Tampilkan postingan dengan label isi hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label isi hati. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 April 2015

BERBUAT KEBAIKAN, KENAPA MALU?

Pernahkah mendengar kalimat usil semacam ini??

“Cie…cie…cie…tumben pagi-pagi udah nongkrong di sekolah…”

Atau mungkin kalimat usil yang ini???

“Ah, kerasukan setan mana loe, bro, tumben mau bersih-bersih rumah!?!?”

Mungkin yang ini???

“Wah, mau jadi anak mamih ya loe, tumben pagi-pagi udah nganterin nyokap belanja!”

Atau bahkan kalimat super usil yang ini??

“Kesambet jin putih dari mana loe, bro, tumben sholat!”

Rentetan kalimat di atas tentu sudah tak asing lagi di telinga kita, apa lagi di kalangan mereka yang menamai diri si anak muda. Kalimat-kalimat ‘usil’ tersebut seolah kelakar yang dengan mudah dilemparkan pada siapa saja yang sedang mencoba ‘tekun’ pada nilai dan norma. Dengan mudah bahkan lebih mudah dari PR yang mereka dapat dari sekolah, kalimat-kalimat semacam tadi terus didengungkan tanpa sadar akan efek dari kalimat yang dilemparkan tersebut.

‘Kebaikan’, itulah tujuan yang diusung oleh mereka yang dihadiahi rentetan kalimat usil tadi. Maksud hati ingin menunaikan kebaikan sekaligus pembuktian terhadap kata “Taubat” yang disampaikan pada Tuhan, justru mendapat rintangan berupa kalimat usil semacam tadi. Sebagai individu yang masih dalam proses mewujudkan kebaikan yang bisa jadi telah ditinggalkan sekian lama, tentu akan goyah ketika mendapat kelakar tak beralasan sebagai komentar.

Lantas efek apa yang timbul dari keusilan semacam tadi?

‘Malu’, itulah rasa yang sebetulnya menjadi efek dari kalimat usil tak bertanggungjawab sebagai komentar bagi mereka yang ingin tekun. Menurut opini penulis, mereka yang sedang berusaha menunaikan kebaikan akan merasa ‘malu’ ketika ada pihak lain yang mengomentari usahanya tersebut, lebih-lebih jika komentar yang dilemparkan berupa ejekan. Sebetulnya sudah wajar adanya rasa malu itu timbul ketika seseorang sedang melakukan kebaikan, namun tidak untuk kasus pada remaja. Betapa tidak, remaja merupakan masa dimana rasa ‘gengsi’ itu punya andil besar pada diri mereka. Oleh karena itulah, ketika ada pihak yang mengejek dan menilai bahwa kebaikan yang sedang ditunaikan itu adalah hal konyol sekaligus ‘tumben-tumbenanan’, si pelaku kebaikan langsung undur diri, bahkan tak lagi bernafsu untuk menunaikan kebaikan tersebut.

Lantas, jika malu telah melanda, apa yang akan terjadi??

Umumnya jika malu telah mendera, lebih-lebih pada mereka yang tak punya tekad yang kuat, keesokan harinya kebaikan itu tak akan ditunaikan. Dengan kata lain, mereka akan kembali pada zona sebelumnya. Kebaikan pun kemudian tersimpan jauh dalam angan. Hilang?? Bukan hilang, namun lebih kepada mengendap dalam angan yang entah kapan akan direalisasikan. Jika sudah demikian, tentu sulit untuk mengembalikan situasi, kecuali kalimat usil dilempar jauh dari budaya para remaja.

Karena adanya budaya yang tercermin pada kalimat-kalimat usil di atas, penulis beranggapan bahwa hal itulah yang justru menghambat menjamurnya kebaikan di kalangan remaja. Para tunas bangsa itu seolah lebih berkonsentrasi pada seberapa banyak teman yang berkomentar dari pada esensi kebaikan itu sendiri. Karena konsentrasi mereka terfokus pada komentar teman, pada akhirnya mereka akan mudah goyah dan cenderung melepaskan janji mereka untuk berbuat kebaikan. Dampaknya, ketika hendak melakukan amalan-amalan yang ditetapkan pada nilai dan norma, mereka akan berpikir beribu-ribu kali, bukan untuk berpikir seberapa besar manfaat dari amalan tersebut, namun lebih kepada seberapa banyak kata ‘tumben’ yang temannya lemparkan.

Penulis coba ambil contoh dari realita yang ada. Sebagai contoh adalah adik penulis yang kini duduk di bangku SMP. Pernah suatu ketika ia bangun pagi, kemudian bergegas merappikan tempat tidur, mencuci sepatu dan membersihkan rumah. Tak hanya itu, ia pun getol menawarkan bantuan yang bisa ia lakukan. Tentu hal itu membuat seisi rumah takjub dan terheran-heran. Pasalnya ia memang terkenal malas di rumah. Akhirnya penulis yang memang kerap menggodanya, tergelitik untuk melempar canda.

“Cie…cie…tumben rajin amat! Kerasukan setan dari mana, bro??” goda penulis sambil cekikikan.

Mendengar kalimat usil dari penulis, ia pun nampak gondok. Terbukti dari mulutnya yang maju lima senti. Tak sampai disitu, penulis lagi-lagi menggodanya dengan berkata, “Gitu dong, Bro. Jadi anak tuh yang rajin. Kalau gitu kan bisa disayang mertua.”

Rupanya komentar-komentar usil yang penulis berikan memberi efek ‘jera’ pada sang adik. Kontan ia langsung menghentikan aktivitasnya dan ngeloyor entah kemana. Usut punya usut, ketika diintrogasi hari berikutnya, ia mengaku malu sebab penulis terus menggodanya. Tak hanya itu, sang ibu yang memamerkan tindakan adik itu pun menjadi penyumbang dalam mogoknya aksi bersih-bersih yang dilakukan adik.

Dari contoh dan sedikit uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam melakukan kebaikan yang tercantum dalam nilai dan norma, setiap individu harus memiliki niat terlebih dahulu. Jika niat telah ada, ditambah lagi dengan tekad yang kuat, maka apa pun kendala dan godaan, tak akan menjadi soal. Kemudian, rasa malu hendaknya dibuang jauh-jauh sebab ‘kebaikan’ merupakan hal terpuji, sehingga tak perlu merasa malu dan ragu dalam menunaikannya. Bandingkan dengan serentetan keburukan yang pernah dilakukan, pernahkah kita memikirkan atau pun merasa malu ketika melakukannya? Penulis rasa jarang kita merasa malu atas tindakan yang dilakukan, bahkan tak jarang siswa-siswi sekolah yang kedapatan mencuri dan cabut dari sekolah. Bukankah hal itu merupakan hal buruk yang seharusnya dihindari? Namun faktanya banyak remaja yang menikmati hal buruk tersebut. Oleh karena itu, tak perlu malu melakukan kebaikan yang tentu saja ditunaikan dengan cara yang baik pula.


JIKA 'RASA' BERKATA : VERSI LABIRIN

Ada sedikit ungkapan sang 'Rasa'. Ini sebenernya lanjutan dari tulisan 'Epilog' Jika Rasa Berkata Versi 'Cermin'. Mungkin teman-teman bingung maksud atau
jalan cerita tulisanku ini, tapi nikmati aja ya hehehe, syukur-syukur komen dan ikut analissis hehehe. Tulisan ini jg diposting di Kartunet (
www.kartunet.com)

Hope you enjoy it!

---

Gulita memeluk mereka. Pekat tanpa cahaya, di sana mereka berada. Tangan hanya mampu meraba, penuh harap agar bertemu dengan malaikat dari syurga. Pandangan
terlempar ke segala arah namun gulita itu lebih matang dan dewasa sehingga cahaya tak kunjung datang jua.

-(0)-

Nafasnya terengah, memburu dengan waktu, mencoba mengusir diri dari pekat yang menenggelamkannya. Namun itu sia-sia. Entah telah berapa lama ia berputar,
menjejakkan kaki dari satu alur ke alur lainnya. Ia tak tahu harus mencari titik dimana lagi. Semuanya penuh dengan pekat! Tak ada cahaya, lantaas bagaimana
bisa keluar dari tempat ia berada?

“Tolong!”

Bibir tipisnya terbuka, melemparkan udara yang menggumpal menjadi kata-kata, kemudian melemparkannya ke langit-langit yang menjulang seolah tak berujung.
Namun kalimatnya hanya menguap di udara, memantul dari sudut satu ke sudut lainnya. Andai kalimat itu membeku dan menghantam pintu keluar yang ia cari
agar ia dapat keluar, tentu itu akan membuatnya bahagia.

“Kau akan mati di tempat ini!”

Ia mendengar suara menggema di sekitarnya. Bulu kuduknya berdiri, dadanya berdegup kencang, seolah-olah dinding-dinding di sekitarnya semakin bergerak ke
arahnya dan siap menghimpit tubuh kecilnya.

“Tolong!”

Suaranya kembali melolong bagai anjing yang lapar oleh dinginnya malam. Jejak kakinya berpindah mengikuti arahan dari hati kecilnya. Terus berdetak menciptakan
melodi di tempat asing tanpa terang. Yang ia harap hanya temukan terang meski nafasnya terasa sesak karena ketakutan yang memburu dalam dada.

“Uhuk…”

Ia terbatuk di tengah-tengah jejak kakinya. Nafasnya begitu sesak. Keringat dingin mengalir di dahinya tanpa peduli hal itu justru dapat menambah level
ketakutannya. Udara sepertinya semakin menipis, terbukti dari batuk yang semakin sering ia lontarkan. Ah, sial! Ketakutannya tentu menang sebab ia pasti
menganggap ia akan mati! Tak lagi ada kesempatan untuk lari! Ia akan mati di tempat asing, di tempat yang diisi oleh pekat yang tak bersahabat!

“Bersiaplah untuk mati!” ada suara merangsek ke telinganya. Suara itu semakin dekat terdengar. Apakah itu suara malaikat maut?? Ah, tidak! Bukan malaikat
maut yang ia harap, namun malaikat pembawa terang yang ia nanti kehadirannya!

“Tidak! Aku tidak akan mati di tempat ini! Aku pasti bisa keluar!”

Tak terduga! Ia menjerit melawan suara yang sedari tadi berdzikir untuk kematiannya. Ia kembali melangkah. Perlahan mengatur nafasnya, perlahan membagi
sisa udara agar masuk ke seluruh aliran kerongkongannya. Rupanya ambang kematian tak menghapus harapan dalam dirinya. Tanpa peduli sudah berapa kali ia
berputar-putar dalam pekat, ia terus jejakkan kakinya. Jalan itu pasti ada, begitu yang ada di pikirannya.

“Tuhan, ijinkan aku tetap hidup. Ijinkan aku keluar dari tempat ini. Aku ingin hidup Tuhan…”

Kini bibirnya melantunkan harap kepada Tuhan. Ia tak peduli jikalau Tuhan sebetulnya tengah mengirim malaikat maut untuk mengambil nyawanya. Ah, bisakah
ia melawan maut?? Bisakah takdirnya berubah? Omong kosong! Namun orang bijak sering berkata bahwa apabila pengharapan telah habis, maka habis pula jalan
hidupmu. Entah karena perkataaan orang bijak itu, atau karena ia yang menganggap maut tak akan datang sebelum ia merasakan tubuh mungil dalam gendongannya,
ia tetap berani menjejakkan kakinya pada poros gulita yang ada. Ia tak sadar sebetulnya hal itu dapat menghabiskan tenaganya yang sudah di batas ambang.

Dug! Ia terjatuh. Tubuhnya lemas. Pucat sekali rautnya. Inikah akhir dari hidupnya?? Akan berakhir sia-siakah detak kakinya yang ia seret sedari tadi??
Apakah Tuhan menjawab dzikirnya dengan malaikat maut yang memang telah ia siapkan???

Ia masih terduduk di lantai beku. Dingin menjalari tubuhnya, bercampur dengan rasa takut yang membakar jiwa. Air matanya kini meleleh meski basahnya hanya
ia yang dapat merasa. Lantas digerakan tangannya agar menyentuh gundukkan di perutnya. Dalam sesak ia usapkan jemarinya. Bibirnya gemetar, sedikit terbuka,
sedikit melepas udara. Ada sejuta kasih yang memancar darinya. Kasih yang coba ia utarakan pada gundukkan di perutnya.

“Malang sekali nasibmu, nak. Mengapa kau harus lahir dari rahimku?? Mengapa kau harus lahir tanpa ada lelaki di sampingmu??”

“Haruskah kau mati di sini bersamaku?? Bukankah ini dosaku, nak??”

Ia tergugu. Dicengkramnya kuat-kuat gundukan di perutnya. Ingin sekali ia keluarkan isi dalam gundukkan itu agar tak ikut mati bersamanya. Namun itu sia-sia.
Nyawa di dalam gundukkan itu terlalu kuat sepertinya. Isi dalam gundukkan itu seolah berkata, “Aku pasti hidup!”. Perkataan yang seolah-olah terbang berputar
di kepalanya itu sebetulnya justru membuat ia semakin tersiksa. Dilema, ia benar-benar dilema. Harus bagaimana?? Sementara tenaga sudah tak ada, apakah
kaki itu harus terus melangkah??

Jalan pikirannya buntu. Tak ada lelaki yang dapat memapahnya agar tetap mampu melangkah mencari terang dan jalan keluar. Ia seorang diri, hanya berteman
gulita yang sesakkan dada. Ikatan sebuah harapan seolah ingin ia lepaskan. Ia tak kuat, benar-benar tak kuat. Ia tak lagi punya tenaga. Lantas disentuhkannya
jemari lembutnya pada lantai yang ia duduki. Cukup lama ia jejakkan jemarinya disana. Beku, benar-benar beku. “Haruskah lantai ini menjadi alas kematianku?”
ia bertanya pada dirinya sendiri.

Detik berikutnya, ia usap lantai beku itu. Setelah itu, kepalanya telah tenang di atas lantai. Rambut lurusnya tergerai, jatuh dari bahu ke lantai. Ia telah
siap, begitu pun dengan kaki yang lurus di atas lantai. Sementara itu, kedua tangannya yang telah siap di atas gundukkan pada perutnya ia sempatkan mengusap
basah di kedua pipinya.

Ia menghela nafas panjang dan berat. Dari tarikannya, seolah itu adalah nafas terakhirnya. Ia seolah tak sanggup menghirup udara lagi. Kemudian ia pun berkata,
“Inikah akhir segalanya?? Akankah berakhir disini???”

“Bila memang ini takdirmu, Tuhan, biarkan yang ada dalam rahim ini mati bersamaku. Aku siap bila memang harus sekarang, Tuhan…” lemah bibirnya berucap.
Seiring dengan lemahnya bibir itu, kedua kelopak mata pun ikut melemah. Ia hendak memejamkan matanya. Untuk terakhir…ya…untuk terakhir kalinya.

‘Namun’ itu selalu ada pada setiap untaian kata, termasuk skenario sang sutradara. Maka, pengecualian itu tetap ada pada takdir makhluk di dunia…

Mata itu nyaris tertutup ketika dentang terdengar dari sudut yang tak terjamah oleh mata. Yang jelas, dentang itu ada di tempat yang sama. Ya, di tempat
yang sama dengan tubuh yang sedang meregang nyawa di atas marmer tak bernyawa.

>>Bersambung>>

BEROPINI DALAM KELAKAR SNMPTN 2014

Note : Tulisan ini dibuat ketika masa-masa heboh SNMPTN 2014 yang melarang disabilitas mendaftar di beberapa jurusan...

Sedang mencoba beropini. Bukan dan tanpa bermaksud apa-apa, hanya ingin belajar menulis sekaligus suarakan harapan yang ada. Semoga opini yang ada tak jadi
perpecahan di antara kita. Mari bersama berjabat tangan demi kemajuan dunia pendidikan. Bagi yang ingin ikutan, silahkan layangkan opini lewat kolom komentar.
Sekali lagi tak ada maksud memprovokasi atau cari sensasi, melainkan hanya ingin "Belajar" lewat tulisan. Happy reading!

---

Indonesia belumlah begitu tua. Usianya tak lebih tua dari kakek-nenek kita. Namun siapa sangka wajahnya telah nampak keriput oleh beban yang dicipta oleh

mereka yang merasa penguasa di Indonesia?

Hari demi hari, masalah bertubi datang hampiri Indonesia yang tengah menata diri demi masa depan berarti bagi anak-cucu negeri. Belum usai kasus korupsi
yang rupanya jadi hobi pejabat negeri, kini koloni problematika justru kembali tiba tanpa nurani pada dunia pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri. Tak
cukup puas mengotak-atik sistem pendidikan yang terkadang kurang realistis dengan kondisi bangsa, kini mereka yang duduk di garis kuasa atas Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) sekilas dianggap tengah cari “Gara-gara”.

Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014 kini memang tengah jadi problematika bagi kami penyandang disabilitas yang haknya kerap diperkosa.
Entah tutup mata, entah tutup telinga atau pada nyatanya tak tahu apa-apa, mereka yang duduk pada garis kuasa kebijakan SNMPTN 2014 dengan mudah memberi
“Kode” pada beberapa program studi yang dilelang dalam pesta kelahiran cendekiawan bangsa. Dengan tanpa khotbah atau ceramah, mereka pukul palu pada kami
yang hidup penuh stigma dengan ketunaan yang kami punya. Tanpa bertanya, kami diminta meninggalkan zona terlarang dalam lelang. Kedokteran, keperawatan,
psikologi, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, bahkan Bahasa Indonesia serta beberapa program studi lainnya menjadi terlarang bagi Tunanetra, Tunarungu, Tunawicara,
Tunadaksa, dengan tak lupa juga bagi mereka yang buta warna. Kami para disabilitas seolah dipaksa menyerah sebelum berperang tanpa ada kesempatan beri
pembuktian.

Ironik memang. Di tengah kerontangnya pemenuhan hak bagi disabilitas, problematika ini justru seolah menjadi belati yang mengoyak nurani. Jangankan diberi
kemudahan akses dalam pendidikan tinggi, justru kami dibuat mati dengan kode-kode yang sepintas mencolok bagai diskriminasi. Sementara itu, Tebalnya peraturan
tentang kesamaan mengakses pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia, seolah menjadi tumpukkan kata yang usang dimakan usia. Tak adakah niat lebih
besar tuk membuat kami (disabilitas) “Sejajar”?

Tutup mata kah, tutup telinga kah, atau memang tak tahu apa-apa kah mereka yang duduk di garis kuasa SNMPTN 2014 bila Bahasa Indonesia saja yang notabene
Bahasa kesatuan Republik Indonesia dijadikan terlarang untuk disabilitas? Lucu sekaligus penuh ironi. Ketika bangsa lain berlomba benahi diri hapuskan
diskriminasi bagi disabilitas yang kerap dianggap membebani, bangsa ini justru ciptakan degradasi bagi anak bangsa yang punya mimpi. Dengan dalih mengarahkan
program studi agar lebih “Manusiawi”, mereka putuskan “Syarat fisik” pada beberapa program studi, padahal justru dapat batasi mimpi. Adilkah kelakar semacam
itu? Bila yang berjuluk non-disabilitas saja diberi akses selebar-lebarnya atas program studi yang diminati, lantas mengapa disabilitas justru diberi akses
selebar daun kelor? Memang keterlaluan bila Bahasa Indonesia menjadi terlarang bagi Tunanetra, Tunarungu dan Tunawicara.

Setiap aksi pasti punya reaksi. Setiap kebijakan yang tak pakai nurani pasti datangkan kontroversi. “Disabilitas menggugat”, itulah headline yang pantas
jadi reaksi atas aksi pencantuman kode syarat fisik pada beberapa program studi di Perguruan Tinggi Negeri. Mereka yang panas oleh isu diskriminasi pada
pendidikan tinggi, lari kesana-kemari demi tumbangkan kebijakan yang dibuat tanpa diskusi. Mulai dari petisi hingga turun ke lembaga yang punya relevansi
atas kasus semacam ini, itulah reaksi yang dinjukkan oleh objek yang didzalimi. Geram, muak, penat, tentu ingin ditumpahkan pada si pemnbuat kebijakan.
Namun, haruskah reaksi mentok pada petisi dan emosi?

