dari rumah Mbah-ku. Okay, saatnya tidur….
Ceritanya masih berlanjut lho, tapi harus kupotong dulu. Aku akan melanjutkannya di part selanjutnya. Namanya juga pengembaraan, jadi harus panjang dong kisahnya hehe. Makasih ya buat yang udah mau baca cerita aneh di atas. Maaf lho tulisannya jelek dan ngalor-ngidul gitu, maklum saja aku kan bukan penulis hehe. Okay, sampai ketemu di part selanjutnya ya. Silahkan ambil bingkisannya satu-satu sebelum meninggalkan tempat ini *udah kaya abis kondangan aja haha*.
Salam akselerasi ! J
(Tulisan ini juga diposting di forum website www.kartunet.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar