Senin, 20 April 2015

JIKA 'RASA' BERKATA : VERSI LABIRIN

Ada sedikit ungkapan sang 'Rasa'. Ini sebenernya lanjutan dari tulisan 'Epilog' Jika Rasa Berkata Versi 'Cermin'. Mungkin teman-teman bingung maksud atau
jalan cerita tulisanku ini, tapi nikmati aja ya hehehe, syukur-syukur komen dan ikut analissis hehehe. Tulisan ini jg diposting di Kartunet (
www.kartunet.com)

Hope you enjoy it!

---

Gulita memeluk mereka. Pekat tanpa cahaya, di sana mereka berada. Tangan hanya mampu meraba, penuh harap agar bertemu dengan malaikat dari syurga. Pandangan
terlempar ke segala arah namun gulita itu lebih matang dan dewasa sehingga cahaya tak kunjung datang jua.

-(0)-

Nafasnya terengah, memburu dengan waktu, mencoba mengusir diri dari pekat yang menenggelamkannya. Namun itu sia-sia. Entah telah berapa lama ia berputar,
menjejakkan kaki dari satu alur ke alur lainnya. Ia tak tahu harus mencari titik dimana lagi. Semuanya penuh dengan pekat! Tak ada cahaya, lantaas bagaimana
bisa keluar dari tempat ia berada?

“Tolong!”

Bibir tipisnya terbuka, melemparkan udara yang menggumpal menjadi kata-kata, kemudian melemparkannya ke langit-langit yang menjulang seolah tak berujung.
Namun kalimatnya hanya menguap di udara, memantul dari sudut satu ke sudut lainnya. Andai kalimat itu membeku dan menghantam pintu keluar yang ia cari
agar ia dapat keluar, tentu itu akan membuatnya bahagia.

“Kau akan mati di tempat ini!”

Ia mendengar suara menggema di sekitarnya. Bulu kuduknya berdiri, dadanya berdegup kencang, seolah-olah dinding-dinding di sekitarnya semakin bergerak ke
arahnya dan siap menghimpit tubuh kecilnya.

“Tolong!”

Suaranya kembali melolong bagai anjing yang lapar oleh dinginnya malam. Jejak kakinya berpindah mengikuti arahan dari hati kecilnya. Terus berdetak menciptakan
melodi di tempat asing tanpa terang. Yang ia harap hanya temukan terang meski nafasnya terasa sesak karena ketakutan yang memburu dalam dada.

“Uhuk…”

Ia terbatuk di tengah-tengah jejak kakinya. Nafasnya begitu sesak. Keringat dingin mengalir di dahinya tanpa peduli hal itu justru dapat menambah level
ketakutannya. Udara sepertinya semakin menipis, terbukti dari batuk yang semakin sering ia lontarkan. Ah, sial! Ketakutannya tentu menang sebab ia pasti
menganggap ia akan mati! Tak lagi ada kesempatan untuk lari! Ia akan mati di tempat asing, di tempat yang diisi oleh pekat yang tak bersahabat!

“Bersiaplah untuk mati!” ada suara merangsek ke telinganya. Suara itu semakin dekat terdengar. Apakah itu suara malaikat maut?? Ah, tidak! Bukan malaikat
maut yang ia harap, namun malaikat pembawa terang yang ia nanti kehadirannya!

“Tidak! Aku tidak akan mati di tempat ini! Aku pasti bisa keluar!”

Tak terduga! Ia menjerit melawan suara yang sedari tadi berdzikir untuk kematiannya. Ia kembali melangkah. Perlahan mengatur nafasnya, perlahan membagi
sisa udara agar masuk ke seluruh aliran kerongkongannya. Rupanya ambang kematian tak menghapus harapan dalam dirinya. Tanpa peduli sudah berapa kali ia
berputar-putar dalam pekat, ia terus jejakkan kakinya. Jalan itu pasti ada, begitu yang ada di pikirannya.

“Tuhan, ijinkan aku tetap hidup. Ijinkan aku keluar dari tempat ini. Aku ingin hidup Tuhan…”

Kini bibirnya melantunkan harap kepada Tuhan. Ia tak peduli jikalau Tuhan sebetulnya tengah mengirim malaikat maut untuk mengambil nyawanya. Ah, bisakah
ia melawan maut?? Bisakah takdirnya berubah? Omong kosong! Namun orang bijak sering berkata bahwa apabila pengharapan telah habis, maka habis pula jalan
hidupmu. Entah karena perkataaan orang bijak itu, atau karena ia yang menganggap maut tak akan datang sebelum ia merasakan tubuh mungil dalam gendongannya,
ia tetap berani menjejakkan kakinya pada poros gulita yang ada. Ia tak sadar sebetulnya hal itu dapat menghabiskan tenaganya yang sudah di batas ambang.