Banyak opini yang menawarkan diri pada problematika SNMPTN 2014 ini. Namun bagi penulis dan teman-teman di organisasi, petisi dan emosi akan mandul bila
tak dibarengi pembuktian diri. Tentu tak ada salah dengan petisi dan geram yang menjelma pada “Emosi”, namun alur pikiran lain sejatinya bisa dijadikan
alat untuk bereaksi. Bisa jadi kebijakan yang tak memihak pada kaum minoritas ini timbul karena disengaja, meski bisa jadi pula karena ketidaktahuan yang
dipaksa. Bila memang mereka yang duduk di garis kuasa SNMPTN 2014 sengaja tutup mata dan telinga, itu memang tak beda hina dengan benda mati yang tak punya
hati. Namun beda cerita bila kebijakan yang ada dicipta karena ketidaktahuan yang dipaksa. Bila faktanya mereka tak tahu apa-apa namun salah langkah dengan
enggan tuk bertanya, tentu kita (disabilitas) harus buka mata dan telinga mereka tentang siapa diri kita. Lewat pembuktian, lewat dialog aman, itulah alur
pikiran yang penulis dan teman-teman coba tawarkan. Penulis dan teman-teman organisasi beranggapan bahwa bila ingin menggugat mereka, cobalah sadarkan
logika serta nurani yang mereka punya. Terlebih bagi kampus yang telah nyatakan diri sebagai bagian dari kampus inklusif, sejatinya perlu diingatkan kembali
mengapa kode syarat fisik itu perlu membatasi disabilitas. Dalam proses penyadaran lewat dialog itu, coba beri tahu mereka dengan bukti nyata lewat mahasiswa
yang telah atau tengah menimba ilmu pada program studi yang masuk zona terlarang pada SNMPTN 2014. Demo nyata tentang bagaimana disabilitas mengakses perkuliahan,
strategi serta hasil yang sejauh ini didapat, hendaknya menjadi bukti nyata sebagai usaha bukakan mata, hati dan telinga mereka. Secara detail hendaknya
kita (disabilitas) jelentrehkan apa yang kita bisa entah lewat tekhnologi atau media lainnya. Bila mereka telah mengerti bahwa kita (disabilitas) mampu
bersaing dalam program studi yang diminati, tentu mereka tak lagi sangsi. Oleh karena itu, penulis dan teman-teman organisasi beranggapan bahwa dalam tempo
sekarang ini, lebih arif bila coba siapkan diri tunjukkan jati diri. Beritahu lewat demo tekhnologi tentang alat bantu, atau bukti yang bisa mengamini
kemampuan yang dimiliki. Dengan bukti nyata, tak mustahil bila kebijakan diskriminasi itu tumbang tanpa paksaan.

Menyoal tentang kode syarat fisik pada SNMPTN 2014, penulis pribadi merasa tak perlu. Sejatinya tanpa diberi tahu semcam itu, kami (disabilitas) pun sadar
sampai mana batas kemampuan kami. Coba ambil contoh seorang Tunanetra. Tentu Tunanetra akan berpikir ulang ketika hendak mengambil program kedokteran.
Memang dirasa sulit bila Tunanetra harus melakukan bedah pada pasien, seumpama. Namun kesulitan itu bukan berarti jadi larangan. Hak biarkan jadi hak.
Biarkan hak kebebasan mengakses pendidikan dimiliki oleh si Tunanetra atau disabilitas lainnya, smentara menyoal perkara sulitnya akses dalam mempelajari
bedah tubuh, seumpama, biarkan kembalikan pada si disabilitasnya. Kewajiban pejabat negeri adalah berikan hak penuh pada setiap warga. Sekali lagi penulis
pribadi berpendapat bahwa tanpa diberi peringatan berupa kode syarat fisik, kami (disabilitas) pun “Tahu diri”. Yang terpenting adalah hak biarkan tetap
jadi hak.

Untuk info program studi yang terlarang bagi disabilitas, bisa dicek di link berikut :
Universitas Indonesia silahkan di link :
https://web.snmptn.ac.id/ptn/31

Bagi yang Undip silahkan di link :
https://web.snmptn.ac.id/ptn/43-->

Kamis, 26 Juli 2012

PUISI : ADA NAMUN TIADA

Rindu itu datang padaku
Mengemis cinta, mengais tanya
Indah kah wajahnya yg polos tanpa cumbu kata juga gerak merah jambu???
Lepaskan rindu itu dalam jujur hati tanpa harus ingkar mengingkari!!
Berkawan dengan rasa tanpa kata hanya akan membuat rindu itu mati

Layu mungkin si rindu itu
Nyaris mati karena tak ada yang mau peduli
Lelah sudah rindu itu menari
Berlenggak-lenggok di padang hati sang pesona duniawi
Haus sudah terlanjur basah oleh resah
Gerimis itu tak kunjung basuh haus itu
Sudahlah....
Biarkan tetap sama...
Rindu itu tegar
Tak mudah patah tertiup sikap redup dalam lingkaran temaram

Rindu itu akan tetap bersemi
Menanti gerimis meski kerontang telah merasuk hingga sanubari
Percayalah rindu itu akan selalu ada...
Tetap ada sampai cinta mau berkata padanya...
Sampai tanya tak lagi bersanyawa dalam pengharapannya...