Dug! Ia terjatuh. Tubuhnya lemas. Pucat sekali rautnya. Inikah akhir dari hidupnya?? Akan berakhir sia-siakah detak kakinya yang ia seret sedari tadi??
Apakah Tuhan menjawab dzikirnya dengan malaikat maut yang memang telah ia siapkan???

Ia masih terduduk di lantai beku. Dingin menjalari tubuhnya, bercampur dengan rasa takut yang membakar jiwa. Air matanya kini meleleh meski basahnya hanya
ia yang dapat merasa. Lantas digerakan tangannya agar menyentuh gundukkan di perutnya. Dalam sesak ia usapkan jemarinya. Bibirnya gemetar, sedikit terbuka,
sedikit melepas udara. Ada sejuta kasih yang memancar darinya. Kasih yang coba ia utarakan pada gundukkan di perutnya.

“Malang sekali nasibmu, nak. Mengapa kau harus lahir dari rahimku?? Mengapa kau harus lahir tanpa ada lelaki di sampingmu??”

“Haruskah kau mati di sini bersamaku?? Bukankah ini dosaku, nak??”

Ia tergugu. Dicengkramnya kuat-kuat gundukan di perutnya. Ingin sekali ia keluarkan isi dalam gundukkan itu agar tak ikut mati bersamanya. Namun itu sia-sia.
Nyawa di dalam gundukkan itu terlalu kuat sepertinya. Isi dalam gundukkan itu seolah berkata, “Aku pasti hidup!”. Perkataan yang seolah-olah terbang berputar
di kepalanya itu sebetulnya justru membuat ia semakin tersiksa. Dilema, ia benar-benar dilema. Harus bagaimana?? Sementara tenaga sudah tak ada, apakah
kaki itu harus terus melangkah??

Jalan pikirannya buntu. Tak ada lelaki yang dapat memapahnya agar tetap mampu melangkah mencari terang dan jalan keluar. Ia seorang diri, hanya berteman
gulita yang sesakkan dada. Ikatan sebuah harapan seolah ingin ia lepaskan. Ia tak kuat, benar-benar tak kuat. Ia tak lagi punya tenaga. Lantas disentuhkannya
jemari lembutnya pada lantai yang ia duduki. Cukup lama ia jejakkan jemarinya disana. Beku, benar-benar beku. “Haruskah lantai ini menjadi alas kematianku?”
ia bertanya pada dirinya sendiri.

Detik berikutnya, ia usap lantai beku itu. Setelah itu, kepalanya telah tenang di atas lantai. Rambut lurusnya tergerai, jatuh dari bahu ke lantai. Ia telah
siap, begitu pun dengan kaki yang lurus di atas lantai. Sementara itu, kedua tangannya yang telah siap di atas gundukkan pada perutnya ia sempatkan mengusap
basah di kedua pipinya.

Ia menghela nafas panjang dan berat. Dari tarikannya, seolah itu adalah nafas terakhirnya. Ia seolah tak sanggup menghirup udara lagi. Kemudian ia pun berkata,
“Inikah akhir segalanya?? Akankah berakhir disini???”

“Bila memang ini takdirmu, Tuhan, biarkan yang ada dalam rahim ini mati bersamaku. Aku siap bila memang harus sekarang, Tuhan…” lemah bibirnya berucap.
Seiring dengan lemahnya bibir itu, kedua kelopak mata pun ikut melemah. Ia hendak memejamkan matanya. Untuk terakhir…ya…untuk terakhir kalinya.

‘Namun’ itu selalu ada pada setiap untaian kata, termasuk skenario sang sutradara. Maka, pengecualian itu tetap ada pada takdir makhluk di dunia…

Mata itu nyaris tertutup ketika dentang terdengar dari sudut yang tak terjamah oleh mata. Yang jelas, dentang itu ada di tempat yang sama. Ya, di tempat
yang sama dengan tubuh yang sedang meregang nyawa di atas marmer tak bernyawa.

>>Bersambung>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar